Rabu, 09 Desember 2009

KOI DA YO - SEASON 1/HeySayJump Fanfic


"Kau lagi.." Yamada mengeluh pelan begitu melihat siapa yang menghadapnya hari ini. Sebagai presiden murid di sekolah, Yamada harus terbiasa menemukan murid bermasalah yang berhasil ditangkap teman-temannya. Sekarang giliran ia untuk menentukan hukuman dan menegurnya agar tidak melakukan hal diluar aturan lagi.
"Aku lagi" Yuuto menyahut dan tersenyum lebar, tanpa rasa bersalah.
"Berapa kali aku harus bilang padamu. Cat lagi rambutmu dengan warna yang benar dan lepaskan benda-benda kecil di telingamu itu"
"Berapa kali juga aku harus bilang padamu kalau aku tak akan melakukannya" Yuuto berkata dengan keras kepala dan tanpa rasa takut. Yamada menghela nafasnya dalam-dalam.
"Nakajima, kalau terus seperti ini, lama-lama kau akan dikeluarkan"
"Tapi kau akan menolongku" Yuuto berkata dengan yakin.
"Untuk apa aku menolong murid yang selalu melanggar!?" ujar Yamada dingin. "Kau jangan terlalu banyak berharap. Aku akan membuat surat peringatan lagi untukmu"
"Baiklah" kata Yuuto seperti tak peduli. Yamada menggelengkan kepalanya, tak habis pikir. Kalau saja orang ini bukan teman sekelas sekaligus tetangga dan teman kecilnya, mungkin ia sudah mengajukan usul pada sensei untuk mengeluarkannya dari awal. Tapi ia tak setega itu.
"Ne, Yamada.." panggil Yuuto pula. Yamada terus menulis, tapi telinganya mendengarkan. "Sudah aku bilang, kau ini hanya murid sepertiku juga. Kenapa kau harus repot-repot mengurusi orang lain? Lebih baik kau fokus saja pada pelajaran"
Yamada menghentikan gerakan menulisnya dan melirik Yuuto tajam dari balik kacamatanya.

"Kau tidak berhak memberitahuku apa yang harus aku lakukan. Itu bukan urusanmu. Sebagai presiden murid, aku hanya perlu melaksanakan tugasku" katanya panjang lebar dan setajam lirikannya tadi. Ia juga menekan telapak tangannya ke meja, kesal. Laki-laki tampan bertubuh tinggi di hadapannya hanya memandangnya datar, seolah perkataan Yamada tak berefek apapun.

"Sudahlah, kau boleh pergi!" tambah Yamada sambil memberikan surat peringatan yang sudah ia buat. Ia tak mau kehilangan kesabarannya sekarang.
"Ya sudah" Yuuto beranjak dari sana, tapi ia berbalik lagi sebelum membuka pintu. "Ohya, aku tetap tak akan merubah penampilanku" ia mengulas senyuman, lalu keluar dari ruangan itu. Yamada menghela nafas untuk kesekian kali, ia menyandarkan kepalanya di kursi, memejamkan mata dan memijat tulang hidungnya perlahan.
Andai saja ia memang bukan seorang presiden murid, mungkin ia bisa lebih tenang.

"Kau melepaskannya lagi begitu saja" Nakayama masuk ke ruangan dewan murid tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Yamada agak tersentak dari tempat duduknya, dan mengeluh pelan begitu melihat wakilnya itu.
"Aku sudah membuatkan surat peringatan"
"Surat peringatan lagi, tapi dia sama sekali tidak berubah. Kau selalu meringankannya. Jangan karena dia teman sekelasmu jadi kau tidak-"
"Aku tidak meringankan dia. Aku sudah mengancam bisa mengeluarkannya" Yamada memotong perkataan Nakayama yang berapi-api.
"Kau hanya mengancamnya, dan dia tidak takut padamu! Kau harus segera mengajukan usul pada sensei agar dia dikeluarkan" Nakayama bersikeras.
"Kita tidak boleh gegabah, tidak bisa seenaknya membuat orang lain dikeluarkan"
"Dia sudah berkali-kali melanggar!"
"Baru 3x. Setelah 5x kita baru bisa membuatnya keluar" Yamada meralat ucapan Nakayama. Wakil presiden murid yang berwajah tampan tapi kurang ramah itu, menghembuskan nafasnya, kesal. Ia selalu ingin menentang Yamada, tapi apa daya tetap presiden yang lebih berwenang.
"Aku akan mencari bukti-bukti agar dia dikeluarkan, sebelum anggota dewan bereaksi pada kita" katanya tegas. Dan tanpa berpamitan, dia pun keluar dari ruangan. Lagi, Yamada hanya bisa berkhayal seandainya ia bukan presiden dewan murid.
---
Daiki tertawa setengah mengejek begitu melihat benda yang disimpan Yuuto di hadapannya. Itu surat peringatan yang tadi.
"Kenapa kau suka sekali mengoleksi benda seperti ini?" ledek Daiki pula. Yuuto mendecakkan lidahnya.
"Yama-chan tak menyerah juga memberiku ini"
"Berarti kau yang harus menyerah. Setelah terkumpul 5, kau tak akan selamat" ujar Daiki sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyimpan diantara bibirnya sementara tangannya mencari-cari geretan di saku seragamnya. Yuuto memperhatikannya, nanar. Senpai nya ini tidak berpenampilan mencolok sepertinya, tapi ia suka merokok dan hebatnya tak pernah ada yang tahu. Jadi ia belum pernah sekalipun masuk ke ruangan dewan murid untuk dihakimi kumpulan orang-orang menyebalkan itu.
"Jadi senpai benar-benar enak, huh?" tanya Yuuto.
"Lumayan. Kecuali pelajaran yang semakin menggila" Daiki menjawab sebelum menghisap rokoknya.
"Jadi senpai bisa melawan siapapun" gumam Yuuto.
"Tidak juga. Kalau dewan murid melihatku seperti ini, mereka pasti menyeretku" sahut Daiki dan tersenyum lebar. "Ini hanya tentang kepintaranmu menghindari mereka" tambahnya. Yuuto tersenyum kecut, ia memainkan piercing di telinga kirinya. Ia pun tak boleh kalah dari mereka.

Yuuto membalikkan badannya dan memandang langit-langit kamar. Ia tidak bisa tidur. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, ia bangun dan menghampiri meja belajarnya, membuka laci dan menemukan benda yang ia cari. Yuuto mengeluarkan selembar foto dari sana, foto yang hampir 3 tahun ini terus disimpannya. Tampak seorang anak laki-laki berusia sekitar 14 tahun, rambutnya berantakan ala berandalan sedang melihat ke arah kamera dengan wajah angkuh dan tatapan jahat. Di jarinya terselip sebatang rokok. Yuuto tertawa sendiri melihatnya. Menurutnya anak di foto itu masih terlalu manis untuk bertingkah seperti berandalan. Tapi ia menyukainya, ia selalu tertarik. Hingga sekarang, Yuuto tak pernah menyangka anak ini akan menjadi seorang presiden dewan murid. Dengan segala kedisplinan dan kepatuhannya pada peraturan.
"Muri da.." gumamnya masih sambil tertawa kecil. Ia mengambil foto itu dan mendekati jendela kamarnya yang menghadap ke balkon. Ia membuka tirainya. Eh? Yuuto terperanjat. Terlihat cahaya dari jendela di seberang kamarnya. Itu kamar Yamada, dan tak biasanya masih terang benderang selarut ini.
Yuuto membuka jendelanya lebih lebar hingga ia bisa lewat dan berdiri di balkon. Angin malam seketika menyergapnya, untung ia masih lengkap memakai piyamanya. Biasanya ia akan tertidur tanpa piyama atasnya.
"Yama-chan.." Yuuto mulai memanggil dengan bisikan yang cukup keras. Tapi tak ada reaksi apapun. Ia kembali ke kamarnya dan mencari benda yang bisa ia lemparkan. Ia melihat penghapusnya di atas meja. Kembali ke balkon, ia melemparkan penghapus itu dan mengenai jendela kamar Yamada yang hanya berjarak 2 meter saja dari tempatnya berdiri. Sebenarnya ia bisa saja melompat kesana, tapi tidak mungkin sekarang. Yamada pasti mengomelinya.
Jendela itu terbuka, lebih cepat dari yang diharapkan Yuuto. Tampak Yamada disana dengan ekspresi terganggunya.
"Konbanwa" bisik Yuuto lagi sambil tersenyum tanpa beban.
"Apa maumu?" Yamada ikut berbisik, nada terganggu jelas terdengar di suaranya.
"Kenapa kau belum tidur?"
"Ada yang harus aku kerjakan"
"Eh.. tidak biasanya" komentar Yuuto. Yamada menghela nafas.
"Tidak ada hal penting yang mau kau bicarakan? Aku harus menyelesaikan pekerjaanku" Yamada bermaksud menutup jendelanya lagi.
"Chotto!" Yuuto nyaris berseru. Yamada tak jadi menutup dan memandang Yuuto dengan kerutan di keningnya. "Kau masih ingat ini?" Yuuto menunjukkan foto yang ia pegang. Yamada mendekat ke balkon dan matanya pun terbelalak..

"Itu.." suara Yamada seperti tercekat. Ia shock harus melihat foto itu ada di tangan Yuuto.
"Aku masih menyimpannya. Foto yang keren, bukan?" kata Yuuto dengan senyuman menggodanya.
"Berikan padaku"
"Tidak"
Yuuto menggeleng dan mengamati foto itu, sementara Yamada mendadak merasa terancam. "Aku jadi ingat kenapa kau jadi berandalan saat di SMP dulu.." lanjut Yuuto lagi. "Kau selalu jadi sasaran laki-laki. Aku ingat saat TK kau hampir diculik laki-laki gila yang menyukaimu, saat SD kau hampir diperkosa tutormu yang mahasiswa. Dan begitu SMP, kau selalu dibuntuti segerombolan anak laki-laki yang mengaku sebagai fans mu.. hahaha" Yuuto terus bercerita dan tertawa lucu. Yamada masih terdiam, pikirannya pun jadi teringat pada masa-masa mengerikan yang pernah dilaluinya itu. "..akhirnya kau jadi berandalan, dan tak ada lagi yang berani padamu" tawa Yuuto sudah berhenti ketika ia mengakhiri ceritanya.
Yamada menghela nafas, berusaha bersikap tenang.
"Kau tak perlu membeberkan lagi masa lalu ku, aku sudah tahu" ujarnya dingin. Yuuto masih mengulas senyuman di bibirnya.
"Apa jadinya kalau anak-anak di sekolah tahu bahwa presiden dewan mereka yang sangat disiplin itu ternyata pernah menjadi berandalan" katanya, yang otomatis membuat Yamada agak bereaksi. Ia langsung menebak pikiran Yuuto dan ia takut kalau Yuuto memang bermaksud begitu. "Aku bisa menyebarkan foto ini di sekolah-"
"Nakajima, sebenarnya apa maumu!?"
Yuuto tersenyum puas.
"Aku hanya mau kau melarang anak buahmu untuk tidak menangkapku lagi, dan jangan pedulikan aku" kata Yuuto.
"Aku tidak janji"
"Huh?"
"Aku ini presiden, kalau melakukan itu berarti aku melanggar peraturan dan aku tak mau mereka tak percaya lagi padaku" jelas Yamada.
"Kau payah. Berarti aku memang harus menyebarkan foto ini"
Yamada agak panik. Ia tahu kalau Yuuto sering nekat.
"Yang lain saja.. aku tak yakin kalau yang tadi" kata Yamada akhirnya mengajukan penawaran.
"Yang lain?"
"Uhm.. ap-apapun" Yamada berkata dengan ragu. Perasaannya agak tak enak, ketika melihat senyuman lagi di wajah Yuuto.
"Apapun ne.." Yuuto melihat ke foto lalu ke arah Yamada lagi. Senyumannya semakin lebar. "Wakatta. Aku mau kau menyerahkan dirimu padaku selama 1 bulan"
"Apa?" Yamada menatap Yuuto bingung. "Menyerahkan? jangan-jangan kau ingin menjadikan aku sebagai objek yang bisa kau pukuli!?" tebaknya pula. Yuuto tertawa kecil.
"Baka" gumamnya. Yamada mengerutkan keningnya. "Bukan itu. Sesuatu yang lain.."

"Yang lain..?" Yamada merasa harus terantisipasi mendengar kata-kata itu.
"Mundur"
"Eh?" Yamada melihat Yuuto mengibas-ngibaskan tangannya agar ia mundur. Ia pun melangkah ke belakang, berdiri di dekat jendelanya dan sebelum ia mengerti dengan maksudnya, Yuuto telah melompat dari balkonnya dan sekarang berdiri tepat di hadapan Yamada.
"A-apa yang kau lakukan!?" Yamada nyaris berteriak kaget. Lagi-lagi Yuuto hanya memamerkan senyumnya. Ia menyimpan kedua tangannya di samping kanan-kiri jendela membuat Yamada seperti terjebak.
"Kau sudah mengerti?"
"Apa?" Yamada masih tampak bingung.
"Ck, ternyata kau memang tidak terlalu pintar" komentar Yuuto, yang mendapat tatapan tajam dari Yamada. Semua orang di sekolah mereka tahu kalau Yamada Ryosuke- sang presiden dewan murid adalah murid terpandai. Sedangkan Nakajima Yuuto hanya murid biasa-biasa yang selalu bermasalah. Terang saja Yamada tidak terima disebut 'tidak terlalu pintar' oleh orang ini.
"Kau jangan macam-macam Nakajima" gertaknya.
"Tapi kau memang tidak sepintar itu" Yuuto sengaja mengejeknya. Yamada menenangkan dirinya, percuma berdebat dengan Yuuto. "Jadi aku ingin memilikimu selama 1 bulan penuh" Yuuto mengembalikan bahasan. Perkataannya semakin membuat Yamada tak mengerti.
"Jelaskan yang benar padaku, Nakajima"
---
Senyuman Yuuto tampak lagi di pelupuk matanya, Yamada merasa merinding di sekujur tubuhnya. Ia membuka matanya dan menghela nafas lega, bayangan itu sudah hilang.
"Kau tampak lelah, Yama-chan" kata Chinen, teman semejanya yang juga anggota dewan murid. Yamada hanya mengangguk sambil membenarkan posisi duduknya. "Kau mengerjakan laporan semalaman? seharusnya kau serahkan saja pada sekretaris"
Yamada belum menyahut. Ia memang terjaga semalaman. Laporan itu sudah hampir selesai saat Yuuto datang menganggunya dan membuatnya menyetujui sebuah deal.. yang sekarang sangat ia sesali karena sudah menyetujuinya.
"Yama-chan?"
"Ah.. aku baik-baik saja" Yamada menepis pikirannya.
"Jaa, kalau begitu aku pergi dulu. Harus mencari tempat untuk makan siang" kata Chinen memelankan kalimat terakhirnya, tak mau ada yang mendengar. Ia beranjak dan memegang bungkusan di tangannya.
"Bento lagi?" bisik Yamada pula sambil tersenyum lucu.
"Hm. Hikaru dan Kei-chan selalu memastikan aku agar membawanya. Ini payah" keluh Chinen, wajah manisnya menunjukkan tak suka. Yamada tertawa kecil.
"Kau beruntung punya kakak yang perhatian seperti mereka" katanya.
"Saa.." Chinen hanya balas tersenyum.

Chinen melihat ke seluruh penjuru di atap gedung sekolahnya. Sepi. Ini pertama kalinya ia bermaksud memakan bentonya disini. Biasanya ia akan makan di ruang lab atau ruang apapun yang jarang di datangi orang. Tapi ia mulai jenuh dan butuh tempat yang bisa memperlihatkan pemandangan. Atap sekolah memang bukan pilihan yang buruk, setidaknya disini juga sepi.
Chinen menemukan tempat yang tampak nyaman untuk bersembunyi, ia pun duduk disana lalu mulai membuka kotak bento nya. Ia harus cepat memakannya dan semua pun selesai. Menu hari ini selalu enak seperti sebelum-sebelumnya, tapi Chinen tetap tak punya nyali untuk memakannya di kantin, di depan teman-temannya. Ia menepis pikirannya dan mulai mengambil sumpitnya. Chinen baru akan berkata 'itadakimasu' ketika mendadak ada seseorang sudah berdiri di hadapannya.
"Kau sedang apa?" tanya Daiki. Chinen mengangkat wajahnya mendongak ke atas untuk melihat wujud orang itu. Pertama yang tertangkap oleh mata Chinen adalah warna seragam yang dipakainya. Warnanya lebih muda, jadi ia pasti senpai.
"Oh, kau sedang makan.." Daiki berkata lagi kemudian duduk di hadapan Chinen. Mereka saling menatap beberapa detik.
Tampak tidak berbahaya, pikir Chinen.
Kawaii, pikir Daiki. Takjub dengan wajah manis di hadapannya.
Chinen lebih dulu mengalihkan tatapannya. Ia cepat membereskan lagi bento nya. Walau ia tampak tak berbahaya, tapi Chinen tetap merasa tak nyaman terpergoki sedang bersama bento nya. Chinen berpikir sebentar lagi orang ini pasti berkomentar dan mengejeknya. Ia berdiri lalu bersiap pergi, membuat Daiki terperanjat.
"Matte, kau mau kemana?" panggil Daiki dan ikut berdiri menyusulnya. Chinen berhenti dan berbalik lagi, untuk kedua kalinya mereka saling memandang. Daiki bingung karena Chinen belum mengatakan apapun dari tadi. Tanpa membiarkan Daiki berkata lagi, Chinen akhirnya memberikan kotak bento nya. Daiki menerimanya dengan ekspresi tak mengerti.
"Tunggu! Oi! Kouhai!" ia memanggil-manggil Chinen yang sudah berlalu begitu saja dari sana. Daiki menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Ia membuka kotak bento itu dan tersenyum sendiri.
"Aku sedang beruntung" gumamnya.
---
"Sokka. Aku sudah menduga orang sepertimu tak mungkin membawa bento" komentar Yuuto setelah Daiki menceritakan dari mana ia mendapat bento yang sedang dimakan nya.
"Tadi ada kouhai aneh.." Daiki tersenyum. "Dan dia anggota dewan murid" tambahnya sambil mengingat tadi sempat melihat pin yang terpasang di kerah seragam Chinen.

"Anggota dewan murid yang satu kelas denganku?" Yuuto berpikir kira-kira siapa yang dimaksud oleh Daiki. "Ada beberapa orang di kelasku, selain presiden nya"
"Hmm, dia berwajah manis dan berbadan mungil" kata Daiki lagi, lebih spesifik.
"Ah. Itu pasti Chinen!" Yuuto cepat menangkap ciri-ciri yang disebutkan Daiki. Di kelasnya memang hanya Chinen Yuuri yang cocok dengan ciri-ciri itu.
"Chinen?"
"Uhm, Chinen Yuuri.. dia paling manis di kelas dan dia juga anggota dewan murid, teman Yamada" jelas Yuuto.
"Sokka" Daiki mengangguk dan mengingat nama itu baik-baik di otaknya. "Ne, kau suruh dia kemari sepulang sekolah nanti. Aku harus mengembalikan kotak bento nya" tambah Daiki pula.
"Oh, okay"
---
"Kau lupa menyimpan kotak bento mu?" tanya Yamada yang melihat Chinen tampak kebingungan.
"Bukan. Kotak bento itu-" Chinen menggantungkan kalimatnya, tak yakin akan bercerita pada Yamada. "..ah, Hikaru dan Kei-chan pasti akan mengomeliku" ia cepat mengalihkan perkataannya.
"Aku akan bantu mencarinya. Dimana tadi kau makan?"
"Iie, betsuni. Kau tidak perlu membantuku" Chinen berpikir mencari cara agar Yamada tak usah terlibat.
"Chinen" seseorang menyela mereka, ternyata Yuuto. Laki-laki tinggi berambut kemerahan itu menghampiri mereka. Seketika Yamada merasa salah tingkah, urusannya dengan Yuuto membuat ia agak tak tenang.
"Hai?" sahut Chinen, melihat pada Yuuto.
"Temanku menunggumu di atap sekolah" kata Yuuto tanpa basa-basi. Chinen terkejut, tapi ia juga merasa lega karena akhirnya diberi jalan untuk mengambil kotak bekalnya.
"Hm? teman..?" Yamada memandang Chinen heran.
"Ano.. Yama-chan, kau pulang saja duluan, ne?" Chinen tak menggubrisnya dan cepat pergi dari sana, meninggalkan Yamada dengan kebingungannya.
"Sudahlah. Ikou" Yuuto tersenyum dan merangkul Yamada tanpa beban. Dengan cepat, Yamada mengelak dari rangkulan Yuuto dan berjalan lebih dulu. Seperti biasa ia bersikap dingin. Yuuto masih tersenyum sambil mengikutinya.
---
"Ini. Sankyu" Daiki mengembalikan kotak bento milik Chinen. Anak laki-laki imut itu melihat pada kotak bento nya yang terasa ringan. Ia menggoyangkannya pelan, dan memang tampak tak ada isinya.
"Aku menghabiskan semuanya" kata Daiki lagi, tersenyum lebar. Chinen berusaha menutupi senyumnya. Orang ini lucu, tapi Chinen tak mau begitu saja bersikap akrab.
"Tak usah pura-pura. Kalau mau tertawa, tertawa saja" Daiki bisa melihatnya.
"Gome" untuk pertamakalinya Chinen bersuara di depan Daiki.

Daiki sudah menduga Chinen akan segera pergi begitu saja, ia cepat mengantisipasi.
"Ne, Yuu-Yuuri Chinen.." panggilnya agak ragu-ragu untuk menyebut nama anak itu. Chinen terpaku sesaat, tak menyangka Daiki mengetahui namanya. Ia berbalik perlahan.
"Tadi, aku memakai sumpitmu" kata Daiki lagi. Pemberitahuan yang tak perlu, karena jelas Chinen pasti sudah tahu ia memakai sumpitnya.
"Ii yo" kata Chinen, dan bersiap untuk pergi lagi.
"Ne, makanannya enak" Daiki membuat Chinen berbalik lagi dan hanya mengangguk pelan.
"Daiki. Arioka Daiki" sekali lagi Daiki berteriak sebelum Chinen benar-benar pergi. "Itu namaku" tambahnya. Chinen yang berhenti sebentar, kali ini tidak berbalik. Ia tak mau menunjukkan senyumnya yang sudah tak bisa ia kendalikan. Senpai ini benar-benar lucu, pikirnya. Ia melanjutkan pergi dari sana, tanpa ia tahu kalau Daiki menyadari senyumannya. Daiki pun tersenyum sendiri, ia menemukan sesuatu yang menarik.
---
"Kenapa kita harus pulang bersama? biasanya juga kau dengan teman-temanmu" protes Yamada yang sebenarnya risih harus jalan bersampingan dengan Yuuto, terlalu kontras.
"Kau masih ingat deal yang kita buat, bukan?" Yuuto malah balik bertanya. Yamada terkesiap, darah di tubuhnya berdesir dan dadanya mendadak berdebar lebih kencang. Yabai, pikirnya. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Ne-" Yuuto menepuk pundaknya, tapi tak diteruskan karena seseorang menyela mereka.
"Seperti yang aku duga" Nakayama menghampiri mereka. "Kalian berteman baik, huh?" ia memandang Yamada dan melirik tajam pada Yuuto. "Aku tak heran kalau orang ini selalu lolos"
Yamada diam, ia sedang tak mood untuk membalas wakilnya itu.
"Kau iri?" akhirnya Yuuto yang bergerak menghadapi Nakayama.
"Aku tidak level harus iri padamu"
"Ohya? Lalu kenapa kau begitu repot mengurusiku?"
"Kau tidak tahu diri. Seharusnya kau cepat dikeluarkan"
"Kau tidak berhak mengatakan itu"
"Kau lihat saja nanti-"
"Cukup kalian berdua!" Yamada menyela adu mulut mereka, dan berjalan melewati keduanya.
"Ryosuke" Nakayama memanggilnya, dan Yuuto agak tak suka mendengar itu. Sebelumnya yang ia tahu, belum ada yang pernah memanggil nama depan Yamada. Berarti mereka sudah sangat akrab.
"Sampai jumpa besok, Yuma" sahut Yamada sambil terus berjalan. Dugaan Yuuto benar, mereka memang akrab karena saling memanggil nama depan.
"Urus saja dirimu sendiri" kata Yuuto tajam. Sebelum pergi menyusul Yamada. Nakayama hanya melihat kedua orang itu dengan tatapan kesal. Ia harus segera bertindak.

Yuuto merebahkan tubuhnya di ranjang empuk milik Yamada.
"Ah.. sudah lama sekali tak kemari" ia menghirup nafas merasakan atmosfir yang sudah lama tak dirasakannya. Terakhir kemari adalah saat ia kelas 2 SMP, hampir 4 tahun yang lalu. "Tidak begitu banyak yang berubah" kata Yuuto lagi sambil bangun dan duduk di ranjang. Matanya menyapu seluruh isi ruangan kamar itu.
Yamada hanya menghela nafas, duduk di kursi meja belajarnya.
Mata Yuuto sampai ke arah Yamada, ia tersenyum. Yamada berusaha menghindari tatapan itu dan mengacuhkan senyumnya. Ia masih sangat berdebar.
"Kau tahu kan apa tujuanku berada disini?" tanya Yuuto, mulai serius.
"Katakan saja" Yamada terus berusaha dingin.
"Deal kita"
Yamada memejamkan matanya beberapa detik. Ia sudah tahu pasti ini.
"Aku harus bagaimana?" tanya Yamada akhirnya. Ia memang tak mungkin menolak. Sudah terlanjur setuju.
"Kochi oide yo" pinta Yuuto setelah beberapa detik ia tampak berpikir.
"Hah?" ucap Yamada tak sadar. Yuuto menyuruhnya mendekat ke ranjangnya, tentu saja ia shock.
"Jangan membantah" Yuuto memperingatkannya. Ragu-ragu, akhirnya Yamada mendekat. Dan beberapa saat kemudian, ia telah terbaring di ranjangnya dengan Yuuto yang menjebaknya dari atas. Kedua kaki Yuuto berada di kedua sisi tubuhnya dan kedua tangannya pun tersimpan di kedua sisi kepalanya. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja. Mereka tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Ti-tiga menit saja" kata Yamada agak terbata.
"30 menit"
"Tidak. 3 menit!" protes Yamada.
"Apa yang bisa dilakukan hanya dalam waktu 3 menit!?" Yuuto mengeluh.
"M-Memangnya kau mau apa?"
"Aku juga belum tahu mau apa" kata Yuuto jujur, matanya masih lekat menatap Yamada. Laki-laki tampan di bawahnya itu terus menghindari tatapannya.
"Baka ka?" gumam Yamada. "Kalau begitu hentikan saja ini" ia mencoba bangun, tapi parahnya, wajah mereka malah semakin dekat. Yuuto tak bergerak sedikitpun. Yamada kembali menyandarkan kepalanya di bantal. Setidaknya dengan begini, jarak mereka lebih aman.
"Wakatta" bisik Yuuto. Setelah menatap wajah Yamada sedekat tadi, ia jadi tahu apa yang diinginkannya. Hal konyol yang selama bertahun-tahun selalu disimpannya. Ia mau mencobanya. Selama masih ada kesempatan.
Perlahan Yuuto melepas kacamata Yamada, membuat presiden dewan murid itu terhenyak. Ia mencoba menatap Yuuto.
"3 menit" katanya.
"Tidak"
"Em-empat menit"
Yuuto menggeleng dan mulai menundukkan wajahnya.
"Ok, 5 menit"
"Deal"
Yamada terpejam, berharap ini segera usai.

"Ch-Chotto" tahan Yamada tiba-tiba, tepat sebelum wajah Yuuto menghampiri lehernya.
"Apa lagi?" tanya Yuuto.
"Kita harus mengatur waktunya.." Yamada agak mendorong tubuh Yuuto, sehingga mereka tidak nyaris bertabrakan lagi saat Yamada bangun. Ia mengulurkan tangannya mengambil weker yang tersimpan di meja samping ranjangnya. Yamada mengatur waktu untuk 5 menit dan weker itu pasti berbunyi alarmnya setelah 5 menit nanti.
"Okay" katanya sambil menaruh kembali wekernya lalu berbaring lagi disana. Yuuto tersenyum tipis.
"Kau memang sangat disiplin ne, presiden-san?" godanya, membuat Yamada harus merasakan hangat di sekitar pipinya. Yuuto menyadarinya, tapi ia tak berkomentar, tak mau membuat Yamada jadi kesal. Walau sebenarnya ia ingin sekali mengatakan 'kawaii'.
"Jangan banyak bicara. Waktumu sudah berjalan" Yamada mengingatkan, datar. Ia memejamkan lagi matanya dan meyakinkan diri kalau 5 menit bukanlah waktu yang lama.
"Haii" sahut Yuuto lalu mulai membenamkan wajahnya di leher Yamada. Seperti yang sudah ia duga, kulit Yamada sangat halus dan hangat. Reflek, ia menggerakan tangannya menuju kancing seragam Yamada, melepasnya satu persatu. Yamada terhenyak sesaat, tapi ia tak mau membuka matanya. Ia hanya berpikir, Yuuto mungkin pernah melakukan ini dengan laki-laki lain sebelumnya. Yamada tak menyangka, karena selama bertahun-tahun menjadi tetangganya, Yamada hanya pernah melihat perempuan yang dibawa Yuuto ke kamarnya.
Yamada hampir menahan nafas saat tangan Yuuto menjelajahi dadanya, bersamaan dengan bibirnya yang mengecupi lehernya. Yamada tak sadar sudah memiringkan lehernya, memberikan akses yang lebih luas untuk Yuuto. Ia memang merasa agak aneh tapi ia tak merasa takut atau tidak nyaman. Sentuhan Yuuto tak seperti sentuhan laki-laki yang dulu pernah mengganggunya. Ini berbeda. Yamada sudah siap untuk menyerah.
Beep
Beep
Beep
5 menit ternyata sudah selesai. Bunyi alarm dari wekernya membuat Yamada tersadar dan kembali pada kenyataan. Ia mendorong Yuuto.
"Waktu habis!" katanya. Yuuto menarik wajahnya dengan malas dari sisi lain leher Yamada yang entah sejak kapan sudah berpindah. "Sudah bunyi" kata Yamada lagi. "Cepat turun dari sini"
Yuuto tak menyahut dan malah menatapnya. Yamada merinding dengan tatapan itu. Ia takut kalau Yuuto mulai berpikir yang tidak-tidak.
"Nakajima-"
Yamada tercekat dan membelalakan matanya karena Yuuto tiba-tiba mencium bibirnya. Yamada berteriak-teriak di pikirannya.
Eh??
Tidak!

Kejadian kemarin membuat Yamada agak canggung ketika harus bertemu Yuuto. Itu memang bukan ciuman pertamanya, ia sudah pernah berciuman dengan mantan pacarnya malah bermesraan ala orang dewasa. Tapi ciumannya kemarin dengan Yuuto jelas adalah ciuman pertamanya dengan seorang laki-laki. Itu gila, karena Yamada tak merasa jijik sedikitpun. Bahkan waktu 5 menit pun bertambah jadi 7 menit. Yamada merasakan hangat di pipinya membayangkan hal itu lagi. Aku sudah gila, pikirnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak mau terima.
"Sudah cukup Ryosuke, kau harus membuat 2 buah surat peringatan sekaligus. Dia sudah pantas dikeluarkan" seperti biasa Nakayama masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu. Ia diikuti beberapa anggota dan.. Yuuto. Yamada terkesiap melihatnya.
"Apa maksudmu, Yuma?" Yamada beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri mereka.
"Dia merokok di atap sekolah" Nakayama menunjuk Yuuto.
"Aku tidak merokok" sahut Yuuto santai. Anak berbadan tinggi, berambut kemerahan dan memakai 2 piercing di telinga kirinya itu, melihat pada mereka dengan acuh. Kedua tangannya masuk ke saku celana seragamnya. Yamada tak heran dengan sikap menantang Yuuto itu. Ia menghela nafas.
"Kau yakin?" tanyanya pada Nakayama.
"Lihat. Ada buktinya" wakilnya itu menunjuk pada salah satu anggota yang memegang 2 batang puntung rokok.
"Itu bukan milikku" keluh Yuuto pula.
"Diam kau. Jelas-jelas tadi puntung itu ada di dekatmu. Kau tak bisa mengelak lagi!" hardik Nakayama tajam. Yuuto mengeluh keras dan mendecakkan lidahnya. Ia berani sumpah itu bukan miliknya, itu bekas Daiki. Ano yaro.. gerutu Yuuto dalam hati. Tadi Daiki cepat kabur sebelum para dewan murid ini menemukannya. Jadi Yuuto terkena getahnya.
"Sudahlah Ryosuke, ayo kerjakan tugasmu!" desak Nakayama lagi.
"Aku masih belum yakin" Yamada tahu Yuuto, dari dulu ia tak suka merokok. Ia percaya dengan kata-kata anak itu. Tapi tak tertutup kemungkinan juga kalau sekarang Yuuto sudah berubah.
"Lihat, kau membelanya lagi! Bukti itu sudah cukup!" protes Nakayama terlihat kesal.
"Aku tidak membelanya. Hanya saja-"
"Kau tidak berguna" gumam Nakayama tajam.
"Jaga ucapanmu!" Yuuto membalas perkataan tidak pantas Nakayama. Ia panas juga melihat Yamada diperlakukan seperti itu.
"Heh? Kau murid bermasalah yang tidak tahu malu. Aku tidak tahu kalian ada hubungan apa, tapi kau jangan besar kepala!"
"Dia temanku, kau mau apa?!
Yamada terhenyak. Ia takut Yuuto berkata macam-macam tentang hubungan mereka. Yabai.

Selama ini tak ada yang tahu kalau Yamada dan Yuuto adalah teman semasa kecil sekaligus bertetangga. Yamada selalu menyimpannya rapat-rapat. Bukan apa-apa, itu semua demi wibawanya sebagai seorang presiden. Orang-orang tak akan percaya lagi padanya jika tahu ia berteman baik dengan seorang berandalan sekolah. Jadi ia selalu menjaga jarak hingga mereka tak seakrab dulu lagi. Tapi ia akui tak pernah tega kalau harus memberinya hukuman. Itu kelemahannya.
"Kalian berteman?"
"Tentu saja, kami berteman sejak kecil. Seharusnya kau-"
"Omaera!" Yamada menghentikan mereka. Semua melihat ke arahnya, ia menatap Yuuto tajam. Anak itu tidak sadar perkataannya sudah membuat Yamada ketakutan. "Aku akan mengurusnya" kata Yamada pula sambil menarik tangan Yuuto keluar dari sana. Nakayama tak sempat menyahut lagi.
---
Yamada menghempaskan Yuuto ke dalam sebuah stall di toilet dan mengunci pintunya. Yuuto meringis pelan, terduduk di atas toilet yang ditutup.
"Apa-apaan ini?!" tanyanya cukup kaget dengan tindakan tiba-tiba Yamada.
Anak laki-laki itu membetulkan letak kacamatanya tanpa melepaskan tatapan tajamnya.
"Kau tak boleh membeberkan hubungan kita pada mereka"
"Huh?" Yuuto memandangnya bingung.
"Mereka akan semakin berpikir kalau kita berkomplot. Mereka tak akan percaya lagi padaku" Yamada terus menumpahkan kegalauannya. Dan Yuuto hanya mendengarkan, tak menyangka pengakuannya membuat orang ini risau.
"Aku mengerti" kata Yuuto akhirnya. "Gome, presiden-san" ia malah menggodai temannya itu.
Yamada menenangkan dirinya, ia bersandar ke pintu stall di belakang tubuhnya.
"Aku tak tahu harus melakukan apa padamu. Apa susahnya kau merubah penampilanmu dan-" Yamada menghentikan kalimatnya lalu mendekati Yuuto. Ia mengendus-endus disekitar wajah dan badan Yuuto.
"Oi-" Yuuto tak tahu harus memprotes apa. Mendapati Yamada yang mendekatinya seperti ini, rasanya hebat juga. "Apa? kau mencurigaiku juga?" tanyanya.
Yamada menarik dirinya dan keningnya berkerut, seperti yang ia duga tak ada bau rokok dari mulut Yuuto. Hanya ada sedikit di sekitar pakaiannya.
"Kau tahu kalau aku tak suka merokok. Tadi Dai-chan yang merokok di dekatku, asapnya mengenai pakaianku" jelas Yuuto.
"Dai-chan?"
"Ah..uhm, dia temanku. Seorang senpai" Yuuto keceplosan sudah menyebut nama Daiki.
"Sokka" Yamada bersandar lagi di pintu. Ia baru akan bertanya lebih lengkap tentang Dai-chan tadi, tapi Yuuto menyadarinya. Ia berdiri dan gantian mendekati Yamada. Ia tiba-tiba mendapat ide.

"Kau tahu apa yang sedang aku pikirkan?" tanya Yuuto agak berbisik, membuat Yamada lupa dengan segala pertanyaannya.
"Aku tak punya indera ke-6" jawab Yamada datar, berusaha menutupi salah tingkahnya. Dan ia sadar kalau jawabannya sangat konyol, tak bermutu. Untungnya Yuuto tak tertawa, karena memang tidak lucu.
"Aku mau waktu 5 menitku"
"Hah!?" Yamada menatapnya kaget. Yuuto tampak serius. "Ja-jangan bercanda.. tidak mungkin disini.." dada Yamada mulai berdetak liar. Ah tidak lagi.. tidak.. keluhnya dalam hati.
"Ne, aku boleh meminta waktu 5 menit ku kapanpun dan dimanapun" kata Yuuto.
"Aku tahu tapi-" kalimat Yamada tergantung karena Yuuto menabrakan bibir mereka dengan tiba-tiba. Yamada mengeluh di ciuman yang terlalu bersemangat itu. Tangannya mencengkram seragam Yuuto, sementara tangan kanan Yuuto memegang wajahnya agar tetap mendongak untuk mempertahankan ciuman mereka. Perbedaan tinggi mereka membuat agak sulit untuk berciuman dengan posisi seperti ini. Lebih baik mereka berbaring atau Yamada berada di tempat yang tinggi agar mereka jadi sejajar. Tapi walau begitu, Yamada tetap menyukainya, tubuh tinggi Yuuto membuatnya serasa dilindungi.
Mereka melepas ciuman beberapa detik untuk mengambil nafas, sebelum Yuuto kembali menciumnya. Kali ini ia menggunakan lidahnya, membuat Yamada merinding saat benda lunak itu bertemu dengan lidahnya. Gila! Ini gila! pikiran Yamada meneriakinya bersahutan. Tapi ia malah tak berhenti.. Ini benar-benar membuatnya gila. Ia kehilangan akal sehatnya.
Ciuman basah itu pun berakhir. Keduanya terengah-engah mengambil nafas. Yamada melirik Yuuto yang ternyata sedang menatapnya. Dilihatnya ada beberapa titik air ludah yang tercecer di dekat dagu dan bibir Yuuto. Sensual, pikir Yamada. Ciuman mereka ternyata sekacau itu.
Yuuto mengelapnya dengan belakang telapak tangannya, seperti tahu Yamada sedang memperhatikannya.
Wajah mereka memerah, bibir mereka terasa bengkak dan nafas mereka berat. Yuuto menyandarkan keningnya pada kening Yamada.
"5 menitnya masih ada" katanya.
"Sudah.." Yamada menyimpan tangannya di dada Yuuto untuk mengantisipasi dari tindakan tiba-tibanya lagi.
"Ini di toilet, tapi baumu selalu enak" gumam Yuuto, tak menggubris perkataan Yamada. Ia bergerak ke sisi wajah Yamada. Mencium daun telinganya, membuat Yamada harus merinding untuk kesekian kali.
"Kau pernah seperti ini dengan laki-laki sebelumnya?"
"Tidak. Ini yang pertama"
Entah kenapa, Yamada merasa lega mendengar jawaban Yuuto.

Chinen terpaku melihat dua orang yang keluar dari salah satu stall.
"Yama-chan..? Nakajima..?" katanya terkejut.
Yamada panik luar biasa, tapi ia cepat menutupinya.
"Ou, Ch-Chinen" ia balas menyapa dan cepat pergi dari sana. Sial. Chinen sudah pasti berpikir aneh melihat ia keluar berduaan dengan Yuuto dari sebuah stall. Apalagi kalau Chinen sampai mengamati mereka yang berantakan. Yada.
Yuuto juga cepat pergi dari sana tapi tak mengikuti Yamada. Kejadian di stall tadi membuatnya agak pusing. Tadi ia memang tak bisa mengendalikan dirinya, kalau saja Yamada tak menamparnya, mungkin mereka akan melakukan itu..
Yuuto menggeleng-gelengkan kepalanya. Walau ia menyukainya tapi melakukan itu rasanya masih terlalu dini. Lagipula hubungan nya dengan Yamada, bukan hubungan macam itu.
Chinen masih terdiam di tempatnya, bingung dengan sikap mereka. Tapi ia jadi menebak-nebak.. masaka?!
---
"Kau tahu Yamada, aku benar-benar tak suka anak bernama Nakayama itu" Yuuto bicara lagi saat ia berdiri di dekat balkonnya dan melihat ke arah kamar Yamada yang terbuka. Orang itu sedang duduk di kursi belajarnya, entah mengerjakan apa. Yuuto mengeluh pelan, dari tadi ia bicara sendiri. Yamada tak menggubrisnya.
Perlahan Yuuto mengusap pipi kirinya yang tadi siang ditampar Yamada.
"Tamparanmu masih terasa" gumam Yuuto tak sadar kalau kali ini Yamada bereaksi. Ia menoleh melihat pada Yuuto.
Mereka saling memandang. Banyak yang berkelebat. Mereka coba menepisnya. Yamada pun berdiri dan mendekati jendelanya.
"Bagus. Kau memang seharusnya berdiri disitu, karena aku sedang bicara padamu" kata Yuuto tersenyum senang. Yamada hanya memandangnya datar.
"Gome" katanya lalu menutup tirai jendelanya.
Yuuto terperanjat.
"Oi! Kau menyebalkan!" teriaknya.
Yamada tak bisa menahan senyumnya lagi. Orang bodoh itu, lama-lama menarik juga.. pikir Yamada. Setelah beberapa kali berciuman, ternyata tak membuat mereka jadi sulit. Yuuto selalu bisa mencairkan suasana, membuat ia lebih rileks. Tapi ia juga berpikir, deal itu akan segera berakhir. Ia tak mungkin merasa kehilangan.
---
Beep
Beep
Beep
5 menit berlalu tanpa terasa. Yamada menggerakkan tangannya mematikan wekernya. Yuuto duduk disampingnya, merapikan seragamnya. Yamada pun bangun dan memakai kacamatanya. Mereka tak bersuara. Tadi mereka begitu lembut, seperti ada perasaan di dalamnya. Apa karena mereka sudah terbiasa?
"Jaa" Yuuto berkata sambil beranjak menuju jendela.
5 menit ini pun berlalu tak seperti biasanya.

"Ikut aku" Tiba-tiba saja Nakayama menarik tangan Yamada dan membawanya keluar kelas, menuju gudang di lantai dasar. "Lihat ke dalam" suruh Nakayama pula, agak berbisik.
"Eh?" Yamada memandangnya bingung.
"Lihat saja!"
Pelan, Yamada membuka pintu gudang itu dan mengintip ke dalam. Ada beberapa orang disana, 3 orang pria dan 2 orang perempuan. Perempuan? Yamada sadar sekolahnya adalah sekolah laki-laki, kenapa bisa ada perempuan? Mereka memakai seragam dari sekolah tetangga. Yang laki-lakinya berantakan seperti berandalan.. dan Yamada harus terpaku, shock melihat siapa salah satunya diantara mereka bertiga yang sedang dirubungi dua perempuan itu. Yuuto!
Itu Yuuto!
"Kau lihat? Sudah lebih dari cukup. Dia membawa orang luar dan perempuan ke sekolah kita. Sudah tak bisa ditolerir!" kata Nakayama geram. Yamada sedang berusaha menguasai dirinya yang merasa ingin menghajar semuanya sekarang.
"Aku akan menyelesaikannya"
"Kalau kau masih saja lambat, lebih baik aku yang menyelesaikannya" ancam Nakayama pula, lalu pergi dari sana, meninggalkan Yamada yang masih terpaku. Ia memikirkan hal lain. Ia merasa di khianati, dimanfaatkan, ditipu.. Tanpa sadar ia sudah mengepal telapak tangannya. Perlahan, ia membuka pintu gudang itu lebih lebar dan masuk kesana. Orang-orang yang sedang mengobrol itu berhenti lalu melihat ke arahnya. Yuuto yang paling terkejut, ia membelalakan matanya tak percaya ada Yamada disana.
"Ya-Yamada" katanya sambil beranjak dan menghampiri laki-laki itu.
"Kesabaranku sudah habis, aku akan membuatmu segera dikeluarkan" sahut Yamada tajam. Untungnya ia masih bisa menahan diri untuk tidak memukul Yuuto. Yamada berjalan keluar dan Yuuto cepat menyusulnya.
"Tunggu Yamada, kau salah paham-"
"Kau tahu kan kalau kau salah?" Yamada memotongnya.
"Tidak, mereka itu-"
"Aku benar-benar akan membuatmu dikeluarkan" sela Yamada tak bisa menahan kekesalannya lagi.
"Aku tidak yakin kau masih berhak melakukannya" suara lain menyambung pembicaraan mereka. Nakayama muncul lagi disana dan memandang Yamada dengan tatapan sinis.
"Apa maksudmu?"
"Kita lihat apa besok kau masih menjadi presiden atau tidak.." jelas Nakayama. "dan kau, mulailah mencari sekolah baru yang kira-kira mau menerimamu" tambahnya pula pada Yuuto. Dengan senyuman menyebalkan di bibirnya, ia pergi lagi dari sana. Yamada mengerti maksudnya.
"Nakajima, lakukan apapun sesukamu. Kau sebarkan saja foto itu, aku tak peduli lagi" katanya dan berlalu. Yuuto hanya bisa terpaku disana.

Chinen sedang mencuci tangannya di wastafel ketika ada yang menyapanya dengan panggilan yang berantakan.
"Yo kouhai.. Yuuri.. eh maksudku Chinen"
Kali ini Chinen tak bisa menyembunyikan senyumnya karena terlihat dari cermin besar di hadapan mereka.
"Yo Arioka-senpai" balasnya.
Daiki mendadak berdebar dipanggil seperti itu, belum lagi senyuman Chinen yang bagai malaikat.
"Ah tidak.. panggil saja aku Daiki" katanya yang jelas-jelas tak bisa menyembunyikan juga pipinya yang memerah. Chinen terus tersenyum, ia sangat menikmati setiap pertemuan dengan orang ini.
"Hai, Daiki-senpai" katanya. Daiki tertawa kecil, dan merasakan wajahnya makin menghangat. Ia tak mau melihat bayangannya sendiri di cermin, pasti sudah sangat parah. Teman-temannya bilang, wajahnya paling tak bisa berbohong kalau sedang marah atau malu. Darahnya akan lebih banyak mengalir kesana.
"Ohya, kau temannya Nakajima, bukan?" tanya Chinen pula.
"Sou"
"Kau tahu dia kemana? dia tak terlihat di kelas sejak tadi pagi"
"Sokka. Paling dia membolos ke tempat itu lagi"
"Eh?"
Daiki melirik Chinen shock karena perkataannya sendiri. Bisa-bisanya dia menceritakan tentang bolos pada anggota dewan murid.
"Daijobu. Aku sudah tahu kalau Nakajima suka membolos" lanjut Yuuri. "Tapi hari ini seharusnya dia tidak pergi"
"Ada apa?"
"Akan ada rapat dewan untuk mengganti presiden yang sekarang"
"Ah, orang bernama Yamada itu?" Daiki agak terkejut.
"Sou. Tampaknya ada yang ingin sekali menggulingkan dia. Dia sedang dalam masalah" jelas Chinen menghela nafas.
"Hmm, Yuuto harus tahu"
Mereka saling menganggukkan kepala. Chinen merasa ini akan menyelamatkan Yamada.
---
"Baaaka" ledek Daiki sambil menepuk kepala Yuuto yang tertunduk lesu di atas meja sebuah cafe. Daiki sudah menduga anak itu ada disana.
"Urusai" gumam Yuuto masih sambil membenamkan wajahnya ke meja itu.
"Kau malah enak-enakan disini padahal sedang ada masalah besar di sekolah.. gara-gara kau"
Yuuto mengangkat wajahnya, melirik Daiki.
"Huh?" katanya tak mengerti. Ia merasa saat ini masalah terbesar yang ia hadapi adalah telah membuat Yamada jadi membencinya. Ia tak peduli kalau akan dikeluarkan dari sekolah.
Daiki mengangguk. "Dewan murid sedang rapat untuk mengganti presiden" ia mengatakannya dengan tenang, kontras dengan reaksi Yuuto yang nyaris terlonjak dari kursinya.
"APA?!"
"Dia benar-benar berada dalam masalah"
Yuuto berpikir. Benar, dan semua ini salahnya! Mereka tak boleh mengganti Yamada.

"Yamada Ryosuke sudah berkali-kali meloloskan murid yang bermasalah hanya karena mereka berteman. Aku rasa anggota dewan semua bisa menilai berapa besar kesalahan yang sudah dibuat olehnya, dan apa dia masih pantas menjadi presiden kita atau tidak" Nakayama membeberkan analisanya tentang Yamada. Banyak seperti tuduhan yang dia sampaikan dan jelas memberatkan Yamada. Tapi Yamada sama sekali tak menyangkal, ia hanya diam menyimak jalannya rapat itu yang mungkin jadi rapat terakhirnya. Anggota dewan lain tampak termakan kata-kata Nakayama. Ia tak peduli, hanya ingin semuanya cepat selesai. Tidak menjadi presiden dewan lagi bukan hal buruk. Bukankah ia suka berkhayal seandainya ia bukan presiden dewan. Benar kata Yuuto, ia bisa lebih fokus pada pelajaran. Yuuto.. Yamada menghela nafasnya. Ia ingin benar-benar membenci orang itu sekarang. Setelah rapat ini selesai dan ia tak lagi menjadi presiden, Yuuto pun akan pergi dari sekolah ini. Yamada tak mau menyesali apapun, mungkin ini memang yang paling baik.
Yamada tersentak oleh tepukan lembut Chinen di tangannya. Temannya itu tahu ia melamun. Sekarang ada perwakilan dari anggota dewan yang tengah bicara. Ia mengatakan senang memiliki presiden seperti Yamada, tapi jika ia memang melanggar maka harus ada keadilan. Yamada bisa menerimanya. Ia bersukur karena anggotanya tak benar-benar jadi membencinya seperti Nakayama.
"Baiklah, berarti kita akan segera menentukan presiden berikutnya.."
"Nakayama-kun tentu saja" sahut anggota yang memihak Nakayama.
"Eh? ore?" ia pura-pura kaget.
"Kau kan wakil, tentu saja harus jadi pengganti presiden"
"Sokka. Baiklah kalau kalian memaksa" laki-laki itu tersenyum bangga. Chinen mendecakkan lidahnya, muak melihat tingkah Nakayama. Ia melirik Yamada yang tak berekspresi. Mungkin ini memang sudah tak bisa diselamatkan.
"Jadi mulai hari ini Nakayama-kun yang menjadi pres-"
"Yamero!" sebuah teriakan menghentikan penegasan yang sedang diucapkan seorang anggota. Semua mata menoleh ke arah pintu, kecuali Yamada yang duduk membelakanginya. Ia merasa familiar dengan suara itu, tapi apa mungkin..?
"Omae!" Nakayama balas berteriak.
"Jangan ganti Yamada! Kalian tak boleh mengganti Yamada!" pinta Yuuto tanpa basa-basi. Nafasnya terputus-putus karena tadi ia berlari untuk sampai kesana.
"Yama-chan.." bisik Chinen, meminta Yamada untuk berbalik. Matanya lekat melihat kesana, yang lain juga tampak terpana. Yamada jadi penasaran. Ia pun berbalik dan tercengang..

Siapa yang tak akan terpana melihat Yuuto disana. Ia sudah berubah.
"Ini kan yang kalian inginkan? Aku sudah menuruti kalian, jadi jangan ganti Yamada!" kata Yuuto lagi yang tampak tak peduli dengan tatapan-tatapan tak percaya di hadapannya itu. Yamada mengedipkan matanya dan melihat dengan benar-benar. Ia memang tak salah lihat. Yuuto yang disana rambutnya berwarna hitam, dan tak ada piercing di telinga kirinya. Itu seperti Yuuto yang dulu akrab dengan Yamada. Ia sudah kembali.
"Dengarkan aku.. selama ini aku yang sering meminta Yamada untuk menolongku, aku yang memaksanya. Jadi aku yang bersalah. Kalian seharusnya menghukumku seberat-beratnya, jangan dia!"
Semuanya benar-benar dibuat terpana, setelah dengan penampilannya yang tiba-tiba berubah, sekarang dengan pengakuannya.
"Itu tidak penting lagi Nakajima. Dia tetap bersalah karena sudah membantumu" serang Nakayama yang tetap pada pendiriannya. Ia tak mungkin membiarkan yang sudah didapatnya lepas kembali.
"Tapi Yamada tidak bersalah, dia terpaksa melakukannya karena aku!" Yuuto balik menyerang. "Aku mohon pada kalian.. aku mohon.." Yuuto membungkuk sedalam mungkin.
"Aku pikir, Yamada-kun memang tak boleh diganti. Dia dipaksa. Siapapun pasti bertindak sama jika berada dalam posisinya yang menghadapi banyak dilema" Chinen tiba-tiba angkat bicara, memberikan pencerahan pada anggota lain. "Kita suka Yamada-kun menjadi presiden kita, bukan? kita harus mempertahankannya"
Kata-kata Chinen meraih semua orang kecuali Nakayama, tentu saja. Ia tak percaya sekarang seketika saja orang-orang jadi menentangnya.
"Kami setuju. Yamada-kun harus meneruskan tugasnya"
"Hai, kami juga.."
Chinen tersenyum puas, melirik Yamada yang kembali tercengang melihat orang-orang jadi balik mendukungnya.
"Kalian gila!" gerutu Nakayama yang memilih pergi dari sana, tak tahan dengan situasi itu.
"Arigato minna" Yamada cepat berdiri dan membungkuk sedalam mungkin pada semuanya. Yuuto menghampiri dan berdiri di samping Yamada, ikut membungkukkan badannya. Yamada menoleh ke arahnya, mengamati Yuuto yang sudah berubah. Ia tak pernah menyangka, ternyata si bodoh dan keras kepala ini bisa melakukan hal bagus juga. Ia mendadak berdebar ingat kejadian-kejadian yang sudah mereka lalui. Puncaknya adalah hari ini, Yamada melihat Yuuto peduli padanya, lalu? Ia mengalihkan pandangan. Pikirannya terlalu jauh.
"Presiden harus menentukan hukuman untuk Nakajima" kata seseorang.
"Oh.." Yamada mengulas senyuman di bibirnya.

"Hukuman macam apa ini!? Aku akan membalasnya nanti!" gerutu Yuuto sambil menekan alat pel ke lantai. Tapi tak urung, ia tetap melanjutkan pekerjaannya. Membersihkan toilet sekolah, mengepel lantai sekolah, merapikan gudang alat olahraga, dan lain-lain. Hampir semua pekerjaan yang biasa dilakukan penjaga sekolah, kali ini ia yang mengerjakan. Yuuto memang menggerutu tapi ia tak berhenti, itu memang sudah resikonya. Ia harus bertanggung jawab untuk segala pelanggaran yang sudah ia buat.
Yuuto menghela nafasnya sebentar dan melihat jam tangannya, pukul 7 malam. Sekolah sudah sepi dari tadi. Ia mengamati bayangan dirinya di cermin, ia terlihat lebih muda dengan rambut hitamnya dan terlihat lebih rapi tanpa piercing di telinganya. Yuuto mengulas senyum. Ia sendiri tak percaya benar-benar bisa berubah, demi Yamada..
"OSH! aku tak akan kalah olehmu!" teriaknya mengumpulkan semangat. Ia harus menunjukkan pada Yamada, kalau ia bisa menyelesaikannya.
---
Yamada membuka jendela kamarnya lebar-lebar dan berkali-kali menolehkan kepalanya ke arah kamar Yuuto yang masih sepi sejak tadi sore.
"Dia lambat sekali" gumam Yamada gemas. Ia sebenarnya memang khawatir karena tadi ia memberi hukuman yang banyak. Ia hanya yakin kalau Yuuto bisa menyelesaikannya.
Yamada melihat ke arah wekernya, sudah pukul setengah 9 malam. Ia mengeluh pelan. Baru saja ia akan mengambil ponselnya untuk memastikan kalau anak itu baik-baik saja, ia melihat cahaya menyala di kamar Yuuto. Yamada menyimpan lagi ponselnya dan mendekati balkonnya. Ia bisa melihat dari balik tirai yang agak terbuka, Yuuto sedang menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Yamada tersenyum lega.
"Dia pasti kelelahan" gumamnya. Tapi ia jadi tenang karena Yuuto sudah pulang. Yamada bermaksud masuk kembali ke kamarnya, hingga tiba-tiba ada keinginan lain di dirinya. Ia melihat lagi ke arah kamar Yuuto. Si bodoh itu lupa mengunci jendelanya, pikir Yamada. Akhirnya tanpa harus berpikir banyak lagi, ia melompati balkonnya menuju balkon kamar Yuuto. Ini pertama kalinya ia melakukan hal yang biasa ia tentang. Ia merasa sudah gila.. gara-gara Yuuto.
Yamada masuk ke dalam kamar itu perlahan. Yuuto tampak sedang berbaring dengan dadanya dan matanya terpejam, ia belum mengganti seragamnya. Yamada bergerak mendekat, tanpa mau membangunkannya. Tapi rupanya Yuuto belum benar-benar tidur, ia sedang beristirahat saja.
"Yama-chan" panggilnya setelah membuka mata. Yamada agak terhenyak.
"Ou, N-Nakajima"
Yuuto tersenyum.

"Ne, kau melompat dari kamarmu?" tanya Yuuto.
"Yea, kau pikir bagaimana lagi?" sahut Yamada pura-pura acuh.
Yuuto tertawa sambil membalikkan badannya, kali ini ia menghadap langit-langit kamarnya.
"Urusai" gumam Yamada sambil beranjak mendekati Yuuto, ia sudah tak ragu-ragu lagi. Yamada duduk di tepi ranjang itu membuat Yuuto melirik ke arahnya. Mereka saling menatap dengan senyuman di bibir masing-masing.
"Pasti melelahkan" Yamada membuka percakapan lebih dulu.
"Lumayan, tapi aku menyelesaikan semuanya" kata Yuuto bangga.
"Bagus" komentar Yamada. Mereka terdiam lagi beberapa detik, sampai tiba-tiba Yuuto mengulurkan tangannya menyentuh tangan Yamada. Sekali lagi mata mereka bertemu.
"Gomen na" kata Yuuto serius. Ia menggenggam tangan Yamada, menyatukan jari-jari mereka.
"Sudahlah" sahut Yamada menggelengkan kepalanya.
"Sankyu" Yuuto tersenyum lagi dan tanpa peringatan lebih dulu, ia menarik tangan Yamada hingga laki-laki itu terjatuh ke arahnya.
Yamada terhenyak tapi kemudian bisa menguasai dirinya. Ia agak mengangkat wajahnya dan menemukan wajah tampan Yuuto disana.
"Yappari, kau lebih baik seperti ini" komentar Yamada sambil mengamati rambut baru Yuuto.
"Benarkah?" Yamada mengangguk. "Aku melakukannya untukmu" kata Yuuto lagi. Yamada merasakan debaran nyaman di dadanya mendengar kata-kata itu. Dan wajahnya pun terasa menghangat.
"Menjijikan" gumamnya berusaha menutupi malu nya.
"Itu benar"
"Kau tak perlu mengatakannya" Yamada mencoba melepaskan diri dari pegangan Yuuto, tapi Yuuto tak membiarkannya malah menyimpan kedua tangannya di pinggang Yamada. Memeluknya erat, hingga Yamada semakin tak bisa berkutik.
"Lepaskan aku" pintanya.
"Tidak mau" tolak Yuuto.
"Lalu apa maumu?"
Yuuto tersenyum senang ditanya seperti itu.
"Aku mau-" katanya dan melancarkan sebuah kecupan kilat di bibir Yamada yang terhenyak kaget. Ia mengedipkan matanya berkali-kali, shock. Wajahnya pasti sudah sangat memerah. Yuuto tersenyum, suka melihat wajah manis Yamada.
"Aku mau waktu 5 menitku" lanjut Yuuto.
"Eh? Itu sudah tidak berlaku! Aku tak mau meneruskan lagi deal bodoh itu" protes Yamada cepat. Yuuto masih tersenyum tenang.
"Sokka, kalau begitu 10 menit"
"Yada"
"20 menit"
Yamada menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"30 menit"
"Tidak-"
Tak ada lagi protesan dari Yamada karena Yuuto sudah menciumnya penuh di bibir. Ia menyerah, ia hanya bisa mengeluh di ciuman mereka saat Yuuto mengusap pinggangnya. Yamada berpikir ini akan jadi malam yang panjang..

Yamada menggigit bibirnya pelan, menahan suara yang memaksa keluar dari mulutnya saat Yuuto mulai menciumi dadanya. Tak ada yang tahu sejak kapan ia jadi terbaring di ranjang Yuuto dengan laki-laki itu di atasnya.
"N-Nakajima.." panggilnya, sambil menyentuh rambut Yuuto, membuat ia melancarkan kecupan beruntun ke leher dan dagu Yamada.
"Hmm?" Yuuto memandangnya.
"Kita sepertinya terlalu berlebihan"
"Huh?"
"Kita seharusnya tak seperti ini"
"Apa ada masalah?"
"Tentu saja. Kau dan aku.." Yamada bingung meneruskan kalimatnya. Yuuto menghela nafasnya, ia bisa menangkap maksud yang ingin disampaikan Yamada.
"Apa menurutmu setelah banyak hal yang kita lewati kita masih berteman?" tanyanya. Yamada menatap Yuuto risau, ia memikirkan hal yang tidak enak. Ia menduga Yuuto akan mendepaknya begitu saja, setelah keintiman yang mereka lakukan gara-gara deal bodoh itu.
"Kau terlalu banyak berpikir, tapi kau lebih bodoh dariku" keluh Yuuto agak meledeknya. Karena Yamada tak cepat menjawab dan Yuuto bisa menebak dari matanya kalau ia tengah berpikir. Yamada mengerutkan keningnya, tak terima disebut seperti itu. Yuuto tersenyum santai, ia tahu Yamada tak suka dikatai begitu.
"Aku akan mengatakannya.." lanjut Yuuto pula, dan menatap langsung ke mata Yamada dengan lembut. "Ini cinta. Ini cinta yang membuatku ingin mendapat perhatianmu, yang membuatku selalu mengganggumu, selalu membuatmu kesal. Ini cinta yang membuatku terpikir untuk membuat deal bodoh itu, yang membuatku ingin berubah untukmu, yang membuatku ingin selalu mencium dan memelukmu. Ini cinta. Koi da yo" jelas Yuuto panjang lebar dan membuat Yamada terpana, tak sanggup mengatakan apapun. "Aku tak pernah merasakan ini pada laki-laki lain dan aku juga tak pernah merasa sebaik ini saat aku bersama dengan gadis yang kusuka. Kau berbeda dari siapapun. Aku menyukaimu karena ini kau"
Yamada masih terpana. Pernyataan Yuuto sangat menyentuhnya, membuat dadanya berdebar berkali lipat, membuat darahnya berdesir nyaman. Ia pun merasakan sama.. Yamada menyadari itu. Tapi ia belum mengatakan apapun hingga Yuuto jadi malu sendiri. Ia mulai salah tingkah.
"Wa-warui na. Kau pasti aneh mendengarnya dan merasa jijik.." katanya sambil bergerak menjauh dari badan Yamada dan duduk di sisi ranjang. Yamada pun bangun dari posisi berbaringnya, terduduk disana. "Aku juga aneh sudah mengatakan itu pada laki-laki. Tapi aku tak bisa membohongi perasaanku" tambah Yuuto.
"Ne.." panggil Yamada akhirnya. "Ore mo.."

"Ore mo.."
Yuuto menoleh pada Yamada mendengar perkataannya. "Aku juga menyukaimu" dan Yamada meneruskan kalimatnya, membuat Yuuto yang balik terpana. Ia tak tahu harus bereaksi apa, jadi hanya tersenyum lebar dan mengusap-usap belakang kepalanya. Dadanya berdebar cepat, tapi ia sangat lega. Ia tak mampu melihat pada Yamada jadi berusaha mengalihkan perhatiannya ke tempat lain, walau senyum lebar di bibirnya terlalu jelas terlihat. Yamada pun hanya menundukkan wajahnya, menatap seprai di ranjang Yuuto seolah ada yang menarik disana. Senyuman pun tak lepas dari bibir mungilnya.
"Saa.." kata Yuuto memecah atmosfir grogi mereka. "Jadi sekarang kita..?" ia memberanikan diri menoleh pada Yamada yang sudah memandangnya lebih dulu. Yuuto melihat rona merah di pipi Yamada, ia juga merasakannya di pipinya. Tapi mereka tak perlu menyembunyikannya lagi. Keduanya sudah saling tahu.
"Tak perlu mengatakannya" kata Yamada sambil mendekat dan memeluk Yuuto dari belakang. Ia menyandarkan dagunya di bahu Yuuto, membuat Yuuto tak bisa berhenti tersenyum. Tak biasanya Yamada bertindak lebih dulu.
"Ne, tapi aku belum siap.."
"Eh? apa?" Yuuto menoleh lagi pada Yamada, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja.
"Tadi kau seperti mau memperkosaku" kata Yamada pelan.
"Hah?! kau percaya diri sekali" Yuuto memutar bola matanya. Yamada merasa malu, ia membela dirinya.
"Tapi tadi kau sudah membuka kancing piyamaku dan mencium-"
Yamada tak melanjutkan kalimatnya karena Yuuto sedang lekat menatapnya. Ia menelan ludah diam-diam. "A-aku mau pulang" katanya sambil melepas pelukan dan beranjak dari ranjang Yuuto.
"Siapa bilang kau boleh pulang? aku belum selesai"
Ia terjatuh ke pangkuan Yuuto dan tak sempat mengelak karena Yuuto sudah menciumnya lagi. Memeluknya di balik piyamanya. Tangan hangat Yuuto mengusap punggungnya lembut. Ia mengeluh, ciuman mereka semakin dalam dan panas juga basah. Yamada memegang bahu Yuuto untuk bersandar. Agak menekan belakang kepalanya juga, menikmati ciuman itu. Saat dirasanya tangan Yuuto menyentuh ujung celananya, ia melepaskan ciuman.
"A..ku seri--us" katanya terengah tapi berusaha tegas.
"Wakatta. Kalau begitu kita tidur" bisik Yuuto di bibirnya. Yamada tak bisa menolak karena ia sudah berbaring disana dengan Yuuto yang memeluknya di balik selimut.
---
"Yuuto!" suara ribut diluar membuat Yamada terbangun, itu suara ibu Yuuto.
"Yabai" gumamnya. Ia menoleh lalu mengecup kening Yuuto sebelum pergi.

FIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar