Chapter 4
Masih sepi. Kantor ku di pukul 7 pagi seperti ini ternyata belum begitu banyak orang, tapi Yoshida-san selalu bertingkah seolah-olah kalau aku tidak datang tepat waktu, kantor ini akan segera menjadi reruntuhan saja. Karena itu, demi menghindari sikap antik bos ku itu, aku memilih untuk datang ke kantor sepagi ini. Meski aku belum mandi, dan tidak mengganti pakaian kerjaku sejak kemarin. Yeah, semalam aku tidak pulang ke apartement, karena telah terjadi sesuatu…
“Shiori?!” aku terkejut melihat tunanganku ada di meja kerjaku.
“Ah, ohayo Toma!” katanya sambil berdiri dari kursi kerjaku. Dari raut wajahnya aku membaca dia tampak lega melihatku.
“A-apa yang kau lakukan disini?” tanyaku masih terkejut. Siapa yang tidak akan?! Menemukan kekasihmu di meja kerja, di kantormu sepagi ini!!?
“Aku membawa handphone mu. Aku pikir kau sedang lembur dan kau tidak menghubungiku karena handphone mu tertinggal” jelasnya sambil tersenyum. Aku merasa senyumannya menyindirku, pertama karena ternyata aku memang tidak lembur, kedua kalaupun aku memang berniat tidak akan pulang, aku bisa menghubunginya dengan telepon kantor yang jelas-jelas ada bertengger di meja kerjaku itu.
“Oh iya… kemarin aku…” otakku cepat berpikir untuk membuat alasan. “ada pesta di tempat teman lama ku, dan kami semua ketiduran di sana” well, alasan yang lumayan kan?? “undangannya mendadak dan aku benar-benar tak sempat menghubungimu, gomen ne” aku mencoba tersenyum penuh penyesalan padanya. Walau sebenarnya aku heran, sejak kapan aku jadi pandai membuat alasan seperti ini? atau lebih tepatnya, berbohong seperti ini??? aku tidak tahu.
“Sou ka…” komentar Shiori, entah dia percaya atau tidaknya. Tapi aku tetap bersikap meyakinkan, demi menyelamatkan aku dan segala kebohongan itu.
“Yeah, dan kau tahu kalau Yoshida-san tak suka aku datang terlambat, jadi aku langsung kemari” kataku menambahkan, tapi itu tidak bohong. Aku memang datang pagi-pagi karena tak mau berurusan dengan bos ku.
Shiori mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah…” katanya sambil mendekatiku dan menyimpan sebuah kotak bekal di tanganku. “Aku membuatkanmu sarapan” dia tersenyum lalu mengecup pipi kananku lembut. “Seharusnya kau menyempatkan mandi” katanya pula sambil terus tersenyum menggodaku. Aku hanya balas tersenyum malu padanya. “Aku akan menunggumu pulang nanti sore” aku hanya mengangguk dan dia pun pergi dari sana. Aku merasa sedikit buruk. Aku membohonginya seperti ini padahal dia sudah mengkhawatirkanku dan memberikan perhatian yang terbaik untukku. Aku masih mencintainya, bukan?? Damn, kenapa aku harus mempertanyakannya!!?
Aku menghembuskan napasku, sambil menatap wajahku di cermin wastafel. Titik air yang tadi aku basuhkan ke mukaku, menetes perlahan di lekukan hidungku menuju ke bibirku dan akhirnya jatuh dari daguku. Apa yang sudah terjadi semalam? Aku pun baru bisa menyadarinya sekarang, aku tak mengerti dimana pikiranku saat itu, tapi aku tak mau menyesalinya…
Untuk pertama kalinya lagi setelah 9 tahun, bibirku menyentuh bibirnya. Aku dan Yamashita, kami berciuman lagi tentu saja dengan situasi yang sangat jauh berbeda. Bukan di tempat yang romantis, dengan laut dan cahaya bulan yang indah. Bukan dengan diri kami yang masih anak-anak belasan tahun yang hanya ingin memenuhi rasa kepenasaranan kami. Aku dan dia masih berada di salah satu tempat yang agak jauh dari dance floor di club ini. Suara musik yang berbaur dengan suara orang-orang terdengar sayup-sayup disana, cahaya yang remang-remang dan bau alkohol. Ciuman kami pun tak seperti dulu lagi, dan dia lebih mendominasiku sekarang. Panas, aku merasakan sekelilingku seperti membakarku. Atau ini justru dari dalam diriku sendiri?! Mungkin juga dari Yamashita.. karena aku merasakan tangannya menyentuh rambutku, aku lebih memiringkan kepalaku dan ciuman kami pun semakin dalam. Semuanya benar-benar terjadi begitu saja, aku tak ingat apapun, bahkan Shiori yang biasanya selalu aku berikan ciuman seperti ini. Aku berpikir kami sedang mabuk. Beberapa menit kemudian, kami saling melepaskan, terengah-engah berusaha mengatur napas. Dia tak seperti dulu lagi yang langsung terbatuk-batuk karena lama menahan napas. Aku jadi ingin tertawa kalau mengingat itu. Sekarang dia jelas sudah sangat berpengalaman. Aku melihat ke arahnya dan ternyata dia juga sedang menatapku. Aku ingin mengatakan sesuatu agar suasana tak menjadi aneh dan canggung, tapi dia lebih dulu bersuara.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat”
“Hah? Kemana??”
“Apartementku”
“Eh??”
***
Kami pun berakhir di apartementnya, aku jadi semakin berharap kalau dia sedang mabuk dan esoknya dia tak perlu mengingat ini. Kami berciuman lagi beberapa detik sebelum dia membawaku ke ranjangnya dan menjatuhkan tubuhnya disana hingga aku berada di atasnya. Aku menyimpan tanganku di kedua sisi di sebelah kepalanya, aku menatapnya, berusaha membaca pandangan matanya. Aku benar-benar berharap dia sedang mabuk. Dia tersenyum kecil tampak menyadari yang sedang aku lakukan, tangannya menyentuh rambutku lagi pelan.
“Ternyata memang tak bisa seperti saat aku berulang tahun dulu” katanya.
“Itu 9 tahun yang lalu Yamashita…kita sudah bukan anak berusia 15 tahun lagi” kataku. Dulu jiwa muda kami yang penuh rasa ingin tahu yang mengontrol dengan polosnya. Tapi sekarang, perasaan-perasaan aneh dan hasrat juga nafsu yang otomatis menguasai kami. Too much risk, dan aku tahu itu. Aku pikir Yamashita tak menyadarinya, dia mabuk.
“Kau benar…”dia menghela napasnya. Lalu tangannya turun dari rambutku, menyentuh kedua sisi wajahku. Tuhan~ aku benar-benar tak tahu apa yang sedang aku lakukan sekarang. Ini tak seperti saat aku sedang berduaan dengan Shiori, tapi aku merasa lebih nyaman. Aku merasa berada di tempat yang tepat, dengan dia berada di bawah tubuhku, menatapku lembut dengan tatapan yang sejak tadi belum berhasil aku artikan. Tangannya yang menyentuh wajahku pun, kenapa aku rasa lebih baik daripada sentuhan Shiori? Bukankah selama ini aku selalu merasa sentuhan wanita adalah yang paling luar biasa... tapi kenapa Yamashita??? I really wonder why~
“Na, Toma”
“Hmm?”
“Aku ingin tahu sejak itu. Apa kau pernah menyukaiku??”
Pertanyaannya seperti tembakan tiba-tiba di dadaku. Aku jadi berdebar-debar dan aku takut Yamashita merasakannya karena tubuh kami berdekatan seperti ini. “Aku pikir, kenapa waktu itu kau tiba-tiba menciumku… kalau kau memang tidak menyukaiku”
“Ah, aku…” aku memang menyukainya! Siapa yang tidak?! Hanya saja aku masih tak bisa mengartikan kemana arah suka itu. Apalagi waktu itu aku hanya anak berusia 15 tahun yang penasaran. Dan sekarang… aku masih tak tahu apa yang menguasaiku hingga aku tak keberatan kami jadi seperti ini. Dia memang tampan sekali sekarang, siapapun akan menyukainya. Tapi bukan berarti aku juga harus jadi menyukainya lalu melepaskan Shiori kan??? Tidak mungkin! Apa yang kupikirkan!!! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, membuang pikiran aneh itu jauh-jauh. Aku dan Yamashita hanya berteman, dan kalau kami pernah berbagi ciuman pertama itu bukan berarti hal besar, aku yakin banyak juga orang yang melakukan ciuman pertama dengan temannya sendiri. Sedangkan sekarang…apa yang kami lakukan sejak di club tadi sampai detik ini hanya karena alkohol. Alkohol selalu bisa membuat siapapun menjadi liar, termasuk Yamashita dan mungkin aku, walau aku tahu aku tak mabuk.
“Toma??” tangan Yamashita menyentuh pipiku. Membuat cerita di pikiranku buyar. “Kau belum menjawabku”
“Kau ingin aku menjawab apa?”
“Hah? Aku tak suka kau balik bertanya” dia tertawa kecil.
“Jadi??”
Dia terdiam menatapku. Aku melihat tatapan yang agak berbeda sekarang. Dia tampak ingin meyakinkan sesuatu.
“Aku pikir, aku menyukaimu…” katanya pelan dan membuat dadaku yang tadi telah agak tak berdebar, jadi menggila lagi. Dia tersenyum. Aku tak tahu harus berkata apa. Seperti bisa membaca pikiranku, dia tiba-tiba melingkarkan lengannya di leherku dan memelukku. Membuatku lebih merendahkan tubuhku dan wajahku terbenam diantara lekukan bahu dan lehernya. “Dadamu berdebar” bisiknya pula. Tentu saja dia bisa merasakan debaran dadaku dengan jelas karena tubuh kami merapat seperti ini. Aku hanya bergumam mengiyakan. Aku benar-benar terhanyut walau aku masih berpikir dia mabuk dan dia akan melupakan ini besok. Itu lebih baik. Dia membelai rambutku tanpa sadar juga aku merasa makin mendesakkan wajahku di lehernya. Pelukan kami yang seharusnya biasa saja, jadi terasa berlebihan, karena suasana yang mempengaruhi kami. Bibirku otomatis menempel di kulit bagian yang sensitiv itu, aku mendengar dia mengeluarkan suara seperti mengeluh pelan. Aku tahu itu karena efek bibirku yang menempel di kulitnya. Siapapun akan bersuara seperti itu kalau merasakan geli yang nyaman. Dan suara itu membuatku kehilangan kendaliku. Aku biasa mendengar suara Shiori disaat kita sedang bermesraan dan itu selalu membuatku nyaris tak sadar. Saat ini pun… dengan Yamashita, bukan Shiori…aku merasakan hal yang sama, atau bahkan lebih??
Yamashita tampak lebih memiringkan wajahnya ke samping, membuatku mendapatkan ruang yang lebih luas untuk menjelajahi lehernya. Aku pun menggerakkan bibirku disana, sesuai dengan keinginan nafsuku. Mungkin juga nafsu Yamashita, tangannya terus mengacak-acak rambutku. Ini seharusnya tak dibiarkan!
Aku menghentikan semuanya dengan tiba-tiba ketika tanganku mulai berhasil membuka kancing kemeja Yamashita satu-persatu dan menemukan kulitnya di bawah jari-jariku. We’re really going too far.. ini tak akan selamat kalau aku tak menghentikannya sekarang.
Yamashita memandangku heran. Aku hanya cepat melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari ranjangnya. Dia bangun dan duduk di sana memperhatikanku yang mencari-cari jasku.
“Kau mau pulang?” tanyanya. Aku mengangguk saja setelah menemukan jasku yang ternyata tergeletak di dekat pintu kamar. Aku tak ingat kenapa itu bisa terlempar kesana. “Tapi ini sudah malam sekali” katanya lagi sambil melihat ke jam yang ada di meja dekat ranjangnya. Aku melihat jam tanganku juga, memang sudah larut, pukul setengah sebelas.
“Kenapa kau tidak menginap saja?” tawarnya.
Aku melihat padanya setelah memakai jas ku. Ekspresi nya benar-benar biasa saja, dia tak mempermasalahkan yang mungkin akan terjadi pada kami tadi. Mataku menemukan tubuhnya yang dibalut kemeja dengan kancing yang seluruhnya terbuka gara-gara tadi aku tak bisa menahan diriku. Tubuhnya sempurna untuk seorang pria, tubuh dengan bentuk muscle yang selalu diinginkan semua pria di dunia. Tak terkecuali aku.
“Tidurlah disini. Aku akan tidur di sofa” katanya tiba-tiba, membuatku mengalihkan pandanganku dari tubuhnya. Aku terlalu mengeceknya tadi, dan mungkin dia menyadarinya.
“Ah, it’s okay. Aku yang akan tidur di sofa!” kataku cepat sambil menahan Yamashita yang sudah akan keluar dari kamarnya.
“Kita tidur berdua disini” katanya sambil tersenyum lalu menutup pintu kamarnya, menguncinya dan membawaku kembali ke ranjangnya. Aku tak bisa protes lagi. Yamashita melepas semua kemejanya, lalu menarik selimut dan mengambil posisi membelakangiku.
“Oyasumi!” katanya agak berteriak tanpa melihat ke arahku. Aku masih terdiam di pinggir ranjang saat membalas ‘oyasumi’ nya dengan pelan. Oke, ini tidak akan apa-apa, gumamku dalam hati. Dan malam itu kami pun tidur bersama, hingga ketika terbangun aku menemukannya ada di dekatku, memelukku, menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku pergi dari sana dengan diam-diam tak mau membangunkannya, untuk kesekian kalinya aku berharap, dia tak mengingat semua itu setelah bangun nanti. That’s better.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar