Chapter 3
Hari ini ulang tahun Yamashita yang ke-15. Setelah tadi sore merayakan dengan ibu dan adik perempuannya, sekarang aku dan dia berada di balkon kamarnya, melihat ke langit yang tampak indah dengan bintang-bintang.
“Ah, aku mau ke laut!” gerutu Yamashita. Dia melihat ke kejauhan seperti dia bisa laut dari sana. Kami memang merencanakan kesana, tapi ibunya melarang karena ini sudah malam, dan laut cukup jauh dari tempat kita tinggal.
“Kita bisa kesana besok, sepulang sekolah” kataku meyakinkannya.
“Ulang tahunku hari ini…” Yamashita menggerutu lagi, tapi kali ini lebih pelan.
“Kau ini…” aku kehabisan kata-kata untuk mendebat dia yang keras kepala. Dan tiba-tiba saja pikiran tak baik melintas di kepalaku. “Bagaimana kalau kita mengendap-endap keluar?”
“Ide bagus!” Yamashita langsung setuju, sepertinya dari tadi dia memang menungguku mencetuskan ide ini. Dan aku tak ada pilihan lain.
“Yosh” kataku sambil pergi lebih dulu dari sana, Yamashita mengikutiku. Di lantai bawah ibu dan adiknya sedang menonton televisi. Kita harus melewati mereka dulu sebelum menuju ke pintu depan.
“Tomohisa? Toma-kun?” Ups, ketahuan! Kami pun bersikap biasa dan tak mencurigakan. “Kalian mau kemana?” tanya Naomi-san lagi.
“Ano...” aku berusaha membuat alasan yang entah macam apa.
“Toma harus pulang, jadi aku mengantarnya” Yamashita menyelamatkanku. Yah, lumayan untuk sebuah alasan.
“Are? Bukankah Toma-kun akan menginap disini?” ah, aku lupa!
“Ano, tidak jadi…” kataku sambil tersenyum berusaha meyakinkannya.
“Eh? Kenapa??”
“Pokoknya dia harus cepat pulang. Ikou Toma!” kata Yamashita dan menarik tanganku. Aku membungkukkan badanku dan mengucapkan terima kasih juga meminta maaf berkali-kali. Yamashita ceroboh! Naomi-san bisa curiga kalau seperti ini…
Tapi berkat ketidaksabaran Yamashita, kami pun sampai di laut. Pukul 8 malam, yang sebenarnya cukup rawan untuk anak-anak berusia 14 tahun seperti kami.
“YAY!!!” Yamashita berteriak dan merentangkan tangannya menuju laut, angin laut menerpa wajah, rambut dan pakaiannya. Dia tampak senang sekali. Aku baru melihat ekspresi seperti ini dari seorang Yamashita Tomohisa yang sudah aku kenal dari setahun yang lalu. Dia ini anak yang terlalu pendiam untuk seumurannya.
“Sudah puas?” kataku sambil menghampirinya, sekarang kita duduk di pasir menatap ke laut yang airnya tampak indah karena pantulan bulan dan bintang di langit. Malam ini memang tidak terlalu gelap, semuanya terasa romantis. Aku mungkin memang masih sangat muda, tapi aku mengerti tentang romantis. Teman-temanku sering membahas hal itu. Beberapa diantaranya sudah banyak yang berpacaran dan… berciuman. Ngomong-ngomong soal itu… aku menolehkan wajahku pada Yamashita. Pikiran-pikiran aneh yang seharusnya tak aku pikirkan, menyergapku begitu saja. Berciuman itu seperti apa rasanya? Dan bibir Yamashita… mataku menatap bibir yang berwarna pink dan tampak menggoda itu. Ok, memang tidak terlihat begitu jelas, tapi aku hapal seperti apa bibir Yamashita. Mungkin aku memang teman yang aneh, aku mengamatinya kalau kita sedang bersama seperti ini. Entah sejak kapan…
“Romantis, ne?” gumam Yamashita tiba-tiba, membuatku berhenti memikirkan hal-hal yang tak penting tadi. “Tempat yang cocok untuk berciuman” tambahnya sambil melirik ke arahku, dan tersenyum menggemaskan. Yabai~
“Sou da” kataku, dan sebelum aku sendiri menyadari apa yang aku lakukan, aku telah menempelkan bibirku pada bibirnya. Shock. Dia memandangku terkejut, dan aku menjauhkan wajahku sedikit, aku pun terkejut sepertinya. Tapi otakku kembali memerintah sebelum suasananya jadi berubah, kali ini aku memejamkan mataku, memiringkan sedikit kepalaku. Aku tahu teknik ini dari cerita teman-temanku, mereka bilang agar hidung kami tidak bertabrakan. Maka bibirku mengenai bibirnya sekali lagi. Dia tak bergerak sedikitpun, aku merasa lega dalam hati. Perlahan, aku menekankan bibirku pada bibirnya, memijatnya lembut, membuat hidung kami bergesekan. Ini membuat kami saling bertukar udara yang kami hirup. Setelah merasa cukup, aku membuka sedikit bibirku, melumat bibirnya dan aku mendengar suara dari bibirnya itu. Aku membuka mataku sedikit, ternyata dia juga sudah terpejam sepertiku tadi. Suara itu kembali terdengar, pipinya memerah… dia sangat manis sekali…Aku kembali memejamkan mataku, menikmati ciuman pertama ku ini. Manis. Dan terasa sangat nyaman dengan suasana yang seperti ini. Aku jadi sadar kenapa aku tiba-tiba seberani ini, suasana romantis memang bisa menyebabkan siapapun jadi tak berpikir dengan biasa, itu kata temanku yang sudah berpengalaman. Terbawa suasana, mungkin tepatnya seperti itu. Sepertinya Yamashita pun begitu, dia tak keberatan sejak awal aku menciumnya tadi. Jiwa muda kami yang masih sangat haus dengan pengalaman-pengalaman baru lah yang mengontrol pikiran kami disini. Aku merasakan sebuah tangan menyentuh pipiku pelan, aku yakin itu tangan Yamashita. Jari-jarinya menelusuri kulit pipiku lembut. Ya Tuhan~ apakah ini tidak apa-apa??? Damn, aku sebenarnya tak mau menanyakan itu!
“Toma… Toma…” suara aneh memanggilku, itu jelas-jelas bukan suara Yamashita. Dan sentuhan lembut di pipiku tadi jadi terasa menekan-nekan pipiku, mempermainkannya. Aku membuka mataku, tak ada Yamashita… apalagi laut dan suasana romantis. Aku sedang di kantor, tertidur dengan kepala di atas meja kerjaku dan orang yang dari tadi asik memanggil namaku sambil menekan-nekan pipiku… itu Akiyama!
“Akiyama?!” kataku sambil menyingkirkan tangannya dari pipiku. Dia tertawa dengan puasnya.
“Kau pasti mimpi jorok, iya kan?? Hah??!” dia dengan enaknya meledekku. Sial, sepertinya tadi aku melakukan hal aneh saat tertidur… ah, iya kenangan masa lalu tadi ternyata hanya muncul lagi dalam mimpiku. Ciuman pertamaku dengan Yamashita. Tiba-tiba kembali membuatku teringat gara-gara pertemuan kami kemarin dan karena bayangan yang mendadak muncul saat aku sedang bermesraan dengan Shiori.
“Ini Yamashita-san…” kata Akiyama lagi setelah dia puas menertawakan dan meledekku. Dia menyerahkan telepon yang dari tadi dipegangnya. “Dia menunggumu di line 2. Aku menyuruhnya menunggu karena membangunkanmu seperti berusaha membangunkan mayat” tambahnya sambil tertawa lagi. Aku hanya mendecakkan lidahku, menatap kesal padanya yang masih tertawa-tawa sambil pergi dari tempatku.
Aku menarik napasku, mengembalikan kesadaranku sepenuhnya, melihat sebentar pada telepon yang kupegang sebelum menekan tombol dan menyambungkannya dengan orang yang menungguku disana. Yamashita. Aku baru saja mengingatnya di mimpiku saat ulang tahunnya yang ke-15 itu, di laut yang romantis…
“Hai?” aku menyapanya.
“A~ Toma…” panggilan yang biasa aku dengar itu.
“Ada apa? Kenapa kau tidak menghubungi ke handphone ku saja?” tanyaku sambil mencari-cari handphoneku di atas meja dan di laci, tapi aku tak menemukannya.
“Aku sudah menghubungi handphone mu berkali-kali, tapi aku pikir kau lupa membawanya”
“Kau benar, aku memang lupa membawanya…” kataku akhirnya setelah tak menemukan handphoneku dimana-mana dan baru ingat kalau tadi pagi aku menyimpannya di meja makan setelah mendapat telepon dari bos ku. Aku pasti lupa membawanya. Yamashita tertawa kecil disana.
“Ne, bisa bertemu denganku malam ini?” tanyanya.
“Dimana? Apa kau tidak sibuk?”
“Tidak. Aku sudah selesai dengan pekerjaanku sore ini. Seharusnya aku dengan manajerku nanti malam, tapi dia ada urusan, jadi aku akan sendirian”
“Sou ka. Dimana?” tanyaku lagi.
“Hmm, bagaimana kalau kita sambil sedikit minum-minum?”
“Kau yakin? Kita akan membahas soal keuanganmu bukan?” entah kenapa aku harus mendebatnya. Padahal itu bukan ide yang buruk. Berkonsultasi tentang keuangan jaman sekarang tak harus dengan pertemuan yang formal.
“Kita bisa lebih santai dalam membahasnya” jawab Yamashita yang langsung aku benarkan dalam hati.
“Ok, baiklah” aku pun setuju. Hal yang seharusnya aku lakukan dari tadi. Aku mungkin merasa gugup karena membayangkan akan pergi minum dengannya…dan kenapa aku harus gugup!?? Setelah Yamashita menyebutkan tempat dan waktu yang tepat, kami menyudahi pembicaraan. Aku berharap semuanya akan baik-baik saja… yah, dan kenapa semuanya harus tidak baik??!! Ayolah Ikuta Toma~ kau mulai berpikir hal-hal yang tak jelas…aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mencoba menepis entah pikiran apa yang menghinggapiku. Aku mengakui kalau aku merasa takut pada diriku sendiri.
***
Yang aku ingat lagi setelah aku berciuman dengan Yamashita waktu itu, aku mulai kekurangan udara yang masuk ke paru-paru ku. Aku pikir Yamashita lebih banyak mengambil udara yang seharusnya menjadi bagianku. Tapi saat aku melepaskan ciumanku, dia pun melepasnya dengan segera dan kami terengah-engah bersama. Dia juga kekurangan udara sepertiku rupanya. Mungkin tadi kami sama-sama tak peduli untuk menghirupnya, lupa, tepatnya seperti itu. Kami terlalu terlarut dengan keadaan yang membuat bibir kami saling bersentuhan seperti itu. Semuanya memang terasa menghilang sesaat tadi, kami seperti berada di dunia lain.
“Aku tidak bisa bernapas” kata Yamashita sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangannya, tapi aku tetap bisa melihat bagaimana pipinya memerah seperti saat aku melihatnya di tengah-tengah sesi kami tadi. Dia mencoba mengatur napasnya sepertiku.
“Yeah bernapaslah, baka..” kataku.
“Kau juga…” dia membalikkan ucapanku, karena aku juga memang tidak lebih baik. Aku terengah-engah sepertinya. Kami saling melihat sesaat, lalu tersenyum dan dia lebih dulu memalingkan mukanya. Aku tahu kenapa, karena pipinya semakin memerah yang aku yakin menimbulkan sedikit panas di wajahnya. Dia pasti takut aku melihatnya, padahal aku sudah melihatnya. Tak ada yang bicara lagi diantara kami setelah itu, sibuk dengan pikiran masing-masing, berusaha mengulang kembali dalam ingatan apa yang sudah kami lakukan. Dan berusaha meyakinkan diri sendiri kalau ini tidak apa-apa. Mendapat ciuman pertama dari temanmu sendiri, itu tidak apa-apa, sangat tidak apa-apa…
“Uhuk.. uhuk..” tiba-tiba suara batuk Yamashita memecahkan keheningan kami yang nyaris tercipta selama satu menit. Ya Tuhan~ dia batuk-batuk… lucu sekali!
“Da-daijobu ka?” tanyaku, memberanikan diri. Bagaimanapun, kalau terjadi apa-apa padanya, itu bisa jadi salahku karena aku yang mulai menciumnya.
“Daijobu.. daijobu” katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya meyakinkanku, lalu berdiri dari duduknya.
“Sebaiknya kita pulang” aku cepat berkata dan ikut berdiri. Dia mengangguk lagi, aku tiba-tiba memegang tangannya. Huh, aku merasa seperti seorang laki-laki yang keren saat itu. “Happy birthday, Yamashita” kataku lagi dan tersenyum. Dia membalas senyumanku.
“Arigato” katanya. Kami pun berjalan pulang, dengan aku yang masih memegang tangannya, meninggalkan laut romantis yang telah menjadi saksi dari ciuman pertamaku.
***
Aku tiba di tempat yang sudah kami janjikan, tapi aku datang lebih awal beberapa menit. Aku menunggunya ditemani dengan segelas bir yang baru aku pesan. Tempat ini cukup ramai, tapi aku memilih tempat duduk yang agak jauh dengan dance floor. Aku tak begitu suka keramaian disana. Beberapa menit kemudian, aku melihat Yamashita datang, sendiri, seperti yang dia bilang. Dia tidak kesulitajn mencariku padahal aku tahu dia tak bisa menghubungiku karena aku masih meninggalkan handphoneku di apartement.
“Ah, aku sudah menduganya kau pasti disini” kata Yamashita setelah menghampiriku dan duduk di dekatku.
“O yea? Kenapa?”
“Kau tidak suka keramaian” dia tersenyum bangga karena bisa menebak pikiranku, tidak.. kebiasaanku. Yah dia masih ingat dengan kebiasaanku, hal yang tak aku suka dan sebagainya. “aku menghubungi handphone mu, dan kau belum mengambilnya”
“Yeah, aku langsung kemari setelah dari kantor”
“Ada perempuan yang menjawab handphone mu”
“Oh itu…” aku baru akan menyebutkan nama Shiori dan menjelaskan kalau dia adalah calon istriku, tapi tiba-tiba saja aku menahannya.
“Hm? Kau meninggalkan handphone mu dimana?” Yamashita memandangku penasaran.
“Di.. dirumah bibiku” jawaban yang sangat bagus!! Kenapa aku harus berbohong???!!!!
“Sou ka... jadi dia sepertinya sepupumu” gumam Yamashita. Aku mencoba menutupi kegugupanku. Sudah terlanjur berbohong, aku tidak mungkin menarik ucapanku lagi.
“Mungkin” aku balas menggumam.
“Shiori Koizumi??”
Aku melihat padanya cepat, terkejut. Dia balas melihat padaku dengan pandangan bertanya yang biasa, aku rasa dia tak menyadari ekspresi terkejutku. Jadi aku cepat memudarkan ekspresiku dan bersikap biasa juga.
“Ou” jawabku pendek, tak mau memperpanjang.
“Aku menanyakan namanya tadi, untuk memastikan kalau handphone mu memang berada di tempat yang aman” kata Yamashita lagi, tersenyum. Dia lebih banyak tersenyum dengan leluasa kali ini, tidak seperti saat pertama kali kami bertemu beberapa hari yang lalu. Aku segera mengalihkan pembicaraan dan langsung membahas tentang apa yang ingin dia konsultasikan, aku tak mau membahas Shiori. Aku tak mengerti kenapa aku harus menutupinya.
“Aku sering ke tempat ini. apalagi untuk merayakan sesuatu dengan teman-temanku. Apa menurutmu aku terlalu boros?” tanyanya setelah beberapa lama kami mengobrol banyak hal.
“Cukup. Asal kau tidak setiap malam pergi ke tempat ini”
“Seminggu 2 kali” katanya sambil tersenyum. Aku mengangkat bahuku.
“Masih dalam batas wajar” komentarku pula. Aku tahu dunia yang dijalani Yamashita sekarang memang tak akan bisa lepas dengan hal seperti ini.
“Kau tidak pernah?” tanyanya, jadi menanyaiku. Aku menggelengkan kepalaku.
“Kau tahu sendiri aku tidak suka…” jawabku dan agak tertawa.
“Uhmm, hidupmu terdengar membosankan” komentarnya.
“Eh?? Sama sekali tidak!” aku cepat menyangkalnya. Dia tertawa karena berhasil membuatku memprotes. “Hidupku cukup menyenangkan dan… sempurna” tambahku, sambil mengingat hidup yang ku jalani setelah aku menjadi bagian di konsultan keuangan, berpacaran dengan Shiori dan memilikinya beberapa bulan terakhir ini di apartementku. Aku mengingat Shiori lagi, padahal tadi tak mau membahasnya.
“Majikayo? Sesempurna apa?” Yamashita tampak penasaran dengan perkataanku. Dia meminum birnya lalu melihat padaku, seperti menungguku bercerita.
“Tapi aku tahu tak akan sesempurna kehidupan seorang model” tambahku tak segera menjawab pertanyaannya. Aku hanya mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku tak siap bercerita padanya tentang calon istriku dan wanita yang sekarang sudah tinggal denganku. Jangan tanya kenapa.
“Hidupku sama sekali tak sempurna. Walau bekerja seperti ini memang menyenangkan, tapi kadang aku tak menyukainya” ceritanya tiba-tiba.
“Ha? Nande?” aku jadi tertarik, tak menyangka dia merasa seperti itu.
“Karena memang tak ada apapun yang sempurna di dunia ini” katanya, tersenyum lagi. Dia memberikan jawaban yang terlalu umum dan yang semua orang pun sudah tahu itu. Aku balas tersenyum, tampaknya dia ingin menyadarkanku kalau perkataanku tadi tentang hidupku yang sempurna itu sama sekali tidak mungkin.
“Ah, aku tiba-tiba ingat laut yang biasa kita datangi dulu” katanya tiba-tiba. Tidak! Dia membawa bahasan ke arah yang sebenarnya sangat aku hindari saat ini.
“Uhm, laut itu…” aku benar-benar tak mau memperpanjangnya. Mungkin Yamashita sudah lupa jadi dia bisa dengan tenang mengangkat topik ini.
“Saat dulu aku ulang tahun…” aku melihat padanya cepat, memandangnya horor. Dia tidak lupa!! “Kau ingat??” dia balas melihat padaku. Aku merasa leherku menegang, aku ingin mengangguk tapi…
“Kau lupa??”
“Aku ingat!” jawabku cepat, tak sadar suaraku telah sedikit berteriak. Yamashita tersenyum lagi untuk kesekian kali.
“Lucu sekali kalau mengingatnya”
“Hahahaha~” aku tertawa menutupi gugupku. Tawa yang sangat tidak perlu.
“Aku tak pernah merasakan ciuman seperti itu lagi setelah aku dekat dengan banyak perempuan hingga sekarang…”katanya agak pelan, tapi terdengar jelas di telingaku. Oh My~~
Aku tak bisa berkomentar apapun dan hanya terus melihat padanya, mencari tahu apa maksud perkataannya dari tatapan matanya. Aku tak menemukan apapun. Aku tak bisa berkonsentrasi. Dia masih tersenyum, dan meminum birnya tanpa melepaskan matanya dari mataku. Aku merasa kita sudah saling menatap sejak beberapa abad yang lalu,lama sekali walau sebenarnya mungkin baru beberapa detik.
“Bagaimana denganmu?” dia bertanya masih dengan mata kami yang saling menatap.
“Aku?” ulangku dan mengedipkan mataku sekali. Dia mengangguk. Tidak mungkin aku bilang padanya, aku sangat menikmati mencium Shiori selama dua tahun ini sampai aku bisa melakukan hal yang lebih dengannya dan setuju kalau dia akan menjadi pendampingku. “Aku…” aku tak tahu harus berkata apa. Akhirnya aku mengalihkan tatapanku, memutuskan sesi menatap kami yang entah sampai kapan dan akan terjadi apa, jika tak ada yang mengalah. Aku menyimpan gelas bir ku yang sudah setengah kosong di atas meja. “Aku…”
“Tunjukkan padaku sekali lagi”
“Hah???!” jawaban yang sudah aku siapkan tadi seketika buyar entah kemana. Apa yang dia minta tadi???
“Tunjukkan lagi padaku, saat aku ulang tahun itu…” Yamashita mengulangnya. Dia melihat padaku tenang. Aku memandangnya tak percaya. Ada apa dengannya?? Aku mulai merasa ini ada yang tak beres.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar