Selasa, 24 November 2009
[Y - part 1] / HeySayJump Fanfic
CHAPTER 1
Bersembunyi. Itu saja yang terlintas d benakku sekarang. Aku pasti tak akan selamat kalau dia sampai menemukanku.
"Nakajima-kun?" sebuah suara yang rasanya aku tahu, tapi tak sempat aku cerna, membuat aku menolehkan kepalaku, dan..
BUK!
Sebuah tinju telak mengenai hidungku.
"Aww!!" erangku sambil menyentuh hidung mancungku yang rasanya seperti lepas dari perangkat wajahku. "Kuso!" umpatku sambil melihat pada orang yang sering aku hajar mati2an d otakku itu.
Wajah sinis Yamada memandangku. Ini orang yang dari tadi aku hindari, ketua kelasku yang menyebalkan.
"Apa yang kau lakukan!?" kataku sambil sedikit meringis dan terus memegangi hidungku. Darah segar menetes dari sana. Perih.
"Itu belum seberapa. kau tahu kesalahan mu yang fatal kan, Nakajima-kun?" nada suara Yamada tak kalah sinis dengan tatapannya.
Yea, aku tahu kesalahanku. Tapi tetap, aku tak suka dengan sikap arogan orang ini. Membuatku kesal saja.
"Aku tak mengerti kenapa kau selalu seenaknya memperlakukan orang lain. Mulailah berubah, jangan terus2an bersikap seperti berandalan!" tambah Yamada, kali ini seperti menasehatiku.
"Kau sama sekali tak mengerti masalahnya, Yamada" aku mengerutkan keningku, antara melakukan perlawanan sekaligus menahan sakit.
"Aku tahu. Chinen-kun sudah menceritakan semuanya, dan sebagai ketua kelas, aku kecewa padamu. Kau bisa membuat buruk nama baik kelas kita..."
Sial. Jadi Chinen yang mengadu pada orang ini? Kadang aku terganggu juga dengan sikap patuh sahabatku itu. Apa susahnya dia berbohong untuk melindungiku!?
"Kenapa kita harus membesar-besarkan masalah sepele.."
"Karena ini bukan masalah sepele" Yamada memotong perkataanku. "Kau memukuli anak kelas lain hanya karena dia menempati tempat membolosmu di atap sekolah.. beruntung dia hanya mengadu padaku, bagaimana kalau dia mengadu pada guru? selain kelas kita tercemar, kau juga akan ketahuan memiliki tempat untuk membolos" Lagi, Yamada mengomeliku dan aku hanya bisa diam masih menahan kesal. Chikuso! kata2 dia masuk akal juga, dan aku jadi tak bisa mendebatnya.
"Aku mau kau bertanggung jawab" Yamada berkata lagi. Tampaknya dia tahu kalau aku tak bisa memprotesnya. Dan bagian ini pun yang paling aku benci.. bertanggung jawab. Dia pasti akan menyuruh-nyuruh aku mengerjakan hal yang tak pantas dikerjakan oleh seorang Nakajima Yuto yang tampan.
"Bersihkan seluruh kamar mandi di sekolah"
Benar kan?? dia bertingkah seolah dia pemilik sekolah.. tapi aku tak bisa menolak.
* * *
Dengan sebuah kapas menyumpal darah yang mengalir dari hidungku, aku mengerjakan perintah Yamada Ryosuke, ketua kelasku yang perlu diberitahu rasanya menjadi orang biasa. Dia terlalu arogan, besar kepala dan seolah mampu diandalkan dalam segala hal. Huh, padahal aku juga mampu. Tubuhku lebih tinggi dari dia, aku lebih memiliki banyak teman, aku juga tak kalah populer di kalangan gadis-gadis. Dan aku yakin kalau aku lebih tampan. Hanya saja mungkin aku tak sepintar dia di kelas.. dan tak selihai dia untuk menjilat para guru. Aku menghela napasku kuat-kuat sambil memukulkan alat pel yang kupegang ke lantai. Memikirkan orang itu selalu membuatku ingin menghajarnya.
"Yuto.." seseorang memanggilku. Aku melihat sahabatku- Chinen Yuri berada disana, memandangku dengan tatapan lesu nya.
Aku tak menyahut, hanya meneruskan mengepel lantai kamar mandi itu.
"Kau marah padaku?" tanya Chinen hati-hati. Dia bisa menangkap gelagatku yang jadi dingin padanya. Padahal biasanya aku akan merangkul dan menepuk-nepuk bahu nya.
"Yuto..?"
"Aku tidak marah. Tapi ini.." aku menoleh padanya dengan tiba-tiba dan menunjuk hidungku. "..ini sakit Chii"
"Aaa, Yama-chan memukulmu?!" Chinen tampak terkejut melihat sumpalan kapas di hidungku.
"Yeah, dan dia juga menyuruhku membersihkan semua kamar mandi. Kau tahu? aku belum menyelesaikan satupun, dan sekarang sudah pukul 3 sore.. aku tidak tahu kapan aku menyelesaikannya" ujarku panjang lebar jadi mengeluh padanya.
"Gomen" kata Chiinen pelan. Aku memandangnya. Sahabatku ini sangat baik, bahkan terlalu baik hati. Aku juga kadang heran kenapa dia mau terus berteman denganku? padahal selama ini aku sangat bertentangan dengannya, aku selalu menyusahkannya. Aku hanya anak nakal yang beruntung bisa berteman dengan anak baik-baik sepertinya.
"Ii yo" kataku pendek. Aku tak mungkin tak memaafkannya. Dia memang tak salah apapun. Ah, wajah manis Chinen yang seperti perempuan hanya membuatku meleleh dan pikiranku yang beberapa waktu lalu menyalahkannya, sekarang tidak lagi. Tentu saja aku sendiri penyebab semua kesialan yang menimpaku sekarang.
" Aku benar-benar tak berharap Yama-chan akan memukulmu" katanya dan mulai berani memandangku dengan wajah polosnya.
"Daijobu!" aku mendekatinya dan menepuk-nepuk pundaknya. Membuat dia merasa lebih baik. "Yamada memang menyebalkan. Dia pasti iri dengan ketampananku" kataku seperti biasa, penuh percaya diri. Aku tersenyum pada Chinen, dia membalas dengan tawa kecilnya.
* * *
Pukul 8 malam, aku baru selesai dengan hukumanku. Aku melakukan itu semata-mata bukan karena aku takut pada Yamada, tapi aku takut dia menceritakan semuanya pada Nohara-sensei, wali kelas kami. Aku dipastikan akan mendapat masalah kalau seperti itu. Tapi yang membuatku harus menahan kesal lagi, ternyata setelah tadi Chinen datang dengan wajah sedihnya meminta maaf padaku, dan aku memaafkannya.. dia tetap tidak mungkin bisa membantu pekerjaanku. Dia anak yang sangat patuh dan selalu dikhawatirkan orang tua nya. Dia tak mungkin pulang malam untuk membantuku dulu. Sedangkan teman-temanku yang lain? semuanya tak mau terlibat kalau aku sedang dalam kesulitan, ck!
Aku menyusuri jalan yang biasa aku lewati setiap pulang. Aku tidak takut meski di daerah ini cukup gelap, dan ini juga pertama kalinya setelah di SMU aku pulang malam-malam seperti ini.
BRUK!
Aku tersungkur ketika tiba-tiba ada orang yang menubrukku. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan dan terjerembab. Tubuhku yang kelelahan nyaris tak bisa menahannya. Tapi untung daya reflek ku masih berfungsi dengan baik. Aku memeluk orang itu dengan spontan. Kami saling memandang di bawah cahaya lampu yang temaram.
"Inoo-chan?!" aku langsung mengenali orang itu. Wajah manis senpai sekaligus tetanggaku tampak disana.
"Yuto?" dia balas menyebut namaku. Dengan hati-hati dia melepaskan pelukanku, yang aku sendiri tak sadar kenapa jadi memeluknya seperti itu. Tapi aku juga baru tahu kalau tubuhnya ternyata rapuh juga di pelukanku.
"Ada apa Inoo-chan?" tanyaku, yang penasaran kenapa tadi dia tiba-tiba menubrukku.
"Itu.." Inoo menunjuk ke arah gang dari mana tadi dia muncul. Aku menoleh dan melihat seorang pria setengah baya terkapar disana. Dari perawakannya aku tahu paling dia orang tua yang baru pulang kerja dan mabuk. Di daerah rumah kami memang banyak yang seperti ini. "Dia menggangguku tadi. Jadi aku memukulnya" jelas Inoo lagi.
"Apa yang dia lakukan?"
"Berusaha menciumku"
"EEH!?" aku melihat pada Inoo, shock. Kasian sekali senpai ku ini, memiliki wajah manis dan tubuh yang menggemaskan mungkin bukan perkara mudah untuknya. Padahal dia sudah 19 tahun dan sudah siap untuk tinggal sendiri di tempat yang bisa lebih dekat ke universitasnya. Atau mungkin semakin dewasa, kondisi baginya semakin rawan?
"Kau sendiri Yuto, sedang apa kau malam-malam disini dan masih memakai seragam sekolahmu!?" Inoo cepat mengalihkan pembicaraan.
"Oh, aku terlambat" jawabku tanpa memakai alasan.
Aku tak mau menceritakan padanya kalau aku terlambat pulang karena mendapat hukuman dari ketua kelasku yg menyebalkan itu.
"Sou ka" dan untungnya Inoo seperti tak tertarik untuk menanyaiku lebih jauh. "Kalau begitu, cepatlah pulang.." katanya pula.
"Ou, kenapa kita tidak sama-sama?" ajakku. "Siapa tahu nanti ada yg menggganggumu lagi di depan sana.."
"Lalu?"
"Kalau ada aku, aku bisa melindungimu" kataku tersenyum yakin.
Inoo balas tersenyum tipis, dia pasti menganggapku sok jagoan. Hampir semua orang mengganggapku begitu. Mulai dari ibu ku, adikku, ayahku, teman-temanku, dan mungkin sekarang Inoo-chan ku.. eh? knp aku menambahkan '-ku' jg d belakang namanya? tanpa sadar aku sudah terenyum-senyum sendiri.
"Ikou?" sentuhan tangan Inoo di tanganku menyentakanku dari pikiran-pikiran tak perlu itu.
"Ou" dengan segera aku meraih tangannya, tanpa aku peduli apa sebenarnya dia keberatan atau tidak.
Hubunganku dengan Inoo-chan, sesuatu yang tak bisa aku jelaskan dengan mudah. Terutama dari sudut pandangku. Aku kagum pada laki-laki yang lebih tua 3 tahun dariku ini. Dia tampan- sepertiku dan pintar. Dia berkuliah di universitas Meiji. Wajah manisnya selalu nampak tenang walau kadang terlihat menggoda. Dia juga baik hati- selalu bisa berpikir positif dan selalu tersenyum ramah. Dia seperti malaikat, setidaknya menurutku. Sikapnya yang hangat, terus terang membuatku nyaman, dan mungkin juga orang lain yang dekat dengannya. Aku sudah mengenalnya sejak masih di sekolah dasar. Dia sering menjagaku. Secara tidak sadar, aku menjadikan dia sebagai sosok manusia yang ideal. Aku ingin seperti dia.. atau aku ingin memiliki seseorang seperti dia?? Aku yang masih sangat muda ini belum bisa mengartikannya dengan benar. Yang aku tahu, Inoo Kei satu-satunya orang yang bisa membuat sisi nakalku jadi melembut. Bahkan sahabatku Chinen yang manis pun belum bisa sesukses ini.
"Inoo-chan.." panggilku. Sambil kita terus berjalan, bersampingan.
"Hmm?" sahutnya, menoleh padaku.
"Sebenarnya aku terlambat karena di hukum.." aku berkata jujur juga padanya.
"Eh? kenapa?"
"Masalah kecil.." aku tertawa-tawa malu.
"Memukuli orang lagi?" ah, tebakan dia benar. Aku tertawa-tawa lagi sambil menggoyangkan tangannya yang masih aku pegang. "Ne, jangan kau biasakan Yuto.." katanya menggelengkan kepalanya.
"Hai - hai wakatta!" jawabku dan tersenyum manis padanya. Inoo membalas senyumanku sambil mengulurkan tangannya seperti biasa untuk mengacak rambutku, padahal aku sudah lebih tinggi darinya sekarang.
Kita sampai di depan rumahnya. Aku tinggal berjalan beberapa meter lagi dari sana hingga sampai di rumahku. Rasanya aku ingin memastikan saja kalau dia memang tiba di rumahnya dengan aman.
"Sudah sampai" gumamku, tanpa berniat melepaskan tangannya.
Tiba-tiba aku merasakan jari lentiknya menyentuh hidungku, hidung indahku yang tadi siang dikoyakkan oleh Yamada. "Aww.." aku mengaduh reflek. Memang masih agak sakit, walau sudah tak ada darah yang mengalir lagi.
"Sudah aku duga. Sebenarnya kau memukuli orang, atau kau yang dipukuli?" tanya Inoo, lagi-lagi tepat sasaran.
"Aku memukul orang, tapi ada orang yang balas memukulku" jelasku akhirnya dengan suara yang pelan. Ku lihat Inoo menggelengkan kepalanya, dia lalu mengeluarkan sebuah sapu tangan dari saku celananya "Pakai ini untuk mengompres hidungmu nanti" dia mengulurkan sapu tangan itu padaku, "Kau pasti tak mau ketahuan Okasaan kan? jadi sebaiknya kau lakukan sendiri"
Aku menerima sapu tangan nya. Dia benar-benar hapal dengan kebiasaanku, aku memang tak mau ketahuan. Ibu ku bisa ribut dan membesar-besarkan, belum lagi ditambah omelan-omelan tak jelas. Tak akan ada yang menolongku nanti, bahkan ayah dan adikku. Mereka hanya akan menikmati saat aku di omeli Okaachan sebagai tontonan gratis, huh!
"A-arigatou, Inoo-chan" kataku.
"Zenzen" Inoo tersenyum lalu mulai melepaskan tangannya dari tanganku dan berjalan mendekati depan rumahnya. Rasanya tadi aku sempat seperti tak rela waktu tangannya lepas dari tanganku. Berlebihan, aku memang berlebihan.
"Jaa na, oyasumi" katanya.
Aku mengangguk.
"Jaa. Oyasumi"
Dan setelah dia membuka pintu rumahnya, aku cepat menggerakkan kaki ku menuju rumahku. Aku jadi tak menyesal sudah pulang malam dan kelelahan. Kesialanku tadi siang rupanya menguntungkan juga. Aku bisa pulang bersama Inoo-chan. Senyuman bodoh terukir di wajahku. Ah, ternyata si menyebalkan Yamada bisa membuatku merasa berterima kasih juga. Untung orang tidak punya hati itu menyuruhku membersihkan kamar mandi sekolah. Huh! kali ini kau selamat Yamada sombong! gerutuku dalam hati. Aku sedang senang sekarang...
"YUTO!" suara Mama menarik paksa aku dari dunia kecilku yang tengah berbunga-bunga. "Dari mana saja!? Kenapa kau baru pulang selarut ini?!"
Aku menghela nafas sebelum menghadapi omelan Mama. Sekarang baru pukul 8 malam tapi menurut ibuku sudah larut untuk anak seumuranku. Dan seperti biasa, sekilas aku melihat senyuman puas di wajah ayah dan adikku... errr.
* * *
Aku sedang mengompres hidungku dengan sapu tangan milik Inoo dan air es, ketika adikku- Raiya masuk ke kamar kami. Tadi saat Mama mengomeliku, dengan susah payah aku berhasil menyembunyikan luka ini. Dan seperti yang sudah aku duga juga, adik dan ayahku menjadi backsound nya, tertawa-tawa kecil di belakang ibuku. Aku hanya memberikan mereka tatapan datarku.
"Kenapa hidungmu?" tanyanya, dia mengamati wajahku.
"Luka" jawabku pendek. Kalau dia tak bertanya lebih jauh, aku tak akan menjelaskan apapun.
"Berkelahi?" tebaknya polos. Aku cepat menempelkan jari ke bibirku.
"Sshh.. jangan bilang pada Papa dan Mama, ok?!"
Raiya tersenyum, sambil masuk ke dalam selimut diatas futon nya yang tadi sudah aku bereskan.
"Aku tahu" katanya.
Itu berarti dia memang berada di pihakku. Adikku itu kadang memang menyebalkan apalagi kalau sudah berkomplot dengan ayahku untuk menertawaiku, tapi aku sangat menyayanginya. Dia adikku satu-satunya, dan aku rela melakukan apapun untuknya. Sebenarnya, aku, Raiya dan Papa adalah 3 orang pria yang kompak, biasanya Mama yg akan repot oleh kejahilan-kejahilan kami.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Raiya lagi tampak penasaran.
"Yamada" jawabku pahit. Pelan aku mendengar Raiya tertawa kecil, aku sudah tahu dia akan merasa lucu. Aku sering menceritakan tingkah memuakkan Yamada pada adikku, dan mungkin dia selalu ingat.
"Sepertinya dia hebat sekali, Niichan.."
"Sama sekali tidak!" sambarku cepat.
"Tapi dia berhasil memukulmu"
"Aku sedang lengah tadi" elakku.
Beberapa saat kemudian, aku tak mendengar suara Raiya lagi. Aku menoleh padanya, dan menemukan adikku itu sudah terlelap di balik selimutnya. Mungkin dia lebih memilih tidur daripada harus mendebat aku.
Aku menghela nafasku pelan sambil menekan-nekan sapu tangan Inoo di lukaku. Rasanya jadi lebih enak, sapu tangan ini lembut di kulitku. Dan aromanya.. aku baru sadar kalau ada aroma Inoo disini. Aku simpan mangkuk tempat air es disamping futonku, lalu mulai merebahkan tubuhku, dengan sapu tangan Inoo masih menempel di wajahku. Ah.. kelelahanku hari ini rasanya terbayar sudah.
CHAPTER 2
Dengan nafas yang tersengal-sengal setelah berlari, akhirnya aku sampai di sekolah. Aku terlambat, gara-gara terlalu kelelahan dan tertidur dengan sangat nyaman tadi malam, hingga Mama kesulitan membangunkanku.
Aku baru akan sampai di kelas, saat aku melihat Nohara-sensei masuk kesana. Ah, yabai! Aku cepat berbalik lagi dan memutuskan untuk ke atap sekolah, tempat membolosku yang kemarin sempat menjadi sengketa itu. Lebih baik aku tidak masuk dulu di jam pertama, pikirku. Tapi..
Aku terpana melihat ada orang lain sudah berada lebih dulu di tempatku itu dan parahnya dia sama sekali bukan orang yang aku harapkan.
"Ohayo Nakajima-kun" sapa orang itu dengan senyuman kecutnya.
Yamada Ryosuke.
"Apa yang kau lakukan disini?!" sahutku cepat, tanpa menjawab sapaannya.
"Menunggumu"
Aku mengerutkan keningku. Apa mau orang ini!? Apa dia belum puas sudah menyusahkanku kemarin!? Kuso!
"Hah? bukankah seharusnya orang penting sepertimu sekarang sudah ada di kelas? pergilah! jangan ganggu aku disini"
"Yuto-kun.." panggil Yamada lagi tiba-tiba dengan sebutan lain. Yang terdengar lebih akrab dan terus terang membuatku jadi agak merinding mendengarnya. Dipanggil seintim itu oleh orang yang selama ini kau anggap musuh, sama sekali tidak bisa menahanmu dari prasangka buruk. Perasaanku jadi tak enak. "Apa kau sibuk akhir minggu ini?" tanyanya masih dengan suara angkuhnya yang menurutku tidak bersahabat itu.
"Untuk apa kau menanyaiku.."
"Aku ingin mengajakmu ke taman bermain"
"HAH??!" aku nyaris melonjak kaget mendengar perkataannya. Apa itu? Kencan? Yamada Ryosuke ketua kelasku yang arogan, menyebalkan, dan orang yang aku anggap musuh bebuyutanku.. sekarang mengajakku kencan!? MAJIKAYO!? apa aku begitu tampan hingga orang sombong ini juga menyukai.. ku??!
"A-apa maksudmu?" kataku lagi hati-hati.
"Aku ingin mengajakmu ke taman bermain akhir minggu ini dengan Suzuki" jelasnya tetap datar dan tenang. Dia tak terpengaruh oleh tingkahku yang sudah terkejut setengah mati dan mungkin juga wajahku sudah memucat.
"EH? Su-Suzu-Suzuki??" aku mengulang nama yang dia sebut dengan terbata-bata. Dadaku tidak lagi berdebar-debar sekeras tadi.
"Un, Suzuki Airi. Kau kenal dia kan?"
Ah.. ternyata memang perempuan dari kelas sebelah itu. Aku pernah dengar kalau katanya Suzuki memang ada hubungan dengan Yamada, tapi aku tidak tahu kalau mereka memang benar-benar.. eh? lalu apa hubungannya denganku? kenapa aku harus pergi dengan mereka?!
"Jangan terlalu banyak berpikir Yuto-kun, aku akan menjemputmu akhir minggu ini.."
Yamada berjalan melewatiku. Dia tahu kalau pikiranku berkecamuk.
"Tu-tunggu.."
"Aku yang akan mengurus Nohara-sensei. Hari ini kau bisa membolos sampai pulang sekolah nanti" katanya, yang sekali lagi hanya membuatku terkesima. Ketua kelas kejam ini menawariku untuk membolos? Ck, aku harap besok pagi matahari masih terbit dari timur. "Tapi kalau kau tidak mau pergi denganku akhir minggu ini, mungkin aku akan mengatakan sesuatu pada Nohara-sensei"
Ha? sekarang dia mengancamku? Yappari.
Yamada terus berjalan melewatiku, seperti tahu kalau aku pasti tak akan bisa memprotesnya.
Sekilas aku melihat senyuman lagi di bibirnya, tapi kali ini aku tak bisa mengartikan senyum itu.
* * *
"Yuto..?" samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggil namaku dan mengguncangkan tubuhku, membuat aku membuka mataku yang entah sejak kapan sudah terpejam. Wajah manis Chinen yg menyambutku.
"Chii..?" kataku sambil menggeliat, dan mengerjap-ngerjapkan mataku.
"Aku tahu kau ada disini dari Yama-chan. Aku pikir terjadi sesuatu sampai kau tidak masuk"
Seketika otakku berfungsi lagi, aku melihat ke sekeliling, masih di atap sekolah di tempat membolosku yang nyaman. Aku jadi ingat perjanjianku dengan Yamada tadi, perjanjian sepihak, karena orang itu yang dengan seenaknya memutuskan sendiri hingga aku tak punya pilihan lain.
"Apa yang dia katakan pada Nohara-sensei?" tanyaku ingin tahu.
"Dia bilang kau tidak enak badan, jadi kau tidak masuk hari ini"
Wow, dia benar-benar menepatinya. Berbohong pada guru demi aku? hal yang mestinya tidak akan pernah mungkin dilakukan seorang Yamada. "Ada apa?" tanya Chinen pula.
"Chii, apa kau tahu tentang hubungan Yamada dengan Suzuki?"
"Ehm aku sering mendengar gosip tentang mereka, tapi aku tidak tahu apa mereka sudah berpacaran atau belum.." jelas Chinen.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
"Sepertinya mereka berpacaran" gumamku.
"Benarkah? Kau tahu?"
Aku tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Aku tidak tahu. Aku sendiri juga tidak tahu. Aku belum bisa menangkap maksud dari Yamada yang menginginkan aku agar ikut dengannya hari Minggu nanti.
"Kenapa kau menanyakan itu? apa kau menyukai Suzuki?" tanya Chinen tiba-tiba, terdengar penasaran sekaligus polos.
"Eh? Muri deshou.. aku tak mungkin menyukai yang disukai Yamada. Kalaupun ada yang suka, pasti perempuan itu yang menyukaiku" sangkalku cepat. Seperti biasa Chinen malah tertawa mengira aku sedang membuat lelucon, walau sebenarnya tidak. Aku sungguh penasaran, apa yang sudah direncanakan Yamada hari Minggu nanti.
* * *
Aku sedang mengendap-endap keluar dari sekolah ketika ada orang yang memanggilku.
"Yuto?"
"Ah, Inoo-chan?!" dadaku agak berdebar ketika melihat siapa orang itu. Inoo-chan bersama Yamada dan seseorang yang rasanya aku tahu. "Kau sedang apa disini? bel istirahat baru saja selesai"
"A-ano.." aku mencari alasan, dan mata ku malah tertumbuk pada Yamada yang sedang memandangku dengan tatapan seperti 'bodoh-kenapa-kau-berkeliaran'.
Aku mengacuhkannya.
"Kau belum pulang, Nakajima-kun?" tanya Yamada, sebelum aku baru akan menjawab Inoo.
"Eh, pulang?" Inoo melihatku heran dan mungkin dia langsung percaya karena aku membawa-bawa tas ku.
"Nakajima-kun agak tidak enak badan, ne?" Yamada menyahut lagi, sambil memberikan kode lewat tatapan matanya agar aku cepat mengiyakan saja dan pergi dari sana. Tapi aku tak mau menurut pada orang menyebalkan ini. Apalagi disini ada Inoo, aku tak mau terburu-buru.
"Inoo-chan juga, apa yang kau lakukan disini?" lagi, aku mengacuhkan Yamada dan bertanya pada Inoo. Aku tak mau tahu kalau dia mungkin mengutukiku dalam benaknya.
"Ah aku hanya mengunjungi sensei, sekaligus mengantar Kou-kun menyelesaikan sesuatu" jelas Inoo sambil menunjuk laki-laki satunya yang akhirnya aku ingat adalah Yabu Kota, teman Inoo yang sering aku lihat datang ke rumahnya. Sekarang mereka kuliah di tempat yang sama, pasti mereka lebih akrab lagi daripada saat di sekolah dulu.
Aku menganggukkan kepalaku sopan pada Yabu, bagaimanapun juga dia adalah senpai ku. Laki-laki yang lebih tinggi dariku itu hanya balas tersenyum tipis, kenapa aku merasa dia meremehkanku?
"Ne Yamada, kenapa kau tidak cepat masuk ke kelas?" aku mengalihkan lagi perhatianku pada Yamada. Aku baru sadar kenapa dia harus ada di tengah-tengah kami?
"Aku mengundang Yama-chan untuk datang ke pameran di kampusku nanti" jawab Inoo tiba-tiba.
"Eh? Pameran?" ulangku yang sebenarnya terganggu dengan panggilan akrab Inoo kepada Yamada.
"Un, Yama-chan bilang dia tertarik dengan jurusanku, jadi aku mengundangnya" aku melihat Inoo saling melempar senyum dengan Yamada. Cih, dia mengeluarkan jurus menjilatnya lagi. Dan kali ini Inoo-chan ku.. makhluk ini benar-benar suka sekali mencari masalah denganku.
"Lalu, aku?" tanyaku.
"Kau?"
"Inoo-chan tidak mengundangku?"
"Undangannya hanya untuk dua orang, dan aku memberikan semuanya pada Yama-chan.."
Inoo tampak bersalah saat mengatakannya. Pasti dia tak menyangka aku akan peduli dengan acara-acara seperti itu.. karena aku memang tidak peduli. Aku hanya tak mau melewatkan saat-saat yang memungkinkan aku berduaan dengan Inoo. Tapi begitu mendengar nama Yamada, aku jadi tak tertarik. Aku tak sudi kalau harus membuang-buang waktu ku dengan orang angkuh ini.
"Kalau kau mau, kau bisa datang denganku" tawar Yamada tiba-tiba yang langsung membuatku memutarkan bola mataku. Dia benar-benar cari muka di depan Inoo.
"Kita lihat saja nanti" kataku, sengaja menunjukkan ketidaktertarikanku.
"Baiklah, aku akan senang kalau kalian berdua bisa datang" kata Inoo yang tampaknya tak menyadari atmosfir tidak nyaman antara aku dan Yamada.
"Oh aku harus kembali ke kelas" ujar Yamada.
"Ok, sankyu Yama-chan"
"Ou senpai" Yamada mengangguk sopan pada Inoo dan Yabu. Aku hanya melihat padanya tanpa ekspresi, dan dia balas melihat padaku sekilas. Pandangannya seperti waktu itu lagi, tak bisa aku artikan, dan terus terang membuatku agak berdebar. Argh, tidak penting!
"Kalau begitu Yuto, kau ikut kami saja" ajak Inoo setelah Yamada pergi dari sana. "Kebetulan Kou-kun membawa kendaraan. Kami akan mengantarmu sampai rumah"
"Eh, apa boleh?"
Aku melihat pada Yabu-kun yang hanya mengangguk lalu menarik tangan Inoo, membuatku harus mengikuti mereka seperti orang bodoh. Apa sebaiknya aku tidak ikut? Aku tak enak menolak ajakan Inoo, tapi tak bisa dipungkiri kalau aku merasakan firasat buruk.
...Sesuai dengan firasatku, semuanya memang tidak enak dan terasa buruk. Aku duduk di kursi penumpang belakang di dalam mobil Yabu ini, dan tentu saja mereka berdua di depan mengobrol dengan riang. Sepanjang perjalanan aku merasa Inoo tak memperdulikanku. Dia terlalu sibuk dengan temannya itu, mereka terlalu akrab. Telingaku panas mendengar suara tawa mereka.
"Aku berhenti disini" kata ku ketika mobil melintas di depan toko ramen tempat temanku bekerja. Jangan heran kalau aku memiliki banyak teman yang lebih tua dariku, karena aku memang mudah bergaul.
"Eh? kau tidak pulang" Inoo menengok ke arahku kaget.
"Uhm, aku ada perlu.." aku berbohong, tentu saja. Aku tak mau bilang padanya kalau aku tak mungkin pulang sekarang karena aku sedang membolos dan aku bisa dihajar habis-habisan oleh Mama.
"Bukankah kau tak enak badan?" sekarang Inoo memandangku curiga. Akhirnya dia sadar juga, memangnya dari tadi aku terlihat seperti orang yang tak enak badan? Ah, aku merasa buruk karena sudah mempermainkan Inoo.
"Yea, ano-"
"Baiklah, aku juga berhenti disini. Aku ikut denganmu" potong Inoo, membuatku cukup terkejut.
"Kei?" Yabu menyela dan memandang Inoo sama terkejutnya dengan aku.
"Daijobu.. daijobu.." Inoo tersenyum dan kulihat Yabu tak bisa membujuknya lagi. Akhirnya kami turun disana.
Aku menunggu Inoo yang entah mengobrol apa dulu dengan Yabu setelah kami turun dari mobilnya. Yabu seperti memberinya pesan-pesan atau entahlah. Yang aku lihat dia tampak protektif pada Inoo-chan, dan Inoo sepertinya tidak keberatan.
* * *
Yaotome Ramen House.
Aku dan Inoo telah berada di depan toko ramen dimana teman-temanku bekerja. Dan sebenarnya pemilik toko ramen ini pun adalah temanku. Teman kami. Aku nyaris lupa kalau Inoo juga mengenal mereka.
"Irrashaimase" aku dan Inoo langsung disambut begitu kami masuk. "Ah kalian!" teriak Takaki lagi yang terang-terangan menyuarakan nada kecewa begitu melihat kami. Mungkin dia mengira kami pengunjung. Saat itu mereka memang baru membuka toko nya.
"Ou Takaki-kun!" sapaku.
"Yo Yuto.. Oh Inoo-chan?!"
Inoo pun membalas sapaan Takaki. Rasanya sudah cukup lama kami tak berkumpul lagi seperti ini. Aku berada di sekeliling orang yang biasa menjagaiku.. dulu. Sekarang aku bisa menjaga diriku sendiri dan malah mungkin menjaga mereka.
"Kalian?" sebuah suara lain menginterupsi kami. Ini dia si pemilik toko, Hikaru Yaotome. Dia masih sebaya dengan Inoo dan Takaki, tapi selepas sekolah dia harus meneruskan usaha orangtua nya ini. Jadilah dia bertingkah seperti bos sekarang, dan kadang-kadang aku melihatnya seperti ojisan.
"Hikaru-jisan!" sapaku seenaknya sambil menghambur ke pelukannya yang dengan cepat dia tolak mentah-mentah. Dia menutupi muka ku dengan kain lap yang dipegangnya.
"Jauh-jauh dariku kau anak muda pembolos!" katanya. Inoo dan Takaki menertawakan kami. Aku cepat menyingkirkan kain lap itu dari muka ku, sial.. Hikaru tahu kalau aku suka membolos.
"Aku tidak bolos!" kataku mencoba menyangkal.
"Ohya? Lalu kenapa di jam sekolah seperti ini kau berkeliaran dengan baju seragam, hah?" Hikaru menekankan kain itu sekali lagi ke muka ku. Aku cepat menepisnya.
"Aku-"
"Yuto tidak enak badan, jadi pulang lebih cepat, ne?" Inoo mendahuluiku yang baru akan beralasan. Dia menyelamatkanku, tapi terdengar seperti menyindir juga.
"Jangan percaya pada anak nakal ini" kata Takaki yang dengan enaknya tertawa dan menepuk kepalaku.
"Kau seperti baru kemarin mengenalnya saja, Inoo.." timpal Hikaru pula menggeleng-gelengkan kepalanya. Kulihat Inoo tersenyum dan memandangku,
"Aku hanya ingin lebih percaya padanya" katanya lembut, dan mendadak tubuhku seperti membeku tapi jantungku berdegup keras sekali, lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Yabai..
"Hai, hai.. manjakan saja adik kesayanganmu ini Inoo-chan!" komentar Takaki sambil berlalu untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Yeah, terus saja manjakan dia" tambah Hikaru pula, "Anak ini pasti tak akan dewasa meski badannya lebih tinggi dari kita"
Mereka tertawa. Aku malah diam, sibuk dengan perasaanku sendiri.
CHAPTER 3
Bunyi nyaring ponselku, membuat aku agak terganggu dari tidurku.
"Niichan~ ponselmu.." samar, kudengar juga suara Raiya yang perlahan berusaha membangunkanku. Aku membuka mataku sedikit dan menggapai-gapaikan tangan meminta ponselku, Raiya yang sedang berada di meja belajar, mengambilkannya untukku.
"Hai?" aku menjawab telepon tanpa melihat caller id-nya terlebih dulu.
"Yuto-kun, aku sudah berada di depan rumahmu.."
EH? Seketika aku membuka mataku lebar-lebar, shock mendengar suara itu.
"Yama- Yamada?" kataku untuk memastikan. Aku melonjak bangun dari futon ku dan menghampiri jendela kamarku yang berada di lantai 2 ini, aku cepat membuka tirainya.. ah, dia benar ada di bawah sana.
"Apa yang kau pikirkan?! Ini masih terlalu pagi untuk pergi ke taman bermain..."
suaraku yang sudah agak meninggi karena ingin memprotesnya langsung menghilang begitu aku melihat jam di meja belajarku, pukul 11 lebih. "..kuso" umpatku akhirnya, setengah berbisik.
"Ini sudah hampir siang" kata Yamada yang aku yakin dia mendengar umpatanku barusan. Dan mungkin dia menertawakanku juga dalam hatinya.
"Aku tahu, kau masuklah. Aku akan bersiap-siap dulu!" tanpa menunggu jawabannya, aku mematikan ponselku, menyimpannya begitu saja di atas meja belajar dan cepat-cepat menuju kamar mandi. Raiya yang sedang mengerjakan PR, hanya memandangku bingung.
* * *
Hal pertama yang aku lihat ketika aku turun dari kamarku dan menuju ruang depan adalah pemandangan ibuku yang sedang mengobrol akrab dengan Yamada. Mama tertawa-tawa dan ramah sekali pada makhluk itu, aku yakin dia mengeluarkan jurus menjilatnya.
"Yuto, kau membuat Ryo-chan menunggu lama" kata ibuku. Aku langsung memandangnya tak percaya, RYO-CHAN? NANDAYO!? panggilan macam apa itu!? Bahkan pada Chinen yang sudah sering kemari, Mama tak pernah memanggilnya seintim itu. Tapi orang ini.. dia baru pertama kali datang- itu pun tidak diharapkan, dengan mudahnya bisa mengambil hati ibuku secepat ini!? kenapa!??
"Ii yo, Okasaan" Yamada menjawab dan sekali lagi aku harus membelalak, OKASAAN? ck, dia pikir dia siapa berani memanggil ibuku seperti itu!? Dia bahkan bukan teman baikku! Chinen saja masih memanggil ibuku dengan sebutan 'Nakajima-san', lalu kenapa dengan orang ini!? Kenapa dengan mereka berdua!?
"Kalau begitu, hati-hatilah kalian" Mama berpesan setelah kami akan pergi.
"Hai" sahut Yamada, sopan. Aku belum bisa berkata-kata, masih terlalu shock. Tapi mereka tampaknya tak menyadari.
* * *
"Kau kenapa?" tanya Yamada ketika kami sampai di halte bus. Dia bilang kami harus menunggu sebentar karena dia dan Suzuki berjanji untuk bertemu disana.
"Aku tidak apa-apa" jawabku monoton. Padahal mungkin dia heran karena sejak keluar dari rumahku tadi, aku belum mengatakan apapun. Kami sama sekali tidak mengobrol.
"Kau belum mengatakan apapun" katanya lagi.
"Aku hanya heran kau selalu cepat akrab dengan orang lain" kata ku akhirnya, jujur.
"Maksudmu Okaasan?" dia langsung mengerti, dan aku mengerutkan keningku mendengar dia memanggil ibuku dengan sebutan itu lagi. "Kau tidak suka aku dekat dengan ibumu? Dia sangat ramah dan menyenangkan.."
"Memang. Tapi setahuku kau dan aku bukan teman baik, Yamada" ujarku agak ketus.
"Kau masih kesal karena aku memukulmu kemarin dulu?" tanyanya. Aku menghela nafasku, sebenarnya bukan itu saja. Memangnya selama ini dia tidak sadar kalau kita tak pernah bisa berteman? Selalu ada saja yang membuat aku dan dia bertentangan. Aku orang yang suka seenaknya sedangkan dia orang yang teratur dan sangat menjaga image. Aku pikir kita sama-sama tahu kalau kita tidak saling menyukai.
"Atau karena yang dulu-dulu? Apa aku terlalu keras padamu?" tambahnya lagi karena aku malah diam. Dan dia memang seperti punya kemampuan untuk membaca pikiran orang.
"Aku pikir kita memang tak pernah berada di jalur yang sama, kau tahu itu" kataku.
"Kau pikir begitu?"
"Memang begitu. Kita ini bersaing"
"Aku tak pernah menganggapmu sainganku" aku melihat Yamada mengerutkan keningnya tak setuju. Dan aku merasa dia melecehkanku sekarang.
"Kau mau bilang kalau aku tak pantas jadi sainganmu!?" aku agak meninggikan suaraku tanpa sadar.
"Karena kita memang bukan saingan"
"Kau selalu menganggapku remeh!"
"Kenapa kita tidak berteman saja?" katanya tiba-tiba. Ini sikap aneh Yamada untuk kesekian kalinya. Setelah dia tiba-tiba mengajakku keluar hari ini, dan rela berbohong pada guru. Apa memang hanya untuk membalas budi karena aku mau ikut dengannya sekarang? Tapi kenapa dia harus menawariku pertemanan?
"Kau tak mau berteman denganku?"
Aku tak bisa berkata apapun. Harga diriku rasanya terlalu tinggi dan aku takut jadi tampak menyerah kalau aku mengiyakan begitu saja.
"Yuto-kun.." dia memandangku, meski tatapan nya sama dengan biasanya, tapi aku seperti membaca makna lain. Dia benar-benar berharap untuk bisa berteman denganku, masaka?!
"Aku-"
"Yama-chan!" suara seorang perempuan menginterupsi kalimat yang akan aku katakan. Suzuki sudah datang.
"Airi-chan" sapa Yamada pula. Aku bisa melihat kalau mereka memang akrab.
"Ah, Nakajima-kun?" Suzuki menyapaku juga, dan rasanya kalau aku tidak salah lihat, sepertinya dia cukup kaget melihatku disini. Tentu saja, perempuan mana yang akan senang kesempatan kencan nya untuk berduaan dengan orang yang dia suka harus diganggu oleh orang ketiga yang tidak diharapkan seperti aku.
"Yo Suzuki" aku balas menyapanya.
Setelah menunggu sebentar lagi sambil mengobrol, bus pun datang. Aku agak terhenyak saat tangan Yamada menarik tanganku dan membiarkan Suzuki mengikuti sendiri. Lagi, di dalam bus pun aku dibuat tak mengerti, kami duduk di bangku berdua, sedangkan Suzuki duduk sendiri di bangku sebelah kami. Huh, apa-apaan ini?! aku ingin sekali memberitahu Yamada, tapi begitu melihat ekspresinya aku jadi hanya bisa memendamnya. Dia terlihat biasa saja, Suzuki pun.. kenapa dia tampak tidak keberatan!? mereka tetap mengobrol seperti tadi walau sekarang lebih berjarak. Ck, pikiranku jadi berkecamuk memikirkan hal tak penting ini. Apa sebenarnya yang mereka mau!?
"Apa kita akan mencoba roller coaster?" tanya Suzuki pada Yamada, setelah dari tadi kami mencoba banyak permainan.
"Bagaimana Yuto-kun?" Yamada malah bertanya lagi padaku.
"Eh?" aku sebenarnya tidak begitu suka naik roller coaster, tapi aku tak mau terlihat bodoh di depan orang angkuh ini. "Ok, kita coba saja"
"Kau berani? sebenarnya aku agak takut" kata Yamada sambil tertawa kecil. Ini pertama kalinya aku melihat dia tertawa malu seperti itu. Aku tak menyangka dia akan mengaku terang-terangan di depan gadis kencannya.. dan di depanku? ah mungkin baginya tidak penting dia terlihat bodoh di depanku, dia tidak menganggapku orang hebat yang harus dia waspadai, sial.
"Kau takut?"
"Aku tidak berani" katanya dan sekali lagi tertawa padaku, kali ini lebih manis..
"Baiklah, kita coba yang lain saja" ajak Suzuki, membuatku harus melepaskan mataku dari wajah manis Yamada.. eh? sejak kapan aku berpikir dia manis!? Kuso!
Sepanjang hari itu pun aku tak berhenti berpikir, apa maksud semua ini?? tapi aku harus mengakui kalau aku menikmatinya. Bermain bertiga rupanya tak seburuk yang aku duga. Aku jadi ikut tertawa-tawa dengan mereka. Aku beberapa kali melihat Yamada tertawa - sungguh pemandangan yang jarang aku lihat. Dan anehnya Yamada juga selalu meminta pendapatku lagi setiap Suzuki mencetuskan sesuatu. Aku benar-benar bingung. Bukankah ini kencan mereka?
Hontou wakaranai~
* * *
Kami berpisah lagi di halte. Suzuki pergi sendiri ke arah yang berlawanan. Aku dan Yamada berjalan bersampingan ke arah tempat tinggalku. Sebenarnya aku tidak tahu kemana arah pulang Yamada, mungkin melewati daerah rumahku?
Lagi,seperti saat berangkat tadi, kami tak banyak bicara. Sampai tiba-tiba aku bersin karena hembusan angin yang menyergap kami, musim gugur memang akan segera tiba dan kadang anginnya tidak menyehatkan.
"Ah itu Inoo-chan?" kataku setelah mencoba merapatkan jaketku. Aku melihat ke jalan, ada Inoo yang sedang masuk ke mobilnya dengan seorang perempuan, yang belum pernah aku tahu. Mungkin teman kuliahnya.
"Dia bersama Miyabi-san" sahut Yamada.
"Miyabi-san?" aku menoleh padanya kaget. Kenapa dia bisa tahu nama perempuan itu? seperti sudah mengenalnya.
"Yea Miyabi-san. Dia pacar Inoo-senpai, kau tidak tahu?" dia bertanya padaku. PACAR? demi tuhan aku tidak tahu kalau Inoo sudah punya pacar! dia tak bercerita apapun padaku! tapi kenapa malah Yamada yang tahu!?
"Benarkah?"
"Iya, aku diberitahu Yabu-kun" rupanya dia tahu dari teman Inoo itu, berarti Inoo memang tidak bercerita pada siapapun lagi.
"Sou ka" gumamku yang mendadak jadi tak bersemangat. Aku sebal karena Inoo tak memberitahuku, tapi aku lebih sebal lagi karena dia.. sudah punya pacar. Entah kenapa aku seperti tak rela.
"Aku tak jadi mengantarmu" suara Yamada membuyarkan aku dari pikiranku.
"Eh?" aku melihat pada Yamada heran. "Memangnya kau mau mengantarku?"
"Tadinya iya" aku menangkap suara Yamada lebih datar daripada biasanya.
"Aku pikir tempat tinggalmu ke arah sini juga.."
"Tidak, aku harus naik bus lagi"
"Hah?" aku nyaris tak percaya mendengarnya. Jadi dari tadi dia.. "Harusnya kau mengantar Suzuki" kataku.
Yamada hanya mengangkat bahunya, entah apa artinya.
"Kalau begitu pulanglah" ujarku lagi. "Sankyu, sudah mengajakku. Tadi menyenangkan" tambahku. Bagaimanapun juga, aku anak yang tahu terima kasih.
Yamada tersenyum tipis,
"Terima kasih juga kau mau pergi denganku"
Aku membalas senyumannya singkat. Hei, aku belum mengiyakan untuk berteman dengannya, tapi kata-kata kami terdengar seperti dua orang yang sudah berteman baik, cih. Aku jadi bingung dengan diriku sendiri.
Kami pun berpisah disana, aku membalikkan tubuhku lebih dulu hingga tiba-tiba Yamada memanggilku lagi. Aku berbalik dan memperhatikan dia menghampiriku sambil melepas scarf berwarna biru yang dari tadi melingkar di lehernya. Perlahan, dia memakaikan scarf itu padaku.
"Kau bisa terkena flu" katanya, yang dengan sukses membuatku terpana.
CHAPTER 4
Aku sedang bermalas-malasan dengan kucingku malam itu, ketika ponselku berbunyi. Nama Inoo-chan muncul di layar.
"Hai, moshi-moshi?"
"Yuto, kau sedang sibuk?" aku mendengar suara Inoo di ujung telepon.
"Tidak sama sekali"
"Kau mau pergi denganku?"
"Eh, kemana?"
"Apartemenku"
Beberapa menit kemudian aku pun sudah siap menunggu Inoo menjemput di depan rumahku.
"Sugeee~" kataku takjub melihat isi apartement sederhana Inoo. Kecil tapi nyaman, cocok sekali untuk anak muda berusia 19 tahun sepertinya. "Aku juga mau apartement seperti ini nanti" ujarku.
Aku mengamati kamar yang sangat ideal itu. Kamar impian para laki-laki muda yang menjelang dewasa. Sebuah ranjang, meja belajar, lemari pakaian dan benda-benda pajangan yang stylish. Sebuah televisi lengkap dengan perangkat dvd,tape dan video game tersimpan rapi d depan ranjang. Aku benar-benar menyukai kamar ini!
"Kau bisa menempati apartement ini nanti kalau kau berhasil masuk ke Universitasku juga" kata Inoo.
"Ah, kau benar.. aku juga harus masuk Meiji!" sahutku yakin. Inoo tertawa kecil, dia bergerak menuju dapur yang terlihat dari ruang tidurnya ini. Sedangkan aku duduk di ranjangnya, menyapu setiap benda dengan mataku.
"Aku akan membuat jus jeruk" kata Inoo pula sambil mengeluarkan dua buah gelas, juga es batu dan botol jus dari lemari es nya.
Aku memperhatikan lagi meja belajarnya, sampai mataku melihat sebuah foto yang diberi frame tersimpan manis disana. Foto Inoo dan perempuan yang aku lihat kemarin-kemarin. Mereka berpose cukup mesra, dengan pipi yang bersentuhan.
"Inoo-chan?" panggilku.
"Hmm?" Inoo menyahut masih sibuk dengan minuman yang dia buat.
"Siapa gadis cantik ini?"
Inoo menengok padaku sebentar, melihat aku menunjukkan foto itu.
"Ah, Miyabi-chan" jawabnya sambil kembali sibuk.
"Dia.. pacarmu?" tanyaku hati-hati.
"Kau tahu?" dia tertawa kecil sambil membawa minumannya yang sudah selesai. Dia memberikan satu gelas untukku.
"Hanya menebak, kataku sambil menerima minuman itu.
"Un, dia pacarku"
Aku antara shock dan tidak. Ternyata memang benar. Aku meminum jus ku pelan, menenangkan diriku sesaat sebelum aku ingin mengungkapkan protesanku.
"Kenapa kau tidak bilang padaku?"
Inoo memandangku,
"Aku pikir tidak terlalu penting"
"Bercerita padaku tidak penting?"
"Maksudku, tidak penting menceritakan Miyabi"
"Kenapa?" aku malah seperti ingin memojokannya.
"Aku tidak merasa perlu" jawabnya singkat dan tersenyum tipis.
Kami terdiam beberapa detik, sampai aku bertanya lagi padanya dengan penasaran.
"Apa Inoo-chan menyukainya?" tanyaku pelan, tapi jelas terdengar karena sangat sepi disini.
Inoo tersenyum lagi, dia selalu suka tersenyum meski aku tidak tahu pasti apa yang ada di hatinya.
"Aku tak mungkin mau berpacaran dengannya kalau aku tidak menyukainya,bukan?"
"Sou, tapi kenapa aku merasa kau tak bahagia.."
Aku melihat Inoo malah tertawa kecil, padahal aku sudah memasang ekspresiku yang paling serius.
"Kau.. anak kecil" katanya.
Aku memandangnya datar, jadi dia menertawakanku.
"Umurku mungkin masih kecil, tapi kedewasaan seseorang tak bisa di ukur dengan umur" kataku dingin.
Dia berhenti tertawa dan balik memandangku, serius.
"Kau benar, gomen ne" katanya.
"Jadi, apa itu benar? Kau tidak bahagia?"
"Dia selalu sibuk, aku terlalu sering menunggunya" cerita Inoo akhirnya. Dia tampak tak nyaman menceritakan itu, mungkin aku memang terlalu memaksanya.
"Lalu? kau hanya diam saja?"
"Aku tak mau hubungan kami rusak hanya karena masalah sepele.."
"Tapi kenyataannya itu bukan masalah sepele kan?" sambarku. Inoo menggelengkan kepalanya, tersenyum lagi.
"Itu bukan apa-apa"
Aku menghela nafasku, menyerah. Sudahlah, mungkin dia memang baik-baik saja. Lagipula aku tak mau dianggap ikut campur, tapi melihat dia seperti itu memang membuatku tak nyaman. Tak rela.
"Ne Yuto, kau mau main game?" ajaknya setelah beberapa detik kami terdiam lagi. Dia mengalihkan pembahasan dengan segera.
"Aku mau pulang saja" kataku sambil menyimpan gelas yang kupegang di atas meja belajar. Aku juga beranjak dari ranjangnya. Inoo memandangku setengah terkejut. Mungkin aku terlihat kesal, tapi bukan kesal padanya. Hanya.. entahlah.
"Aku akan mengantarmu" Inoo pun segera beranjak dan mengambil kunci mobilnya. Tanpa banyak bicara lagi, aku keluar dari apartement itu, Inoo mengikutiku.
Setelah melewati perjalanan yang tanpa obrolan, kami pun tiba di depan rumahku.
"Arigato" kataku pelan, lalu bermaksud keluar tanpa menunggu jawabannya. Tapi Inoo menarik tanganku sebelum aku sempat turun. Aku menoleh padanya.
"Aku yang harusnya berterima kasih" kata Inoo dengan senyumannya yang aku lihat lebih seperti biasa, bukan senyuman tipis seperti saat di apartement tadi.
Aku balas tersenyum, sebenarnya aku merasa tak enak karena mendadak bersikap seperti ini hanya karena membahas Miyabi-san.
"Gomen" akhirnya aku malah meminta maaf.
"Ii yo" tangan Inoo terulur, dan seperti biasa mendapatkan rambutku, mengacak-acaknya pelan. Aku semakin tak menentu.
CHAPTER 5
Usai istirahat, aku tak segera ke kelas. Aku mau membolos jam pelajaran terakhir. Seperti biasa berbaring di sebuah tembok di atap sekolah, memandang lepas ke arah langit yang tampak cerah disana. Aku berpikir, dan bayangan Inoo-chan yang berkelebatan di benakku. Aku tak mau membiarkannya menyukai seorang perempuan tetapi disakiti.. aku tak rela Inoo-chan diperlakukan begitu. Dia termasuk orang penting untukku. Aku bersedia melakukan apapun untuknya asal dia bahagia dan tersenyum dengan tulus. Dia juga berani melakukan apapun untukku sejak aku kecil. Sekarang giliranku untuk membuatnya tidak merasa sendiri. Dia memiliki aku dan aku memilikinya.
Sesaat, mataku tertumbuk pada tasku yang tergeletak tak jauh dari tempatku berbaring. Sebuah benda berbentuk kain berwarna biru menyembul keluar dari tasku, sedikit dihembuskan angin. Aku mengulurkan tanganku dan mengambilnya. Oh scarf milik Yamada. Aku baru ingat belum mengembalikannya sejak beberapa minggu yang lalu dia meminjamkannya padaku. Aku tak tahu apa maksudnya waktu itu, mungkin dia memang berusaha mencari muka juga di depanku. Sudah aku bilang kalau kepribadianku yang keren ini mudah sekali membuat orang lain berkeinginan dekat denganku. Lihat saja, sampai Yamada yang angkuh pun ingin sekali mendapat perhatian dariku. Meski dalam hati sebenarnya aku pun agak curiga, aku takut dia merencanakan sesuatu yang tak baik untukku.
Aku melingkarkan scarf itu di leherku, lalu kembali berbaring disana. Scarf itu terkena angin, menyentuh wajahku lembut, membuat aku memejamkan mataku. Mengantuk. Atap sekolah ditambah cuaca cerah dan angin yang semilir sungguh hal yang tak bisa ku tolak sekarang untuk tertidur dengan nyaman. Hidungku menangkap aroma dari scarf itu.. Yamada.. aku merasa dia ada di dekatku sekarang. Aku harap aku tidak akan bermimpi buruk.
* * *
"Yuto.." aku mendengar suara Chinen dan merasakan tangannya yang mengguncang tubuhku. Memang setiap aku tertidur disini Chinen yang sering membangunkanku.
"Mmm.. Chii?" tanpa sadar aku melap air liur yang menetes dari mulutku dengan scarf yang masih melilit di leher dan sebagian wajahku.
"Itu scarf ku, Nakajima" tiba-tiba aku mendengar suara orang lain yang aku hapal, dan dia terdengar kesal. Ups, Yamada?
Aku melihat pada scarf itu.. ah, tak bisa diselamatkan. Ada air liurku disana.
"Jorok sekali" gumam Yamada datar. Aku melihat padanya dan tersenyum malu.
"Gomen, ini aku kembalikan" kataku dengan cueknya memberikan scarf berair liur itu padanya.
Tanpa diduga ternyata Yamada menerimanya, mengambil scarf itu dari tanganku, tapi aku cepat menariknya lagi.
"Aku hanya bercanda!" kataku sambil bangun dari posisi tidurku. Yamada tampak terkejut, Chinen memperhatikan kami, bingung.
"Tapi itu kan punyaku!" protes Yamada.
"Aku akan mengembalikannya besok" kataku sambil memasukkannya lagi ke dalam tas ku. Aku juga tahu diri, mana mungkin aku mengembalikan barang yang sudah dipinjam, dengan keadaan yang tak semestinya itu.
"Kenapa?" Yamada tampak heran.
"Aku akan mencucinya dulu" sahutku cepat. "Ah, kalian sedang apa disini? apa jam pelajaran Matematika sudah selesai? Aku akan masuk di jam pelajaran Bahasa Inggris saja" aku segera mengalihkan pembicaraan.
"Sekolah sudah selesai, Yuto. Kau tidak mendengar bunyi bel nya?" jawab Chinen dan langsung membuatku terbelalak.
"APA!?" sekali lagi aku melonjak. Yabai~ aku bolos di jam pelajaran Bahasa Inggris, berarti mencari masalah dengan Miyazaki-sensei, guru killer itu. Argh!
"Tenang saja, Yama-chan sudah membuatkan alasan untukmu" kata Chinen lagi, dia tersenyum khas. Dan aku melirik dengan horor pada sosok menyebalkan di sebelahku, ya tuhan.. dia menyelamatkanku lagi? dia pasti mengharap sesuatu lagi dariku. "Kalian berdua satu kelompok untuk mengerjakan proyek tugas Bahasa Inggris" jelas Chinen yang mau tak mau membuatku kembali terbelalak.
"USO! Lalu- lalu kau.. dengan siapa?" tanyaku, shock.
"Okamoto-kun" Chinen tersenyum lebar.
"EEEH?! CURANG!" seruku kaget. Chinen satu kelompok dengan Okamoto Keito- murid yang paling pandai berbahasa Inggris karena dia pernah lama tinggal di London. Tega sekali Chinen lebih memilih membuangku dan memerangkapku dengan Yamada demi mendapatkan teman sekelompok yang pandai. Sebenarnya Yamada memang sama sekali bukan teman sekelompok yang buruk, dia juga pintar dan dia lebih bisa diandalkan.. tapi untukku, mungkin aku akan merasa berada di neraka karena setiap saat harus menahan diri untuk tidak memiliki pikiran ingin menghajarnya. Semua orang tahu bagaimana hubunganku dengan makhluk ini. Setelah pergi dengannya waktu itu aku tak merasakan perubahan yang berarti, hanya mungkin dia lebih sedikit baik padaku? tapi sungguh, itu hanya membuatku curiga.
"Jangan bilang kau tak mau satu kelompok denganku, karena aku juga tak pernah mau satu kelompok denganmu" kata Yamada tiba-tiba. Mungkin dia tak enak melihat reaksiku.
"Aku tahu" ujarku ketus.
"Ehm.. kalian harus bekerjasama" sela Chinen mengingatkan. Dia tahu persis aura tidak baik yang selalu menyelimuti suasana dimana ada aku dan Yamada.
Bekerjasama? dengan orang ini? Yada!
CHAPTER 6
Mataku menatap langit-langit di kamar Inoo ini, setelah tadi aku asik melambung-lambungkan bola basket miliknya ke udara. Ini sudah untuk kesekian kalinya aku menemani Inoo di apartement nya. Aku sadar, sepertinya kami semakin akrab.
Pelan aku menolehkan wajahku, dan menemukan Inoo disana yang tengah duduk kursi meja belajar, menghadapi notebooknya. Dia memakai kacamata, pemandangan yang jarang aku lihat. Menurutku, dia tampak lebih seksi. Aku bangun dari posisi berbaringku, duduk menghadap Inoo, menikmati wajahnya dari samping.
"Apa?" tanya Inoo setelah beberapa detik aku baru memandanginya. Rupanya dia menyadari tingkahku. Dia melihat ke arahku dan tersenyum. Aku merasakan dadaku berdegup, degupan yang sangat nyaman.
"Nan-nani mo nai" jawabku, mendadak terbata-bata.
Inoo kembali mengalihkan perhatian pada notebooknya, aku tahu dia pasti tak puas dengan jawabanku. Kami terdiam lagi.
"Ehm, Inoo-chan…" panggilku akhirnya. Sekali lagi dia menoleh padaku. "Kenapa Inoo-chan tidak menyerah saja?" tanyaku, mengutarakan hal yang sejak kemarin-kemarin tak pernah berani aku katakan.
"Hmm?" Inoo mengangkat kedua alisnya.
"Menyerahlah. Jangan memaksakan lagi dirimu dan Miyabi-san…"
Inoo terdiam, raut wajahnya jadi lebih serius. Mungkin dia agak tak suka tiba-tiba aku membahas ini lagi.
"Aku tahu kau tak suka membicarakan ini, tapi kau perlu menyelesaikannya. Aku-aku tak mau kau diperlakukan seperti itu"
Inoo tersenyum. "Aku bilang tidak ap--"
"Kau harus bersama dengan orang yang bisa membuatmu bahagia.. dan itu bukan Miyabi-san" potongku cepat. Aku sadar kata-kataku terdengar tajam dan sok dewasa. "... yea setidaknya untuk sekarang" aku menambahkan sambil mengangkat bahuku.
"Sou da" Kata-kata singkat itu yang akhirnya aku dengar dari Inoo. Aku tahu sebenarnya dia benar-benar setuju dengan perkataanku hanya saja seperti ada pertentangan dalam dirinya. Apa begitu besarnya rasa suka dia pada Miyabi-san?
"Tapi aku belum siap melepaskan Miya-chan" sambung Inoo lagi. Seperti yang sudah aku duga, memang ada sesuatu yang membuatnya keberatan. Aku menghela nafasku, dia melepas kacamatanya dan bersandar ke sandaran kursi.
"Dapatkan lagi kebahagiaan yang dulu biasa kau rasakan sebelum ada Miyabi-san" kataku, entah darimana aku mendapat ide untuk berkata seperti itu. Inoo melihat lagi padaku.
"Karena aku akan bahagia jika melihat Inoo-chan bahagia" aku melanjutkan.
Kami berdua pun jadi terdiam saling memandang. Mungkin dia tersentuh dengan kata-kata ku. Aku sadar, aku sudah mencapai batasku.
Pelan, aku menggigiti bibirku. Gugup. Aku sudah tak bisa berhenti disini, aku tak boleh setengah-setengah untuk memberikan yang terbaik padanya.
"Inoo-chan.." aku menggigit bibirku sekali lagi sebelum meneruskan kalimatku. Dia memandangku, menunggu aku melanjutkannya.
"Sssu--su-suki-suki da" akhirnya dengan susah payah aku berhasil mengatakan perasaanku. Inoo-chan masih terdiam memandangku, terpana. Dan aku malah semakin memiliki keberanian. "Aku suka Inoo-chan.. . sangat suka"
Perasaan di dadaku sudah tak dapat di tahan, rasanya telah meledak sekarang. Dadaku berdebar keras sekali, tapi ini menyenangkan. Suasana seperti membeku selama beberapa detik, aku bisa melihat keterkejutan di mata Inoo. Tapi dengan tenangnya dia kemudian tersenyum,
"Arigato" katanya.
Aku merasakan semuanya seperti mencair, terutama keteganganku. Aku merasa agak ringan, tapi seketika rasa malu menyergapku. Tidak! Aku mengatakannya!? Aku sudah mengatakannya! Perasaan yang sebenarnya pada diriku sendiripun aku sembunyikan. Tapi aku sudah menguaknya sendiri! Yabai.
Aku mengangguk pelan, lalu dengan cepat berbaring lagi di ranjang, memeluk bola basket yang dari tadi masih kupegang. Membalikkan tubuhku menghadap tembok, membelakangi Inoo, yang mungkin heran melihat tingkahku. Aaa.. aku merasakan panas di pipiku. Aku memejamkan kedua mataku kuat-kuat berharap setelah membukanya nanti, ini hanyalah mimpi. Hazukashii~
* * *
Sebuah tepukan hangat di pipiku membuat aku membuka mataku sedikit,
"Yuto.. bangun" bukan suara Mama, Raiya atau Chinen yang selalu rajin membangunkanku. Itu suara.. Inoo-chan. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat wajah manis Inoo disana.. ah, yabai! aku mendadak teringat lagi kejadian beberapa waktu lalu, aku yang menyatakan perasaan padanya tapi tak bisa mengakuinya. Hingga aku berharap itu hanya mimpi… sayangnya memang bukan mimpi. Dan aku malah tertidur begitu saja di ranjang Inoo. Payah.
"Ayo bangun, aku sudah membuatkan makan malam. Kau mau mandi dulu?" kata Inoo yang tak ambil pusing dengan kepanikan di wajahku.
"Eh? ini--ini sudah malam?" aku melihat pada jam tanganku, pukul 10. "Uso.." gumamku pelan.
"Gomen, tadi aku tak membangunkanmu. Aku lihat tidurmu sangat nyenyak. Tapi aku ingat kau belum makan, dan kau harus mengganti pakaianmu.." jelas Inoo. "Apa kau tidak keberatan kalau menginap malam ini?"
Tentu saja tidak! Rasanya aku ingin sekali berteriak seperti itu, tapi akan tampak konyol.
"Aku sudah menelepon Okasaan” katanya lagi.
Inoo memberikan ponselku.
"Gomen, tadi aku meminjam ponselmu untuk mencari nomor Okasaan" katanya pula.
Aku hanya memandangnya takjub, rasanya sejuk sekali mendengar dia menyebut ibuku dengan panggilan seperti itu. Dari dulu panggilannya pada Mama memang tak pernah berubah, dia menganggap ibuku adalah ibunya juga. Ore no mono ha Inoo-chan no mono, Inoo-chan no mono ha ore no mono~ Aku tersenyum sendiri mengulang-ulang kalimat bodoh buatanku itu, di benakku.
"Mandilah, ini aku pinjamkan pakaianku" Inoo melemparkan handuk ke kepalaku, membuyarkan aku dari sibuknya pikiranku sendiri.
Aku segera beranjak dan menuju kamar mandi, tanpa berkata-kata lagi.
Beberapa lama kemudian, kami sudah duduk berhadapan di meja kecil Inoo. Aku menikmati nasi goreng buatannya.
"Umai~" kataku memuji makanan itu berkali-kali. Memang sangat enak. Inoo-chan pandai membuatnya.
"Aku senang kau menyukainya" ujar Inoo, tersenyum.
"Aku suka sekali. Sangat suka" kataku menegaskan dan membalas senyumannya dengan tulus. Mungkin dia bisa menangkap beberapa makna dari kata 'suka' yang aku sebutkan. Aku suka nasi goreng buatannya, aku suka berada di kamarnya, aku suka harus menginap disini malam ini, aku suka duduk berhadapan dengannya dan makan bersama seperti sekarang, aku suka senyumnya, aku suka tatapannya.. aku suka semua yang berhubungan dengannya. Aku suka Inoo Kei.
"Arigato Yuto" katanya dan mengulurkan tangannya, yang aku duga seperti biasa akan mengacak rambutku, ternyata dia membelainya. Menyentuh rambutku halus dengan jari-jari tangannya yang lentik. Dadaku berdebar seperti hendak meloncat dari sana, ini menyenangkan meski ada sisi dari diriku yang menyangkalnya. Aku tak peduli. Yang aku tahu sekarang, aku ingin terus bersama Inoo-chan.
CHAPTER 7
Oh aku seperti melihat bunga dimana-mana.
Langit yang cerah, padang rumput yang luas dan hijau, pelangi, harum bunga yang semerbak. Aku sangat berlebihan, tapi itu yang aku rasakan belakangan ini. Setelah pengakuanku pada Inoo kemarin, walau Inoo tak menanggapi dengan kata-kata lain selain 'arigato', tapi aku merasakan yang lain. Kami lebih dekat, dia memperlakukanku lebih manis. Semuanya jadi terasa indah. Aku merasa duniaku makin terang benderang.
Sambil bersiul, aku berjalan menuju kelasku. Rasanya baru sekarang aku sesemangat ini berangkat ke sekolah. Mendadak aku menghentikan langkahku, ketika kulihat ada Yamada dan Suzuki di depan kelas. Mereka tampak sedang mengobrol serius, sampai kulihat Suzuki pergi dari sana.
Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, yang jelas aku seperti melihat kekecewaan di wajah Suzuki. Paling masalah pribadi, pertengkaran sepasang kekasih, pikirku.
Tiba-tiba Yamada melihat ke arahku, aku langsung bersikap biasa, pura-pura tak melihat yang sudah terjadi tadi. Aku meneruskan siulanku dan berjalan masuk ke kelas melewati orang itu.
"Nakajima" panggil Yamada, membuat aku harus berhenti dan bertingkah seperti baru menyadari keberadaannya.
"Yo Yamada.. ohayooo~" kataku tak biasanya menyapa dia. Yea, kali ini saja karena aku sedang berbunga-bunga.
"Mana scarfku?" tanyanya tanpa menjawab sapaanku.
"Eh?" aku mendadak teringat. Aku lupa! Scarf! Tanpa menjawab dia terlebih dulu, aku segera melesat masuk ke kelas menuju bangku ku. Aku menyimpan tas ku di atas meja, membongkar isinya. Ah, scarf nya ada! Masih disana sejak beberapa hari yang lalu. Yabai.
"Kau belum mencucinya?" tanya Yamada yang tiba-tiba sudah ada di dekatku.
"Aku akan mengembalikannya besok" kataku cepat memasukannya lagi ke tasku.
"Kembalikan saja, kau tak perlu mencucinya"
"Tidak, biar aku cuci dulu" aku bersikeras.
"Ya sudah, kau ambil saja kalau kau mau"
"Eh?tidak- tidak! Aku tidak mau! aku tidak mungkin menyukai barang yang kau suka" aku menyangkal cepat. Sebenarnya kalau aku boleh jujur, scarf itu memang keren, tapi mana mungkin aku mengakuinya.. apalagi mengambilnya. "Aku tidak suka warna biru" tambahku agar semakin meyakinkan. Agak sedikit bohong karena sebenarnya biru itu salah satu warna favoritku.
"Sou ka, kalau begitu aku akan mengambilnya besok" Yamada berhenti mendebatku. Dia berbalik dan kembali ke tempatnya, sepertinya hanya perasaanku saja tapi aku melihat ekspresi kecewa di wajahnya. Entahlah.
"Yuto, ini untukmu dari Neesan.." Chinen tiba-tiba menghampiri sambil memberiku sebuah gantungan ponsel.
"Whoa kakkoi~" pujiku ketika menerima gantungan keren berwarna biru itu.
"Darou.. aku sengaja memesankan warna biru untukmu. Aku tahu Yuto suka warna biru" jelas Chinen.
"Arigato Chii, kau tahu sekali aku suka warna biru. Ini keren!" kata ku, tak sadar sudah menyahut dengan terlalu bersemangat.
Kami tertawa-tawa, sampai tiba-tiba ada sebuah suara yang menyela.
"Bukankah barusan kau bilang kalau kau tak suka warna biru?" terdengar suara yang dingin Yamada. Dia melewatiku dan sekilas memberiku tatapan tajam. Baka Yuto! kutukku dalam hati.
Chinen melihat pada Yamada yang sudah lewat, lalu melihat padaku dengan tatapan bingung. Tapi aku tak mau menjelaskan apapun.
* * *
Scarf biru Yamada berputar-putar di dalam mesin cuci. Akhirnya aku mencuci juga scarf malang itu. Tadi begitu sampai di rumah, langsung aku keluarkan dari tas karena takut tak tercuci lagi. Sedangkan besok Yamada pasti akan memintanya.
Aku duduk di lantai di hadapan mesin cuci ibuku, mengamati bagaimana scarf itu dibilas disana. Tapi pikiranku tak lagi fokus, pikiranku melayang kesana-kemari hingga berakhir di Inoo. Dia lagi. Orang yang membuatku merasa bahagia akhir-akhir ini. Tapi sudah beberapa hari dia belum menghubungiku, mungkin dia sibuk? Ah bagaimana kalau aku lebih dulu menghubunginya? Aku mencari ponselku, lalu aku baru ingat menyimpannya di kamar. Aku segera kesana, menemukan ponselku, menghubungi Inoo-chan… dan melupakan scarf Yamada.
"YUTO!" teriakan Mama mengagetkanku yang sedang dengan nyamannya duduk di samping jendela menatap keluar sambil bertukar mail dengan Inoo. Aku segera beranjak.
"Hai, ada apa Mama?" sahutku sambil keluar turun dari kamarku, menuju dimana ibuku berada. Dia berada di ruang belakang, di depan mesin cuci dan sebelum aku mendengar ibuku menjawab atau mengatakan apapun, aku sudah lebih dulu membelalakan mataku dan lekas menghambur ke depan mesin cuci sambil berteriak panik. Oh tidak… scarf Yamada!
"Kau meninggalkannya selama 2 jam" kata Mama sambil menggelengkan kepalanya, disaat aku sedang shock setengah mati. Scarf nya! Scarf nya jadi jelek! Yabai! Warna dan kain nya jadi aneh, sudah tidak enak lagi di lihat. Ini kebodohan Yuto Nakajima yang kesekian. Sial! Aku tidak mungkin melakukan hal bodoh sesering itu! Ck, bukan saatnya mengurusi hal lain. Bagaimana ini?? Bagaimana dengan scarf keren milik Yamada?! Alasan apa yang harus aku katakan padanya besok!?
"Aaa Niichan, scarf baru mu nasibnya buruk sekali" komentar Raiya yang melihatku sedang terpaku disana.
"Aku sangat berharap ini memang scarf baru ku, tapi kenyataannya bukan…" aku bergumam lesu.
"Kau merusak scarf orang lain?" sahut Raiya terkejut.
Aku mendadak jadi sangat iritasi.
"Jangan bahas lagi" ujarku kemudian sambil membawa scarf itu ke kamarku.
Apa yang harus aku lakukan? Jujur pada Yamada kedengarannya memang bagus, tapi aku bisa bayangkan bagaimana wajah angkuhnya menatapku tajam. Mengomeliku, dan mungkin yang lebih parah, memberiku senyuman sinisnya. Dia akan semakin puas mengataiku bodoh! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mungkin aku memang harus membuat alasan.. dan harus menggantinya nanti. Aku menghela nafasku berat. Kenapa aku tak henti-hentinya bermasalah dengan Yamada???
* * *
Hari ini hari termalasku berangkat ke sekolah dari sekian banyak hari yang biasanya membuatku malas. Tragedi scarf Yamada menjadikanku seperti pengecut hari ini. Aku tak siap bertemu orang itu meski aku sudah merancang kata-kata yang akan aku jadikan alasan padanya. Aku berpikir keras agar tak bertemu dengannya, dan ideku selalu berakhir di atap sekolah. Hanya disanakah tempatku untuk menjauh dari apapun? Ide bodoh karena Yamada mengetahui tempat itu, dia pasti akan menemukanku. Argh, aku mulai frustasi! Mungkin seharusnya dari awal aku memang tidak berangkat ke sekolah tadi..
"Nakajima-" aku yang sedang dilema dan baru saja memutuskan untuk pulang lagi, mendadak tubuhku membeku mendengar suara itu. YAMADA! Tanpa berani sekalipun menengok padanya,tiba- tiba aku ingin sekali mempercepat langkahku.
"Oi, Nakajima!" panggilnya lagi, dan kali ini mulai sedikit berlari "Ch-chotto, Nakajima!" Aku dengan suksesnya berlari dan dia mengejarku.
Aku tahu dia mengejarku! Dia terus memanggil-manggil namaku, pasti dia heran juga tak mengerti kenapa aku tiba-tiba berlari darinya seperti itu. Tapi saat ini aku agak tak peduli, aku hanya ingin berlari, menjauhinya sebisa mungkin.
Jadilah kami berkejaran di sepanjang koridor sekolah, dengan dia yang terus memanggil namaku, dan aku yang tak tahu harus berlari kemana. Tapi karena otakku lagi-lagi hanya bisa berpikir hingga tempat nyamanku di atap sekolah, jadinya kaki ku memang bergerak kesana. Pilihan tempat yang bodoh, tapi aku memang sudah kelelahan.
Aku membuka pintu atap sekolah, dan menuju tempat persembunyianku. Aku langsung bersembunyi disana, berharap Yamada tak akan pernah menemukanku. Namun harapan hanya tinggal harapan, aku bersembunyi di tempat yang sudah Yamada tahu, tentu saja tak akan menyelamatkanku. Aku terlalu bingung dan lelah untuk berpikir sekarang.
"..h..hh..Naka-Nakajima..hh.." aku melihat dia berhenti tepat di depanku, terengah-engah, menyimpan kedua tangan di lututnya. Aku pun terduduk di tempatku mencoba menormalkan nafasku. Kulihat dia ikut duduk di depanku, kami masih mengatur nafas hingga beberapa detik. Aku sudah tak ada ide untuk kabur lagi darinya. "Apa… yang kau lakukan? Kenapa… kau berlari seperti itu? Baka!" dia bicara lagi setelah bisa berkata dengan normal. Aku tak tahu harus berkata apa, tidak mungkin aku bilang kalau aku memang sengaja kabur darinya. Dengan konyolnya, aku tersenyum lebar pada orang itu, tak bisa menjelaskan apapun. Dia mengerutkan keningnya.
"Kenapa kau lari, hah?" tanya Yamada akhirnya, mungkin dia mulai curiga ada yang tak beres.
"Tidak... aku-" aku menggelengkan kepalaku, tapi tak tahu harus berkata apa, Yamada tidak bisa dibodohi dengan bilang kalau tadi aku tak berlari, jelas2 aku memang menghindarinya!
"Kau aneh" komentar Yamada akhirnya. Sial, gara-gara scarf bodoh itu!
"Dengar, aku hanya mau memberitahumu, kita akan mengerjakan proyek tugas kita hari ini dirumahku. Kau bisa kan?" tambahnya pula. Rupanya dia memang ingin menyampaikan ini padaku dari tadi, tapi aku terlalu panik begitu melihatnya. Aku takut dia menanyakan scarf nya.
"B-bisa... aku bisa" jawabku cepat. Disaat seperti ini aku tak ada ide untuk menolak.
"Bagus. Setelah pulang nanti jangan langsung pergi" kata Yamada sambil bangun dari duduknya dan bersiap untuk pergi. Aku hanya memperhatikannya dan dia balas menatapku sesaat, "Aku harap tadi kau memang tidak bermaksud lari dariku" ujarnya, agak pelan dan serius.
Sebelum aku mencoba untuk menyahut, dia sudah menggerakkan kakinya pergi dari sana. Aku masih terpaku beberapa detik, mencerna kata-kata Yamada yang mengindikasikan kecurigaan. Hingga akhirnya aku menghembuskan nafas lega, menyandarkan tubuhku ke tembok. Bagus, sekarang aku hanya bisa berdoa semoga Yamada tak akan pernah mengingat scarfnya. Apa aku harus membelikan yang baru? Tampaknya itu memang jalan keluarnya, bagaimanapun aku merasa bersalah pada orang itu. Untuk pertama kalinya aku merasa peduli pada Yamada, makhluk yang selama ini selalu membuatku anti. Aku mengeluh pelan, tak ada cara lain.
* * *
"Aku melihatmu dan Yama-chan berlari-lari di koridor tadi pagi, apa kalian bertengkar lagi?" tanya Chinen berbisik padaku saat kami sedang belajar.
"Oh itu… tadi… aku sedang bercanda dengannya" jawabku menyusun karangan di otakku dengan cepat.
"Aku senang kalau kalian sudah akrab" Chinen tersenyum khas, senyuman malaikat itu. Sayangnya dia mengharap hal yang mustahil, aku akrab dengan Yamada? Yea, di mimpimu! Tapi aku hanya balas tersenyum, dan tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Ne Chii.."
"Hmm?"
"Kau tahu scarf Yamada yang kemarin-kemarin aku bawa?"
"Ah scarf itu…"
"Iya. Kau tahu berapa harga scarf seperti itu?" tanyaku antusias.
"Hmm, aku ingat Yama-chan pernah bilang kalau dia membelinya di Shibuya, sekitar 150 yen" jelas Chinen yang sepertinya tahu banyak.
"Sou ka"
"Kau mau membelinya juga?"
Aku hanya tersenyum. Aku tak mungkin menceritakan kebodohanku lagi pada Chinen.
* * *
Sepanjang perjalanan menuju halte bersama Yamada, aku terus berpikir. Seperti saat pergi dengannya dulu, kami tak ada obrolan.
"Yamada..." kataku akhirnya. Yamada menolehkan wajahnya kepadaku. "Kita ke Shibuya" lanjutku, tanpa banyak basa-basi.
"Eh?" dia memandangku bingung.
"Sebentar saja. Kita tak akan pulang terlalu malam. Aku akan tetap ke rumahmu untuk mengerjakan proyek kita" aku cepat meyakinkannya. Sudah terlanjur.
Kulihat dia seperti akan memprotes, tapi aku cepat memegang tangannya dan menariknya, mengajak dia ke stasiun. Dia tak bisa mengatakan apapun lagi setelah kami berada di kereta.
"Kau serius…" desisnya setelah kami menginjakkan kaki di Shibuya.
"Aku memang serius" sahutku yang lagi-lagi memegang tangannya sepanjang menyusuri jalanan Shibuya yang ramai dan sibuk. Aku menemukan sebuah toko pakaian untuk remaja, mungkin disini ada, pikirku. Dan sekali lagi aku menarik Yamada kesana.
"Kau mau belanja?" tanyanya masih tampak bingung.
"Tidak, aku hanya--" mataku mengamati setiap jengkal benda di toko itu sampai akhirnya aku menemukan scarf yang aku cari. Ada yang persis dengan scarf bernasib malang milik Yamada. "Lihat, sama dengan scarfmu kan?" tanyaku, bersemangat karena ternyata bisa cepat menemukan scarf yang sama. Tapi aku tetap belum bilang apapun pada Yamada tentang scarfnya, aku jadi harus hati-hati.
"Iya. Tapi tak ada warna yang sama" jawab Yamada. Benar juga, tak ada warna biru!
"Ah, apa tidak ada warna lain yang kau suka?" tanyaku.
"Apa maksudmu?" dia mengerutkan dahinya heran. Aku menelan ludahku diam-diam.
"Bagaimana kalau aku membelikanmu warna yang lain--"
"Aku kan sudah punya yang warna biru" potongnya.
"Iya tapi kalau aku mau membelikanmu lagi..?"
"Kenapa tiba-tiba sekali? Lagipula aku masih ada beberapa scarf lain di rumah" Aku tak bisa mendengar ocehannya lagi. Dengan segera, aku mengambil scarf-scarf itu, mencobakannya satu persatu pada Yamada.
"Bagaimana kalau yang ini?.. yang ini?..atau ini? " tanganku terhenti ketika tangan Yamada memegang tanganku.
"Sudahlah, aku ambil yang ini" katanya.
Aku tak tahu kalau dia akan tertarik dengan yang warna merah.
"Yang ini?" aku memastikan, dia mengangguk. Aku pun tersenyum puas. Aku menuju counter kasir untuk membayar, sementara Yamada menunggu diluar.
Setelah diluar, aku menyerahkan bungkusan berisi scarf tadi pada Yamada, dia menerimanya meski dengan agak ragu-ragu. Aku merasakan lega yang luar biasa, yah lumayan.. bebanku seperti agak menghilang.
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu mendadak baik padaku seperti ini… tapi arigato" kata Yamada terdengar sedikit curiga. Aku hanya membalas dengan senyuman.
* * *
Kemarin aku benar-benar merasa jadi orang paling baik hati sedunia. Aku peduli pada orang menyebalkan yang selama ini selalu aku anggap musuh. Aku membelikan Yamada sebuah scarf karena aku merasa bersalah sudah merusakkan scarfnya, tapi sampai hari ini Yamada tidak menanyakan scarf birunya. Aku memang lega, tapi agak aneh juga. Apa karena Yamada merasa sudah punya yang baru? aku harap begitu.
Tanganku menggenggam scarf biru jelek yang menjadi masalahku belakangan ini. Aku jadi ingat harganya. Kuso, aku sudah memakai uangku yang untuk beberapa hari. Aku bangun dari ranjangku, mengambil celengan berbentuk babi milikku di dalam lemari. Aku menggoyangkannya sebentar, terdengar bunyi 'kling' yang sama sekali tidak ramai. Aku mengeluarkan uang koin di dalam sana dengan agak dipaksa, dan keluarlah sebuah uang koin 10 yen saja. Setelah itu tak tersisa apapun di celenganku. Uso… keluhku. Memang aku yang salah, aku sering sekali mengorek celenganku ini hingga tak terasa sudah habis begitu saja.
"Kau tak punya uang di celenganmu, Niichan" Raiya masuk ke kamar dan melihatku sedang terpaku di hadapan celengan kosong itu.
"Aku tahu"
"Tapi bukankah kau memegang uang untuk beberapa hari dari Mama?" katanya lagi yang memang selalu tahu.
"Aku menghabiskannya karena ada keperluan yang mendadak"
"Sou ka" Raiya mengangguk-anggukkan kepalanya, dan aku tiba-tiba mendapat ide.
"Raiya, aku boleh pinjam uangmu kan?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Eh?"
"Onegai~" aku memohon padanya dengan puppy-eyes ku. Gaya memelas terbaik yang akan membuat siapapun jatuh iba.
"Niichan…"
"Aku tak bisa ke sekolah kalau tak ada uang. Aku tak mau bilang pada Mama, aku bisa tamat. Onegai, Raiya-sama~" aku terus memohon pada adikku, bahkan menyebutnya dengan panggilan yang tak biasa.
Adikku tampak berpikir, sampai akhirnya dia tersenyum dan mengangguk. Dia mungkin membayangkan juga bagaimana perasaanku mengalami situasi sulit ini.
"Arigatooo~ kau memang adikku yang paling manis dan baik. i love u, chuu~" aku menghambur padanya dan memeluk adikku itu erat sambil menciumi pipinya. Dia memberontak berusaha melepaskan pelukanku.
"Hai-hai.. sudahlah Niichan!" hardiknya.
Dia pasti risih dengan tingkahku. Aku melepaskannya dengan senyum lebar di bibirku, dia hanya menggelengkan kepalanya sambil pergi. Aku benar-benar bersyukur punya adik semanis Raiya.
= = =
TBC
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar