Selasa, 18 Agustus 2009

WONDER- Chapter 2 (TomaPi)

Chapter 2

Aku menatap laki-laki di hadapanku ini. Dia klien yang dibicarakan bos ku kemarin. Seperti yang tak aku harapkan, modelnya ternyata seorang laki-laki. Dan yang lebih parah, dia… adalah kouhai ku saat di sekolah dulu. Yamashita Tomohisa. Aku sebenarnya terpana melihat dia sekarang. Dia begitu stylish, tampan dan badannya yang tampak terlatih itu, aku yakin bisa membuat wanita manapun tergila-gila. Sangat berbeda dengan dia yang dulu, yang aku ingat dia sangat manis, mungkin lebih manis dari anak-anak perempuan yang dulu ada di sekolah. Semua orang menyukainya. Aku dan teman-temanku suka sekali menggodainya. Dia pun lebih banyak bergaul dengan senpai-senpainya termasuk denganku yang mereka bilang selalu mudah berteman dan mengambil hati orang. Karena rumah kami menuju arah yang sama, kami pun sering pulang bersama. Disana lah aku tak bisa melupakan hal-hal yang pernah terjadi di antara kami.

“Hisashiburi da ne?” kataku mencoba mencairkan suasana yang rasanya sudah tegang sejak awal kami saling melihat.
“Hisashiburi” katanya sambil tersenyum tenang. Dan aku pun sadar dia tak berubah begitu banyak, hanya bentuk badan dan rambutnya yang mungkin membuatnya terlihat lebih dewasa, tapi senyumannya… cara matanya menatap, semua masih sama. Tenang, dan sedikit terlihat malu, benar-benar membuatku jadi bernostalgia.
“Aku tak menyangka kalau ini benar-benar kau. Aku pikir Ikuta Toma yang lain” tambahnya pula.
“Eh?” komentarku sambil balas tersenyum. Kenapa kita harus canggung seperti ini?! “Aku rasa namaku hanya satu-satunya di dunia” kataku, mencoba merubah atmosfir. Dan dia memang tertawa kecil.
“Sou da” katanya pendek, sangat khas dia.
“Ne, Yamashita...” aku mulai lagi memanggilnya seperti saat kami masih sering bersama dulu. “Ceritakan dirimu. Kemana saja kau setelah lulus sekolah? Aku dengar kau masuk Meiji, benarkah??”
Yamashita menganggukkan kepalanya membenarkan. Dia mulai terlihat rileks, atmosfir canggung pun perlahan memang berubah. Aku memang bagus dalam hal seperti ini.
“Aku berkuliah di Meiji, lalu tinggal di Hawaii selama 6 bulan kemarin…”
“Eh?? Hawaii??? Sugeeee~~”
“Yea, aku melakukan pemotretan dan berlibur juga disana”
“Ohh~ iri sekali. Aku ingat dulu kau sering bilang kalau kau ingin kesana” kataku mengingat lagi jaman kita sekolah dulu. Dia memang sering bilang kalau dia sangat ingin ke Hawaii. Entah kenapa. Aku pikir lebih bagus kalau dia bermimpi ingin ke Eropa, ya bukan?
“Ou, akhirnya aku bisa kesana” Yamashita menganggukkan kepalanya masih dengan senyumannya. “Aku tak menyangka kau masih ingat hal itu”
Benar. Aku masih mengingatnya. Bahkan aku masih ingat banyak hal lagi.
“Tentu saja, dulu kau mengatakannya berkali-kali. Terekam dengan sendirinya di ingatanku” kataku mengelak, yah bisa dibilang begitu.
“Sou, lalu bagaimana dengan kau sendiri? Kenapa kau bisa tiba-tiba terdampar di kantor konsultan keuangan seperti ini?” dia balik menanyaiku. Aku membetulkan sedikit posisi dudukku, menyimpan tangan kananku di atas meja dan mengusap-usap dagu ku. Hal yang biasa aku lakukan kalau aku akan menceritakan sesuatu. Dia pun membetulkan posisi duduknya, seperti bersiap untuk mendengar ceritaku.
“Setelah lulus, aku mengambil diploma di Osaka university…”
“Ah jadi gossip itu benar!” Yamashita tiba-tiba memotong ucapanku.
“Gossip?” aku melihat padanya bingung. Aku digossipkan? Aku pikir, yang jelas-jelas terkenal disini itu adalah dia sendiri.
“Yea, aku mendengarnya dari senpai-senpai yang datang ke sekolah setelah beberapa bulan kelulusanmu. Mereka mengatakan kalau kau berkuliah di Osaka” jelas Yamashita.
“A~ sou ka…” jadi aku digossipkan oleh teman-teman sekolahku dulu. “Tak menyangka juga beritanya akan cepat menyebar seperti itu” kataku lagi sambil tersenyum bangga.
“Tentu saja. Tak ada yang tak mengenalmu di sekolah dulu”
“Ahahaha~ tidak seperti itu juga..” aku mengibas-ngibaskan tanganku, sebenarnya senang dengan pujiannya. Yamashita ikut tertawa. Suasana benar-benar sudah cair sekarang. Oh iya, tawanya pun masih sama. Dia memang masih Yamashita yang manis itu…
***
Aku baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutku dengan handuk, saat sepasang tangan menyentuh tanganku, mengambil handuk itu dan membantuku mengeringkan rambutku. Shiori. Dia tersenyum padaku saat aku mengangkat wajahku sebentar melihat padanya.
“Bagaimana klienmu?” tanyanya masih sambil mengusap-usap rambutku dan memijat kepalaku pelan.
“Mmmhh…” aku mengeluarkan suara karena efek dari pijatannya. Dia memang paling bisa membuatku merasa lebih baik. Aku jadi sangat rileks di tangannya. “Seorang model” kataku yang entah sejak kapan sudah memejamkan mataku, menikmati sentuhannya di kepalaku. Sentuhan wanita memang sangat luar biasa. Aku jadi ingat ibuku.
“Model?” ulang Shiori dan aku merasakan tangannya berhenti memijat kepalaku. Aku membuka mataku dan melihat padanya.
“Uhm, kenapa??”
“Apa dia… cantik??” tanyanya ragu-ragu. Ekspresinya tampak tak suka dengan pertanyaannya sendiri. Ah, aku mengerti! Dia cemburu…
“Hmmm” aku memasang muka berpikir, dan dia makin terlihat khawatir.
“Aku tahu. Semua model pasti cantik dan seksi” katanya sambil melepaskan tangannya dari kepalaku dan bermaksud pergi. Tapi aku cepat memegang tangannya, menariknya, membuat dia naik ke pangkuanku. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya, dan dia menyimpan tangannya di bahuku. Mencoba melepaskan diri, tapi tak mungkin bisa.
“Kau terlalu banyak memikirkan hal yang tidak-tidak” kataku pelan sambil menatap wajah cantiknya yang hanya beberapa senti saja dari wajahku. Rambutnya yang panjang dan wangi sedikit menyentuh bagian pinggir wajahku.
“Tapi dia memang cantik bukan?” tanyanya masih dengan pertanyaan tadi. “Dia seksi dan menarik???” aku tak mengerti, kenapa perempuan selalu mengkhawatirkan hal semacam itu. Takut tersaingi dan sebagainya.
“Tapi aku masih lebih memilih bersamamu disini, bukan?” aku malah balik bertanya padanya.
“Iya, tapi…”
“Dia laki-laki, Shiori-chan~” aku memotong ucapannya, berbisik di bibirnya. Dan sebelum dia sempat berkata lagi, aku menciumnya. Menikmati bibir manisnya entah untuk keberapa kali sejak kita mulai berpacaran. Aku selalu seperti ini. Menenangkan Shiori dari segala kecurigaan dan kecemburuannya dengan cara seperti ini memang paling ampuh. Aku tak tahu, mungkin dia memang sangat menyukai ciumanku.. atau aku memang pencium yang hebat?? Haha, aku tertawa sendiri di pikiranku.
Aku membuka mataku sedikit di tengah-tengah sesi berciuman kami yang mungkin semakin lama akan semakin meningkat. Aku merasakan tangannya sudah melingkar di leherku, dan menemukan rambutku yang masih setengah basah. Dia membenamkan jari-jarinya disana seperti biasa. Aku menganggapnya itu sebagai tanda kalau dia sangat menyukai ciumanku dan ingin meneruskannya hingga seperti tak akan ada hari esok.
Wajahnya yang terpejam seperti itu sangat menggugahku, belum lagi suara-suara yang tanpa sadar keluar dari mulut kami yang masih bertaut satu sama lain. Aku menyukainya., membuatku mengingat sesuatu… apa yang aku ingat? Bukan… itu bukan sesi berciuman lainnya dengan kekasihku ini, tapi…dengan orang lain! Dulu…akupun pernah mencoba mencium seseorang seperti ini. Menatap wajah terpejamnya, mendengar suara yang tertahan dari bibirnya yang terkunci dengan bibirku. Pipinya memerah...

Aku melepaskan ciumanku dengan tiba-tiba dari bibir Shiori. Baru saja wajah itu muncul di depan mataku dan hampir menggantikan wajah Shiori. Aku ingat siapa orang itu!
“Toma…??” kata Shiori pelan, disela-sela dia mengatur napasnya. Aku pun hanya terdiam mengatur napasku, memandang wajahnya yang penuh tanda tanya. Dia pasti merasa ada yang tak beres, karena aku tak biasanya memotong ciuman seperti itu kalau memang tidak ada sesuatu yang penting.
“Ada apa?” dia menyentuh wajahku dan membelainya lembut. “Gomen ne, tadi aku tak bermaksud mencurigaimu seperti itu”
Aku masih diam. Pikiranku masih pada wajah itu, pada kenangan dulu yang pernah aku lakukan dengannya. Ciuman pertamaku.
“Toma???” suara Shiori yang merasa tak mendapat perhatian dariku, membuatku tersadar.
“A~ gomen” kataku, dan kembali ke realita sekarang. Ada kekasihku di pangkuanku, dan aku masih memegang pinggangnya erat.
“Kenapa? Kau tak mau memaafkanku?” tanyanya, dengan suara manjanya.
“Tak ada yang perlu dimaafkan, Shiori-chan~” aku memanggilnya dengan panggilan yang manja juga. Dia tersenyum, lalu memelukku. Membuat wajahku terbenam di bahu dan dadanya. Tangannya masih bermain-main dengan rambutku. Tapi aku sudah memikirkan hal lain. Aku sudah tak begitu menikmatinya. Apa ini akan menjadi pertanda buruk untuk hubungan kami??? Aku tidak tahu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar