Selasa, 18 Agustus 2009

WONDER- Chapter 7 (TomaPi)

Chapter 7

Tiba juga hari pernikahanku, dan sebelumnya aku sama sekali tidak menghubungi Yamashita. Aku tidak bertemu dengannya lagi, mungkin hari ini aku baru akan melihatnya lagi kalau dia memang datang.
Masalah antara aku dan Shiori benar-benar hanya kami yang tahu. Kami jadi seolah-olah berakting di depan orang tua dan orang-orang terdekat kami. Tak ada yang tahu kalau beberapa hari sebelumnya kami sempat melakukan perang dingin. Dia tak mau bicara padaku, tapi setelah semakin dekat dengan pernikahan kami, dia mulai bersikap biasa, walau aku tak merasa seperti dulu. Mungkin karena aku pun tak begitu merasakan yang dulu aku rasakan, aku malah nyaris kehilangan semuanya. Aku hanya memikirkan duniaku dan Yamashita saat ini. Kenapa??? Aku sungguh heran dengan diriku sendiri. Rasaku pada Yamashita melebihi rasa yang pernah aku rasakan pada Shiori dulu.
Aku sudah berdiri di depan altar, menunggu kedatangan mempelai wanita dengan pendeta yang akan memberkati kami disana. Aku melihat sekilas ke arah para undangan, ada Yamashita disana. Dia tampak tampan dengan tuxedo nya. Dan mataku pun melihat Shiori yang datang di dampingi ayahnya. Dia sangat cantik. Benar-benar cantik! Wanita yang sejak 2 tahun lalu sudah aku yakini akan berakhir seperti ini bersamaku. Seharusnya aku sangat bahagia dengan semua ini, tapi kenapa aku malah semakin bingung. Aku ingin memutuskan hal yang memang tepat untukku.

Shiori sudah berdiri disampingku, aku memegang tangannya dan pendeta pun mulai bertanya apa aku bersedia menjadi suami Shiori, bersamanya hingga ajal yang memisahkan kami. Aku mendadak terdiam. Suasana pun seperti menanti jawabanku, jawaban yang sudah pasti dan semua orang sudah tahu dengan jawaban yang harus aku katakan. Tapi aku masih terdiam, memandang lurus ke pendeta itu dengan pikiran yang melayang-layang kesana-kemari. Aku merasakan Shiori menoleh ke arahku karena aku tak kunjung bersuara. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Apa aku yakin dengan semua ini? apa aku benar-benar menginginkan ini? apa aku akan bahagia dengan ini? apa aku akan membuat Shiori bahagia??? Pertanyaan terakhir itu membuatku serba salah. Aku tak yakin bisa membuat Shiori bahagia nanti. Bagaimana mungkin aku bisa membahagiakan seseorang yang sebenarnya bukan orang yang aku inginkan!? Aku hanya akan membuatnya sakit nanti. Aku harus memutuskan sekarang, siapa yang akan aku tinggalkan. Shiori yang sudah 2 tahun menemaniku dan aku cintai, atau Yamashita yang hanya seorang teman yang menjadi ciuman pertama ku tapi membuatku nyaman???? Aku menengokan kepalaku ke semua undangan, melihat mereka yang tampak keheranan dengan sikapku yang menggantung dan tidak segera menjawab, mereka jelas tidak tahu apa yang sedang berperang di pikiranku. Aku melihat pada orang tua ku, orang tua Shiori…dan Shiori. Aku melihat matanya tampak sedih dan ketakutan di balik kelambu yang menutupi wajahnya. Dia pasti takut aku memutuskan sesuatu, dan aku memang sudah memutuskan sesuatu yang harus mereka tanggung saat ini, tapi aku jamin di masa yang akan datang tak akan menyulitkan mereka, juga yang paling penting tak akan menyakiti Shiori.
“Sumimasen deshita” aku membungkukkan tubuhku sedalam-dalamnya pada Shiori. Para undangan pun terkejut, dan pelan aku mendengar isakan tangis Shiori.
“Ikuta-san, anda…” pendeta itu meminta penjelasanku. Aku melihat padanya dengan yakin.
“Aku membatalkan pernikahannya. Sumimasen” aku membungkukkan badanku sekali lagi. Pendeta itu tampak shock, begitu juga dengan orang tua kami. Aku membungkukkan badanku lagi berkali-kali pada semuanya, sebelum akhirnya aku beranjak dari sana meninggalkan Shiori yang masih menangis disana. Orang tua ku tak bisa mencegahku, semuanya menatapku tak percaya saat aku berjalan melewati mereka menuju pintu keluar. Aku melihat pada Yamashita yang tak kalah shock dengan yang lainnya. Dia berdiri dan menatapku tak percaya. Aku hanya tersenyum kecil, lalu menghilang di luar.
Aku menuju jalan dan berjalan entah kemana, masih dengan pakaian pernikahanku, seorang mempelai pria yang pergi dari pernikahannya meninggalkan wanita yang sudah siap menjadi istrinya. Aku benar-benar telah melakukan suatu hal yang luar biasa bukan? Seperti di dorama-dorama...

“TOMA!” suara seseorang yang memanggilku membuatku berhenti dan menoleh. Yamashita. Dia ternyata mengejarku. “BAKA! apa yang kau lakukan!!?” tanyanya tak sabar. Dia pasti sangat tak menyangka, aku sendiri pun tak menyangkanya.
“Aku mengambil keputusan untuk hidupku, Yamashita”
“Tapi kenapa kau memutuskan hal sebodoh ini!?”
“Untuk kita”
Yamashita memandangku shock untuk kedua kalinya.
“Apa kau bilang?!!”
Aku tersenyum, “Aku tak tahu. Aku pun heran dengan semua ini, tapi aku tahu keputusanku ini untuk kita”
“Kau… bukankah kau sangat mencintainya, huh!!?”
“Yea, sebelum kau datang ke kehidupanku lagi” aku sadar dengan jawabanku sendiri. Aku memang sudah merubah perasaanku terhadap Shiori sejak Yamashita datang.
Yamashita terpaku mendengar jawabanku. Dia mungkin berpikir, betapa gilanya aku. Aku sudah mempertaruhkan semuanya. Aku benar-benar melakukan hal yang aku pikir aku tak akan mampu melakukannya.
Dia mendekat dan memelukku dengan tiba-tiba. Aku membalas pelukannya. Tak ada yang perlu di bahas lagi. Kami sudah tahu kemana arah penyelesaian semua ini.
Orang-orang yang lewat memandang kami heran. Seorang pria dengan pakaian pengantin lengkap dan seorang pria dengan tuxedo berpelukan di pinggir jalan, diantara orang-orang yang berlalu lalang. Aku tak mau tahu apa yang mereka pikirkan. Aku tak peduli. Karena aku sendiri pun masih heran dengan diriku sendiri. Yang aku tahu sekarang, duniaku dan dunia Yamashita akan terus ada.
***
~OWARI~

WONDER- Chapter 6 (TomaPi)

Chapter 6

Sudah sebulan berlalu, aku baru sadar kalau aku belum menyentuh Shiori lagi sama sekali. Tak ada lagi aku yang terlambat datang ke kantor, gara-gara aktivitas yang seharusnya tidak dilakukan di pagi hari. Itu memang bagus untukku, tapi mungkin aneh bagi Shiori. Setiap malam aku tidur cepat, dan bangun esoknya dengan cepat juga. Aku jadi sangat teratur, tapi aku dingin pada kekasihku sendiri. Aku baru berpikir kalau dia mungkin mencium perubahanku. Sedikitnya aku merasa takut, apalagi kalau sampai Yamashita dilibatkan. Huh, aku benar-benar berpikir sejauh itu, padahal siapa yang akan menyangka aku memiliki hubungan lain dengan temanku sekaligus klienku sendiri. Shiori tak akan securiga itu.
“Ini kan hari Minggu, kenapa kau tampak terburu-buru sekali?” tiba-tiba Shiori memelukku dari belakang, melingkarkan tangannya di depan perutku, dan menyandarkan wajahnya di punggungku.
“Aku tidak terburu-buru” kataku yang terus membersihkan daguku dari busa sabun pencukur.
“Oh ya? Tapi ini masih pagi dan kau sudah mandi…”
“Aku tidak boleh mandi pagi??” aku menolehkan wajahku ke arahnya yang mengintip dari balik bahuku.
“Bukan itu maksudku…” Shiori mempererat pelukannya di tubuhku. “kau seperti akan pergi” dia menunjukkan wajah cemberutnya yang biasanya kadang membuatku panik dan ingin segera membuatnya tidak cemberut lagi, meyakinkannya kalau tidak ada apa-apa. Tapi sekarang aku merasa biasa saja, aku pun heran, semua yang dilakukan Shiori mulai tak memberikan efek berarti untukku. Apa karena…Yamashita?
“Ah iya, sepertinya aku memang akan pergi” aku sudah berencana untuk menemui Yamashita hari ini di tempat pemotretannya, hanya untuk makan siang bersama.
“Kemana?” Shiori melepaskan pelukannya dan memandangku.
“Menemui klien” jawabku pendek, tanpa melihat ke arahnya. Aku membersihkan wajahku dengan air.
“Tapi kau tidak lupa, bukan?”
“Hah? Apa?” kali ini aku melihatnya, dan dia tampak tak percaya dengan reaksiku. Aku lupa??
“Apa…Hitomi -san belum menghubungimu?”
“Eh? Okachan?” aku mulai melihatnya dengan sungguh-sungguh, tampaknya ada yang serius karena dia menyebut-nyebut ibu ku. Shiori mengangguk.
“Kita harus ke Osaka hari ini karena keluargamu akan makan malam di rumah kami. Dan setahu ku mereka ingin mempercepat pernikahan kita…”
Aku terdiam beberapa detik mencoba mencerna penjelasan Shiori. Mempercepat pernikahan kita? Pernikahan ku dengan Shiori akan di percepat???
“Eh?? Maji desu ka?!!” aku hampir berseru kaget. Shiori mengangguk lagi kali ini sambil agak tertawa karena melihat reaksiku.
“Mengejutkan bukan? Sesuai yang kita inginkan~ aku benar-benar sudah tak sabar untuk menjadi istrimu~” katanya dan memelukku lagi, melingkarkan tangannya di pinggangku dan tersenyum senang. Dia tampak bahagia, dan seharusnya aku pun, karena ini yang selalu kita inginkan, menikah secepatnya… tapi entah kenapa sekarang aku tak merasakan itu. Aku bingung.
“Kenapa? Kau… terlihat tidak suka” kata Shiori tiba-tiba. Dia bisa melihat ekspresiku. Tapi aku cepat merubahnya, aku tersenyum lebar, dan memeluknya balik.
“Aku terlalu senang, sampai aku tak bisa berkata-kata” kataku, tentu saja bohong. Dia tertawa lagi dan makin erat memelukku, membenamkan wajahnya di dadaku. Sedangkan aku berpikir, bagaimana dengan Yamashita?
Hari itupun aku mendapat keputusan dari orang tua kami, bahwa pernikahan kami akan dilaksanakan pertengahan bulan depan. Aku terpana melihat kartu-kartu undangan yang sudah siap disebar, baju pengantin yang sudah di pesan dan tempat yang sudah di tentukan. Kenapa semuanya jadi seperti bertentangan dengan apa yang aku rasa sekarang?! Aku yang dulu sangat menantikan saat-saat seperti ini, sudah tidak lagi. Aku yang dulu sangat mencintai Shiori dan tak sabar untuk menjadikannya istriku, sekarang tidak lagi. Aku merasakan itu untuk orang lain. Aku menyadarinya, perasaanku sudah sangat berubah karena Yamashita. Walau aku tetap berusaha menyangkalnya, karena aku tak mungkin harus melepaskan yang sudah aku jalani selama ini bersama Shiori hanya demi Yamashita yang tiba-tiba datang lagi ke dalam hidupku. Aku tak mungkin memilih. Aku tak ingin menyakiti siapapun dan terlebih orang tua ku.
***
Aku sangat menyukai jemari Yamashita yang menelusuri kulit pipiku saat kami berciuman. Sangat lembut dan membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku tak ingin melepaskannya sedikitpun, aku mempererat pelukanku di pinggangnya dan memperdalam ciumanku, membuatnya hampir tak punya kesempatan untuk mengambil nafas, tapi rupanya dia memang sudah sangat ahli. Dia bisa membuat ciuman kami jadi lebih berirama, dan membuatku sangat nyaman, hingga tak ingin mengakhirinya. Tapi tiba-tiba Yamashita melepaskan dirinya dari ku, aku menatapnya penuh tanda tanya. Dia tak membalas tatapanku dan beranjak dari sofa itu tanpa mengatakan apapun. Dia mendekati lemari di dekat televisi, dan mengambil sesuatu dari sana. Sekilas aku melihatnya seperti mengenal benda itu, sebuah kartu berwarna keemasan…
Aku melihat padanya kaget, ketika dia menghampiriku lagi sambil membawa kartu itu. Yeah, tentu saja aku ingat kartu apa itu… itu kartu undangan pernikahanku!
“Itu…” aku tak bisa berkata-kata. Sudah hampir seminggu pemberitahuan tentang pernikahan ku dan Shiori yang dipercepat, dan undangan itu pun sudah disebar ke seluruh kolega dan teman-teman. Tadi pagi saja di kantor, Akiyama dan Yoshida-san langsung ramai menggodaiku, ketika aku memberikan undangan ini pada mereka. Tapi aku tak berani memberikan undangan ini pada Yamashita, bahkan sekedar memberitahunya saja pun aku tidak. Aku tak bisa mengatakannya. Aku seperti pengecut. Aku hanya menunggu kalau suatu hari dia akan mengetahuinya sendiri seperti kasus saat dulu aku menutupi Shiori. Aku pengecut. Aku bisa merasakannya kalau Yamashita pasti berpikir seperti itu.
“Kau akan menikah beberapa hari lagi” katanya.
“Aku baru akan mengatakannya padamu…”
“Tidak perlu bohong”
Aku memang berbohong. Dan aku pun heran dengan diriku sendiri. Aku jadi lebih suka berbohong akhir-akhir ini.
“Aku tak bisa mengatakannya padamu Yamashita” akhirnya aku mengakuinya.
“Kenapa?”
“Kau tak seharusnya bertanya kenapa” aku malah menyalahkan pertanyaannya.
“Kau tak mau menyakitiku?” dia seperti menangkap maksudku. Aku tak segera menjawab. Aku memejamkan mata ku dan menyandarkan tubuhku di sofa. Aku merasakan Yamashita duduk di sebelahku lagi.
“Kalau begitu jangan menikah dengannya”
Aku membuka mataku cepat dan melihat padanya. Dia memintaku untuk tidak menikah? aku tidak salah mendengar, bukan?
“Lalu? Aku akan menikah denganmu?” kataku, tanpa berpikir. Dia tertawa lucu, menganggapku bercanda. Memang perkataanku konyol, tapi aku tidak sedang bercanda.
“Baka” gumamnya masih agak tertawa, dia menghela nafasnya dan ikut menyandarkan tubuhnya ke sofa juga memandang ke langit-langit ruang tengahnya.
“Aku tidak bercanda” kataku akhirnya.
“Tapi itu konyol”
“Lalu? Kau ingin aku bagaimana??”
Yamashita terdiam. Ini memang rumit, kalau pun aku membatalkan pernikahanku dengan Shiori, lalu apa yang akan aku dapat? Aku tak mungkin pula bisa menikah dengan Yamashita, bahkan untuk memilikinya secara terang-terangan saja masih terdengar sangat tidak mungkin. Dan yang terpenting, aku tak mau menyusahkan orang tua ku. Hingga saat ini hanya itu yang membuatku tak bisa mengelak. Aku sebenarnya secara tak sadar sudah tak begitu memperdulikan perasaan Shiori. Mengherankan bukan? Aku bisa berubah sedrastis ini pada orang yang dulu sangat aku puja.
“Yeah, menikahlah” suara Yamashita membuatku terhenyak dari pikiranku.
Dia menoleh padaku dan tersenyum. “Rasanya tak akan ada yang berubah, walau kau sudah menikah atau tidak…ne?” katanya lagi.
“Benarkah?” aku malah bertanya. Aku juga berpikir seperti itu, tapi apa mungkin?!
Yamashita mengangguk yakin. Dia meraih wajahku dan mencium bibirku pelan, hanya sebentar. Kami saling menatap, tapi aku tak bisa mengatakan apapun.
“Nanti aku akan memberimu semangat” katanya.
“Hah? Aku bukan mau bertanding”
Yamashita tertawa lagi. Aku tahu dia tertawa dengan tulus tapi aku bisa melihat dia tak setenang ini. Di hati terdalamnya mungkin dia tak ingin menerima semua ini, sama seperti ku. Kami terjebak dalam dunia yang sudah kami bangun berdua. Tak ada yang mau keluar dari sini, walau kami tahu setiap waktu badai akan menghadang kami atau bahkan memisahkan kami. Kami hanya ingin merasakan kenyamanan yang tak kami temukan dimanapun. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah aku menikah nanti, aku akui aku takut kalau aku tidak bisa mendatangi dunia kami lagi. Dan aku jadi ingin tahu bagaimana kalau aku benar-benar mempertaruhkan Shiori dan orang tua ku untuk dunia yang aku dan Yamashita miliki ini!? Sayangnya aku tak merasa mampu senekat itu.
***
Aku terpaku ketika melihat Shiori ada disana, di samping mobilku yang parkir di halaman apartement Yamashita ini.
“Shiori? Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku hati-hati. Aku berharap tidak terjadi hal yang tak aku harapkan.
“Aku lupa memberitahu Yamashita-kun untuk datang ke pesta besok malam” katanya tanpa senyuman sedikitpun. Dia memandangku datar. Besok malam kami memang akan mengadakan pesta di apartement, pesta biasa sebelum kami menikah, menikmati masa lajang yang akan berakhir. Dan aku sama sekali tidak memberitahu Yamashita, karena aku sudah memutuskan untuk menyembunyikan pernikahanku darinya.
“Ah, kau yang mengantarkan undangan padanya?” tanyaku. Aku jadi mengerti kenapa undangan itu bisa ada di tangan Yamashita tadi.
“Un” jawab Shiori sambil menganggukkan kepalanya. “Kenapa kau tidak memberitahunya, Toma?”
“Eh?”
“Pernikahan kita, kau tak mau dia tahu, kenapa?”
Aku mengerutkan keningku, ada apa dengannya tiba-tiba bertanya seperti ini dan kenapa dia bisa membaca semua itu??
“Tidak, aku baru akan memberitahunya tadi. Dan ternyata dia sudah memegang undangan yang kau beri” aku menyangkal, berbohong seperti biasa. Shiori masih melihatku dengan tatapan datarnya. Mau tak mau perasaanku jadi tak enak. Pasti sudah terjadi sesuatu.
“Ada apa Shiori-chan?” aku mendekatinya, tiba-tiba aku merasa harus memanggilnya seperti itu.
“Aku melihatnya Toma” suara Shiori yang sedatar tatapannya, jujur saja membuat perasaanku makin tak enak.
“A-apa yang kau lihat?” tanyaku hati-hati.
“Kau dan Yamashita-kun…”
Seketika aku pun sadar. Aku menatapnya dan kali ini matanya mulai menunjukkan sebuah emosi. Dia kesal sekaligus tak percaya.
“Aku dan Yamashita??”
“Sudahlah, jangan berpura-pura lagi!!” teriaknya tiba-tiba dan aku melihat air mata turun dari matanya. Dia melihat aku dan Yamashita… mungkinkah… itu???
Aku diam, tak bisa menyangkal kalau memang dia melihatnya sendiri, kebohonganku akan percuma.
“Aku benar-benar tak pernah terpikir…” katanya di sela isak tangisnya.
“Gomen” aku mengatakan maaf, yang aku pikir sama sekali tak ada gunanya.
“Kita tak mungkin membatalkan pernikahannya bukan?” katanya, menatapku tajam.
“Tentu saja tidak. Aku… ingin menikah denganmu” kataku, tak bisa mengatakan hal lain yang akan membuatnya tenang.
“Kau masih mencintaiku?” dia menanyakan pertanyaan yang aku sendiri pun masih ragu dengan jawabannya. Aku memilih mengangguk dan memeluknya. Aku merasa sedang berakting sekarang. “Lalu kenapa kau melakukan ini padaku??!” dia memukul bahu ku, tidak sakit karena pukulannya selemah itu. Aku tak menjawabnya. Dia melepaskan diri dari pelukanku lalu memandangku dengan matanya yang sudah sembab. Menatapku beberapa saat seperti mencoba mencari sesuatu.
“Sekarang aku tahu kenapa kau seperti tak memperdulikanku akhir-akhir ini” katanya dengan suara yang masih bergetar. Dia menyadari itu rupanya.
“Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. Aku sudah sangat bahagia karena pernikahan kita hanya tinggal menghitung hari. Aku tak bisa melepaskanmu”
Perasaanku bercampur aduk mendengar perkataannya. Aku kehilangan kata-kata, dan sebagai gantinya aku hanya bisa memeluknya lagi. Ini memang sudah tak bisa di hindari lagi. Shiori sudah tahu semuanya tapi tetap tak akan ada yang berubah. Satu hal yang mungkin harus aku lakukan nanti adalah aku harus melupakan Yamashita.
“Apa ciumannya lebih baik daripada ciumanku?” aku mendengar gumaman Shiori yang lemah di dadaku. Aku hanya menghela nafas, membelai rambut panjangnya pelan. Aku benar-benar harus memilih atau akan semakin banyak menyakiti orang.
***

WONDER- Chapter 5 (TomaPi)

Chapter 5

Aku masih belum memberitahukan tentang Shiori pada Yamashita, entah kenapa. Bahkan setelah seminggu dari kejadian itu di apartement Yamashita, yang akhirnya membuatku semakin ragu tentang hubungan ku dengan Shiori, aku semakin berpikir lebih baik Yamashita memang tidak tahu. Itu memang hanya keinginanku, dan keinginan kadang selalu tak sesuai kenyataan.

Aku sangat sangat terkejut melihat Yamashita berdiri di depan pintu apartement ku sore itu.
“Ou Toma!” dia menyapaku dengan tenangnya. Hari itu dia memakai pakaian yang kasual, dengan kacamata hitam yang dia pakai untuk menyamarkan dirinya.
“Ya-Yamashita??” aku masih tak percaya benar-benar melihatnya disini.
“Kaget? Aku tahu apartementmu dari temanmu di kantor”
Pasti Akiyama! Orang itu… aku menggerutu dalam hati. “Aku masuk” katanya lagi tanpa menungguku yang menyuruhnya masuk. Aku yang masih terkejut tak sempat menahannya. Dan lagipula aku memang sudah tak ada kesempatan untuk menahan apalagi membuat alasan-alasan yang pasti tak akan dipercaya siapapun.
“Eh? Yamashita Tomohisa! kau model parfum itu!” seperti yang aku duga, Shiori ada disana dan membuat Yamashita sedikit terpaku. Mungkin dia tak menyangka akan melihat seseorang disini apalagi seorang perempuan.
“Hai” jawab Yamashita sambil tersenyum dan membungkukkan badannya.
“Teman Toma?”
“Yea, dia klien yang sudah aku ceritakan padamu. Dan dia juga kouhai ku saat di sekolah dulu” aku menyela mereka. Benar-benar aku pasrah, tak bisa mengelak lagi.
“Sou ka” Shiori tersenyum takjub. “Doumo.. Koizumi Shiori desu” dia malah mengenalkan dirinya, dan ini bagian yang paling tak aku suka.
“Ah kau…”
“Toma sudah menceritakannya? Aku harap kami bisa menikah dalam waktu dekat” Shiori menambahkan sebelum Yamashita menyelesaikan kalimatnya. Dia tersenyum malu-malu, dan itu hanya membuatku ingin menghilang dari sana.
“Menikah?” ulang Yamashita sedikit pelan, tak yakin dengan yang di dengarnya. Dia pasti masih ingat kalau dulu dia mengira Shiori adalah sepupuku. “Oh iya… kalian akan segera menikah!” katanya tiba-tiba yang terus terang membuatku terkejut lagi. “Na, Toma-senpai…aku sudah menduga kalau calon istrimu memang secantik ini” dia menepuk-nepuk bahuku sambil tertawa aneh. Aku tahu dia sedang berakting. Sebenarnya dia pasti kaget sekali. Aku hanya mengangguk, tak mau memperpanjangnya.
“Aku akan membuatkan teh, duduklah Yamashita-kun” kata Shiori yang tadi ikut tertawa dengan Yamashita.
“Gome. Aku sudah harus pergi” Yamashita menolak dengan halus, lagi, seperti yang aku duga dia pasti tak mau berlama-lama disini. Padahal mungkin sebelumnya dia ingin menghabiskan waktu bersamaku.
“Eh? Kenapa buru-buru? Kau bahkan belum duduk” Shiori agak kaget dengan penolakan Yamashita.
“Aku ada jadwal” kata Yamashita, yang aku tahu itu bohong. Dia tak akan ada jadwal di hari Sabtu sore. Aku ingat dia pernah bilang, dia meminta manajernya untuk memberikan waktu kosong di hari Sabtu sore.
“Ah sayang sekali” kata Shiori lagi.
“Uhm gomen ne…” Yamashita tersenyum lalu membungkukkan badannya.
“Lain kali datang lah lagi dan mengobrol dengan kami lebih lama” tawar Shiori. Aku tak tahu kenapa, tapi gayanya yang mencoba akrab dengan Yamashita rasanya mengangguku. Aku tak suka melihatnya. Apa aku cemburu? Siapa yang aku cemburui??
Yamashita berpamitan sekali lagi pada kami sebelum akhirnya pergi dari sana dengan hanya seulas senyuman kecil untukku. Aku merasa tidak enak. Dengan agak beralasan pada Shiori, aku menyusul Yamashita keluar. Dia sudah akan menutup pintu lift, ketika aku datang dan berhasil ikut masuk.
“Aku sepertinya harus menjelaskan sesuatu…”
“Oh ya?” Yamashita menanggapi seolah dia tak tertarik. Dia sama sekali tak melihat padaku.
“Shiori itu… dia tunanganku, dan aku sudah tinggal dengannya beberapa bulan ini”
“Sou ka” Yamashita berkomentar pendek.
“Aku tahu, aku salah karena sudah berbohong. Aku hanya belum siap menceritakannya padamu”
“That’s okay” kata Yamashita lagi-lagi pendek. Dia memakai kacamatanya sebelum pintu lift terbuka lalu keluar menuju mobilnya yang terparkir disana. Aku mengikutinya. Aku benar-benar tidak puas dengan sikapnya yang seperti ini. Setidaknya dia marah karena sudah aku bohongi, ataupun kalau tidak, seharusnya dia tertawa dan mengatakan ‘daijobu’ dengan tulus. Huh? apa aku berharap terlalu banyak?
“Na, Yamashita…”
Dia seolah tak mendengarkanku. Dengan segera dia masuk ke dalam mobilnya dan menjalankannya, meninggalkanku begitu saja. Aku menghela napasku, dia marah kan?
***
Setelah Yamashita tahu Shiori adalah calon istriku dan aku memang membohonginya selama ini, dia tak pernah menghubungiku lagi. Sikapnya yang dingin hari itu ketika dia meninggalkan apartementku berlanjut seperti ini. Dia mengabaikanku. Aku hanya bertemu dengan manajernya setiap kali konsultasi. Aku menanyakan Yamashita, dan manajernya selalu menjawab kalau akhir-akhir ini Yamashita sangat sibuk. Aku tahu itu hanya alasan biasa agar dia tak bertemu denganku.

Satu hal yang aku tak mengerti, kenapa aku harus merasa sangat kehilangan dan menyesali sekali karena Yamashita mengetahui ini. Padahal aku nyaris mengkhianati Shiori kemarin dulu. Dan sekarang aku tak merasa aku menyesalinya. Aku malah memikirkan Yamashita… apa yang aku takutkan itu akhirnya memang akan terjadi? Aku berpaling dari Shiori karena Yamashita??? Benarkah aku seperti itu??? aku masih mencari-cari jawabannya hingga tanpa sadar aku sudah tiba di apartement Yamashita malam itu. Aku lembur hari ini dan keluar dari kantorku pukul sebelas malam. Entah apa yang merasuki ku, tapi aku ingin bertemu dengan Yamashita. Aku harap juga dapat menemukan jawaban untuk keragu-raguanku disini
“Toma?” Yamashita tampak terkejut melihatku, seperti saat aku melihatnya di depan pintu apartementku. Tapi mungkin sedikit berbeda karena dia tak menyembunyikan apapun.
“Ou. Apa aku mengganggu? Kau sudah tidur?”
Yamashita menggelengkan kepalanya, dan tanpa berkata-kata, dia membuka pintu apartementnya lebih lebar, membiarkanku masuk.
“Kau benar-benar akan terus mengacuhkanku?” aku langsung memberondongnya dengan bahasan yang sejak awal sudah sangat ingin aku bahas.
“Aku kecewa padamu. Apa itu salah?” dia balik bertanya. Aku senang, setidaknya dia mau bicara dan tidak membuatku tampak bodoh lagi.
“Yeah, aku tahu. Karena itu aku minta maaf… dan kau jangan mengacuhkanku seperti ini”
Yamashita mengangkat bahunya, tak berkomentar. Aku menghela napasku, tak tahu harus berkata apa lagi.
“Aku sudah sering kecewa” kata Yamashita akhirnya. Aku melihat padanya, apa maksud perkataannya?? “Perempuan-perempuan itu, sama sekali tak pernah bisa membuatku nyaman”
Dia pasti membicarakan perempuan yang pernah menjadi kekasihnya.
“Mereka hanya memanfaatkanku karena aku terkenal”
“Mungkin juga tidak” sahutku berusaha memberikan pandangan yang positif. Aku melihat tatapan matanya terlihat kesepian. Aku tak tahu kalau dia merasa seperti itu selama ini. “Sudahlah Yamashita…kalau kau tak suka membicarakannya, jangan kau bicarakan”
“Aku pernah bilang kalau aku mungkin menyukaimu kan?” dia berkata lagi. Aku tak percaya ternyata dia mengingatnya.
“Bagaimana denganmu?? Kau belum menjawabku sejak itu” dia melihat padaku. Aku menarik napasku dalam-dalam, aku berdebar-debar lagi. Setelah mengamati tingkahku selama ini, keragu-raguan yang menghampiriku akhir-akhir ini. Rasaku yang mulai tak begitu excited pada Shiori. Aku tahu itu bukan kebetulan pada saat Yamashita datang ke hidupku lagi. Mungkin pikiranku, hatiku, jiwaku, perasaanku… semuanya telah mengarah pada Yamashita. Mungkin???
“Aku juga… mungkin…” jawaban yang setengah mengambang itu, keluar dari mulutku. Aku melihat Yamashita tersenyum. Tampaknya dia sudah tak marah lagi. Dia tiba-tiba berjalan ke arah balkon di dekat ruang tengah apartementnya yang mewah ini. Aku mengikutinya, seperti biasa karena tidak puas dengan reaksinya. Dia sudah berhasil membuatku mengatakannya, seharusnya dia tak hanya pergi begitu saja.
Apartement nya ini memang luar biasa. Aku melihat pemandangan yang indah dari balkonnya ini. Memang bukan laut yang menjadi favoritnya, tapi lampu-lampu kota yang tampak berkelipan di kejauhan. Malam ini pun langit cerah, dengan bulan dan bintang-bintang di sana. Aku jadi teringat saat dia berulang tahun dulu, sebelum kami mengendap-endap ke laut, aku dan dia di balkon kamar di rumahnya. Dia memang menyukai hal seperti ini.
“Ini” Yamashita menawariku sebungkus rokok, aku pikir merokok sambil menikmati keindahan di depan sana sama sekali bukan ide yang buruk. Aku mengambil rokok itu sebatang dan tak berapa lama kemudian, kami sudah merokok berdua, tapi belum ada yang bersuara. Kami terhanyut dalam suasana yang terlalu nyaman ini.
“Jadi… kau memaafkanku?” entah dari mana aku tiba-tiba ingin menanyakan pertanyaan itu. Yamashita melihat padaku, dan tersenyum lagi. Artinya mungkin iya… aku tak bisa menahan diriku lagi. Perlahan aku menjauhkan rokok di tanganku, lalu mendekatinya, menjauhkan dia juga dari rokoknya tepat sebelum dia bermaksud menghisapnya. Aku mengganti rokok itu dengan bibirku yang segera menyentuh bibirnya. Sebuah kecupan. Kami saling melempar senyum sekali lagi, dan kembali menikmati suasana itu. Kecupan tadi sangat mewakili perasaanku saat ini. Aku yang sudah yakin dengan jawaban yang kutemukan, aku tahu apa yang sekarang aku putuskan di hatiku.

Rasa tembakau menjalari mulutku ketika sekali lagi kami berciuman. Suasana malam seperti ini memang terlalu beresiko. Tubuh kami bergerak dengan keinginan, tidak dengan akal sehat. Sesaat kami saling melepaskan, sampai tiba-tiba aku merasakan tanganku yang menyentuh dadanya yang tertutup kemeja putihnya. Dia melihatku, kami saling menatap beberapa detik, sebelum dia memegang tanganku dan membuatnya masuk ke balik kemejanya. Untuk merasakan langsung dada itu di jariku. Aku menghindarinya waktu itu, tapi sekarang aku tak bergerak sedikitpun. Kami masih saling menatap. Ada hal yang tersirat pada tatapan kami. Bahwa kami saling mengerti, ini baru awalnya, akan ada yang lebih dari ini. Kami menyetujui itu dengan senyuman yang saling terlempar. Aku menyerah. Aku akan benar-benar mengkhianati Shiori sekarang. Mulai saat ini…
* * *

WONDER- Chapter 4 (TomaPi)

Chapter 4

Masih sepi. Kantor ku di pukul 7 pagi seperti ini ternyata belum begitu banyak orang, tapi Yoshida-san selalu bertingkah seolah-olah kalau aku tidak datang tepat waktu, kantor ini akan segera menjadi reruntuhan saja. Karena itu, demi menghindari sikap antik bos ku itu, aku memilih untuk datang ke kantor sepagi ini. Meski aku belum mandi, dan tidak mengganti pakaian kerjaku sejak kemarin. Yeah, semalam aku tidak pulang ke apartement, karena telah terjadi sesuatu…

“Shiori?!” aku terkejut melihat tunanganku ada di meja kerjaku.
“Ah, ohayo Toma!” katanya sambil berdiri dari kursi kerjaku. Dari raut wajahnya aku membaca dia tampak lega melihatku.
“A-apa yang kau lakukan disini?” tanyaku masih terkejut. Siapa yang tidak akan?! Menemukan kekasihmu di meja kerja, di kantormu sepagi ini!!?
“Aku membawa handphone mu. Aku pikir kau sedang lembur dan kau tidak menghubungiku karena handphone mu tertinggal” jelasnya sambil tersenyum. Aku merasa senyumannya menyindirku, pertama karena ternyata aku memang tidak lembur, kedua kalaupun aku memang berniat tidak akan pulang, aku bisa menghubunginya dengan telepon kantor yang jelas-jelas ada bertengger di meja kerjaku itu.
“Oh iya… kemarin aku…” otakku cepat berpikir untuk membuat alasan. “ada pesta di tempat teman lama ku, dan kami semua ketiduran di sana” well, alasan yang lumayan kan?? “undangannya mendadak dan aku benar-benar tak sempat menghubungimu, gomen ne” aku mencoba tersenyum penuh penyesalan padanya. Walau sebenarnya aku heran, sejak kapan aku jadi pandai membuat alasan seperti ini? atau lebih tepatnya, berbohong seperti ini??? aku tidak tahu.
“Sou ka…” komentar Shiori, entah dia percaya atau tidaknya. Tapi aku tetap bersikap meyakinkan, demi menyelamatkan aku dan segala kebohongan itu.
“Yeah, dan kau tahu kalau Yoshida-san tak suka aku datang terlambat, jadi aku langsung kemari” kataku menambahkan, tapi itu tidak bohong. Aku memang datang pagi-pagi karena tak mau berurusan dengan bos ku.
Shiori mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah…” katanya sambil mendekatiku dan menyimpan sebuah kotak bekal di tanganku. “Aku membuatkanmu sarapan” dia tersenyum lalu mengecup pipi kananku lembut. “Seharusnya kau menyempatkan mandi” katanya pula sambil terus tersenyum menggodaku. Aku hanya balas tersenyum malu padanya. “Aku akan menunggumu pulang nanti sore” aku hanya mengangguk dan dia pun pergi dari sana. Aku merasa sedikit buruk. Aku membohonginya seperti ini padahal dia sudah mengkhawatirkanku dan memberikan perhatian yang terbaik untukku. Aku masih mencintainya, bukan?? Damn, kenapa aku harus mempertanyakannya!!?
Aku menghembuskan napasku, sambil menatap wajahku di cermin wastafel. Titik air yang tadi aku basuhkan ke mukaku, menetes perlahan di lekukan hidungku menuju ke bibirku dan akhirnya jatuh dari daguku. Apa yang sudah terjadi semalam? Aku pun baru bisa menyadarinya sekarang, aku tak mengerti dimana pikiranku saat itu, tapi aku tak mau menyesalinya…

Untuk pertama kalinya lagi setelah 9 tahun, bibirku menyentuh bibirnya. Aku dan Yamashita, kami berciuman lagi tentu saja dengan situasi yang sangat jauh berbeda. Bukan di tempat yang romantis, dengan laut dan cahaya bulan yang indah. Bukan dengan diri kami yang masih anak-anak belasan tahun yang hanya ingin memenuhi rasa kepenasaranan kami. Aku dan dia masih berada di salah satu tempat yang agak jauh dari dance floor di club ini. Suara musik yang berbaur dengan suara orang-orang terdengar sayup-sayup disana, cahaya yang remang-remang dan bau alkohol. Ciuman kami pun tak seperti dulu lagi, dan dia lebih mendominasiku sekarang. Panas, aku merasakan sekelilingku seperti membakarku. Atau ini justru dari dalam diriku sendiri?! Mungkin juga dari Yamashita.. karena aku merasakan tangannya menyentuh rambutku, aku lebih memiringkan kepalaku dan ciuman kami pun semakin dalam. Semuanya benar-benar terjadi begitu saja, aku tak ingat apapun, bahkan Shiori yang biasanya selalu aku berikan ciuman seperti ini. Aku berpikir kami sedang mabuk. Beberapa menit kemudian, kami saling melepaskan, terengah-engah berusaha mengatur napas. Dia tak seperti dulu lagi yang langsung terbatuk-batuk karena lama menahan napas. Aku jadi ingin tertawa kalau mengingat itu. Sekarang dia jelas sudah sangat berpengalaman. Aku melihat ke arahnya dan ternyata dia juga sedang menatapku. Aku ingin mengatakan sesuatu agar suasana tak menjadi aneh dan canggung, tapi dia lebih dulu bersuara.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat”
“Hah? Kemana??”
“Apartementku”
“Eh??”
***
Kami pun berakhir di apartementnya, aku jadi semakin berharap kalau dia sedang mabuk dan esoknya dia tak perlu mengingat ini. Kami berciuman lagi beberapa detik sebelum dia membawaku ke ranjangnya dan menjatuhkan tubuhnya disana hingga aku berada di atasnya. Aku menyimpan tanganku di kedua sisi di sebelah kepalanya, aku menatapnya, berusaha membaca pandangan matanya. Aku benar-benar berharap dia sedang mabuk. Dia tersenyum kecil tampak menyadari yang sedang aku lakukan, tangannya menyentuh rambutku lagi pelan.
“Ternyata memang tak bisa seperti saat aku berulang tahun dulu” katanya.
“Itu 9 tahun yang lalu Yamashita…kita sudah bukan anak berusia 15 tahun lagi” kataku. Dulu jiwa muda kami yang penuh rasa ingin tahu yang mengontrol dengan polosnya. Tapi sekarang, perasaan-perasaan aneh dan hasrat juga nafsu yang otomatis menguasai kami. Too much risk, dan aku tahu itu. Aku pikir Yamashita tak menyadarinya, dia mabuk.
“Kau benar…”dia menghela napasnya. Lalu tangannya turun dari rambutku, menyentuh kedua sisi wajahku. Tuhan~ aku benar-benar tak tahu apa yang sedang aku lakukan sekarang. Ini tak seperti saat aku sedang berduaan dengan Shiori, tapi aku merasa lebih nyaman. Aku merasa berada di tempat yang tepat, dengan dia berada di bawah tubuhku, menatapku lembut dengan tatapan yang sejak tadi belum berhasil aku artikan. Tangannya yang menyentuh wajahku pun, kenapa aku rasa lebih baik daripada sentuhan Shiori? Bukankah selama ini aku selalu merasa sentuhan wanita adalah yang paling luar biasa... tapi kenapa Yamashita??? I really wonder why~
“Na, Toma”
“Hmm?”
“Aku ingin tahu sejak itu. Apa kau pernah menyukaiku??”
Pertanyaannya seperti tembakan tiba-tiba di dadaku. Aku jadi berdebar-debar dan aku takut Yamashita merasakannya karena tubuh kami berdekatan seperti ini. “Aku pikir, kenapa waktu itu kau tiba-tiba menciumku… kalau kau memang tidak menyukaiku”
“Ah, aku…” aku memang menyukainya! Siapa yang tidak?! Hanya saja aku masih tak bisa mengartikan kemana arah suka itu. Apalagi waktu itu aku hanya anak berusia 15 tahun yang penasaran. Dan sekarang… aku masih tak tahu apa yang menguasaiku hingga aku tak keberatan kami jadi seperti ini. Dia memang tampan sekali sekarang, siapapun akan menyukainya. Tapi bukan berarti aku juga harus jadi menyukainya lalu melepaskan Shiori kan??? Tidak mungkin! Apa yang kupikirkan!!! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, membuang pikiran aneh itu jauh-jauh. Aku dan Yamashita hanya berteman, dan kalau kami pernah berbagi ciuman pertama itu bukan berarti hal besar, aku yakin banyak juga orang yang melakukan ciuman pertama dengan temannya sendiri. Sedangkan sekarang…apa yang kami lakukan sejak di club tadi sampai detik ini hanya karena alkohol. Alkohol selalu bisa membuat siapapun menjadi liar, termasuk Yamashita dan mungkin aku, walau aku tahu aku tak mabuk.

“Toma??” tangan Yamashita menyentuh pipiku. Membuat cerita di pikiranku buyar. “Kau belum menjawabku”
“Kau ingin aku menjawab apa?”
“Hah? Aku tak suka kau balik bertanya” dia tertawa kecil.
“Jadi??”
Dia terdiam menatapku. Aku melihat tatapan yang agak berbeda sekarang. Dia tampak ingin meyakinkan sesuatu.
“Aku pikir, aku menyukaimu…” katanya pelan dan membuat dadaku yang tadi telah agak tak berdebar, jadi menggila lagi. Dia tersenyum. Aku tak tahu harus berkata apa. Seperti bisa membaca pikiranku, dia tiba-tiba melingkarkan lengannya di leherku dan memelukku. Membuatku lebih merendahkan tubuhku dan wajahku terbenam diantara lekukan bahu dan lehernya. “Dadamu berdebar” bisiknya pula. Tentu saja dia bisa merasakan debaran dadaku dengan jelas karena tubuh kami merapat seperti ini. Aku hanya bergumam mengiyakan. Aku benar-benar terhanyut walau aku masih berpikir dia mabuk dan dia akan melupakan ini besok. Itu lebih baik. Dia membelai rambutku tanpa sadar juga aku merasa makin mendesakkan wajahku di lehernya. Pelukan kami yang seharusnya biasa saja, jadi terasa berlebihan, karena suasana yang mempengaruhi kami. Bibirku otomatis menempel di kulit bagian yang sensitiv itu, aku mendengar dia mengeluarkan suara seperti mengeluh pelan. Aku tahu itu karena efek bibirku yang menempel di kulitnya. Siapapun akan bersuara seperti itu kalau merasakan geli yang nyaman. Dan suara itu membuatku kehilangan kendaliku. Aku biasa mendengar suara Shiori disaat kita sedang bermesraan dan itu selalu membuatku nyaris tak sadar. Saat ini pun… dengan Yamashita, bukan Shiori…aku merasakan hal yang sama, atau bahkan lebih??
Yamashita tampak lebih memiringkan wajahnya ke samping, membuatku mendapatkan ruang yang lebih luas untuk menjelajahi lehernya. Aku pun menggerakkan bibirku disana, sesuai dengan keinginan nafsuku. Mungkin juga nafsu Yamashita, tangannya terus mengacak-acak rambutku. Ini seharusnya tak dibiarkan!

Aku menghentikan semuanya dengan tiba-tiba ketika tanganku mulai berhasil membuka kancing kemeja Yamashita satu-persatu dan menemukan kulitnya di bawah jari-jariku. We’re really going too far.. ini tak akan selamat kalau aku tak menghentikannya sekarang.
Yamashita memandangku heran. Aku hanya cepat melepaskan diri dari pelukannya dan turun dari ranjangnya. Dia bangun dan duduk di sana memperhatikanku yang mencari-cari jasku.
“Kau mau pulang?” tanyanya. Aku mengangguk saja setelah menemukan jasku yang ternyata tergeletak di dekat pintu kamar. Aku tak ingat kenapa itu bisa terlempar kesana. “Tapi ini sudah malam sekali” katanya lagi sambil melihat ke jam yang ada di meja dekat ranjangnya. Aku melihat jam tanganku juga, memang sudah larut, pukul setengah sebelas.
“Kenapa kau tidak menginap saja?” tawarnya.
Aku melihat padanya setelah memakai jas ku. Ekspresi nya benar-benar biasa saja, dia tak mempermasalahkan yang mungkin akan terjadi pada kami tadi. Mataku menemukan tubuhnya yang dibalut kemeja dengan kancing yang seluruhnya terbuka gara-gara tadi aku tak bisa menahan diriku. Tubuhnya sempurna untuk seorang pria, tubuh dengan bentuk muscle yang selalu diinginkan semua pria di dunia. Tak terkecuali aku.
“Tidurlah disini. Aku akan tidur di sofa” katanya tiba-tiba, membuatku mengalihkan pandanganku dari tubuhnya. Aku terlalu mengeceknya tadi, dan mungkin dia menyadarinya.
“Ah, it’s okay. Aku yang akan tidur di sofa!” kataku cepat sambil menahan Yamashita yang sudah akan keluar dari kamarnya.
“Kita tidur berdua disini” katanya sambil tersenyum lalu menutup pintu kamarnya, menguncinya dan membawaku kembali ke ranjangnya. Aku tak bisa protes lagi. Yamashita melepas semua kemejanya, lalu menarik selimut dan mengambil posisi membelakangiku.
“Oyasumi!” katanya agak berteriak tanpa melihat ke arahku. Aku masih terdiam di pinggir ranjang saat membalas ‘oyasumi’ nya dengan pelan. Oke, ini tidak akan apa-apa, gumamku dalam hati. Dan malam itu kami pun tidur bersama, hingga ketika terbangun aku menemukannya ada di dekatku, memelukku, menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku pergi dari sana dengan diam-diam tak mau membangunkannya, untuk kesekian kalinya aku berharap, dia tak mengingat semua itu setelah bangun nanti. That’s better.
***

WONDER- Chapter 3 (TomaPi)

Chapter 3

Hari ini ulang tahun Yamashita yang ke-15. Setelah tadi sore merayakan dengan ibu dan adik perempuannya, sekarang aku dan dia berada di balkon kamarnya, melihat ke langit yang tampak indah dengan bintang-bintang.
“Ah, aku mau ke laut!” gerutu Yamashita. Dia melihat ke kejauhan seperti dia bisa laut dari sana. Kami memang merencanakan kesana, tapi ibunya melarang karena ini sudah malam, dan laut cukup jauh dari tempat kita tinggal.
“Kita bisa kesana besok, sepulang sekolah” kataku meyakinkannya.
“Ulang tahunku hari ini…” Yamashita menggerutu lagi, tapi kali ini lebih pelan.
“Kau ini…” aku kehabisan kata-kata untuk mendebat dia yang keras kepala. Dan tiba-tiba saja pikiran tak baik melintas di kepalaku. “Bagaimana kalau kita mengendap-endap keluar?”
“Ide bagus!” Yamashita langsung setuju, sepertinya dari tadi dia memang menungguku mencetuskan ide ini. Dan aku tak ada pilihan lain.
“Yosh” kataku sambil pergi lebih dulu dari sana, Yamashita mengikutiku. Di lantai bawah ibu dan adiknya sedang menonton televisi. Kita harus melewati mereka dulu sebelum menuju ke pintu depan.
“Tomohisa? Toma-kun?” Ups, ketahuan! Kami pun bersikap biasa dan tak mencurigakan. “Kalian mau kemana?” tanya Naomi-san lagi.
“Ano...” aku berusaha membuat alasan yang entah macam apa.
“Toma harus pulang, jadi aku mengantarnya” Yamashita menyelamatkanku. Yah, lumayan untuk sebuah alasan.
“Are? Bukankah Toma-kun akan menginap disini?” ah, aku lupa!
“Ano, tidak jadi…” kataku sambil tersenyum berusaha meyakinkannya.
“Eh? Kenapa??”
“Pokoknya dia harus cepat pulang. Ikou Toma!” kata Yamashita dan menarik tanganku. Aku membungkukkan badanku dan mengucapkan terima kasih juga meminta maaf berkali-kali. Yamashita ceroboh! Naomi-san bisa curiga kalau seperti ini…

Tapi berkat ketidaksabaran Yamashita, kami pun sampai di laut. Pukul 8 malam, yang sebenarnya cukup rawan untuk anak-anak berusia 14 tahun seperti kami.
“YAY!!!” Yamashita berteriak dan merentangkan tangannya menuju laut, angin laut menerpa wajah, rambut dan pakaiannya. Dia tampak senang sekali. Aku baru melihat ekspresi seperti ini dari seorang Yamashita Tomohisa yang sudah aku kenal dari setahun yang lalu. Dia ini anak yang terlalu pendiam untuk seumurannya.
“Sudah puas?” kataku sambil menghampirinya, sekarang kita duduk di pasir menatap ke laut yang airnya tampak indah karena pantulan bulan dan bintang di langit. Malam ini memang tidak terlalu gelap, semuanya terasa romantis. Aku mungkin memang masih sangat muda, tapi aku mengerti tentang romantis. Teman-temanku sering membahas hal itu. Beberapa diantaranya sudah banyak yang berpacaran dan… berciuman. Ngomong-ngomong soal itu… aku menolehkan wajahku pada Yamashita. Pikiran-pikiran aneh yang seharusnya tak aku pikirkan, menyergapku begitu saja. Berciuman itu seperti apa rasanya? Dan bibir Yamashita… mataku menatap bibir yang berwarna pink dan tampak menggoda itu. Ok, memang tidak terlihat begitu jelas, tapi aku hapal seperti apa bibir Yamashita. Mungkin aku memang teman yang aneh, aku mengamatinya kalau kita sedang bersama seperti ini. Entah sejak kapan…
“Romantis, ne?” gumam Yamashita tiba-tiba, membuatku berhenti memikirkan hal-hal yang tak penting tadi. “Tempat yang cocok untuk berciuman” tambahnya sambil melirik ke arahku, dan tersenyum menggemaskan. Yabai~
“Sou da” kataku, dan sebelum aku sendiri menyadari apa yang aku lakukan, aku telah menempelkan bibirku pada bibirnya. Shock. Dia memandangku terkejut, dan aku menjauhkan wajahku sedikit, aku pun terkejut sepertinya. Tapi otakku kembali memerintah sebelum suasananya jadi berubah, kali ini aku memejamkan mataku, memiringkan sedikit kepalaku. Aku tahu teknik ini dari cerita teman-temanku, mereka bilang agar hidung kami tidak bertabrakan. Maka bibirku mengenai bibirnya sekali lagi. Dia tak bergerak sedikitpun, aku merasa lega dalam hati. Perlahan, aku menekankan bibirku pada bibirnya, memijatnya lembut, membuat hidung kami bergesekan. Ini membuat kami saling bertukar udara yang kami hirup. Setelah merasa cukup, aku membuka sedikit bibirku, melumat bibirnya dan aku mendengar suara dari bibirnya itu. Aku membuka mataku sedikit, ternyata dia juga sudah terpejam sepertiku tadi. Suara itu kembali terdengar, pipinya memerah… dia sangat manis sekali…Aku kembali memejamkan mataku, menikmati ciuman pertama ku ini. Manis. Dan terasa sangat nyaman dengan suasana yang seperti ini. Aku jadi sadar kenapa aku tiba-tiba seberani ini, suasana romantis memang bisa menyebabkan siapapun jadi tak berpikir dengan biasa, itu kata temanku yang sudah berpengalaman. Terbawa suasana, mungkin tepatnya seperti itu. Sepertinya Yamashita pun begitu, dia tak keberatan sejak awal aku menciumnya tadi. Jiwa muda kami yang masih sangat haus dengan pengalaman-pengalaman baru lah yang mengontrol pikiran kami disini. Aku merasakan sebuah tangan menyentuh pipiku pelan, aku yakin itu tangan Yamashita. Jari-jarinya menelusuri kulit pipiku lembut. Ya Tuhan~ apakah ini tidak apa-apa??? Damn, aku sebenarnya tak mau menanyakan itu!

“Toma… Toma…” suara aneh memanggilku, itu jelas-jelas bukan suara Yamashita. Dan sentuhan lembut di pipiku tadi jadi terasa menekan-nekan pipiku, mempermainkannya. Aku membuka mataku, tak ada Yamashita… apalagi laut dan suasana romantis. Aku sedang di kantor, tertidur dengan kepala di atas meja kerjaku dan orang yang dari tadi asik memanggil namaku sambil menekan-nekan pipiku… itu Akiyama!
“Akiyama?!” kataku sambil menyingkirkan tangannya dari pipiku. Dia tertawa dengan puasnya.
“Kau pasti mimpi jorok, iya kan?? Hah??!” dia dengan enaknya meledekku. Sial, sepertinya tadi aku melakukan hal aneh saat tertidur… ah, iya kenangan masa lalu tadi ternyata hanya muncul lagi dalam mimpiku. Ciuman pertamaku dengan Yamashita. Tiba-tiba kembali membuatku teringat gara-gara pertemuan kami kemarin dan karena bayangan yang mendadak muncul saat aku sedang bermesraan dengan Shiori.
“Ini Yamashita-san…” kata Akiyama lagi setelah dia puas menertawakan dan meledekku. Dia menyerahkan telepon yang dari tadi dipegangnya. “Dia menunggumu di line 2. Aku menyuruhnya menunggu karena membangunkanmu seperti berusaha membangunkan mayat” tambahnya sambil tertawa lagi. Aku hanya mendecakkan lidahku, menatap kesal padanya yang masih tertawa-tawa sambil pergi dari tempatku.
Aku menarik napasku, mengembalikan kesadaranku sepenuhnya, melihat sebentar pada telepon yang kupegang sebelum menekan tombol dan menyambungkannya dengan orang yang menungguku disana. Yamashita. Aku baru saja mengingatnya di mimpiku saat ulang tahunnya yang ke-15 itu, di laut yang romantis…
“Hai?” aku menyapanya.
“A~ Toma…” panggilan yang biasa aku dengar itu.
“Ada apa? Kenapa kau tidak menghubungi ke handphone ku saja?” tanyaku sambil mencari-cari handphoneku di atas meja dan di laci, tapi aku tak menemukannya.
“Aku sudah menghubungi handphone mu berkali-kali, tapi aku pikir kau lupa membawanya”
“Kau benar, aku memang lupa membawanya…” kataku akhirnya setelah tak menemukan handphoneku dimana-mana dan baru ingat kalau tadi pagi aku menyimpannya di meja makan setelah mendapat telepon dari bos ku. Aku pasti lupa membawanya. Yamashita tertawa kecil disana.
“Ne, bisa bertemu denganku malam ini?” tanyanya.
“Dimana? Apa kau tidak sibuk?”
“Tidak. Aku sudah selesai dengan pekerjaanku sore ini. Seharusnya aku dengan manajerku nanti malam, tapi dia ada urusan, jadi aku akan sendirian”
“Sou ka. Dimana?” tanyaku lagi.
“Hmm, bagaimana kalau kita sambil sedikit minum-minum?”
“Kau yakin? Kita akan membahas soal keuanganmu bukan?” entah kenapa aku harus mendebatnya. Padahal itu bukan ide yang buruk. Berkonsultasi tentang keuangan jaman sekarang tak harus dengan pertemuan yang formal.
“Kita bisa lebih santai dalam membahasnya” jawab Yamashita yang langsung aku benarkan dalam hati.
“Ok, baiklah” aku pun setuju. Hal yang seharusnya aku lakukan dari tadi. Aku mungkin merasa gugup karena membayangkan akan pergi minum dengannya…dan kenapa aku harus gugup!?? Setelah Yamashita menyebutkan tempat dan waktu yang tepat, kami menyudahi pembicaraan. Aku berharap semuanya akan baik-baik saja… yah, dan kenapa semuanya harus tidak baik??!! Ayolah Ikuta Toma~ kau mulai berpikir hal-hal yang tak jelas…aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mencoba menepis entah pikiran apa yang menghinggapiku. Aku mengakui kalau aku merasa takut pada diriku sendiri.
***
Yang aku ingat lagi setelah aku berciuman dengan Yamashita waktu itu, aku mulai kekurangan udara yang masuk ke paru-paru ku. Aku pikir Yamashita lebih banyak mengambil udara yang seharusnya menjadi bagianku. Tapi saat aku melepaskan ciumanku, dia pun melepasnya dengan segera dan kami terengah-engah bersama. Dia juga kekurangan udara sepertiku rupanya. Mungkin tadi kami sama-sama tak peduli untuk menghirupnya, lupa, tepatnya seperti itu. Kami terlalu terlarut dengan keadaan yang membuat bibir kami saling bersentuhan seperti itu. Semuanya memang terasa menghilang sesaat tadi, kami seperti berada di dunia lain.
“Aku tidak bisa bernapas” kata Yamashita sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangannya, tapi aku tetap bisa melihat bagaimana pipinya memerah seperti saat aku melihatnya di tengah-tengah sesi kami tadi. Dia mencoba mengatur napasnya sepertiku.
“Yeah bernapaslah, baka..” kataku.
“Kau juga…” dia membalikkan ucapanku, karena aku juga memang tidak lebih baik. Aku terengah-engah sepertinya. Kami saling melihat sesaat, lalu tersenyum dan dia lebih dulu memalingkan mukanya. Aku tahu kenapa, karena pipinya semakin memerah yang aku yakin menimbulkan sedikit panas di wajahnya. Dia pasti takut aku melihatnya, padahal aku sudah melihatnya. Tak ada yang bicara lagi diantara kami setelah itu, sibuk dengan pikiran masing-masing, berusaha mengulang kembali dalam ingatan apa yang sudah kami lakukan. Dan berusaha meyakinkan diri sendiri kalau ini tidak apa-apa. Mendapat ciuman pertama dari temanmu sendiri, itu tidak apa-apa, sangat tidak apa-apa…
“Uhuk.. uhuk..” tiba-tiba suara batuk Yamashita memecahkan keheningan kami yang nyaris tercipta selama satu menit. Ya Tuhan~ dia batuk-batuk… lucu sekali!
“Da-daijobu ka?” tanyaku, memberanikan diri. Bagaimanapun, kalau terjadi apa-apa padanya, itu bisa jadi salahku karena aku yang mulai menciumnya.
“Daijobu.. daijobu” katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya meyakinkanku, lalu berdiri dari duduknya.
“Sebaiknya kita pulang” aku cepat berkata dan ikut berdiri. Dia mengangguk lagi, aku tiba-tiba memegang tangannya. Huh, aku merasa seperti seorang laki-laki yang keren saat itu. “Happy birthday, Yamashita” kataku lagi dan tersenyum. Dia membalas senyumanku.
“Arigato” katanya. Kami pun berjalan pulang, dengan aku yang masih memegang tangannya, meninggalkan laut romantis yang telah menjadi saksi dari ciuman pertamaku.
***
Aku tiba di tempat yang sudah kami janjikan, tapi aku datang lebih awal beberapa menit. Aku menunggunya ditemani dengan segelas bir yang baru aku pesan. Tempat ini cukup ramai, tapi aku memilih tempat duduk yang agak jauh dengan dance floor. Aku tak begitu suka keramaian disana. Beberapa menit kemudian, aku melihat Yamashita datang, sendiri, seperti yang dia bilang. Dia tidak kesulitajn mencariku padahal aku tahu dia tak bisa menghubungiku karena aku masih meninggalkan handphoneku di apartement.
“Ah, aku sudah menduganya kau pasti disini” kata Yamashita setelah menghampiriku dan duduk di dekatku.
“O yea? Kenapa?”
“Kau tidak suka keramaian” dia tersenyum bangga karena bisa menebak pikiranku, tidak.. kebiasaanku. Yah dia masih ingat dengan kebiasaanku, hal yang tak aku suka dan sebagainya. “aku menghubungi handphone mu, dan kau belum mengambilnya”
“Yeah, aku langsung kemari setelah dari kantor”
“Ada perempuan yang menjawab handphone mu”
“Oh itu…” aku baru akan menyebutkan nama Shiori dan menjelaskan kalau dia adalah calon istriku, tapi tiba-tiba saja aku menahannya.
“Hm? Kau meninggalkan handphone mu dimana?” Yamashita memandangku penasaran.
“Di.. dirumah bibiku” jawaban yang sangat bagus!! Kenapa aku harus berbohong???!!!!
“Sou ka... jadi dia sepertinya sepupumu” gumam Yamashita. Aku mencoba menutupi kegugupanku. Sudah terlanjur berbohong, aku tidak mungkin menarik ucapanku lagi.
“Mungkin” aku balas menggumam.
“Shiori Koizumi??”
Aku melihat padanya cepat, terkejut. Dia balas melihat padaku dengan pandangan bertanya yang biasa, aku rasa dia tak menyadari ekspresi terkejutku. Jadi aku cepat memudarkan ekspresiku dan bersikap biasa juga.
“Ou” jawabku pendek, tak mau memperpanjang.
“Aku menanyakan namanya tadi, untuk memastikan kalau handphone mu memang berada di tempat yang aman” kata Yamashita lagi, tersenyum. Dia lebih banyak tersenyum dengan leluasa kali ini, tidak seperti saat pertama kali kami bertemu beberapa hari yang lalu. Aku segera mengalihkan pembicaraan dan langsung membahas tentang apa yang ingin dia konsultasikan, aku tak mau membahas Shiori. Aku tak mengerti kenapa aku harus menutupinya.

“Aku sering ke tempat ini. apalagi untuk merayakan sesuatu dengan teman-temanku. Apa menurutmu aku terlalu boros?” tanyanya setelah beberapa lama kami mengobrol banyak hal.
“Cukup. Asal kau tidak setiap malam pergi ke tempat ini”
“Seminggu 2 kali” katanya sambil tersenyum. Aku mengangkat bahuku.
“Masih dalam batas wajar” komentarku pula. Aku tahu dunia yang dijalani Yamashita sekarang memang tak akan bisa lepas dengan hal seperti ini.
“Kau tidak pernah?” tanyanya, jadi menanyaiku. Aku menggelengkan kepalaku.
“Kau tahu sendiri aku tidak suka…” jawabku dan agak tertawa.
“Uhmm, hidupmu terdengar membosankan” komentarnya.
“Eh?? Sama sekali tidak!” aku cepat menyangkalnya. Dia tertawa karena berhasil membuatku memprotes. “Hidupku cukup menyenangkan dan… sempurna” tambahku, sambil mengingat hidup yang ku jalani setelah aku menjadi bagian di konsultan keuangan, berpacaran dengan Shiori dan memilikinya beberapa bulan terakhir ini di apartementku. Aku mengingat Shiori lagi, padahal tadi tak mau membahasnya.
“Majikayo? Sesempurna apa?” Yamashita tampak penasaran dengan perkataanku. Dia meminum birnya lalu melihat padaku, seperti menungguku bercerita.
“Tapi aku tahu tak akan sesempurna kehidupan seorang model” tambahku tak segera menjawab pertanyaannya. Aku hanya mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku tak siap bercerita padanya tentang calon istriku dan wanita yang sekarang sudah tinggal denganku. Jangan tanya kenapa.
“Hidupku sama sekali tak sempurna. Walau bekerja seperti ini memang menyenangkan, tapi kadang aku tak menyukainya” ceritanya tiba-tiba.
“Ha? Nande?” aku jadi tertarik, tak menyangka dia merasa seperti itu.
“Karena memang tak ada apapun yang sempurna di dunia ini” katanya, tersenyum lagi. Dia memberikan jawaban yang terlalu umum dan yang semua orang pun sudah tahu itu. Aku balas tersenyum, tampaknya dia ingin menyadarkanku kalau perkataanku tadi tentang hidupku yang sempurna itu sama sekali tidak mungkin.
“Ah, aku tiba-tiba ingat laut yang biasa kita datangi dulu” katanya tiba-tiba. Tidak! Dia membawa bahasan ke arah yang sebenarnya sangat aku hindari saat ini.
“Uhm, laut itu…” aku benar-benar tak mau memperpanjangnya. Mungkin Yamashita sudah lupa jadi dia bisa dengan tenang mengangkat topik ini.
“Saat dulu aku ulang tahun…” aku melihat padanya cepat, memandangnya horor. Dia tidak lupa!! “Kau ingat??” dia balas melihat padaku. Aku merasa leherku menegang, aku ingin mengangguk tapi…
“Kau lupa??”
“Aku ingat!” jawabku cepat, tak sadar suaraku telah sedikit berteriak. Yamashita tersenyum lagi untuk kesekian kali.
“Lucu sekali kalau mengingatnya”
“Hahahaha~” aku tertawa menutupi gugupku. Tawa yang sangat tidak perlu.
“Aku tak pernah merasakan ciuman seperti itu lagi setelah aku dekat dengan banyak perempuan hingga sekarang…”katanya agak pelan, tapi terdengar jelas di telingaku. Oh My~~
Aku tak bisa berkomentar apapun dan hanya terus melihat padanya, mencari tahu apa maksud perkataannya dari tatapan matanya. Aku tak menemukan apapun. Aku tak bisa berkonsentrasi. Dia masih tersenyum, dan meminum birnya tanpa melepaskan matanya dari mataku. Aku merasa kita sudah saling menatap sejak beberapa abad yang lalu,lama sekali walau sebenarnya mungkin baru beberapa detik.
“Bagaimana denganmu?” dia bertanya masih dengan mata kami yang saling menatap.
“Aku?” ulangku dan mengedipkan mataku sekali. Dia mengangguk. Tidak mungkin aku bilang padanya, aku sangat menikmati mencium Shiori selama dua tahun ini sampai aku bisa melakukan hal yang lebih dengannya dan setuju kalau dia akan menjadi pendampingku. “Aku…” aku tak tahu harus berkata apa. Akhirnya aku mengalihkan tatapanku, memutuskan sesi menatap kami yang entah sampai kapan dan akan terjadi apa, jika tak ada yang mengalah. Aku menyimpan gelas bir ku yang sudah setengah kosong di atas meja. “Aku…”
“Tunjukkan padaku sekali lagi”
“Hah???!” jawaban yang sudah aku siapkan tadi seketika buyar entah kemana. Apa yang dia minta tadi???
“Tunjukkan lagi padaku, saat aku ulang tahun itu…” Yamashita mengulangnya. Dia melihat padaku tenang. Aku memandangnya tak percaya. Ada apa dengannya?? Aku mulai merasa ini ada yang tak beres.
***

WONDER- Chapter 2 (TomaPi)

Chapter 2

Aku menatap laki-laki di hadapanku ini. Dia klien yang dibicarakan bos ku kemarin. Seperti yang tak aku harapkan, modelnya ternyata seorang laki-laki. Dan yang lebih parah, dia… adalah kouhai ku saat di sekolah dulu. Yamashita Tomohisa. Aku sebenarnya terpana melihat dia sekarang. Dia begitu stylish, tampan dan badannya yang tampak terlatih itu, aku yakin bisa membuat wanita manapun tergila-gila. Sangat berbeda dengan dia yang dulu, yang aku ingat dia sangat manis, mungkin lebih manis dari anak-anak perempuan yang dulu ada di sekolah. Semua orang menyukainya. Aku dan teman-temanku suka sekali menggodainya. Dia pun lebih banyak bergaul dengan senpai-senpainya termasuk denganku yang mereka bilang selalu mudah berteman dan mengambil hati orang. Karena rumah kami menuju arah yang sama, kami pun sering pulang bersama. Disana lah aku tak bisa melupakan hal-hal yang pernah terjadi di antara kami.

“Hisashiburi da ne?” kataku mencoba mencairkan suasana yang rasanya sudah tegang sejak awal kami saling melihat.
“Hisashiburi” katanya sambil tersenyum tenang. Dan aku pun sadar dia tak berubah begitu banyak, hanya bentuk badan dan rambutnya yang mungkin membuatnya terlihat lebih dewasa, tapi senyumannya… cara matanya menatap, semua masih sama. Tenang, dan sedikit terlihat malu, benar-benar membuatku jadi bernostalgia.
“Aku tak menyangka kalau ini benar-benar kau. Aku pikir Ikuta Toma yang lain” tambahnya pula.
“Eh?” komentarku sambil balas tersenyum. Kenapa kita harus canggung seperti ini?! “Aku rasa namaku hanya satu-satunya di dunia” kataku, mencoba merubah atmosfir. Dan dia memang tertawa kecil.
“Sou da” katanya pendek, sangat khas dia.
“Ne, Yamashita...” aku mulai lagi memanggilnya seperti saat kami masih sering bersama dulu. “Ceritakan dirimu. Kemana saja kau setelah lulus sekolah? Aku dengar kau masuk Meiji, benarkah??”
Yamashita menganggukkan kepalanya membenarkan. Dia mulai terlihat rileks, atmosfir canggung pun perlahan memang berubah. Aku memang bagus dalam hal seperti ini.
“Aku berkuliah di Meiji, lalu tinggal di Hawaii selama 6 bulan kemarin…”
“Eh?? Hawaii??? Sugeeee~~”
“Yea, aku melakukan pemotretan dan berlibur juga disana”
“Ohh~ iri sekali. Aku ingat dulu kau sering bilang kalau kau ingin kesana” kataku mengingat lagi jaman kita sekolah dulu. Dia memang sering bilang kalau dia sangat ingin ke Hawaii. Entah kenapa. Aku pikir lebih bagus kalau dia bermimpi ingin ke Eropa, ya bukan?
“Ou, akhirnya aku bisa kesana” Yamashita menganggukkan kepalanya masih dengan senyumannya. “Aku tak menyangka kau masih ingat hal itu”
Benar. Aku masih mengingatnya. Bahkan aku masih ingat banyak hal lagi.
“Tentu saja, dulu kau mengatakannya berkali-kali. Terekam dengan sendirinya di ingatanku” kataku mengelak, yah bisa dibilang begitu.
“Sou, lalu bagaimana dengan kau sendiri? Kenapa kau bisa tiba-tiba terdampar di kantor konsultan keuangan seperti ini?” dia balik menanyaiku. Aku membetulkan sedikit posisi dudukku, menyimpan tangan kananku di atas meja dan mengusap-usap dagu ku. Hal yang biasa aku lakukan kalau aku akan menceritakan sesuatu. Dia pun membetulkan posisi duduknya, seperti bersiap untuk mendengar ceritaku.
“Setelah lulus, aku mengambil diploma di Osaka university…”
“Ah jadi gossip itu benar!” Yamashita tiba-tiba memotong ucapanku.
“Gossip?” aku melihat padanya bingung. Aku digossipkan? Aku pikir, yang jelas-jelas terkenal disini itu adalah dia sendiri.
“Yea, aku mendengarnya dari senpai-senpai yang datang ke sekolah setelah beberapa bulan kelulusanmu. Mereka mengatakan kalau kau berkuliah di Osaka” jelas Yamashita.
“A~ sou ka…” jadi aku digossipkan oleh teman-teman sekolahku dulu. “Tak menyangka juga beritanya akan cepat menyebar seperti itu” kataku lagi sambil tersenyum bangga.
“Tentu saja. Tak ada yang tak mengenalmu di sekolah dulu”
“Ahahaha~ tidak seperti itu juga..” aku mengibas-ngibaskan tanganku, sebenarnya senang dengan pujiannya. Yamashita ikut tertawa. Suasana benar-benar sudah cair sekarang. Oh iya, tawanya pun masih sama. Dia memang masih Yamashita yang manis itu…
***
Aku baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutku dengan handuk, saat sepasang tangan menyentuh tanganku, mengambil handuk itu dan membantuku mengeringkan rambutku. Shiori. Dia tersenyum padaku saat aku mengangkat wajahku sebentar melihat padanya.
“Bagaimana klienmu?” tanyanya masih sambil mengusap-usap rambutku dan memijat kepalaku pelan.
“Mmmhh…” aku mengeluarkan suara karena efek dari pijatannya. Dia memang paling bisa membuatku merasa lebih baik. Aku jadi sangat rileks di tangannya. “Seorang model” kataku yang entah sejak kapan sudah memejamkan mataku, menikmati sentuhannya di kepalaku. Sentuhan wanita memang sangat luar biasa. Aku jadi ingat ibuku.
“Model?” ulang Shiori dan aku merasakan tangannya berhenti memijat kepalaku. Aku membuka mataku dan melihat padanya.
“Uhm, kenapa??”
“Apa dia… cantik??” tanyanya ragu-ragu. Ekspresinya tampak tak suka dengan pertanyaannya sendiri. Ah, aku mengerti! Dia cemburu…
“Hmmm” aku memasang muka berpikir, dan dia makin terlihat khawatir.
“Aku tahu. Semua model pasti cantik dan seksi” katanya sambil melepaskan tangannya dari kepalaku dan bermaksud pergi. Tapi aku cepat memegang tangannya, menariknya, membuat dia naik ke pangkuanku. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya, dan dia menyimpan tangannya di bahuku. Mencoba melepaskan diri, tapi tak mungkin bisa.
“Kau terlalu banyak memikirkan hal yang tidak-tidak” kataku pelan sambil menatap wajah cantiknya yang hanya beberapa senti saja dari wajahku. Rambutnya yang panjang dan wangi sedikit menyentuh bagian pinggir wajahku.
“Tapi dia memang cantik bukan?” tanyanya masih dengan pertanyaan tadi. “Dia seksi dan menarik???” aku tak mengerti, kenapa perempuan selalu mengkhawatirkan hal semacam itu. Takut tersaingi dan sebagainya.
“Tapi aku masih lebih memilih bersamamu disini, bukan?” aku malah balik bertanya padanya.
“Iya, tapi…”
“Dia laki-laki, Shiori-chan~” aku memotong ucapannya, berbisik di bibirnya. Dan sebelum dia sempat berkata lagi, aku menciumnya. Menikmati bibir manisnya entah untuk keberapa kali sejak kita mulai berpacaran. Aku selalu seperti ini. Menenangkan Shiori dari segala kecurigaan dan kecemburuannya dengan cara seperti ini memang paling ampuh. Aku tak tahu, mungkin dia memang sangat menyukai ciumanku.. atau aku memang pencium yang hebat?? Haha, aku tertawa sendiri di pikiranku.
Aku membuka mataku sedikit di tengah-tengah sesi berciuman kami yang mungkin semakin lama akan semakin meningkat. Aku merasakan tangannya sudah melingkar di leherku, dan menemukan rambutku yang masih setengah basah. Dia membenamkan jari-jarinya disana seperti biasa. Aku menganggapnya itu sebagai tanda kalau dia sangat menyukai ciumanku dan ingin meneruskannya hingga seperti tak akan ada hari esok.
Wajahnya yang terpejam seperti itu sangat menggugahku, belum lagi suara-suara yang tanpa sadar keluar dari mulut kami yang masih bertaut satu sama lain. Aku menyukainya., membuatku mengingat sesuatu… apa yang aku ingat? Bukan… itu bukan sesi berciuman lainnya dengan kekasihku ini, tapi…dengan orang lain! Dulu…akupun pernah mencoba mencium seseorang seperti ini. Menatap wajah terpejamnya, mendengar suara yang tertahan dari bibirnya yang terkunci dengan bibirku. Pipinya memerah...

Aku melepaskan ciumanku dengan tiba-tiba dari bibir Shiori. Baru saja wajah itu muncul di depan mataku dan hampir menggantikan wajah Shiori. Aku ingat siapa orang itu!
“Toma…??” kata Shiori pelan, disela-sela dia mengatur napasnya. Aku pun hanya terdiam mengatur napasku, memandang wajahnya yang penuh tanda tanya. Dia pasti merasa ada yang tak beres, karena aku tak biasanya memotong ciuman seperti itu kalau memang tidak ada sesuatu yang penting.
“Ada apa?” dia menyentuh wajahku dan membelainya lembut. “Gomen ne, tadi aku tak bermaksud mencurigaimu seperti itu”
Aku masih diam. Pikiranku masih pada wajah itu, pada kenangan dulu yang pernah aku lakukan dengannya. Ciuman pertamaku.
“Toma???” suara Shiori yang merasa tak mendapat perhatian dariku, membuatku tersadar.
“A~ gomen” kataku, dan kembali ke realita sekarang. Ada kekasihku di pangkuanku, dan aku masih memegang pinggangnya erat.
“Kenapa? Kau tak mau memaafkanku?” tanyanya, dengan suara manjanya.
“Tak ada yang perlu dimaafkan, Shiori-chan~” aku memanggilnya dengan panggilan yang manja juga. Dia tersenyum, lalu memelukku. Membuat wajahku terbenam di bahu dan dadanya. Tangannya masih bermain-main dengan rambutku. Tapi aku sudah memikirkan hal lain. Aku sudah tak begitu menikmatinya. Apa ini akan menjadi pertanda buruk untuk hubungan kami??? Aku tidak tahu.
***

WONDER- Chapter 1 (TomaPi)

Pairing : Toma Ikuta X Tomohisa Yamashita

Rating : PG-17


Chapter 1

Aku menghempaskan tubuhku disampingnya. Mencoba mengatur napasku kembali. Mengembalikan kesadaranku yang sesaat lalu sempat seperti berada di puncak yang paling tertinggi… hm? Mount Everest? Whatever, tapi sepertinya lebih tinggi lagi.

“Toma…” pelan aku mendengar dia memanggil namaku. Suaranya terdengar lemah, tapi sama sekali tak mengurangi suara khasnya. Suara yang sudah terbiasa aku dengar sejak 2 tahun yang lalu. Suara yang selalu mengisi hari-hariku sejak hari itu di hari kelulusanku dari universitas. Aku menyatakan cinta padanya dan dia pun menjadi bagian hidupku. Menjadi wanita yang akan aku nikahi suatu hari nanti, yang akan melahirkan anak-anakku, yang akan menjadi ibu mereka, yang akan menemaniku hingga aku tua nanti. Setidaknya itu yang aku pikirkan disaat pertama kali aku memutuskan untuk bertunangan dengannya dan mengajaknya untuk tinggal bersamaku di apartementku ini. Dan seperti yang semua orang mungkin pikirkan, jika dua orang pria dan wanita tinggal bersama apalagi mereka adalah sepasang kekasih, kegiatan seperti ini tak bisa dielakkan lagi. Yea, aku membicarakan hal yang baru saja aku lakukan dengan kekasihku ini… tidak, tunanganku, dia calon istriku. Wanita yang sudah pasti akan menemaniku seumur hidupku. Jadi ini hal yang wajar bukan? Kita sudah melewati masa-masa sebagai sepasang kekasih saja, kita sudah lebih dari itu.

“Kau harus pergi kerja, ne?” tanyanya setelah aku menolehkan wajahku padanya, dan melihat bagaimana meronanya kulit di wajahnya. Membuatnya semakin terlihat cantik. Dan setitik keringat di keningnya, benar-benar pemandangan paling seksi yang pernah aku lihat. Ini sudah ketiga kalinya kami melakukan ini, tapi aku selalu merasa ini yang pertama. Mungkin karena aku sangat mencintainya…well, aku tidak tahu itu ada hubungannya atau tidak, tapi bersamanya memang hal yang paling indah bagiku.

“Sebentar” gumamku sambil membenamkan wajahku di lekukan lehernya. Dia mendesah pelan, membuat tubuhku menghangat lagi. Ok, ini memang bukan ide yang bagus. Aku bisa kehilangan kendaliku lagi. Padahal aku sudah harus berada di kantor sebelum pukul 8, hari ini ada meeting… Nani???! Aku melonjak dari tempat tidur kami. Dia menatapku kaget. Selimut yang menutupi tubuh polos kami sudah setengah terbuka. Aku cepat-cepat mengambil celana piyamaku, dan memakainya dengan sedikit kesulitan. Dia menarik selimut kami lagi menutupi tubuhnya.

“Aku sudah bilang, kau pasti terlambat” katanya menceramahiku. Aku melihat pada jam di meja dekat ranjangku sekilas, pukul 7 lewat 45 menit. Huh, aku hanya ada waktu 15 menit untuk sampai jam 8 tepat. Dan itu sudah pasti mendapat sarapan berupa omelan dari bos ku.

“Aku tidak sempat mandi” kataku sambil masuk ke kamar mandi. Bertepatan dengan bunyi handphone ku yang terdengar meraung-raung di telingaku. Pasti dari kantor, pasti! “A~ Shiori, tolong jawabkan!” aku keluar lagi dengan sikat gigi di mulutku. Shiori yang masih di ranjang, jadi ikut panik sepertiku. Dia mencari-cari handphone ku yang entah terbenam di sisi ranjang sebelah mana dan menjawabnya.

Aku kembali ke kamar mandi menatap wajahku di cermin wastafel, masih sambil menyikat gigiku. Ini yang kadang terjadi setiap pagi di apartementku sejak Shiori tinggal bersamaku. Melakukan itu di pagi hari rupanya memang benar-benar bukan ide bagus, apalagi kalau besoknya kau harus menjalani hari yang penting. Tapi entah kenapa kami sudah dua kali mengulangnya. “Kuso!” gerutuku ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 8 kurang 5 menit. Aku tak akan selamat.

***

Yoshida-san memandangku dengan tatapan nistanya. Seperti yang aku duga, aku memang tak akan selamat. Aku tiba di kantorku pukul 9 tepat! Mobilku terjebak macet, dan aku menyesal kenapa tadi tidak memakai bus saja.

“Kau mengacaukan semuanya Ikuta”

“Sumimasen” aku hanya bisa membungkukkan badanku berkali-kali pada bos ku itu.

“Sebenarnya tidak separah itu Ikuta-kun” suara temanku Akiyama, membuatku melihat padanya. “Bos hanya kecewa karena dia tak bisa memamerkanmu pada klien kita gara-gara tadi kau terlambat” dia tersenyum.

“Eh??” aku memasang muka penuh tanda tanya.

“Dia sudah sangat bersemangat tadi mempromosikanmu, tapi kau tak juga datang. Sampai klien kita harus segera pergi, jadi dia benar-benar gagal memamerkanmu” Akiyama menjelaskannya lagi lebih detil, dan dia tertawa-tawa menertawakan bos kami.

“Oi, urusai Akiyama!!” bentak Yoshida-san, yang langsung membuat Akiyama menahan tawanya lalu pergi kembali ke meja kerjanya.

Aku hanya melihat pada mereka berdua dengan pandangan bingung walau rasanya aku juga ingin tertawa. Bos ku yang galak ini memang orang yang unik, dia bisa jadi sangat menyenangkan tapi juga bisa jadi sangat mengerikan. Lucu.

“Na, Ikuta. Aku sudah menandatangani kontrak dengan klien kita tadi. Kau akan menjadi konsultan nya selama setahun ini”

“Ou, apa pekerjaan klien kita?”

“Dia seorang model. Akhir-akhir ini dia mengalami kesulitan dalam mengatur keuangannya, jadi dia membutuhkan seorang konsultan”

“Ha? Model?” aku agak terkejut, karena tidak biasanya kita mendapat klien seperti ini. Hmm, aku tampak harus bekerja keras karena seperti yang semua orang tahu, model identik dengan pesta, bersenang-senang, berbelanja tak kenal waktu dan itu sudah pasti mempengaruhi keuangannya. Membuatnya harus lebih banyak menabung. Aku harap aku tak kesulitan saat memberikan saran untuknya. Aku pikir, orang yang bekerja di bidang itu mungkin akan sedikit tinggi hati dan keras kepala. Apalagi kalau dia seorang yang sudah terkenal… eh? Benar juga, apa dia model yang terkenal?

“A~ Yoshida-san, siapa dia? Watanabe Chikako kah? atau Kitagawa Keiko? Ito Yuuna?” aku menyebutkan nama-nama model cantik dan seksi favoritku dengan mata berbinar-binar. Mudah-mudahan salah satu dari mereka. Tapi senyuman penuh harapku seketika memudar ketika Yoshida-san menggelengkan kepalanya.

“Ini” katanya sambil menyimpan sebuah file di hadapanku, aku mengambil dan mengamatinya dengan penasaran, beberapa detik...

“EEEHH?????!!”

***