Selasa, 18 Agustus 2009

WONDER- Chapter 6 (TomaPi)

Chapter 6

Sudah sebulan berlalu, aku baru sadar kalau aku belum menyentuh Shiori lagi sama sekali. Tak ada lagi aku yang terlambat datang ke kantor, gara-gara aktivitas yang seharusnya tidak dilakukan di pagi hari. Itu memang bagus untukku, tapi mungkin aneh bagi Shiori. Setiap malam aku tidur cepat, dan bangun esoknya dengan cepat juga. Aku jadi sangat teratur, tapi aku dingin pada kekasihku sendiri. Aku baru berpikir kalau dia mungkin mencium perubahanku. Sedikitnya aku merasa takut, apalagi kalau sampai Yamashita dilibatkan. Huh, aku benar-benar berpikir sejauh itu, padahal siapa yang akan menyangka aku memiliki hubungan lain dengan temanku sekaligus klienku sendiri. Shiori tak akan securiga itu.
“Ini kan hari Minggu, kenapa kau tampak terburu-buru sekali?” tiba-tiba Shiori memelukku dari belakang, melingkarkan tangannya di depan perutku, dan menyandarkan wajahnya di punggungku.
“Aku tidak terburu-buru” kataku yang terus membersihkan daguku dari busa sabun pencukur.
“Oh ya? Tapi ini masih pagi dan kau sudah mandi…”
“Aku tidak boleh mandi pagi??” aku menolehkan wajahku ke arahnya yang mengintip dari balik bahuku.
“Bukan itu maksudku…” Shiori mempererat pelukannya di tubuhku. “kau seperti akan pergi” dia menunjukkan wajah cemberutnya yang biasanya kadang membuatku panik dan ingin segera membuatnya tidak cemberut lagi, meyakinkannya kalau tidak ada apa-apa. Tapi sekarang aku merasa biasa saja, aku pun heran, semua yang dilakukan Shiori mulai tak memberikan efek berarti untukku. Apa karena…Yamashita?
“Ah iya, sepertinya aku memang akan pergi” aku sudah berencana untuk menemui Yamashita hari ini di tempat pemotretannya, hanya untuk makan siang bersama.
“Kemana?” Shiori melepaskan pelukannya dan memandangku.
“Menemui klien” jawabku pendek, tanpa melihat ke arahnya. Aku membersihkan wajahku dengan air.
“Tapi kau tidak lupa, bukan?”
“Hah? Apa?” kali ini aku melihatnya, dan dia tampak tak percaya dengan reaksiku. Aku lupa??
“Apa…Hitomi -san belum menghubungimu?”
“Eh? Okachan?” aku mulai melihatnya dengan sungguh-sungguh, tampaknya ada yang serius karena dia menyebut-nyebut ibu ku. Shiori mengangguk.
“Kita harus ke Osaka hari ini karena keluargamu akan makan malam di rumah kami. Dan setahu ku mereka ingin mempercepat pernikahan kita…”
Aku terdiam beberapa detik mencoba mencerna penjelasan Shiori. Mempercepat pernikahan kita? Pernikahan ku dengan Shiori akan di percepat???
“Eh?? Maji desu ka?!!” aku hampir berseru kaget. Shiori mengangguk lagi kali ini sambil agak tertawa karena melihat reaksiku.
“Mengejutkan bukan? Sesuai yang kita inginkan~ aku benar-benar sudah tak sabar untuk menjadi istrimu~” katanya dan memelukku lagi, melingkarkan tangannya di pinggangku dan tersenyum senang. Dia tampak bahagia, dan seharusnya aku pun, karena ini yang selalu kita inginkan, menikah secepatnya… tapi entah kenapa sekarang aku tak merasakan itu. Aku bingung.
“Kenapa? Kau… terlihat tidak suka” kata Shiori tiba-tiba. Dia bisa melihat ekspresiku. Tapi aku cepat merubahnya, aku tersenyum lebar, dan memeluknya balik.
“Aku terlalu senang, sampai aku tak bisa berkata-kata” kataku, tentu saja bohong. Dia tertawa lagi dan makin erat memelukku, membenamkan wajahnya di dadaku. Sedangkan aku berpikir, bagaimana dengan Yamashita?
Hari itupun aku mendapat keputusan dari orang tua kami, bahwa pernikahan kami akan dilaksanakan pertengahan bulan depan. Aku terpana melihat kartu-kartu undangan yang sudah siap disebar, baju pengantin yang sudah di pesan dan tempat yang sudah di tentukan. Kenapa semuanya jadi seperti bertentangan dengan apa yang aku rasa sekarang?! Aku yang dulu sangat menantikan saat-saat seperti ini, sudah tidak lagi. Aku yang dulu sangat mencintai Shiori dan tak sabar untuk menjadikannya istriku, sekarang tidak lagi. Aku merasakan itu untuk orang lain. Aku menyadarinya, perasaanku sudah sangat berubah karena Yamashita. Walau aku tetap berusaha menyangkalnya, karena aku tak mungkin harus melepaskan yang sudah aku jalani selama ini bersama Shiori hanya demi Yamashita yang tiba-tiba datang lagi ke dalam hidupku. Aku tak mungkin memilih. Aku tak ingin menyakiti siapapun dan terlebih orang tua ku.
***
Aku sangat menyukai jemari Yamashita yang menelusuri kulit pipiku saat kami berciuman. Sangat lembut dan membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku tak ingin melepaskannya sedikitpun, aku mempererat pelukanku di pinggangnya dan memperdalam ciumanku, membuatnya hampir tak punya kesempatan untuk mengambil nafas, tapi rupanya dia memang sudah sangat ahli. Dia bisa membuat ciuman kami jadi lebih berirama, dan membuatku sangat nyaman, hingga tak ingin mengakhirinya. Tapi tiba-tiba Yamashita melepaskan dirinya dari ku, aku menatapnya penuh tanda tanya. Dia tak membalas tatapanku dan beranjak dari sofa itu tanpa mengatakan apapun. Dia mendekati lemari di dekat televisi, dan mengambil sesuatu dari sana. Sekilas aku melihatnya seperti mengenal benda itu, sebuah kartu berwarna keemasan…
Aku melihat padanya kaget, ketika dia menghampiriku lagi sambil membawa kartu itu. Yeah, tentu saja aku ingat kartu apa itu… itu kartu undangan pernikahanku!
“Itu…” aku tak bisa berkata-kata. Sudah hampir seminggu pemberitahuan tentang pernikahan ku dan Shiori yang dipercepat, dan undangan itu pun sudah disebar ke seluruh kolega dan teman-teman. Tadi pagi saja di kantor, Akiyama dan Yoshida-san langsung ramai menggodaiku, ketika aku memberikan undangan ini pada mereka. Tapi aku tak berani memberikan undangan ini pada Yamashita, bahkan sekedar memberitahunya saja pun aku tidak. Aku tak bisa mengatakannya. Aku seperti pengecut. Aku hanya menunggu kalau suatu hari dia akan mengetahuinya sendiri seperti kasus saat dulu aku menutupi Shiori. Aku pengecut. Aku bisa merasakannya kalau Yamashita pasti berpikir seperti itu.
“Kau akan menikah beberapa hari lagi” katanya.
“Aku baru akan mengatakannya padamu…”
“Tidak perlu bohong”
Aku memang berbohong. Dan aku pun heran dengan diriku sendiri. Aku jadi lebih suka berbohong akhir-akhir ini.
“Aku tak bisa mengatakannya padamu Yamashita” akhirnya aku mengakuinya.
“Kenapa?”
“Kau tak seharusnya bertanya kenapa” aku malah menyalahkan pertanyaannya.
“Kau tak mau menyakitiku?” dia seperti menangkap maksudku. Aku tak segera menjawab. Aku memejamkan mata ku dan menyandarkan tubuhku di sofa. Aku merasakan Yamashita duduk di sebelahku lagi.
“Kalau begitu jangan menikah dengannya”
Aku membuka mataku cepat dan melihat padanya. Dia memintaku untuk tidak menikah? aku tidak salah mendengar, bukan?
“Lalu? Aku akan menikah denganmu?” kataku, tanpa berpikir. Dia tertawa lucu, menganggapku bercanda. Memang perkataanku konyol, tapi aku tidak sedang bercanda.
“Baka” gumamnya masih agak tertawa, dia menghela nafasnya dan ikut menyandarkan tubuhnya ke sofa juga memandang ke langit-langit ruang tengahnya.
“Aku tidak bercanda” kataku akhirnya.
“Tapi itu konyol”
“Lalu? Kau ingin aku bagaimana??”
Yamashita terdiam. Ini memang rumit, kalau pun aku membatalkan pernikahanku dengan Shiori, lalu apa yang akan aku dapat? Aku tak mungkin pula bisa menikah dengan Yamashita, bahkan untuk memilikinya secara terang-terangan saja masih terdengar sangat tidak mungkin. Dan yang terpenting, aku tak mau menyusahkan orang tua ku. Hingga saat ini hanya itu yang membuatku tak bisa mengelak. Aku sebenarnya secara tak sadar sudah tak begitu memperdulikan perasaan Shiori. Mengherankan bukan? Aku bisa berubah sedrastis ini pada orang yang dulu sangat aku puja.
“Yeah, menikahlah” suara Yamashita membuatku terhenyak dari pikiranku.
Dia menoleh padaku dan tersenyum. “Rasanya tak akan ada yang berubah, walau kau sudah menikah atau tidak…ne?” katanya lagi.
“Benarkah?” aku malah bertanya. Aku juga berpikir seperti itu, tapi apa mungkin?!
Yamashita mengangguk yakin. Dia meraih wajahku dan mencium bibirku pelan, hanya sebentar. Kami saling menatap, tapi aku tak bisa mengatakan apapun.
“Nanti aku akan memberimu semangat” katanya.
“Hah? Aku bukan mau bertanding”
Yamashita tertawa lagi. Aku tahu dia tertawa dengan tulus tapi aku bisa melihat dia tak setenang ini. Di hati terdalamnya mungkin dia tak ingin menerima semua ini, sama seperti ku. Kami terjebak dalam dunia yang sudah kami bangun berdua. Tak ada yang mau keluar dari sini, walau kami tahu setiap waktu badai akan menghadang kami atau bahkan memisahkan kami. Kami hanya ingin merasakan kenyamanan yang tak kami temukan dimanapun. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah aku menikah nanti, aku akui aku takut kalau aku tidak bisa mendatangi dunia kami lagi. Dan aku jadi ingin tahu bagaimana kalau aku benar-benar mempertaruhkan Shiori dan orang tua ku untuk dunia yang aku dan Yamashita miliki ini!? Sayangnya aku tak merasa mampu senekat itu.
***
Aku terpaku ketika melihat Shiori ada disana, di samping mobilku yang parkir di halaman apartement Yamashita ini.
“Shiori? Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku hati-hati. Aku berharap tidak terjadi hal yang tak aku harapkan.
“Aku lupa memberitahu Yamashita-kun untuk datang ke pesta besok malam” katanya tanpa senyuman sedikitpun. Dia memandangku datar. Besok malam kami memang akan mengadakan pesta di apartement, pesta biasa sebelum kami menikah, menikmati masa lajang yang akan berakhir. Dan aku sama sekali tidak memberitahu Yamashita, karena aku sudah memutuskan untuk menyembunyikan pernikahanku darinya.
“Ah, kau yang mengantarkan undangan padanya?” tanyaku. Aku jadi mengerti kenapa undangan itu bisa ada di tangan Yamashita tadi.
“Un” jawab Shiori sambil menganggukkan kepalanya. “Kenapa kau tidak memberitahunya, Toma?”
“Eh?”
“Pernikahan kita, kau tak mau dia tahu, kenapa?”
Aku mengerutkan keningku, ada apa dengannya tiba-tiba bertanya seperti ini dan kenapa dia bisa membaca semua itu??
“Tidak, aku baru akan memberitahunya tadi. Dan ternyata dia sudah memegang undangan yang kau beri” aku menyangkal, berbohong seperti biasa. Shiori masih melihatku dengan tatapan datarnya. Mau tak mau perasaanku jadi tak enak. Pasti sudah terjadi sesuatu.
“Ada apa Shiori-chan?” aku mendekatinya, tiba-tiba aku merasa harus memanggilnya seperti itu.
“Aku melihatnya Toma” suara Shiori yang sedatar tatapannya, jujur saja membuat perasaanku makin tak enak.
“A-apa yang kau lihat?” tanyaku hati-hati.
“Kau dan Yamashita-kun…”
Seketika aku pun sadar. Aku menatapnya dan kali ini matanya mulai menunjukkan sebuah emosi. Dia kesal sekaligus tak percaya.
“Aku dan Yamashita??”
“Sudahlah, jangan berpura-pura lagi!!” teriaknya tiba-tiba dan aku melihat air mata turun dari matanya. Dia melihat aku dan Yamashita… mungkinkah… itu???
Aku diam, tak bisa menyangkal kalau memang dia melihatnya sendiri, kebohonganku akan percuma.
“Aku benar-benar tak pernah terpikir…” katanya di sela isak tangisnya.
“Gomen” aku mengatakan maaf, yang aku pikir sama sekali tak ada gunanya.
“Kita tak mungkin membatalkan pernikahannya bukan?” katanya, menatapku tajam.
“Tentu saja tidak. Aku… ingin menikah denganmu” kataku, tak bisa mengatakan hal lain yang akan membuatnya tenang.
“Kau masih mencintaiku?” dia menanyakan pertanyaan yang aku sendiri pun masih ragu dengan jawabannya. Aku memilih mengangguk dan memeluknya. Aku merasa sedang berakting sekarang. “Lalu kenapa kau melakukan ini padaku??!” dia memukul bahu ku, tidak sakit karena pukulannya selemah itu. Aku tak menjawabnya. Dia melepaskan diri dari pelukanku lalu memandangku dengan matanya yang sudah sembab. Menatapku beberapa saat seperti mencoba mencari sesuatu.
“Sekarang aku tahu kenapa kau seperti tak memperdulikanku akhir-akhir ini” katanya dengan suara yang masih bergetar. Dia menyadari itu rupanya.
“Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. Aku sudah sangat bahagia karena pernikahan kita hanya tinggal menghitung hari. Aku tak bisa melepaskanmu”
Perasaanku bercampur aduk mendengar perkataannya. Aku kehilangan kata-kata, dan sebagai gantinya aku hanya bisa memeluknya lagi. Ini memang sudah tak bisa di hindari lagi. Shiori sudah tahu semuanya tapi tetap tak akan ada yang berubah. Satu hal yang mungkin harus aku lakukan nanti adalah aku harus melupakan Yamashita.
“Apa ciumannya lebih baik daripada ciumanku?” aku mendengar gumaman Shiori yang lemah di dadaku. Aku hanya menghela nafas, membelai rambut panjangnya pelan. Aku benar-benar harus memilih atau akan semakin banyak menyakiti orang.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar