Minggu, 31 Juli 2011

[YunJae - Shots] NOBODY KNOWS


Title : Nobody Knows
Cast : YunJae / OC
Author : Rieyo
Genre : Drama/Romance/Yaoi
Rating : PG17

> > > > >
“Bos, ada masalah…” manager Han memasuki dapur restoran tempatnya bekerja dengan panik. Ia langsung menghampiri Kim Jaejoong – pemilik restoran yang juga seorang kepala chef disana.

“Ada apa?” Jaejoong menghentikan sesaat kegiatannya membantu salah satu pegawainya yang sedang menyelesaikan sebuah pesanan.

“Ada seorang pengunjung yang ingin bertemu denganmu, dan dia marah-marah”

“Ne? Apa yang terjadi?”

“Dia mengadu menemukan sesuatu di makanan yang dia pesan, dan dia bilang ingin bertemu dengan koki yang memasaknya. Aku bisa menyelesaikan dia, tapi beritahu aku apa yang sebaiknya aku lakukan” jelas manager Han, masih belum bisa menenangkan kepanikannya. Manager wanita berusia 29 tahun itu memang sangat perhatian dengan semua yang diperintahkan Jaejoong, disamping ia pun biasanya mampu menghandle berbagai situasi. Itu sebabnya Jaejoong menempatkan dia menjadi manager di restorannya.

“Aku akan menemuinya” putus Jaejoong akhirnya. Ia sadar kalau untuk masalah ini sepertinya ia memang harus melibatkan diri secara langsung. Ia mencuci tangannya dan mengelapnya, setelah berbicara sebentar pada pegawainya, ia segera keluar dari dapur diikuti oleh manager Han.

. . .

Diluar sudah menunggu seorang perempuan yang terlihat masih sangat muda sedang melipatkan kedua tangannya di depan dada, terlihat kesal.
“Ada apa nona?” tanya Jaejoong tetap bersikap ramah.

“Kau orang yang memasak disini?”

“Ne, apa ada yang salah dengan makanan yang kau pesan?”

Perempuan itu mengambil piringnya di meja dan menyodorkannya ke hadapan Jaejoong. “Kau lihat sendiri apa yang salah” katanya.

Jaejoong mengambil piring itu untuk mengamatinya. Ada beberapa ekor lalat mati disana. Ia melebarkan matanya tak percaya. Dari sejak 3 tahun yang lalu ia menjalankan bisnis restoran ini, baru sekarang ia mendapati ada seorang pengunjung yang komplain tentang kebersihan di makanan yang ia sajikan. Ini tidak mungkin, karena ia yakin sekali selalu memperhatikan setiap makanan yang dibuatnya. Restorannya sudah memiliki banyak pelanggan, dan tak pernah sekalipun ia mendapati komplain seburuk ini.

“Ini—tidak mungkin—“ Jaejoong nyaris tak bisa berkata-kata.

“Apanya yang tidak mungkin? Itu sudah jelas-jelas ada di piringku!” sergah perempuan itu. “Kembalikan uangku! restoran macam apa ini, sampai ada binatang menjijikan di dalam makanannya!”

“Ah nona, tolong pelankan suaramu, kau bisa mengganggu pengunjung lain” manager Han yang sudah merasa iritasi sejak tadi, tak bisa menahan diri untuk memperingatkan suara perempuan itu.

“Kenapa? Kalian pasti malu, bukan? Kalian takut kalau semua pengunjung disini tahu, lalu tak mau datang lagi kemari. Aku rasa seharusnya mereka memang tahu, demi kebaikan mereka” perempuan itu terus berkata dengan angkuh dan menyebalkan, hingga pengunjung lain jadi menyadari situasi dan memperhatikan perdebatan itu dari meja mereka.

Jaejoong sungguh kehilangan kata-kata. Ia ingin membela diri, tapi bukti di hadapannya sekarang terlalu jelas. Ia tak percaya kenapa bisa terjadi hal seperti ini, ia benar-benar tak yakin kalau dirinya dan pegawainya melakukan kesalahan yang begitu fatal. Ia selalu yakin kalau restorannya tak pernah mengecewakan pelanggannya, selalu memberikan pelayanan paling baik. Itu juga sebabnya hanya dalam waktu 3 tahun saja, restorannya bisa menjadi tempat yang cukup populer di Seoul. Tapi dengan kejadian sekarang, siapa yang tahu kalau ia akan mendapat masalah besar.

“Yah, jangan berteriak-teriak, kau mengganggu pengunjung disini” sebuah hardikan yang terdengar dingin tapi tegas menginterupsi perdebatan manager Han dengan perempuan tadi. Mereka menoleh dan menemukan seorang pemuda yang sejak tadi duduk di depan counter sedang memandang mereka dengan iritasi.

“Maaf tuan, kami akan segera menyelesaikannya” manager Han cepat meminta maaf pada pemuda itu.

“Apa penyelesaiannya? Kalian akan tetap menjual makanan yang tidak bersih disini? kalian sungguh sudah membuang-buang uangku. Kembalikan uangku atau aku akan terus menceritakan hal ini pada semua orang!?” perempuan itu menyergah lagi tanpa ampun, malah mulai mengancam.

“Nona! Kau sudah memakan hampir semua dari makanan yang kau pesan, kau tidak bisa meminta uangmu kembali!” manager Han terpancing lagi emosinya.

“Yah! Itu sebelum aku tahu kalau di dalamnya ada binatang yang menjijikan. Makanan itu juga pasti sudah terkontaminasi. Bagaimana kalau aku sakit nanti? Apa kalian mau bertanggung jawab, huh?!” perempuan itu pun terus bersikeras dengan protesannya.

“Tapi—“

“Kembalikan saja uangnya” Jaejoong menyela manager Han yang sudah bersiap untuk mendebat lagi.

“Bos…”

Jaejoong menganggukkan kepalanya, lalu berbicara pada pegawainya yang bertugas sebagai kasir untuk mengeluarkan lagi uang perempuan itu.

“Kalian sebaiknya menutup restoran ini kalau tidak bisa bekerja dengan benar” kata perempuan itu lagi setelah menerima kembali uangnya. Ia tersenyum kecut sambil berlalu dari sana. Jaejoong hanya bisa menerima kata-kata tajam itu dan berusaha tak mengingatnya.

“Tunggu!” perkataan seseorang, menghentikan mereka yang sudah akan membubarkan diri. Jaejoong dan manager Han tak jadi kembali ke dapur, dan perempuan tadi pun membalikkan lagi badannya.

Pemuda yang tadi sempat menginterupsi obrolan mereka berdiri dari tempat duduknya. Ia menghampiri perempuan itu, memandangnya datar tapi mengintimidasi.

“Yang kau lakukan itu sebuah trik lama, nona” kata pemuda itu tetap dingin seperti sebelumnya. “Kau hanya ingin makan disini tanpa harus membayar, bukan? Kau pasti tidak punya cukup uang”

Perempuan itu melebarkan matanya, kaget. Ia menelan ludahnya diam-diam.
“A-apa kau bilang?!” ujarnya, gugup. Ia melirik Jaejoong dan manager Han yang sedang memperhatikan mereka. “Jangan sembarangan! Aku ini pengunjung yang sudah ditipu!”

Pemuda itu tampak sangat tak percaya dengan pembelaan diri si perempuan. Ia mendekati Jaejoong dan menunjuk piring yang masih di pegangnya.

“Lalat-lalat ini, kau sendiri yang menyimpannya disana setelah kau selesai makan, bukan? Dengan begitu, kau bisa terbebas dari pembayaran”

“Apa?!” perempuan itu semakin kalut, makin terlihat kalau rencananya memang sudah terbongkar.

Jaejoong dan manager Han saling melirik tak terpikir dengan semua yang dituduhkan pemuda itu.

“Dengar nona, aku sudah cukup lama menjadi pelanggan disini, dan aku tak pernah mendapat masalah. Disini menyediakan makanan yang bersih dan lezat. Aku yakin pengunjung yang lain pun setuju, begitu juga kau. Kau menyukai makanan disini, sampai kau tidak punya uang pun, kau sanggup melakukan tindakan sekotor ini”
Mata perempuan itu mulai membelalak. Semua yang dikatakan pemuda itu terlalu mengenainya.

“Sekarang, sebaiknya kau meminta maaf sebelum aku membawa masalah ini ke tahap yang lebih serius” kata pemuda itu lagi.

“Ke-kenapa aku harus meminta maaf…” perempuan itu terus mencoba bertahan dengan kesalahannya.

“Mereka akan memaafkanmu dan aku yakin mereka tak akan meminta bayaran darimu. Tapi kalau kau tetap keras kepala, mungkin mereka bisa menuntutmu sebagai orang yang mengganggu ketenangan disini – juga mencuri makanan”

Perempuan itu terlihat semakin gugup dan ketakutan. Pemuda ini sudah berhasil mengintimidasinya, membuat ia terpaksa harus mengakui perbuatan buruknya.

“Apa benar seperti itu?” manager Han bertanya dengan penasaran. Perempuan itu menundukkan kepalanya, tak berani lagi memandang dengan angkuh pada dua orang di hadapannya. “Yah nona, kami sungguh bisa menuntutmu kalau kau benar-benar melakukan kecurangan seperti ini!”

“Ayo cepat minta maaf, kau sudah mengatakan banyak hal yang keterlaluan” kata pemuda itu lagi.

Jaejoong hanya diam memperhatikan mereka, terus terang saja ia masih bingung apa memang keadaannya benar seperti yang dibeberkan pemuda ini. Ia mengamati pemuda yang menurutnya lebih muda beberapa tahun saja darinya itu. Berbadan lebih tinggi darinya dan berwajah tampan dengan ukuran muka yang kecil. Tatapan dingin dari mata kecilnya sangat seksi walau memang terkesan mengintimidasi. Jaejoong tak tahu kalau restorannya memiliki seorang pelanggan yang begini loyal.

“Maafkan aku!” perempuan itupun membungkukkan badannya dalam-dalam di hadapan Jaejoong. “Aku sungguh tidak bermaksud mengatakan yang tidak menyenangkan. Aku sangat suka makanan disini, tapi hari ini aku sedang tidak memiliki uang yang cukup”
Jaejoong agak terhenyak dengan pengakuan perempuan itu. Ia melihat pada manager Han yang juga tak kalah terkejut sepertinya. Lalu ia kembali melihat pada pemuda tadi yang hanya balas memandangnya datar. Jaejoong menghela nafasnya lega. Ternyata memang bukan kesalahannya atau kesalahan pegawainya. Ia tak menyangka kalau sampai ada seorang pengunjung yang berani melakukan hal seperti ini, hanya karena ingin makan di restorannya.

“Aku memaafkanmu. Jangan lakukan lagi hal seperti ini dimanapun, kau mengerti?” kata Jaejoong jadi sedikit menasihati perempuan itu juga. Ia kemudian melihat lagi pada pemuda tadi dan tersenyum. “Terima kasih tuan. Aku rasa, aku akan memberikan gratis untuk apapun yang kau pesan hari ini”

> > > > >

“Ada orang yang melakukan trik dengan membuat seolah-olah makanan di restoran kita tidak bersih, agar dia bisa pergi begitu saja tanpa membayar?” Kim Changmin menyimpulkan cerita yang tadi dibeberkan ayahnya.

“Ne. Dia seorang perempuan. Padahal kalau dia berkata baik-baik dia tak bisa membayar, aku tak akan memaksanya” sahut Jaejoong.

“Dan kalau dia mengatakan itu pada teman-temannya, lalu mereka semua melakukan hal yang sama, kau jadi membuat restoran kita tempat untuk memberi makan secara gratis” ujar Changmin sinis. Pemuda berusia 18 tahun itu kadang memang tak bisa mengerti dengan kebaikan yang dimiliki ayahnya.

Jaejoong tersenyum tipis mendengar kata-kata tajam dari putera satu-satunya. Changmin memang seperti itu.

“Kau sudah menyelesaikan tugasmu?” tanyanya, langsung mengalihkan pembicaraan.

“Aku baru akan mengerjakannya di tempat temanku” jawab Changmin. Ia beranjak dari sofa dan menuju kamarnya. “Aku mungkin akan menginap disana. Kau tidak keberatan, bukan?”

“Asal kau benar mengerjakan tugas…”

Changmin berhenti di depan kamarnya dan melihat pada ayahnya.

“Kau tidak mempercayaiku?”

“Ah, bukan. Aku pikir, kalau kau memang tidak benar-benar mengerjakan tugas, kau sebaiknya tidur di rumahmu sendiri” Jaejoong cepat menjelaskan. Ia tak mau puteranya itu mengira ia tidak mempercayainya.

Ia sadar Changmin sudah berusia 18 tahun, bukan anak kecil lagi yang biasa harus ia awasi setiap waktunya. Tapi Jaejoong tetaplah seorang ayah yang pasti mengkhawatirkan apapun yang dilakukan puteranya. Apalagi selama 18 tahun ini Changmin memang hanya hidup bersamanya. Setelah puteranya itu lahir, kekasihnya meninggalkannya begitu saja, tak mau bersama-sama mengurus putera mereka. Masa lalu Jaejoong memang tidak begitu menyenangkan, tapi Jaejoong tak pernah menyesali apapun. Ia sudah berhasil membesarkan Changmin menjadi seorang pemuda yang tampan dan pintar. Ia juga sukses dalam menjalankan bisnisnya. Selama ini ia merasa baik-baik saja tanpa kehadiran seorang wanita di sisinya. Ia mungkin sedikit trauma sejak itu dan sempat berpikir untuk tidak lagi berhubungan dengan makhluk bernama wanita. Walau ibunya terus mengingatkan ia untuk menikah, Jaejoong masih tidak yakin.

“Aku sungguh harus mengerjakan tugas. Ini dikerjakan berkelompok” kata Changmin sambil masuk ke dalam kamarnya untuk menyiapkan barang yang akan dia bawa.

“Baiklah” gumam Jaejoong akhirnya, mencoba memusatkan perhatian kembali pada televisi. Ia tak boleh menunjukkan kalau sebenarnya ia memang agak keberatan puteranya itu pergi. Ia jadi harus menghabiskan waktu sendirian malam ini padahal ia sudah sengaja pulang lebih awal dari restoran.

“Aku pergi” Changmin keluar lagi dari kamar sambil membawa tas nya. Ia melewati Jaejoong yang masih berada di ruang tengah.

“Dimana rumah temanmu?” tanya Jaejoong sebelum Changmin menuju ruang depan. Changmin hanya mengernyitkan kening menanggapi pertanyaan ayahnya. “Okay, beritahu aku nomor ponsel temanmu” kata Jaejoong lagi.

“Untuk apa?”

“Barangkali aku tidak bisa menghubungi ponselmu…”

“Huh?”

Jaejoong memandang puteranya, “Tidak boleh?”

“Kenapa kau harus menghubungiku? Aku akan pulang besok sore setelah dari universitas” kata Changmin akhirnya, mengutarakan keberatannya.

Jaejoong mengangkat kedua bahunya, “Aku hanya ingin memastikan kalau kau—“

“Aish appa…” gerutuan Changmin menyela perkataan Jaejoong. “Kau tidak percaya padaku, hm?

“Bukan, aku bilang—“

“Kau tidak perlu memastikan apapun. Aku akan pulang besok sore, Aku bahkan tidak pergi meninggalkan Seoul” Changmin memotong lagi sambil mengeluh. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Okay maaf…” Jaejoong pun menyerah daripada harus melihat puteranya menjadi kesal. Ia mungkin memang berlebihan, tapi terus terang saja ia tak bisa menghentikannya. Sebenarnya ia masih belum bisa terima kalau puteranya itu sudah beranjak dewasa.
Changmin menghela nafasnya, ia memandang ayahnya yang ia sadari jadi lebih sering bertingkah aneh sejak ia lulus dari sekolah menengah. Lebih terasa protektif, padahal seharusnya justru lebih membebaskannya karena sekarang ia sudah menjadi pria dewasa.

“Aku akan baik-baik saja, tidak usah mengkhawatirkanku”

“Tentu” Jaejoong langsung mengangguk dan tersenyum yakin pada Changmin. “Sudahlah, nanti kau terlambat untuk mengerjakan tugasmu”

“Ne, sampai besok” Changmin pun berpamitan sekali lagi, lalu berbalik dan pergi.

Tinggallah Jaejoong sendirian disana. Ia memandang bosan ke arah televisi, acara disana semakin tak menarik. Ia menghembuskan nafasnya dan lebih menyandarkan badannya ke sofa. Sepertinya ia akan tidur cepat saja malam ini. Ia memang jadi merasa kesepian sejak puteranya itu masuk universitas dan sibuk dengan semua tugas-tugasnya sebagai mahasiswa jurusan broadcast. Tapi Jaejoong tentu saja harus bisa menerima itu semua. Hidupnya bagaimanapun pasti akan berubah. Puteranya menjadi pria dewasa, mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, menemukan pasangan hidupnya dan ia pun akan tinggal sendiri. Kadang kalau sudah mengingat semua itu, Jaejoong jadi terpikir kata-kata ibunya untuk segera menikah. Ah, tapi ia sungguh tak yakin.

> > > > >

“Lain kali jangan melakukan ini lagi…” keluh Yunho sambil melepas jaketnya dan menjatuhkannya ke lantai.

“Tapi ide ku ini bagus, bukan?” sahut Jihye sambil tersenyum puas pada kakaknya.

“Kita bisa tetap menghemat uang dan berhasil mendapatkan makan malam yang lezat”

“Dengar Jihye ya, kau jangan melakukannya lagi kalau sendirian” Yunho memperingatkan adik perempuannya itu.

Sebenarnya mereka bukan saudara kandung, hanya dua orang yang dibesarkan bersama di sebuah panti asuhan. Tapi setelah cukup dewasa, mereka keluar dari panti asuhan dan mulai hidup di masyarakat. Yunho yang bekerja sebagai pegawai di sebuah toko dvd, sangat bertanggung jawab pada Jihye. Gadis berusia 17 tahun itu memang sudah seperti adik kandungnya sendiri. Yunho ingin sekali bisa menyekolahkan Jihye di universitas tahun ini, tapi ia belum punya cukup uang dan ternyata Jihye pun malah membantunya mencari pekerjaan disela-sela ia kursus.

“Aku biasa melakukan itu dengan teman-temanku” ujar Jihye acuh. Ia mengambilkan dua buah gelas berisi air minum dingin untuk mereka berdua.

“Dan jangan melakukannya lagi” Yunho terus mengingatkan sampai menekankan kalimatnya. Ia tak habis pikir kenapa tadi ia bisa-bisanya mengikuti ide konyol adiknya itu untuk menipu di sebuah restoran. Sebenarnya mereka mampu saja makan disana, hanya mungkin untuk beberapa hari ke depan mereka jadi harus lebih menghemat – dan mendadak Jihye memiliki ide untuk membuat semacam trik yang akhirnya bisa membuat mereka terbebas dari membayar makanan yang sudah mereka pesan. Gilanya, itu berhasil. Yunho berpikir, mungkin mereka sedang beruntung karena bertemu dengan pemilik restoran yang baik hati.

“Aku mengerti, oppa” ujar Jihye akhirnya sambil tersenyum lucu. Ia tahu kalau kakaknya itu pasti mengkhawatirkannya. “Aku tak akan melakukannya lagi. Lain kali, aku akan datang kesana dengan seorang pemuda kaya tampan yang menyukaiku…”

“Huh?” Yunho menghentikan gerakannya untuk minum. Ia memandang adiknya penasaran.

“Aku belum bertemu dengannya, tapi aku akan segera menemukannya dan aku akan menikah dengannya. Lalu kita akan menjadi kaya raya!” jelas Jihye membeberkan mimpinya lagi. Yunho menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya. Ia baru saja berpikir kalau Jihye memang sudah mendapatkan seseorang yang selalu diidamkannya itu.

“Jangan terlalu banyak berkhayal Jihye ya. Sebaiknya kau persiapkan diri untuk bisa masuk universitas tahun ini” kata Yunho sambil beranjak dan menyentuh kepala adiknya sambil lewat menuju ruang tidurnya yang hanya tersekat oleh sebuah tirai.

“Itu bukan khayalan biasa. Aku pasti akan mewujudkannya” sergah gadis manis itu sambil terus melihat pada kakaknya. “Dan oppa, aku kan sudah bilang tak akan masuk universitas” tambahnya pula.

“Tidak, kau harus masuk universitas. Setidaknya kau mengikuti tes, jadi kau sudah siap tinggal menjalaninya setelah aku mendapatkan uang”

“Kau serius?”

“Tentu saja. Aku ingin kau bisa bersekolah dengan benar dan nanti kau bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Kau tak akan selamanya bersamaku, Jihye ya”

“Kau akan meninggalkanku?”

“Nanti kau akan bertemu dengan pria idamanmu dan menikah” sahut Yunho. Ia sedikit mendekat lagi pada adiknya itu. “Dengar, kau akan mendapatkan orang seperti itu dengan mudah, kalau kau memiliki pendidikan yang baik”

Jihye mendengus pelan, lagi-lagi kalah telak oleh kakaknya. Ia selalu berakhir dengan dinasihati oleh Yunho setiap kali memulai pembicaraan tentang mimpi-mimpinya. Walau sebenarnya ia tak keberatan karena ia tahu Yunho hanya menginginkan yang terbaik untuknya.

“Oppa, bagaimana menurutmu dengan pemilik restoran tadi, tidakkah dia tampan?” tanya Jihye tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, membuat Yunho tak jadi lagi memasuki ruang tidurnya.

“Hm? Orang yang memakai apron tadi?” Yunho mengernyitkan keningnya, mengingat sosok pemilik restoran baik hati yang sudah terkena triknya.

“Ne, dia tampan, bukan? Sebenarnya aku beberapa kali sering memperhatikan dia setiap kali lewat di restoran itu” Jihye mengaku tanpa diminta.
Yunho agak melebarkan matanya. “Apa? Jangan bilang kau tertarik padanya…”

“Kenapa tidak…” Jihye mengangkat kedua bahunya, tak peduli.

“Tidak- tidak, dia pasti jauh lebih tua darimu” sergah Yunho lagi, cepat.

“Paling dia sebaya denganmu” ujar Jihye tetap tak peduli. Gadis itu berdiri dari duduknya dan menuju kamar mandi.

Yunho tak menyangkal, ia pun mengira begitu. Ia juga sebenarnya ingin menyetujui kalau orang itu memang tampan. Yunho ingat dengan rambut pirangnya yang lurus dan tampak halus, juga mata besarnya yang indah, belum lagi ketika dia tersenyum dengan ramah – mampu membuat siapapun terpesona. Tak bisa dipungkiri kalau hal pertama yang akan diamati seseorang saat melihat orang lain adalah berawal dari fisik, dan pemilik restoran itu jelas mempunyai fisik yang tak bisa diabaikan begitu saja. Yunho sudah cukup lama menyadari kalau ia memiliki kecenderungan tertarik pada sesama laki-laki, Jihye pun mengetahuinya dan tak menganggapnya masalah. Gadis itu malah sering beberapa kali menunjukkan pria-pria menarik yang bisa dilirik kakaknya, seperti yang ia lakukan juga sekarang.

“Dia pasti bermarga Kim” gumam Jihye pula sebelum ia memasuki kamar mandi, gadis itu malah berpikir sesaat disana. Ia menebak karena mengingat dari nama restoran itu.

“Kenapa kau tidak mencari tahu siapa namanya, oppa” lanjutnya pula, membuat Yunho tak paham, tapi ketika Jihye mengedipkan sebelah matanya sambil berlalu masuk ke dalam kamar mandi, ia pun jadi mengerti.

“Yah! Aish, anak itu…” ujar Yunho, pura-pura menggerutu.

> > > > >

Yunho menguap untuk kedua kalinya, tidak biasanya ia cepat mengantuk ketika sedang bekerja. Ia melihat pada jam yang terletak di meja, masih ada waktu sejam lagi baginya sebelum menyelesaikan pekerjaannya untuk hari ini. Ia mematikan film yang sedang ditontonnya dan memilih menyalakan i-pod nya saja. Sepertinya memang film itu yang sudah membuatnya bosan.

Bunyi bel yang berbunyi, menandakan ada pengunjung yang memasuki toko. Yunho mengangkat wajahnya sekilas, melihat seorang pria masuk dan langsung menuju rak dvd bagian film. Ia baru akan memusatkan lagi perhatian pada i-pod nya ketika tiba-tiba sebuah ingatan menyergapnya. Ia sepertinya mengenal pengunjung yang baru masuk tadi. Yunho pun jadi memperhatikan dari balik meja counternya. Ia tidak mungkin salah, karena pria tampan berambut pirang itu terlalu tipikal dan beda dari yang lain. Dia adalah pemilik restoran baik hati yang tadi sore berhasil terkena trik yang dilakukannya bersama Jihye.

Baru beberapa jam yang lalu Jihye membahasnya dan seperti menyuruh Yunho untuk mendekati orang ini, sekarang tiba-tiba saja secepat ini – orang ini ada lagi di hadapannya. Seolah memang ada takdir yang ingin menghubungkan mereka dalam waktu satu hari saja. Yunho berpikir untuk tidak menyia-nyiakannya, walau ia juga tak yakin bagaimana harus memulainya.
. . .

“Hanya ini?” tanya Yunho begitu Jaejoong berada di depan meja counter dengan 3 buah dvd film yang dibelinya.

“Ne” jawab Jaejoong, pendek. Ia melihat pada pegawai toko itu setelah mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana dan langsung mengenalinya. “Ah, kau…” dia langsung menyapa tanpa banyak berpikir.
Yunho yang masih memikirkan cara bagaimana harus menyapa pria ini, ternyata kalah cepat. Tapi ia juga jadi merasa terbantu.

“Oh, kau” sahut Yunho, berusaha tak terlihat excited.

“Kau bekerja disini?” tanya Jaejoong.

“Ne” Yunho hanya mengangguk singkat. Ia menerima uang yang disodorkan Jaejoong setelah menyebutkan berapa banyak harga yang harus dibayar. “Kenapa kau keluar membeli dvd film semalam ini? Kau berencana membuat pesta?” ujar Yunho, berbasi-basi sambil memberikan uang kembalian pada Jaejoong. Ia tetap memasang wajah datarnya seolah pertanyaannya bukan sesuatu yang sangat membuatnya penasaran. Padahal tentu saja sebenarnya ia ingin banyak mengobrol sebelum Jaejoong pergi.

“Tidak, sama sekali tidak ada pesta. Aku hanya sendirian di tempat tinggalku dan sepertinya aku tidak bisa tidur. Jadi aku berpikir untuk menonton film baru yang belum aku lihat” jelas Jaejoong, jujur.

“Oh? Kenapa kau tidak mengajak temanmu atau… kekasihmu untuk datang dan menemanimu?” Yunho semakin memperluas pembicaraan karena Jaejoong menanggapinya dengan ramah.

“Sebenarnya aku ingin menontonnya bersama puteraku, tapi dia harus mengerjakan tugas di tempat temannya”

Perlahan Yunho agak memudarkan senyuman datarnya, ia tak yakin dengan pendengarannya sendiri. Putera? Itu maksudnya dia sudah mempunyai seorang… anak? Dan melihat dari judul-judul film yang dibelinya, Yunho yakin anaknya pasti bukan seorang anak yang masih dibawah umur. Tapi apa mungkin?

“Ah, yea, aku hanya tinggal berdua dengan puteraku. Jadi, kalau dia tak ada, aku akan sedikit kesepian di apartemen” Jaejoong meneruskan ceritanya. Ia agak gugup ketika melihat reaksi Yunho yang tetap terlihat dingin. Apa dia terlalu banyak bicara? Jaejoong juga tak mengerti, kenapa ia harus begitu banyak cerita.

“Hm, begitu” Yunho akhirnya menganggukkan kepalanya, terus memainkan wajah datarnya.

“Jadi, kau sudah punya seorang anak…”

“Yea, begitulah” Jaejoong menganggukkan kepalanya.

“Kau tidak terlihat seperti itu. Aku pikir, kau belum pernah menikah, apalagi memiliki seorang anak”

“Aku mendapatkan anakku ketika masih sangat muda”

Yunho mengangkat kedua alisnya. Semuda apa? Sekarang saja ia merasa pemilik restoran ini masih cukup muda. Ia sungguh tak menyangka kalau pria ini benar memiliki anak yang sudah besar.

“Sekarang pun kau masih terlihat sangat muda” ujar Yunho, tanpa melihat langsung pada kedua mata besar pria itu. “Jadi aku sama sekali tak menduga kalau kau sudah beristri dan memiliki seorang anak…”

“Tidak – tidak, aku tidak punya istri” Jaejoong menyergah cepat. Yunho mengangkat lagi alisnya, menunjukkan ia terkejut untuk kedua kalinya. “Aku sudah bilang kan, kalau aku hanya tinggal berdua dengan anakku”

“Ah, jadi kau sudah bercerai?” Yunho masih saja ingin tahu.

“Tidak juga. Aku tak pernah menikah. Yea, cerita lama yang panjang…” ujar Jaejoong sambil mengangkat kedua bahunya, sekali lagi ia merasa heran pada dirinya sendiri kenapa ia sampai bisa bercerita banyak, nyaris mengatakan dengan detil tentang kehidupannya.

“Oh” Yunho bergumam, menahan diri untuk mengorek lagi lebih jauh. Mendengar kalau Jaejoong ternyata tidak pernah menikah, cukup membuatnya lega. Tapi sekarang ia terus menunjukkan seolah dirinya tidak tertarik. “Kalau begitu, selamat menikmati film mu” Yunho menyudahi perbincangan mereka dan menyerahkan dvd milik Jaejoong yang sudah dibungkus, walau sebenarnya ia belum cukup puas dengan pembicaraan singkat mereka, ia berpikir untuk tidak terlalu terburu-buru. Mereka hanya baru bertemu tadi sore, terlalu cepat kalau ia langsung memintanya untuk berteman. Yunho harus meredam sesaat rasa tertariknya.

“Ne, terima kasih” Jaejoong tersenyum dan membawa barang yang dibelinya. Dengan agak setengah hati ia berbalik menuju pintu keluar. Rasanya ia masih ingin berada disana untuk mengobrol. Saat pulang ke apartemennya, ia pasti akan merasa kesepian lagi.
Sebelum membuka pintu, Jaejoong tiba-tiba merasa ingin menengokkan lagi wajahnya dan ternyata pemuda di balik meja counter itu juga sedang melihat ke arahnya. Mereka saling memandang selama beberapa detik, tanpa senyuman, tapi pandangan mereka saling menyiratkan sesuatu yang seolah hanya dimengerti oleh perasaan mereka sendiri.

- - - - -

Yunho baru mengedipkan matanya setelah pemilik restoran yang menarik itu menghilang di balik pintu toko. Ia menghembuskan nafasnya pelan, tak sadar sudah menahannya begitu saja sejak tadi. Setiap ucapan, gestur dan tatapan orang itu, memang cukup memberikan efek kepadanya. Entah ia sudah jatuh hati atau karena orang itu memiliki penampilan yang menggoda hingga berbekas ke pikiran dan nafsunya. Setidaknya Yunho cukup puas mengetahui beberapa hal tentang orang itu. Memiliki seorang anak, huh? Memang cukup mengejutkan. Tapi kenyataan dia hanya tinggal berdua dengan puteranya, juga cara dia bercerita banyak pada Yunho tanpa ragu, membuat Yunho seperti dijalani untuk lebih berani. Mungkin ia memang harus mulai mendekati pria itu lebih jauh di kesempatan berikutnya.

Kesibukan Yunho membereskan meja counternya terhenti ketika ia melihat sebuah benda yang tak pernah dilihatnya ada disana. Sebuah dompet bermerk Luis Vuiton. Ia sepertinya tadi sempat melihat dompet itu dikeluarkan oleh si pemilik restoran yang jadi mengganggu pikirannya. Yunho pun memastikannya, ia membuka dompet itu, mencari tahu barangkali ia menemukan fotonya.
Dan ternyata memang ada sebuah kartu pengenal, tentu saja lengkap dengan foto, tanggal lahir, tempat lahir, tempat tinggal dan yang paling penting… nama.

“Kim Jaejoong” Yunho menyebutkan nama yang tertera disana dengan senyuman di bibirnya. Ia sudah menduga kalau namanya akan sebagus itu. Tanpa banyak berpikir, ia pun meminta ijin pada bosnya sebentar untuk mengembalikan dompet itu karena Jaejoong belum terlalu lama meninggalkan toko, jadi pasti masih bisa dikejarnya.
Ia melihat Jaejoong sedang membuka pintu mobilnya yang terparkir tak jauh dari depan toko. Yunho langsung memanggilnya.

“Jaejoong sshi!”

Jaejoong tidak jadi memasuki mobilnya. Ia melihat Yunho menghampirinya.

“Kau meninggalkan ini” kata pemuda berbadan tinggi tegap itu sambil menyerahkan dompet milik Jaejoong.

“Omo, aku benar-benar lupa! Terima kasih…” Jaejoong nyaris terkejut sendiri. Ia jadi malu, karena sudah tidak muda lagi, tapi ia masih saja ceroboh.
Yunho hanya mengangguk. “Lain kali hati-hati”

Jaejoong mengamati pemuda itu sesaat. Pemuda tampan yang sudah dua kali membuatnya merasa terbantu. Ia jadi semakin kagum.

“Siapa namamu?” ia tak bisa menahan diri lagi untuk tak bertanya.

“Eh?” Yunho sempat tak yakin kalau Jaejoong menanyakan namanya. “Namaku; Yunho”

“Hm, terima kasih Yunho sshi” Jaejoong mengulang ucapan terima kasihnya. “Pukul berapa kau selesai bekerja?”

“Sekitar setengah jam lagi…”

“Aku akan menunggumu”

Yunho melirik Jaejoong sekali lagi karena terkejut.
“Menungguku, untuk apa?”

“Aku pikir sebaiknya aku tidak hanya memberimu ucapan terima kasih” kata Jaejoong, memang tiba-tiba mendapatkan ide untuk menjadikan semua ini alasan agar ia bisa lebih lama bersama Yunho. Selain karena Jaejoong ingin mendapatkan teman malam ini, sebenarnya ia pun merasakan tertarik pada pemuda itu. Ia pikir tak ada salahnya mereka menghabiskan malam bersama, sekedar untuk menjalin sebuah pertemanan – Jaejoong hanya yakin kalau Yunho pun tak akan keberatan.

“Jadi?”

“Aku akan mentraktirmu minum atau apapun…”

Yunho menganggukkan lagi kepalanya, mengerti sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada. Ia hanya nyaris tak bisa menutupi kegembiraannya. Ia memang sudah menduga kalau Jaejoong pun memiliki perasaan yang sama, ingin lebih lama bersamanya, atau apapun itu. Tapi ia tak menyangka kalau Jaejoong akan begini frontal mengutarakan semuanya. Ia pikir, mungkin Jaejoong memang lebih tua darinya hingga bisa lebih mengendalikan situasi tanpa berpura-pura tak peduli dulu sepertinya.

“Baiklah” kata Yunho pendek sambil mengangkat kedua bahunya, seolah ia memang tak begitu tertarik. Jaejoong hanya tidak tahu, begitu Yunho kembali masuk ke dalam tokonya, pemuda itu tak berhenti memasang senyuman lebar.

- - - - -

“Aku rasa kau tidak perlu mentraktirku minum, ini sudah cukup larut. Kau pasti ingin kembali ke tempat tinggalmu dan beristirahat” ujar Yunho setelah setengah jam kemudian ia selesai dengan pekerjaannya dan ketika keluar, benar menemukan Jaejoong disana. Ia nyaris tak menyangka kalau Jaejoong ternyata serius.

“Tidak juga, kecuali kalau kau yang memang sudah lelah…”

“Hm, bagaimana kalau aku ikut pulang dengan kendaraanmu saja?” kata Yunho akhirnya. Ia memang tidak begitu yakin untuk pergi minum sekarang. Ia tidak begitu mood walau biasanya minum soju sepulang bekerja memang selalu bisa mengobati badan yang lelah.

“Tentu, naiklah”

. . .

Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan gedung apartemen Yunho.

“Terima kasih untuk tumpangannya, Jaejoong sshi” Yunho membuka suara setelah selama perjalanan, mereka hanya terdiam seolah menikmati suasana keberadaan mereka masing-masing.

“Tidak perlu, aku yang justru harus berterima kasih padamu, karena kau sudah dua kali menolongku”

“Hm?” Yunho menolehkan wajahnya. “Ah itu bukan apa-apa” katanya lagi.

Jaejoong tersenyum sambil balas memandang Yunho. “Kau sudah sangat membantuku tadi sore, Yunho sshi. Kalau kau tidak ada disana, mungkin kami benar akan termakan oleh tuduhan gadis itu…” ia mendecakkan lidahnya pelan. “Rasanya hatiku sakit, karena aku yakin aku dan pegawaiku tak akan melakukan hal seceroboh itu. Aku jadi berpikir ingin menutup restoranku saja seperti yang gadis itu bilang”

Yunho tertegun, ia mengutuki Jihye dalam benaknya karena sudah mengatakan sesuatu yang menyakiti orang ini. Aish, Jihye memang keterlaluan… gumamnya dalam hati. Mau tak mau sekarang ia jadi merasa bersalah karena sebenarnya ia terlibat dalam aksi itu, sedangkan Jaejoong malah menganggapnya seorang pahlawan. Ia merasa sangat konyol.

“Itu sungguh bukan apa-apa, Jaejoong sshi. Kau memang tak seharusnya mendengarkan perkataan buruk tentang restoranmu. Disana adalah tempat makanan paling lezat yang pernah aku tahu selama tinggal di Seoul” ujar Yunho.

“Benarkah? Aku tak tahu kalau restoranku memiliki seorang pelanggan yang baik sepertimu” Jaejoong tersenyum lagi. “Kalau aku tahu, mungkin aku bisa memberikan diskon setiap kali kau datang”

Sekali lagi Yunho hanya bisa mengutuk dalam benaknya. Siapa yang menjadi pelanggan? Bahkan sebenarnya itu pertama kalinya ia mendatangi restoran milik Jaejoong – hanya karena harus membantu Jihye dengan semua ide konyolnya. Biasanya Yunho memang tidak begitu suka makan di reatoran-restoran elegan semacam itu. Ia lebih suka di café atau malah kedai pinggir jalan. Sudah beberapa tahun ini ia tak memiliki kekasih, jadi tak ada alasan baginya mendatangi restoran bagus yang biasa menjadi tempat sempurna untuk makan malam.

“Itu tidak perlu” katanya, terus bersikap seolah ia tak begitu peduli. “Baiklah, selamat malam” tambahnya, mengembalikan suasana pada keadaan saat ini. Ia harus turun dari mobil Jaejoong walau sebenarnya ia merasa belum selesai. Tapi entah kenapa ia tetap memegang keputusannya untuk tidak terlalu terburu-buru. Walau ia bisa melihat dari mata Jaejoong, pria itu sedang memberikannya celah agar ia melanjutkannya. Yunho seolah ingin bermain tarik ulur dulu sekarang.
Yunho melepas safe-belt nya, dan baru akan membuka pintu ketika Jaejoong mengingatkan barangnya yang tersimpan di dashboard.

“Kau lupa ini—ahh” Jaejoong mencoba memberikan tas kertas milik Yunho itu, tapi malah menjatuhkannya. Beberapa kaleng bir berjatuhan dari sana. Jaejoong berusaha mengambilnya, tapi ia lupa safe-belt nya masih terpasang hingga gerakannya agak terjebak. Melihat itu, Yunho tak jadi turun dan membantu Jaejoong mengambili kaleng bir.

“Maaf” kata Jaejoong sambil tersenyum malu. Yunho melihat ke arahnya. Mereka masih saling menunduk tapi dalam jarak yang tak diduga sedekat itu.
Yunho langsung menyadari mata besar Jaejoong yang indah. Ia menangkap warna kebiruan di bola matanya. Ah, softlense. Pandangannya pun meliar ke seluruh wajah Jaejoong.

Kenapa kulitnya begitu mulus dan tampak lembut? Setiap lekuk di wajahnya membentuk sebuah hasil karya yang sempurna, ciptaan sang master-piece. Yunho jadi berpikir kalau wanita yang pernah memberikan Jaejoong seorang anak, adalah wanita yang beruntung sekaligus tolol karena sudah melepasnya.

Bibir Jaejoong yang kecil berwarna kemerahan dan selalu tampak basah itu pun tak luput dari tatapan liar Yunho. Ia menggerutu dalam hati, ingin tahu seperti apa rasanya. Sebelum ia menyadari apa yang dilakukannya, Yunho sudah lebih dulu menyimpan salah satu tangannya di salah satu sisi leher Jaejoong. Tatapan dari pria itu seperti sedang menantangnya, dan ia pun tak bisa lagi mengendalikan diri.
Jaejoong agak terkejut dengan sentuhan jemari Yunho di lehernya, tapi kemudian ia tak perlu mengkonfirmasi apapun begitu mata kecil itu menatap matanya langsung – seolah ada sebuah permintaan disana, permintaan agar dia tak menolak.

Bibir mereka pun bertemu beberapa detik kemudian. Jaejoong sadar tak bisa mengendalikan dirinya juga begitu wajah tampan Yunho sangat berdekatan dengannya. Sebuah ciuman di bibir, bukanlah hal buruk – bagaimanapun mereka adalah orang dewasa yang tak perlu lagi lari dari hasrat-hasrat yang mendatangi perasaan mereka sekarang.
Ciuman mereka meningkat dengan cepat, saling melumat dan berusaha mendominasi. Seolah memang ini yang sejak tadi mereka inginkan. Jaejoong tak sadar kalau ia seperti makin tertarik dari kursi pengemudi yang di dudukinya. Ia terlalu sibuk mendekap Yunho seperti ingin menarik pemuda itu, tapi sayangnya ia masih kalah kuat. Dan payahnya, ia lupa lagi kalau di badannya masih terpasang safe-belt. Yunho pun tak berhasil menarik Jaejoong dan ciuman mereka harus terhenti. Keduanya terengah saling memandang.

Yunho melihat warna kemerahan di pipi Jaejoong, terlalu nampak di kulitnya yang berwarna putih – dan itu terlihat sangat manis. Sungguh Yunho tak bisa percaya kalau pria ini adalah laki-laki dengan seorang anak.

“Kau mau ke tempatku dulu?” tawar Yunho akhirnya, tak mau menyia-nyiakan lagi sekaligus tak mau membuat mereka semakin canggung.

“Ke tempatmu?”

“Ayo”

Jaejoong langsung bisa membayangkan apa yang akan terjadi disana. Ia memang sudah cukup lama tak menjalin hubungan dengan siapapun, jadi sudah lama juga tak berinteraksi intim dengan seseorang. Apalagi setelah ciuman panas barusan, ia jadi tak mau mengakhirinya. Tapi apa ini boleh? Beberapa jam lalu mereka hanya berbincang normal layaknya dua orang yang mencoba saling mengenal, tapi sekarang tiba-tiba saja mereka berciuman panas lalu memasuki apartemen bersama. Ah, Jaejoong tak mau berpikir banyak. Apapun yang terjadi, terjadilah.
- - - - -

Apartemen Yunho tidak sebesar dan seluas apartemen miliknya, tapi Jaejoong bisa memaklumi. Seperti inilah apartemen yang biasanya ditempati seorang pria lajang. Sebenarnya dulu Jaejoong juga ingin memilikinya, tapi secara kasat mata, dirinya sudah tidak lajang lagi dari sejak berusia 17 tahun. Ia sudah harus bertanggung jawab terhadap puteranya, apalagi setelah kepergian ibu dari anaknya itu. Jaejoong nyaris tak menjalani kehidupan biasa seperti kebanyakan anak muda. usia 22 tahun saja, ia sudah harus memikirkan biaya untuk memasukkan puteranya ke sekolah. Ia sudah dipanggil ‘appa’ dari sejak umur 19 tahun – dimana teman-temannya masih asik bermain-main dengan perempuan dan berpesta setiap malam.

Tapi ia tak menyesali apapun. Sekarang ia melihat hidupnya sangatlah baik. Di usia 35 tahun, ia bisa memiliki sebuah restoran seperti impiannya, juga melihat puteranya bersekolah di universitas. Mungkin masalahnya hanya ada di kehidupan asmaranya. Sejauh ini, ia masih belum bisa serius menjalin hubungan dengan seseorang. Semuanya selalu berakhir dengan cepat, entah itu dengan wanita atau pria. Ia tak tahu apa yang salah dengan dirinya. Padahal ia mengakui kalau ia ingin juga memiliki seseorang di sisinya – seseorang yang bisa menenangkannya disaat ia lelah dan membutuhkan rasa nyaman.

“Kau tinggal sendiri?” pertanyaan Jaejoong agak menggantung ketika ia melihat banyak pakaian wanita tergantung di ruangan mencuci. “Oh, sepertinya kau tidak tinggal sendiri…” ia menjawab sendiri dengan suara yang lebih pelan.

“Aku tinggal bersama adik perempuanku”

“Adikmu?”

“Yea”

Jaejoong menghela nafas lega, setidaknya ia tahu kalau ia tidak sedang mendatangi apartemen dari kekasih orang lain.

“Kau mau minum sesuatu?” tawar Yunho setelah Jaejoong memasuki ruang utama apartemennya yang memang hanya sebesar itu. Ia sedikit gugup dan jadi tak tahu harus bersikap bagaimana, ia tak yakin dengan apa yang akan dilakukannya setelah mengajak Jaejoong kesana. “Ah, kita minum saja bir nya” kata Yunho lagi, menyahut sendiri tawarannya begitu ingat tadi ia membeli beberapa kaleng bir dari mesin minuman di dalam toko.

Jaejoong tersenyum memperhatikan Yunho yang duduk di hadapannya sedang membuka bungkusan tadi dan mengeluarkan bir nya.
“Kau sengaja membeli bir ini?”

“Ne” Yunho membuka salah satu kaleng dan meminumnya. Ia melirik Jaejoong yang masih tersenyum. Sepertinya ia mengerti maksud senyuman itu.

“Aku pikir, kau tidak sedang ingin minum…” komentar Jaejoong sambil meminum bir nya juga. Yunho mendehem pelan, ia memang bertindak terlalu dibuat-buat beberapa waktu lalu. Ia hanya ingin tetap terlihat dingin di hadapan pria ini, sehingga ia menjadi lebih menarik dan tak mudah untuk di dekati.

“Yea, aku sebenarnya ingin minum disini” ujar Yunho tetap menjaga sikap dinginnya.

“Aku tak tahu kalau kau mau menemaniku”

“Apa aku mengganggumu?”

Yunho melirik Jaejoong, agak merasa menang karena sepertinya Jaejoong mengira dirinya tak begitu tertarik untuk mengajak pria itu minum bersama.

“Sama sekali tidak. Aku tak akan mengajakmu kemari, kalau kau menggangguku” Yunho menggelengkan kepalanya.

“Kau sebenarnya mau apa?”
Yunho menghentikan gerakannya untuk minum lagi.

“Maksudku, beberapa saat lalu, di mobil—“ Jaejoong tak melanjutkan kalimatnya, karena Yunho bergeser mendekatinya. Mata mereka jadi saling menatap lagi dalam jarak yang dekat. Yunho menyentuhkan jemarinya ke salah satu pipi Jaejoong, seperti yang ia duga memang sangat lembut.

“Aku tak percaya kau sudah memiliki seorang anak” bisiknya.
Jaejoong tertawa kecil “Banyak yang sering mengatakan itu padaku. Apa aku tidak pantas menjadi seorang ayah?”

“Bukan, kau masih terlihat sangat muda… terlalu manis untuk seseorang yang sudah harus mengurus seorang anak laki-laki”

“Tapi aku terlihat pantas, bukan?”

“Aku belum melihat anakmu, jadi aku tidak tahu seperti apa kalau kalian sedang berdua”

“Orang-orang selalu mengira kami adik-kakak” keluh Jaejoong. Kali ini Yunho yang tertawa pelan.

“Sudah aku duga”

Pembicaraan mereka pun terhenti dengan ciuman Yunho yang kembali menyerang bibir Jaejoong. Mereka melanjutkan ciuman panas mereka dan lebih panas lagi karena merasa sudah tak ragu-ragu – apalagi tempat sekarang jauh lebih nyaman daripada saat di dalam mobil.

Kali ini Yunho berhasil meraih tubuh ramping Jaejoong untuk naik ke pangkuannya. Bibir mereka saling melumat dengan lebih dalam, beberapa kali lidah mereka bersentuhan dan memberikan getaran-getaran ke sekujur tubuh. Mereka akan segera meninggi hanya dengan ciuman dan sedikit sentuhan di pinggang. Keduanya seperti dua ekor singa yang sudah lama tak diberi makan.

Jaejoong tersentak dan ciuman mereka terlepas ketika Yunho berhasil melepaskan jaketnya. Ia hanya memakai tanktop berwarna hitam di balik jaketnya. Itu memang pakaiannya setiap malam.

Yunho menarik nafasnya yang agak memberat, tangannya langsung mengusap-usap tubuh Jaejoong dengan lebih leluasa. Pria ini selain memiliki wajah yang sempurna, pinggang ramping yang menggemaskan, rupanya memiliki juga otot-otot halus di sekitar dada dan bisepnya. Seksi… pikir Yunho. Otak mesumnya langsung membayangkan kalau malam ini ia pasti akan mendapatkan sesuatu yang bagus, setelah beberapa lama ia tak menemukan partner tidur yang memuaskannya.

“Sepertinya kita harus ke kamarku” kata Yunho disela-selanya menciumi leher Jaejoong.

“Eh? Adikmu…”

“Dia tak akan pulang malam ini” sahut Yunho setelah ia berpikir beberapa detik.

Jihye memang mengikuti kursus untuk menyiapkan dirinya menghadapi ujian masuk universitas beberapa bulan lagi, dan ia biasa memiliki jadwal malam. Biasanya sampai pukul 11, bersamaan dengan Yunho yang juga selesai bekerja. Jadi Yunho akan menjemput adiknya itu dan mereka pulang bersama. Tapi ada apa dengan malam ini? Ia malah lupa pada Jihye dan malah mengundang Jaejoong ke apartemennya. Shit, Yunho menggerutu dalam hati. Ia melepaskan sebentar dekapannya di badan Jaejoong.

“Aku harus ke toilet dulu, sebaiknya kau masuk saja ke kamarku” katanya sambil menunjuk ruang tidurnya yang terhalangi tirai. Ia berdiri lalu menuju kamar mandi, tanpa mempedulikan tatapan bingung Jaejoong. Yunho harus menelepon Jihye agar gadis itu tidak pulang saja sekarang. Ia akan menyuruhnya untuk menginap di tempat temannya, dan menjemputnya besok pagi.
_ _ _ _ _

Hembusan asap rokok keluar melalui hidung dan mulut Yunho, cukup membantunya untuk menenangkan badannya yang agak pegal. Ia menggeliat sebentar, hingga kepalanya menoleh ke samping dan menemukan Jaejoong disana. Pria yang semalam melalui malam yang panas bersamanya. Dugaannya memang benar, ia menemukan seorang partner tidur yang membuatnya puas. Jaejoong terlalu sempurna untuk ia ceritakan lagi bagaimana ia bisa mendapatkan kepuasan dengan intens semalam. Dan ia juga yakin, Jaejoong merasakan hal yang sama terhadapnya. Yunho sudah terbiasa dengan pujian dari setiap orang yang pernah tidur dengannya. Wanita atau laki-laki, pasti selalu berakhir dengan jatuh cinta kepadanya. Padahal sejauh ini, Yunho belum pernah benar-benar melabuhkan perasaannya. Ia tak pernah sungguh-sungguh jatuh cinta. Ia masih berusia 22 tahun. Semuanya hanya karena fisik yang menggodanya, dan nafsu yang menguasainya. Apa hal itu juga akan terjadi pada Jaejoong? Pria ini hanya akan lewat begitu saja dalam hidupnya? Yunho mendecak pelan, baru saja semalam ia menyebut mantan kekasih Jaejoong adalah wanita yang tolol karena sudah melepaskan manusia sesempurna ini.

“Selamat pagi” sapaan Jaejoong yang tiba-tiba terbangun, menyentakkan Yunho yang malah jadi melamun sambil memandangi wajah Jaejoong yang tadi masih terpejam. Ia cepat mengalihkan pandangannya dan mendehem gugup. Ia menghisap lagi rokoknya, bertingkah seolah ia tidak sedang melakukan apapun. “Kau bangun pagi sekali, Yunho sshi” kata Jaejoong lagi sambil agak menggerakkan badannya sesat, lalu mengusapkan telapak tangan ke wajahnya. Ia membetulkan bantal di belakang kepalanya hingga ia bisa lebih nyaman berbaring. Ia belum berpikir untuk turun dari ranjang. Mereka masih ingin berlama-lama di balik selimut, apalagi mengingat tubuh mereka tak memakai apapun di dalam sana. Setidaknya keadaan diantara mereka memang canggung, walau keduanya berusaha tidak seperti itu.

Jaejoong tak bisa menghentikan senyuman yang terulas di bibirnya. Semalam masih terekam dengan jelas di benaknya, semua yang dilakukan Yunho sudah membuatnya gila. Jangan salahkan Jaejoong kalau sekarang ia seperti jatuh hati pada pemuda ini. Memang terlalu cepat karena mereka baru bertemu kemarin dan saling mengenal semalam. Tapi perlakuan Yunho padanya, membuat kekaguman Jaejoong semakin menjadi. Ia tak bisa membendung perasaannya.

“Kau membuatku kagum” kata Jaejoong membuka percakapan. Yunho meliriknya sebentar setelah membuang abu rokok ke dalam asbak.

“Apa maksudnya?”

“Yea, kau mengerti maksudku” Jaejoong terus tersenyum. Ia melipatkan kedua tangannya di depan dada.

Yunho terdiam menghisap rokoknya, Dugaannya benar lagi, Jaejoong pasti menyukai apa yang sudah dia tunjukkan semalam. Apa pria ini juga sudah jatuh cinta padanya, dengan begitu cepat? Yunho tak bisa senang begitu saja walau ia juga sepertinya menyukai Jaejoong. Siapa yang tahu kalau Jaejoong ternyata hanya menginginkan kepuasan darinya dan bukan untuk menjalin sebuah hubungan. Itu sebabnya Yunho tak pernah bisa menganggap serius siapapun yang mengaku menyukainya. Ia hanya merasa mereka menyukai dirinya untuk sesuatu.

“Kau sangat keren dari sejak pertama kali aku melihatmu kemarin” Jaejoong melanjutkan. Sekali lagi mereka saling memandang. “Tidak mungkin kau tak memiliki seorang kekasih”

“Aku memang tidak punya” sahut Yunho cepat. Ia membuang puntung rokoknya ke dalam asbak, lalu melingkarkan lengannya ke bahu Jaejoong hingga pria itu jadi agak bersandar padanya. “Bagaimana denganmu? Masih sering bertemu dengan ibu dari anakmu?” ia mulai lagi dengan mencoba membongkar kehidupan Jaejoong.

“Tidak sama sekali. Dari sejak 18 tahun yang lalu dia meninggalkan kami, aku tak pernah bertemu dengannya lagi”
Yunho agak mengernyitkan keningnya. “18 tahun?”

“Ne. Sudah 18 tahun berlalu”
Perlahan Yunho melebarkan matanya. “Apa anakmu sudah sebesar itu?”

“Hm. Dia baru masuk universitas”
Kali ini Yunho nyaris membelalakan matanya. Anaknya hanya berbeda 4 tahun saja darinya! Bagaimana bisa? Sepertinya penampilan orang ini memang sudah mengelabui usia sebenarnya.

“Kau tampak kaget, Yunho sshi” ujar Jaejoong yang tak sengaja mengamati setiap perubahan di wajah pemuda tampan itu.

“Eh? Ehm, tidak juga—“ gumam Yunho langsung mencoba menormalkan keterkejutannya.

“Aku hanya, tidak menyangka. Kau terlihat sebaya denganku” akhirnya ia berkata dengan jujur dan memandang Jaejoong lekat.

“Huh? Berapa usiamu?”

Yunho tak langsung menjawab. Ia merasa tak yakin untuk menyebutkan usianya.
“Tahun ini… aku 22 tahun”

Jaejoong agak meredupkan tatapan ceria di matanya. Seharusnya ia memang tidak terkejut lagi. Sudah pasti pemuda ini jauh lebih muda darinya, walau ia tidak mengharapkan sejauh ini.

“Oh, kau hanya berbeda beberapa tahun saja dengan puteraku” gumam Jaejoong, tiba-tiba merasa jengah. Ia agak menggeserkan duduknya dari Yunho, melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu. Sekilas ada perasaan bersalah menyergapnya. Jadi semalam ia tidur dengan seorang anak muda, yang nyaris sebaya dengan puteranya sendiri!? Shit.

“Kenapa? Apa aku tak boleh berteman denganmu?” Yunho pun agak menyadari ketidaknyamanan Jaejoong.

“Bukan, hanya—“ Jaejoong mencoba membuat alasan, walau ia tak menemukannya. Ia mengeluh pelan, kemudian tersenyum agak gugup. “Aku harus pulang” katanya lagi, seperti menghindar. Ia mengambil pakaiannya yang berserakan di bawah, dan memakainya di balik selimut. Yunho hanya tetap terdiam di tempatnya, dan tak tahu apa yang harus dikatakannya. Rasa canggung mendadak terasa, dan ia seolah menyesal karena sudah begitu jujur menyebutkan usianya sendiri. Ia pikir itu tak akan memberikan pengaruh, padahal tentu saja tak akan mudah karena bagaimanapun usia mereka berbeda cukup jauh. Walau ia merasa tidak ada masalah, tapi entah dengan Jaejoong.

. . .

“Jaejoong sshi” Yunho memanggilnya setelah Jaejoong selesai memakai kedua sepatu boot-nya. Selama bermenit-menit sebelumnya, mereka benar-benar hanya terdiam – walau Yunho terus mengikuti setiap gerakan Jaejoong melalui ujung matanya. “Aku boleh tetap menjadi temanmu, buka?”

Jaejoong terhenti sebentar, sebelum bermaksud pergi dari sana. Ia merapikan jaket yang dipakainya dengan agak salah tingkah.

“Aku minta maaf, tapi… kau hanyalah pelanggan di restoranku”

Yunho mengernyitkan keningnya, mendengar jawaban yang sangat tak diharapakannya itu. Jelas sekali sekarang Jaejoong mencoba menghindarinya, padahal saat mereka tiba disana – sama sekali tak ada keterpaksaan dari pria itu. Yunho tahu Jaejoong pun tertarik padanya. Tatapan dari mata besarnya sama sekali tak bisa menipu. Belum lagi balasan ciumannya, sentuhannya dan yang paling penting – Jaejoong tak keberatan mereka tidur bersama semalam.

Beberapa saat lalu, Yunho malah yakin sekali kalau Jaejoong sudah jatuh hati padanya. Tapi apa-apaan ini? Apa ia sedang dijadikan lelucon!? Tanpa sadar Yunho merasakan rahangnya mengejang dan tangannya terkepal.

“Jangan terlalu dipikirkan. Kita sudah sama-sama dewasa” kata Jaejoong lagi. Pria itu memaksakan sebuah senyuman di bibirnya. “Aku pergi, sampai jumpa” ia kemudian mengucapkan perpisahan begitu saja, sebelum Yunho sempat berkata-kata. Jaejoong tak berkata ‘selamat tinggal’ meski sebenarnya ia pikir lebih baik kalau mereka tak bertemu lagi. Tapi ia tak bisa mencegah kalau misalnya suatu hari Yunho datang ke restorannya. Jaejoong hanya perlu memastikan kalau ia bisa menjauh dari pemuda itu.

“Tunggu!”

Jaejoong berhenti menempelkan telapak tangannya di knob pintu. Ia berbalik dan langsung mendapatkan wajahnya terbenam di bahu bidang Yunho yang tak memakai apapun. Ia terkejut, bermaksud untuk melepaskan diri, tapi Yunho malah mendekapnya – ia jadi tak bisa bergerak.

“Apakah kau orang yang seperti ini?” tanya Yunho nyaris mendesis.

“Hm?” Jaejoong hanya bisa bergumam.

“Kau biasa tidur dengan… pelanggan yang mendatangi restoranmu?!” dengan agak pahit Yunho menanyakannya. Mata Jaejoong melebar. Sekali lagi ia memberontak dan kali ini Yunho agak merenggangkan dekapannya. Mereka saling menatap. Jaejoong memandangnya dengan kesal.

“Jangan sembarangan bicara!”

“Lalu kenapa kau mengatakan hal konyol itu?! Aku hanya pelanggan restoranmu, huh?!” Yunho mulai berteriak, tak bisa mengendalikan emosinya.

“Kau memang hanya orang yang aku kenal karena mendatangi restoranku!” Jaejoong balas berteriak. “… dan akan tetap menjadi seperti itu” ia agak melunakkan suara di kalimat keduanya.

“Apa?” Yunho pun kembali mendesis.

“Kita tak bisa berteman”

“Kenapa kau tak mau berteman denganku?!”

“Itu—usia kita terlalu—“

“Apa menyukai seseorang harus mempedulikan usia!?” sela Yunho sambil meninggikan lagi suaranya.

Mata Jaejoong kembali melebar. Ia menangkap dengan jelas kata ‘menyukai’. Ternyata memang bukan hanya ingin berteman biasa. Ia semakin tak bisa membiarkannya. Mungkin semalam memang kebodohannya karena malah menikmati semua yang pemuda ini berikan padanya. Kalau saja ia tahu dari awal kalau usia mereka terpaut cukup jauh, ia pasti tak akan begitu ceroboh. Banyak yang bilang, rasa suka – pertemanan atau bahkan cinta tidak mengenal usia. Tapi bagi Jaejoong itu cukup penting. Bagaimana bisa ia membiarkan seorang anak muda yang nyaris seumur dengan puteranya sendiri, mendekatinya dan melakukan hal-hal romantis dengannya. Anak muda laki-laki atau perempuan sama sekali tak bagus untuknya, ia harus mencari seseorang yang paling muda hanya berbeda satu-dua tahun saja dengannya.

“Yunho sshi, kita hanya baru bertemu kemarin dan saling mengenal sejak semalam. Apa kau pikir, ini tidak terlalu terburu-buru?” Jaejoong berkata dengan lebih tenang agar mereka tidak berakhir dengan bertengkar.

“Seharusnya kau katakan itu dari semalam, sebelum kita tidur bersama” sergah Yunho, mematahkan alasan Jaejoong begitu saja.
Jaejoong mengeluh pelan, ia menghindari lagi tatapan lekat Yunho.

“Maafkan aku…” lagi-lagi ia hanya bisa mengatakan itu.

“Jaejoong sshi…”

Jaejoong memejamkan matanya beberapa detik, sebelum kemudian melihat pada Yunho dan mengulas senyuman. “Aku akan senang kalau kau terus menjadi pelanggan restoran kami” ujarnya.

“Tolong pikirkan lagi. Aku serius ingin menjadi temanmu… teman dekatmu” kata Yunho, tak mau menyerah begitu saja. Ia melepaskan dekapannya, dan membiarkan Jaejoong berjalan perlahan menjauhinya. Mata mereka bertemu lagi selama beberapa detik sebelum Jaejoong membuang muka nya dan cepat pergi dari sana. Ia tak tahu apa ia memang akan memikirkannya. Tapi sebenarnya, tanpa dipikirkan pun – Jaejoong jadi terus teringat Yunho. Aish.

> > > > >

“Dimana kau tidur semalam?” tanya Changmin begitu ayahnya datang dan bergabung dengannya di meja makan.

“Ah itu—di rumah teman” jawab Jaejoong sekenanya. Ia mengambil salah satu roti di piring dan baru tersadar kalau hanya tersedia makanan itu diatas meja. “Eh? Kau hanya akan makan roti dengan selai? Aku akan membuatkanmu sarapan dulu—“

“Tidak usah, aku sudah akan berangkat” potong Changmin, sebelum ayahnya bereaksi dengan panik. Ia mengamati tingkah ayahnya yang agak aneh pagi ini dari sejak beberapa waktu lalu dia kembali. “Dirumah teman yang mana?” Changmin bertanya lagi, mengembalikan pembicaraan.

Jaejoong sudah duduk lagi di kursinya dengan agak tenang. Ia memandang puteranya yang tampak sedang mengamatinya dengan penuh selidik.

“Temanku…” Jaejoong mencoba mengarang karena sama sekali tak siap menceritakan soal pemuda bernama Yunho itu.

“Kekasihmu?”

“Tidak! Bukan!” Jaejoong menyangkal dengan cepat menanggapi terkaan Changmin.

“Appa, kau sedang menyukai seseorang?” tanya Changmin tiba-tiba, pura-pura tak peduli dengan cara menyangkal Jaejoong yang terlalu over-acting.

“Eh?”

“Kau memiliki seseorang yang kau sukai? Seorang perempuan yang mungkin akan menjadi ibu untukku?”

“Ne? Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Jaejoong mulai gugup. Ia meminum susu di dalam gelasnya untuk menenangkan diri.

“Aku rasa… aku sedang menyukai seseorang”

Jaejoong tersedak dan nyaris memuntahkan semua susu yang sedang diminumnya. Ia terbatuk-batuk sambil panik mencari lap makan untuk menyeka mulutnya.

“Aigo, appa… kau jorok sekali” Changmin mengeluh datar dan mengambilkan lap makan itu untuk ayahnya.

Jaejoong langsung menyeka mulutnya, lalu memandang puteranya tak percaya.

“Coba kau katakan sekali lagi” katanya.

“Aku menyukai seseorang” Changmin menyahut masih dengan datar.
Jaejoong menghela nafas panjang. Rupanya ia memang tidak salah mendengar. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menggeleng-gelengkan kepala sambil memejamkan mata dan mengurut keningnya.

“Kau hanya 18 tahun” gumamnya.

“Aku sudah dewasa”

“Kau sedang beranjak dewasa”

“Lalu aku tak boleh menyukai seseorang? Aku ini laki-laki, appa” Changmin mulai memprotes, merasakan ada tentangan tertentu dari ayahnya. “Sekarang aku sudah di universitas, tapi kenapa kau malah seperti semakin protektif padaku, huh? Bahkan untuk menyukai seseorang saja, aku tak boleh?! Kau ingin melihat anakmu menjadi laki-laki yang tidak bergaul dan tidak mengenal wanita seumur hidup!?”

Jaejoong memandang puteranya yang terlihat kalap. “Yah, aku tidak mengatakan apapun!” katanya, balas memprotes,.

“Tapi kau sudah terlihat akan mengatakan semua itu!”

“Aku tidak—“ Jaejoong berhenti, tak mau menyulut perdebatan yang kekanakan.

“Sudahlah, memangnya seperti apa gadis yang kau sukai?”

Changmin terlihat lebih tenang lagi.”Dia hanya gadis biasa, tapi dia sangat manis dan pintar. Dia bisa mengimbangi obrolan apapun denganku, dan yang paling penting… dia juga suka sekali makan” jelas Changmin, tampak lancar menceritakan tentang gadis yang sedang menjadi incarannya. Wajah tampannya agak memerah dan ini pertama kalinya Jaejoong melihat puteranya seperti itu.

“Oh, dia terdengar baik…”

“Kapan-kapan aku ingin mengajak dia kemari, tidak apa-apa?”

“Secepat itu? Apa kalian sudah berpacaran?”

“Belum. Tapi aku akan segera menjadikan dia pacarku. Kalau kalian sudah saling mengenal, aku akan lebih tenang untuk meminta dia jadi pacarku” jelas Changmin. Pemuda itu pun tersenyum malu-malu.

Jaejoong jadi tak bisa berbuat apapun melihat anaknya yang tampak gembira.
“Ok, bawa dia kemari kapan-kapan”

Changmin memandang ayahnya dengan mata berbinar. Ia tahu kalau ayahnya pasti akan selalu mendukungnya.

“Appa, sebaiknya, mulai sekarang kau juga mencari seseorang”

“Hm?” Jaejoong mengernyitkan keningnya.

“Nenek pasti akan senang sekali kalau melihatmu bersama seseorang. Lagipula, aku tidak enak sudah memiliki seorang pacar, sedangkan ayahku masih sendiri”
Jaejoong mengedipkan matanya perlahan. Ia tak tahu kalau puteranya ternyata memikirkan dirinya juga seperti itu.

“Berjanjilah, kau akan mencari pasangan juga” pinta Changmin lagi.
Jaejoong tersenyum datar. “Kau tak perlu memikirkanku…”
“Berjanjilah” Changmin mengulurkan kelingkingnya. Hal yang biasa mereka lakukan saat ia masih kecil. Jaejoong tak menyangka kalau Changmin masih mau melakukan gestur kekanakan itu.
“Baiklah, aku janji” karena tak bisa membantah lagi, Jaejoong pun menyambut kelingking Changmin dengan kelingkingnya, ia pun membuat janji pada puteranya.
Changmin tersenyum puas, sedangkan Jaejoong tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia terlanjur terpikat pada seorang pemuda, tapi ia tak bisa menjelaskan itu pada Changmin, walau Changmin sudah cukup dewasa dan mungkin mau memahaminya.
Sepertinya mulai hari ini, ia harus mencari seorang perempuan… Jaejoong mendesah dalam hati. Ia tetap tak bisa.
> > > > >
“Jaejoong sshi, ini untukmu” manager Han mendekati Jaejoong dan menyimpan setangkai bunga mawar diatas meja. Pegawai yang lain ikut menoleh, penasaran dengan apa yang manager Han bawa - mereka terpana, mengira manager wanita itu sedang menyatakan perasaan pada bos mereka.
“Eh? Apa ini Nona Han?”
“Seorang pengunjung menitipkannya padaku, untuk aku berikan padamu”
Terkaan pegawai lain pun meleset begitu saja.
“Pengunjung?” Jaejoong semakin keheranan. Manager Han mengangguk sambil tersenyum agak mencurigakan.
Ia mendekati Jaejoong dan berbisik, “Dia duduk di kursi counter”
Jaejoong hanya mengerutkan keningnya. Ia memandang bunga itu dan melirik ke sekelilingnya yang jadi ikut tersenyum-senyum penuh arti. Semua pegawainya memang tahu kalau ia adalah seorang pria single dengan satu orang anak. Beberapa kali Jaejoong menemukan pegawai wanitanya yang seolah ingin menarik perhatiannya, tapi Jaejoong selalu bisa mengatasi mereka hingga mereka menyerah dengan sendirinya. Mereka pun menyebutnya ‘bos muda yang dingin’. Menurut mereka, Jaejoong hanya bisa dekat dengan manager Han jadi mereka seperti ingin menjodohkannya dengan wanita itu. Tapi sayangnya, antara Jaejoong dan manager Han – yang bernama lengkap Han Eunsu itu, sudah terlanjur seperti saudara.
. . .
Karena penasaran, Jaejoong pun mendekati jendela kaca yang memisahkan dapur dengan restoran. Ia bisa melihat dengan leluasa ke arah meja counter. Ia menemukan beberapa orang yang duduk disana. Ada yang sedang mengobrol dengan temannya, tapi ada juga yang menyendiri – dan orang yang menyendiri ini cukup menarik perhatiannya. Ia mengenal siapa pemuda tampan disana yang sedang duduk dengan segelas minuman ringan di hadapannya.
“Dia lagi” bisik Jaejoong, bicara pada dirinya sendiri. Ia mendengus pelan.
“Benar, dia orangnya” suara manager Han mengagetkan Jaejoong. Ia menoleh cepat, tak mengira manager nya itu sedang mendengarkan gumamannya.
“Ah-- jadi dia…?”
“Ne. Orang yang waktu itu menolong kita dari penipuan” lagi-lagi manager Han tersenyum mencurigakan seperti tadi. “Dia sepertinya tertarik padamu, Jaejoong sshi”
“Y- yah, jangan bicara sembarangan!” hardik Jaejoong pelan.
Manager Han hanya tertawa dan menepuk-nepukkan tangannya di pundak Jaejoong sambil kembali melanjutkan pekerjaannya untuk mengawasi pegawa-pegawainya.
“Aish” Jaejoong menggerutu. Ia melihat pada bunga mawar yang dipegangnya, kemudian melihat pada Yunho yang beberapa kali tampak mengawasi pintu dapur – berharap Jaejoong akan muncul disana, tanpa menyadari kalau Jaejoong sedang mengamatinya dari dalam.
- - - - -
“Sebenarnya apa maumu?” tanya Jaejoong sambil melemparkan bunga mawar yang sejak tadi dipegangnya ke arah Yunho. Beberapa waktu lalu, ia melihat Yunho sudah pergi dari restorannya, jadi ia menyusulnya.
Yunho menangkap bunga mawar itu, “Aku pikir kau tak ada disini” katanya, tak menjawab pertanyaan Jaejoong. “Aku menunggumu dari tadi”
“Bukan urusanmu aku ada disini atau tidak” ujar Jaejoong, agak tak ramah.
“Kau tidak suka bunga nya? Kenapa kau kembalikan padaku?”
“Kau pikir aku perempuan!?” hardik Jaejoong akhirnya.
“Aku bukan berpikir seperti itu. Aku hanya berpikir kau akan menyukainya. Aku melihat banyak bunga mawar di restoranmu” jelas Yunho, tak terpancing dengan ketidakramahan Jaejoong.
“Kau sangat sok tahu” dengus Jaejoong. “Lain kali, jangan menitipkan apapun lagi pada pegawaiku. Terima kasih” Ia pun berbalik, menyudahi pembicaraan mereka. Tapi sebelum Jaejoong sempat pergi, Yunho lebih dulu memegang lengannya.
“Jaejoong sshi”
Jaejoong menghela nafasnya, dan perlahan melepaskan pegangan tangan Yunho di lengannya. Ia sudah menduga kalau pemuda ini tak akan membiarkannya petgi begitu saja.
“Aku tak tertarik untuk membahas apapun lagi, Yunho sshi. Apa perkataanku waktu itu, belum jelas? Aku senang kalau kau terus mau datang ke restoranku, tapi aku harap bukan bermaksud untuk mencariku” Jaejoong langsung berkata panjang lebar sebelum Yunho sempat mengatakan apapun.
Yunho mengangguk pelan. “Bunga ini harganya tidak murah, jadi aku minta kau tidak mengembalikannya padaku” ujarnya, sama sekali tak menyambung dengan perkataan Jaejoong barusan.
Ia mengulurkan lagi bunga itu pada Jaejoong. Ia memang hanya ingin memastikan kalau bunga mawar yang sudah dibelinya bisa Jaejoong bawa pulang. Ia sudah mengorbankan sebagian uang yang baru didapatnya dari bekerja paruh waktu untuk membeli bunga itu di toko bunga yang paling bagus – walaupun ia hanya sanggup membeli satu tangkai.
“Eh? Oh—“ Jaejoong tak bisa menyahut dengan benar, dan dengan agak salah tingkah mengambil lagi bunga itu dari tangan Yunho.
“Jangan menyia-nyiakan apapun yang sudah diberikan seseorang” kata Yunho lagi. Ia tersenyum tipis, kemudian berlalu lebih dulu dari sana. Ia memang sudah membuat rencana lain, ia tak akan begitu gencar untuk meluluhkan hati Jaejoong. Ia sudah tahu kalau sebenarnya Jaejoong hanya ragu, jadi ia akan perlahan-lahan membuat pria itu menyadari kalau dia pun menginginkan Yunho.
- - - - -
“Anakku menginginkanku menikah” Jaejoong memulai pembicaraan setelah selama beberapa saat mereka terdiam, hanya menikmati bir dan rokok di tangan masing-masing. Yunho menoleh setelah meminum bir nya.
“Lalu apa yang kau bilang?” tanyanya penasaran.
“Aku tidak mengatakan apapun. Aku hanya dimintanya berjanji untuk mencari seorang kekasih”
Yunho tertawa pelan, “Katakan padanya kalau kau sudah punya”
Jaejoong meliriknya, merasakan sesuatu di kalimat pemuda itu.
“Aku tidak punya”
“Bagaimana dengan aku?” sekali lagi Yunho melihat padanya, dan mata mereka pun bertemu.
Jantung Jaejoong berdegup aneh. Ia sudah menduga kalau pemuda ini membawa pembicaraan kesana. Memang sudah seminggu ini akhirnya mereka berteman. Jaejoong tak bisa menolak lagi karena kemudian, ia merasa kehilangan sendiri ketika tak melihat Yunho datang ke restorannya. Ia pun membuat alasan untuk membeli dvd film dengan mendatangi tempat kerja Yunho.
Setelah Changmin mengakui ia sedang menyukai seseorang, puteranya itu jadi terlihat semakin sibuk. Mungkin selain mengerjakan tugasnya, Changmin pun sibuk mengajak gadis incarannya untuk berkencan. Jaejoong tak bisa mencegah, ia sudah terlanjur memberikan dukungan pada puteranya itu – lagipula ia tak mau membuat Changmin marah padanya hanya karena ia terlalu banyak khawatir.
“Kau?” ulang Jaejoong. Ia mendecak kemudian tersenyum kecut. “Kau bahkan cocok menjadi teman main anakku” ujarnya pula, sedikit meledek.
“Ah, bukankah itu bagus? Jadi aku dan anakmu bisa cepat akrab”
Jaejoong membuat datar lagi raut mukanya. Ia membuang puntung rokoknya ke tempat sampah terdekat kemudian melirik Yunho dengan tatapan iritasi.
“Jangan bercanda” gertaknya.
“Aku serius, Jaejoong sshi” Yunho nyaris lelah untuk terus meyakinkan pria itu. ia beranjak dari tempatnya dan mendekati Jaejoong yang duduk di sebuah anak tangga. Mereka memang sedang berada di sebuah taman bermain anak-anak, tidak jauh dari tempat bekerja Yunho.
Tanpa ragu, Yunho duduk disamping Jaejoong sambil merangkulkan lengannya di pundak pria itu. Jaejoong otomatis harus bergeser, walau akhirnya terjebak karena anak tangga itu terlalu cukup untuk dua orang.
“Kenapa kau selalu menganggap aku tidak serius?” tanya Yunho lagi. Jaejoong mencoba tak membalas tatapan pria itu. Jarak mereka terlalu dekat.
“Kau hanya anak kecil—“
“Ssshhh” Jari Yunho menempel begitu saja di bibir Jaejoong, membuat pria itu harus melebarkan matanya, kaget. “Aku bukan anak kecil. Aku sudah cukup umur, dan pengalamanku juga cukup banyak” protesnya.
Jaejoong berpura-pura tak peduli, ia mencoba melepaskan jari Yunho dari bibirnya, tapi Yunho malah menyentuh dagunya dan membuat wajahnya menghadap pemuda itu. Mereka pun saling menatap dalam jarak yang dekat.
Jaejoong nyaris seperti menahan nafasnya. Yunho sangat tampan. Ia sudah menyadari itu dari sejak perkenalan mereka dulu. Ia tertarik pada pemuda ini dan menginginkannya begitu saja, tapi itu dulu – sebelum ia mengetahui berapa umur Yunho, sebelum ia tahu kalau Yunho lebih pantas menjadi keponakannya.
“Apa kau tidak bisa sekali saja melihatku sebagai seorang laki-laki dewasa?”
“Aku sudah melihatmu seperti itu…” Jawab Jaejoong, berusaha tak terlihat gugup.
“Tapi kau terus membandingkanku dengan anakmu yang baru berusia 18 tahun” keluh Yunho.
“Karena kenyataannya kau jauh lebih muda dariku”
“Walau kau lebih tua dariku, tapi kau belum tentu lebih dewasa dariku”
“Ok, lalu apa maumu?” Jaejoong pun menghentikan perdebatan begitu saja. Ia merasa tak akan ada ujungnya kalau ia malah melayani setiap keluhan pemuda ini.
“Anggap aku sebagai laki-laki dewasa yang bisa melindungimu”
Jaejoong berkedip. Ia mendadak jadi kesulitan untuk bernafas lagi. Ada apa dengan pemuda ini!? Tapi melihat tatapannya yang seperti ini, dia terlihat sangat serius. Tapi mana mungkin dia serius?! Jaejoong jadi berdebat sendiri dengan pikirannya.
“Itu tidak—“
Sebuah kecupan tiba-tiba menghentikan perkataan Jaejoong. Sekali lagi ia hanya bisa mengedipkan matanya. Yunho tampak tak peduli dengan kekagetannya. Pemuda itu menyentuhkan jemarinya ke sisi wajah Jaejoong – memiringkan kepalanya ke kanan dan mulai menciumnya dengan benar.
Jaejoong masih melebarkan matanya ketika Yunho menempelkan bibirnya dengan mata terpejam, namun itu tak bertahan lama – karena begitu Yunho menggerakkan bibirnya, Jaejoong mengikuti irama yang sudah dikenalnya itu dengan mudah.
Mereka berciuman lagi setelah selama beberapa minggu, Jaejoong berhasil melupakan setiap ciuman juga sentuhan yang pernah ditunjukkan pemuda ini. Tapi pertemuan mereka yang terus menerus dan Yunho yang seolah tak mau menyerah – malah membuat Jaejoong jadi menyerahkan dirinya sendiri. Ia sangat gagal untuk mengendalikan perasaannya kali ini. Ia sudah jatuh cinta.
Jaejoong menyimpan kedua tangannya di dada Yunho begitu ciuman mereka semakin dalam. Ia mencoba menghentikan dulu ciuman itu. Mata keduanya bertemu, saling menatap. Lagi-lagi hanya ada komunikasi tanpa suara diantara mereka yang sudah bisa mereka artikan sendiri.
Bibir mereka kembali berpagutan. Kali ini Jaejoong membuang perasaan ragunya. Pikiran lainnya sudah jelas menginginkan ini, dan ia bosan untuk terus-terusan menutupi atau lari. Sekali lagi saja sebelum ia benar akan melepaskan diri dari bayang-bayang Yunho – ia ingin merasakan ciumannya.
“Kau mau ke tempatku?” tanya Yunho setelah beberapa lama mereka saling melumat dengan tubuh yang makin merapat dan saling mendekap.
Jaejoong tersadar. Ia cepat menggelengkan kepalanya dan melepaskan diri dari dekapan Yunho. Tidak lagi dia akan tergoda oleh ajakan pemuda itu.
“Aku harus pulang, aku belum membuat makan malam” katanya sambil beranjak dan merapikan kemeja yang dipakainya. Padahal Changmin sedang keluar makan malam bersama gadis incarannya, jadi sebenarnya ia tak perlu membuat makan malam lagi. Ia hanya membuat alasan.
“Oh” gumam Yunho, terdengar kecewa. “Kalau begitu, kau bisa mengantarkan ku dulu?” pintanya lagi, mengingat Jaejoong memiliki kendaraan – Yunho jadi tak perlu repot menuju halte atau menunggu taksi.
Jaejoong berpikir sebentar. Bagaimana kalau Yunho menggodanya lagi selama mereka di perjalanan, lalu ia pun bisa-bisa setuju untuk mendatangi lagi apartemennya atau lebih parah lagi, bagaimana kalau semuanya terjadi di dalam mobil? Ah tidak- tidak! tanpa sadar, Jaejoong menggeleng-gelengkan kepalanya – takut oleh pikirannya sendiri.
“Aku tidak bisa, maaf” ia pun menjawab, dan sebelum Yunho sempat bertanya lagi – Jaejoong memilih cepat pergi dari sana. Kim Jaejoong, sadarlah… ia bergumam dalam hati.
Tapi…
“Yunho sshi!” Jaejoong berbalik lagi begitu ia akan membuka pintu mobilnya. Ia melihat Yunho sudah keluar dari taman dan mengambil jalan yang berlawanan dengannya.
Yunho melihat ke arahnya.
“N-naiklah, aku akan mengantarkanmu” ajak Jaejoong, berbanding terbalik dengan semua pikirannya. Bertentangan seratus persen dengan peringatan-peringatan yang memenuhi benaknya. Beginilah manusia, saat ia berusaha untuk semakin menjauh – ia malah semakin mendekat. Semakin ia dilarang, ia malah ingin terus melanggar.
- - - - -
“Sepertinya aku sudah sangat putus asa…” keluh Jaejoong sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa di belakangnya. Ia mendesah pelan dengan tangan yang mengusap bagian depan rambutnya.
“Soal apa? Changmin?” sahut sahabatnya, Park Yoochun. Mereka sekarang berada di sebuah klab yang biasa mereka datangi saat mereka perlu menenangkan pikiran mereka dengan suasana hingar bingar dan bermacam-macam minuman beralkohol.
“Jangan bilang kau sudah menyerah untuk mengurusnya, hyung. Kami sudah tak berniat mengadopsinya. Dia sudah tidak lucu seperti dulu” Kim Junsu, partner Yoochun sekaligus sahabatnya yang lain, menimpali.
Ia dan Yoochun memang sudah bersama sejak 10 tahun terakhir, mereka akhirnya bisa bertunangan walau sebelumnya mendapatkan banyak pertentangan dari banyak pihak. Dulu mereka pernah menawarkan diri untuk mengadopsi Changmin, karena mereka tahu Jaejoong akan mendapatkan hidup yang sulit dengan seorang anak tanpa seorang istri. Tapi Jaejoong tak mau, dan memilih membesarkan Changmin sendiri – hanya dibantu oleh ibunya.
“Tidak, ini bukan soal Changmin” sergah Jaejoong. Ia mengambil gelas wisky nya dan meminumnya perlahan.
“Lalu?” Yoochun dan Junsu bertanya nyaris bersamaan.
Jaejoong mengamati mereka satu persatu sebelum menyimpan kembali gelasnya di atas meja.
“Kalian, apa kalian bahagia?” tanyanya tiba-tiba.
Yoochun dan Junsu saling melirik.
“Kau bisa melihatnya sendiri, hyung” jawab Yoochun dan tersenyum tipis, merasakan ada yang menarik dari pertanyaan Jaejoong.
“Kalau kami tidak bahagia, kami tak akan bersama selama 10 tahun” sambung Junsu, yang langsung dibenarkan sendiri oleh Jaejoong. Dua orang yang sudah lama menjadi teman dekatnya itu mungkin pasangan paling solid yang pernah dilihatnya secara nyata. Walau mereka sering berdebat dan beberapa kali berbenturan pendapat, tapi mereka selalu bisa mengatasi semuanya. Mungkin itu juga yang akhirnya membuat keluarga mereka tak mampu menentang lagi.
“Kenapa kau menanyakan itu, hyung?” tanya Yoochun, jadi penasaran. “Apa hubungannya dengan keputus asaanmu?”
“Aku sudah putus asa untuk terus sendiri…”
“Aku sudah menduganya” Yoochun tahu kalau ada sesuatu yang menarik. “Kau sudah menemukan seseorang yang kau suka?”
Junsu baru menyadari itu dan langsung ikut tertarik. “Benarkah?”
Jaejoong menghela nafas dan sekali lagi mengamati mereka.
“Aku sudah dua kali tidur dengan seseorang yang sama” Jaejoong akhirnya mulai bercerita. Ia memang sudah terbiasa bercerita banyak pada Yoochun dan Junsu, mengenai apapun itu – tak ada satu pun hal yang dirahasiakannya. Bahkan mereka juga tahu kalau dirinya sudah lama tak memiliki ketertarikan lagi pada wanita secara benar. Yoochun dan Junsu mengerti kalau mungkin sedikitnya Jaejoong agak trauma oleh perlakuan seorang wanita yang terakhir bersamanya. Wajar kalau itu membuat Jaejoong tak bisa lagi mempercayai wanita.
“Wow” komentar kedua sahabatnya, lagi-lagi nyaris bersamaan. Mereka saling melirik dan melempar senyum. “Itu kemajuan, hyung. Kau sudah mulai jatuh cinta lagi?” mereka tahu persis kalau Jaejoong sudah lama tak dekat dengan seseorang, setiap saat ia dekat dengan seseorang – pasti tak akan lebih dari satu kali interaksi. Kalau sudah 2 kali, pasti ada sesuatu.
“Aku tidak tahu” Jaejoong menyangkal. Ia memang masih ingin menutupinya walau ia sudah semakin meyakini perasaannya terhadap Yunho – apalagi sejak dua malam yang lalu, ketika ia kembali menyerah setelah sebelumnya ia dengan keras menolak. Ia semakin tak bisa melepaskan pemuda itu dari benaknya.
“Aku rasa, aku memang terlalu putus asa…” lanjut Jaejoong lagi. Kali ini ia menerawangkan pandangannya ke arah dance floor yang penuh sesak oleh manusia juga dihiasi lampu disko yang gemerlapan – agak menyakitkan matanya.
“Karena kau tidur dua kali dengan orang yang sama?” sambung Yoochun.
“Hm” gumam Jaejoong sambil mengerjapkan matanya dan mengalihkan pandangan pada minumannya diatas meja. “Aku seharusnya tidak melakukan itu…”
“Dia pasti sangat menarik, sampai kau mau melakukannya lagi” goda Junsu.
“Hmm, dan aku lebih yakin kalau dia… memuaskanmu dengan baik” sambung Yoochun. Pasangan itu kemudian tertawa pelan, sedangkan Jaejoong hanya mendengus.
“Yea, dia sangat berbahaya”
“Ah hyung, jangan begitu terlihat depresi, memangnya kenapa kalau kau menyukai tidur dengannya? Memangnya kenapa juga kalau kau benar jatuh cinta…”
“Dia tidak bagus untukku” Jaejoong memejamkan mata sambil menggelengkan kepalanya.
“Bagaimana kau tahu kalau dia tak bagus untukmu?”
“Dia jauh lebih muda dariku” jawab Jaejoong pelan.
“Lalu?” sahut Yoochun dan Junsu, kali ini benar-benar bersamaan. Jaejoong membuka matanya dan memandang lagi pada kedua sahabatnya.
“Dia-lebih-muda-dariku” ulangnya, agak melambatkan kalimatnya untuk menegaskan kalau itu sudah jelas menjadi masalah dan kedua sahabatnya tak perlu bertanya lagi.
“Lalu kenapa kalau dia lebih muda darimu?!” cetus Junsu akhirnya.
“Kenapa?!” Jaejoong balik bertanya bingung.
“Hyung, sebuah hubungan tidak memerlukan umur” sambut Yoochun. “Dia lebih muda atau lebih tua darimu, itu bukan masalah, selama kau bahagia bersamanya”
“Tapi dia hanya berbeda beberapa tahun saja dari Changmin”
“Kau dan Changmin juga tidak begitu jauh, hyung. Kau ini seorang ayah yang mendapatkan seorang anak di usia yang sangat muda. Bukan salahmu kalau akhirnya kau harus bertemu dengan orang yang lebih muda darimu…” Junsu ikut meyakinkan Jaejoong. Mereka langsung paham begitu saja kalau Jaejoong sedang menceritakan seorang laki-laki. “Lagipula, kau tidak terlihat seperti seorang ayah dengan anak berusia 18 tahun. Kau sama sekali tidak terlihat tua!”
Jaejoong tahu itu, karena Yunho pun tampak terkejut ketika ia menjelaskan tentang kehidupannya. Soal penampilan, ia mungkin bisa mengecoh, tapi tetap saja ia bukan seorang anak muda lagi.
“Ah, aku tidak tahu…” desah Jaejoong untuk kesekian kali. Ia mengambil lagi gelas wisky nya dan menghabiskan sisa yang ada disana dengan sekali teguk. “Changmin memintaku untuk mencari seseorang, tapi tentu saja aku tak bisa menunjukkan orang ini padanya. Dia mungkin mengharapkan seseorang yang bisa dipanggilnya… ibu” jelas Jaejoong lagi. Memikirkan hal terakhir, membuat ia menjadi kalut. Ia masih tak bisa memberitahu puteranya, bahwa ia tak bisa lagi tertarik pada wanita.
“Kau akan lebih tenang kalau kau membiarkan Changmin mengetahui semuanya, hyung” saran Yoochun pula.
“Ne, dia pasti bisa mengerti. Dia tidak pernah melihat kami sebelah mata” timpal Junsu.
Jaejoong menghela nafasnya. Changmin memang tidak menunjukkan apapun di hadapan dua sahabatnya yang sudah puteranya anggap paman ini, tapi Jaejoong tahu Changmin jelas tak akan mau melihat ayahnya sendiri seperti mereka.
“Aku masih tak bisa membayangkannya…”
“Apa kau perlu bantuan kami?” tawar Junsu tiba-tiba. “Aku dan Yoochun akan dengan senang hati untuk bicara padanya”
“Ah, itu akan menyusahkan kalian—“
“Hyung, kita sudah seperti saudara, tak usah sungkan seperti itu” sahut Yoochun cepat. Ia mendekati Jaejoong dan merangkul sahabatnya itu. “Kalau kau sudah yakin dengan kondisimu, kau bicara pada bibi, dan biar kami yang akan bicara pada Changmin”
“Kalian…” Jaejoong memandangi lagi kedua sahabatnya. Ia sungguh tak tahu akan bisa mencurahkan hatinya kemana kalau ia tak memiliki mereka. Sekarang setidaknya ia jadi merasa tenang.
“Sudahlah, hyung, dulu pun kau yang banyak mendukung kami disaat kami mendapatkan saat-saat yang sulit. Sekarang saatnya kami yang membantumu”
Jaejoong mendapatkan kekuatan. Ia mungkin seharusnya tidak lagi menutupi perasaannya. Sudah dua kali terjadi, padahal ia sudah yakin menolak Yunho waktu itu. Perasaannya memang tak bisa dibohongi. Dan pada akhirnya, tubuhnya lebih mendengarkan kata hatinya dibanding pikirannya. Ia menginginkan Yunho, andai ia tahu bagaimana cara yang benar untuk menyampaikannya pada seluruh dunia.
> > > > >
“Bos, kau akan pulang cepat?” tanya manager Han ketika melihat Jaejoong sudah siap dengan pakaian gantinya, padahal ini masih pukul 7 malam – sedangkan restoran mereka tutup pukul 9. Kadang Jaejoong memang pulang lebih cepat lagi, tapi itu dulu sebelum beberapa hari ini ia terlihat giat berada di tempat kerjanya.
“Ne. Aku ada acara” jawab Jaejoong sambil merapikan kemejanya sebentar sebelum memakai jaketnya dan mengambil tas ranselnya.
“Kencan?” manager Han meliriknya dengan penuh penasaran.
Jaejoong berhenti beberapa detik untuk balas melihat pada manager nya itu. Ia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Changmin mengajakku bertemu di sebuah café, karena dia ingin mengenalkan gadis yang sedang disukainya”
“Wah! Benarkah? Dia sudah punya gadis yang disukai?” manager Han tampak takjub mendengarnya. Jaejoong tertawa.
“Dia sudah dewasa, hm?” ujarnya sambil menepuk pundak manager Han dan agak mengedipkan matanya.
Manager Han balas tersenyum agak lesu, ia mengerti dengan maksud perkataan Jaejoong. “Aku tahu, aku tahu. Itu artinya aku pun sudah semakin tua, dan harus cepat menikah” keluhnya.
Jaejoong hanya tertawa lagi, lalu berpamitan pada managernya itu. Ia harus segera menuju tempat yang tadi sudah disebutkan Changmin di telepon. Ah, rasanya memang sudah seperti akan melihat seorang menantu.
. . .
“Yah, kau terlambat beberapa menit” kata Changmin begitu menyambut ayahnya yang baru keluar dari mobil.
“Maaf, tadi aku agak sibuk di restoran” sahut Jaejoong. “Dia sudah ada disini?”
Changmin mengangguk sambil tersenyum senang. Ia tak mengkomplain lagi tentang keterlambatan ayahnya, yang penting sekarang Jaejoong ada disana.
“Tunggu, bagaimana aku harus menyapanya?” tanya Jaejoong lagi sebelum Changmin menarik tangannya, membawa ia masuk.
“Sapa saja seperti kau biasa menyapa orang lain” Changmin mengangkat bahunya.
“Aku - aku harus memanggil dia apa?”
“Nanti kau akan tahu namanya..”
“Ah, lalu aku harus menyebut diriku apa? Aboji? Apa itu tidak terlalu cepat? Aku tidak mau dia memanggilku ajjushi… oh, apa dia boleh memanggilku oppa saja?”
Changmin menghentikan langkahnya sebentar dan memandang ayahnya datar.
“Dia memanggilku oppa, kenapa dia harus memanggilmu oppa juga?”
“La-lalu?”
“Appa, kau gugup” keluh Changmin sambil menggelengkan kepalanya. Ia agak tersenyum, lucu juga baru pertama kali melihat ayahnya seperti ini.
“Apa? Aku tidak gugup” sergah Jaejoong sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada, mencoba menenangkan dirinya yang memang agak tak menentu begitu ia tiba beberapa saat lalu.
Changmin tertawa kecil.
“Sudahlah, bersikap seperti biasa saja”
Jaejoong pun mengangguk yakin setelah menarik nafasnya dalam-dalam. Ia mengikuti Changmin memasuki café dan menuju sebuah meja, yang sudah terdapat seorang gadis yang sedang duduk membelakangi mereka. Rambut cokelatnya yang berombak, menunjukkan kalau dia gadis yang sudah pasti cantik – Jaejoong yakin puteranya memiliki selera yang tidak main-main.
“Appa, ini Jihye dan Jihye, ini ayahku; Kim Jaejoong” Changmin langsung mengenalkan begitu keduanya saling berhadapan.
Jihye mengangkat wajahnya dan Jaejoong memandang wajah gadis itu.
Paused.
Waktu seolah berhenti selama beberapa detik. Wajah ramah yang sudah mereka siapkan berubah menjadi keterkejutan.
“Kau?” Jaejoong langsung bersuara lebih dulu tanpa ragu. Jelas ia ingat siapa gadis ini, gadis cantik yang pernah menipu di restorannya! Yang sudah membuat ia merasa down dan nyaris berpikir untuk menutup saja tempat usahanya.
“Ah!” jihye langsung melonjak berdiri dari duduknya. “A-ajjushi apa kabar?!” sapanya sambil cepat membungkuk memberikan salam dengan hormat, padahal dalam hati ia menggerutu sejadinya – tak menyangka kalau ayah dari orang yang ia sukai adalah pemiliki restoran yang pernah tertipu olehnya. Aish. Ini masalah besar. Ia tentu tak mau kalau sampai Changmin mengetahui perbuatannya.
“Eh? Kalian sudah saling mengenal?” Changmin memandang keduanya, bingung.
“Yea, dia—“ Jaejoong sudah akan menjelaskan siapa Jihye, memberitahu puteranya tentang seorang penipu wanita yang beraksi di restorannya beberapa waktu yang lalu.
“Ajjushi ini pemilik restoran Kim, bukan? Kami pernah bertemu disana” Jihye langsung menyambar sebelum Jaejoong menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu berusaha sekali menutupi gugupnya dan beberapa kali mengirimkan sinyal melalui gerakan matanya kepada Jaejoong.
“Hm yea. Itu restoran miliknya” sahut Changmin.
“Ah oppa, kau tak pernah bilang kalau kau putera pemilik restoran Kim” kata Jihye lagi. Changmin hanya mengangkat kedua bahunya. Ia memang paling tidak suka membeberkan siapa dirinya sebelum ia yakin untuk berteman baik dengan orang tersebut. Ia pernah mengalami hal yang tak menyenangkan ketika berteman. Mereka mau mendekatinya setelah tahu ia adalah putera pemilik restoran, itu menyebalkan.
“Tunggu nona, siapa yang kau panggil ajjushi?” Jaejoong akhirnya bisa memprotes setelah beberapa saat kalimatnya terus dipotong oleh gadis itu.
Jihye tersenyum manis walau masih terlihat gugup. Changmin tertawa.
“Sudahlah, kau memang seperti ajjushi untuk kami” ledeknya. Jaejoong memandang tajam pada puteranya. “Aku akan memesan sesuatu, kalian mengobrollah” lanjutnya pula, lalu beranjak dari sana menuju counter pemesanan. Jihye terhenyak dan nyaris meminta Changmin untuk mengajaknya juga, terus terang saja ia tak mau hanya berduaan dengan pria di hadapannya. Ini memalukan.
“Jadi kau teman puteraku?”Jaejoong memulai percakapan. Jihye terpaksa menghadapi pria itu. Ia mengangguk pelan.
“Sejak beberapa bulan ini” jawabnya sambil menundukkan kepalanya.
“Dimana kalian bertemu?”
“Di pesta ulang tahun seorang teman” Jihye memilin-milin rok yang dipakainya dan menggigit bibirnya, gugup. “A- ajjushi! Aku mohon, jangan katakan apapun pada Changmin oppa soal waktu itu” pintanya setelah selama beberapa detik ia berpikir untuk memberanikan diri. Ia mengangkat wajahnya dan memandang Jaejoong dengan penuh harap.
“Kenapa aku harus melakukan itu? Aku berhak mengatakan apapun pada anakku, termasuk mengatakan kalau pacarnya adalah seorang pembohong” gertak Jaejoong.
“Ajjushi…” rengek Jihye.
“Jangan memanggilku ajjushi! Apa aku sudah terlihat begitu tua?!” Jaejoong memprotes lagi.
Jihye tersadar. Ia tahu Jaejoong memang tidak tampak setua itu, hanya saja tadi ia sudah terlanjur memanggilnya ajjushi gara-gara gugup.
“Baik, maafkan aku” Jihye langsung meminta maaf dan menundukkan lagi kepalanya. Tapi kemudian ia kembali melihat pada Jaejoong, memberikan tatapan mengibanya yang paling baik. “Tapi, aku mohon,,, Jaejoong sshi, jangan beritahu Changmin oppa—“
“Apa kau berencana membodohi puteraku?” potong Jaejoong tajam.
Jihye cepat menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku- aku sangat menyukai Changmin oppa, aku tak mau dia mengetahui tingkah burukku dulu, sekarang aku sudah berubah”
Jaejoong mendesah pelan. “Yea, dan Changmin juga sepertinya sangat menyukaimu”
“Jadi kau mau membantuku?”
Jaejoong memberikan lagi tatapan tegas di matanya.
“Aku bukan membantumu karena permintaanmu, tapi aku memikirkan perasaan Changmin. Dan aku belum tentu akan merestui kalian”
Jihye hanya terdiam. Kata-kata Jaejoong begitu tegas dan membuatnya tak bisa merengek lagi. Pria ini memang pernah bersikap baik padanya dengan memaafkan kebodohannya dulu, dan jelas bukan berarti sekarang ia bisa dengan mudah memohon agar Jaejoong mau mengijinkannya berkencan dengan puteranya juga. Ia sudah menipu sekali, pasti perlu waktu untuk Jaejoong agar bisa mempercayainya. Walau begitu, Jihye tak mau menyerah, ia baru saja memulainya dengan Changmin dan ia sudah jatuh cinta pada pemuda itu. Ia hanya berharap suatu hari Jaejoong bisa luluh.
“Kalian juga masih sangat muda. Siapa yang tahu kalian akan saling bosan” tambah Jaejoong. Ia melirik gadis di hadapannya sekilas, lalu menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ia tak pernah tega bersikap tak baik pada perempuan, tapi gadis ini sudah pernah membuatnya merasa buruk – dan ia takut gadis ini pun akan melakukannya pada Changmin.
- - - - -
“Appa, ini kakak Jihye” Changmin tiba-tiba sudah kembali sambil diikuti oleh seseorang. Pembicaraan Jaejoong dan Jihye sudah berakhir sejak tadi. Gadis itu akhirnya menyerah untuk terus mencoba mengambil hati Jaejoong. Ia jadi merasa bersalah sendiri dan mengutuki perbuatannya dulu.
Jihye melebarkan matanya begitu Changmin selesai berkata. Oh sial. Kakaknya juga datang. Ia lupa untuk memberitahu Yunho untuk tidak jadi datang saja, karena ayah Changmin bukan seseorang yang harus mereka temui bersama!
“Oh” gumam Jaejoong kembali harus terkejut begitu melihat Yunho. Pemuda yang sudah beberapa hari ini gagal untuk ia hindari itu benar ada disana dan dikenalkan Changmin sebagai kakak dari pacarnya. Lelucon apa ini?! Jaejoong berteriak di benaknya. Jelas sekali ia ingat adegan beberapa waktu lalu di restorannya, gadis ini membuat keributan dan pemuda ini membelanya dengan membongkar kedok sang gadis yang ternyata hanya seorang penipu – Jaejoong lalu memberikan gratis untuk semua makanan yang sudah dipesan pemuda itu. Crap. Itu sebuah adegan terencana yang sudah berjalan dengan sangat lancar. Dirinya jelas-jelas ditipu oleh dua orang penipu!
Jihye hanya bisa menutupi wajahnya dengan telapak tangan, tak bisa membayangkan hal buruk apa lagi yang akan menimpanya. Ia sudah begitu kesulitan untuk bisa mengambil hati Jaejoong dan sekarang ditambah dengan kedatangan Yunho yang pasti akan membuat Jaejoong semakin tak mau percaya.
“Apa kabar?” Yunho menyapa Jaejoong setenang mungkin, dan dengan terpaksa Jaejoong pun menyambut sapaan Yunho – berpura-pura demi puteranya. Satu-satunya yang tak mengetahui apapun disini memang hanya Changmin. Pemuda itu terus tersenyum, senang dengan acara pertemuan ini – yang ia pikir pasti akan memberikan hal baik untuk hubungannya dengan Jihye.
- - - - -
“Aku akan pulang lebih dulu” kata Jaejoong setelah selama beberapa menit mereka makan, minum dan berbincang disana. Jelas agak sedikit tak nyaman karena Jaejoong harus berpura-pura tak mengenal Yunho, lalu harus terus menutupi siapa mereka. Belum lagi Jihye yang tampak semakin gugup, sebenarnya ia tak tega melihatnya. Gadis itu mungkin memang tulus menyukai puteranya, dan ia jadi tak sampai hati melihatnya yang harus tertekan diantara mereka.
“Kenapa cepat sekali?” tanya Changmin.
“Aku agak lelah. Kau bisa pulang sendiri, bukan?”
Changmin mengangguk.
“Baiklah, sampai jumpa” Jaejoong berkata pada pasangan kakak-adik disana dan memberikan senyuman sedikit datar. Tanpa menunggu sahutan mereka, ia segera berlalu dari sana. Mau tak mau ini membuatnya stress. Ia ingin berendam saja di kamar mandi rumahnya.
“Aku juga, harus pergi” Yunho ikut beranjak dari kursinya setelah selama beberap saat Jaejoong meninggalkan café.
“Eh? Bukankah kau tak ada jadwal kerja malam ini?” kata Jihye.
“Aku tak mau mengganggu kalian” ujar Yunho sambil tersenyum penuh arti. “Changmin pasti akan mengantarkanmu pulang, bukan?” katanya lagi sambil melirik Changmin. Pemuda itu menganggukkan kepalanya.
“Tentu hyung, serahkan saja padaku”
“Bagus. Kalau begitu, sampai jumpa”
. . .
Tok Tok
Jaejoong menghentikan kesibukannya memasangkan kunci mobil dan bermaksud menyalakannya ketika sebuah suara mengetuk-ngetuk terdengar di jendela penumpang di sampingnya. Ia menoleh dan menemukan Yunho disana.
Yunho memberikan gestur dengan mulutnya, menyuruh ia membukakan pintu. Jaejoong ingin mengacuhkannya saja, tapi Yunho terus mengetuk-ngetuk. Jaejoong pun menurunkan jendelanya, setelah menggeram pelan.
“Apa?!” tanyanya dengan tingkat iritasi yang sudah nyaris sampai ke ubun-ubun.
“Biarkan aku masuk” jawab Yunho tenang.
“Tidak”
“Aku tak boleh menumpang?”
“Naik saja taksi” ujar Jaejoong ketus.
“Jaejoong sshi…” Yunho memberinya tatapan seperti memohon, walau sebenarnya tidak benar-benar memohon. Ia tetap bersikap tenang dan tak terpancing oleh sikap tak ramah Jaejoong. “Kita harus bicara”
Jaejoong berpikir sebentar, memang benar banyak yang perlu mereka bicarakan – dan itu tidak hanya soal hubungan mereka. Ia pun membukakan pintu dan membiarkan Yunho masuk, duduk di sampingnya.
Untuk beberapa saat mereka terdiam, hanya suara nafas mereka yang terdengar di seisi mobil.
“Aku tidak tahu kalau adikku berpacaran dengan puteramu” Yunho akhirnya lebih dulu memecah keheningan. “Kalau saja aku tahu lebih dulu, aku pasti akan memperingatkannya”
“Yea, aku tak bisa begitu saja membiarkan anakku dekat dengan seorang gadis yang—“
“Dia sudah tak seperti itu” potong Yunho, cepat. Ia menatap Jaejoong agak tajam, agar jangan sampai pria itu mengatakan hal yang tak menyenangkan tentang adiknya. “Aku sudah menegurnya, dan dia tak akan melakukannya lagi”
Jaejoong mengalihkan pandangannya, tak mau membalas tatapan Yunho. Pemuda itu jelas terlihat kesal. Ia paham karena Yunho pasti ingin melindungi adiknya.
“Jangan jadikan hal sepele itu sebagai alasan untuk menjauhkan mereka” kata Yunho lagi.
“Itu tidak sepele” gumam Jaejoong. “Aku harus bertanggung jawab pada ibuku tentang Changmin. Dia harus mendapatkan seorang kekasih yang baik-baik”
“Jihye tidak seburuk yang kau pikirkan!” Yunho mulai benar-benar terlihat kesal. “Dia memang bukan adik kandungku, kami hanya dua orang yang dibesarkan bersama di sebuah panti asuhan, tapi dia sudah seperti adikku sendiri. Dia memang sedikit nakal, tapi aku selalu mengingatkannya, dan sekarang dia sedang menjalani kursus untuk bisa memasuki universitas” pemuda itu langsung menjelaskan panjang lebar.
Jaejoong terpana mendengarnya. Dua orang yang dibesarkan di panti asuhan. Ia bisa menduga pasti tidak mudah. Semuanya jadi tampak masuk akal, kenapa Jihye bertingkah seperti itu.
“Dan soal nama belakang yang kau tanyakan, sebenarnya kami tidak memiliki itu” lanjut Yunho lagi sebelum Jaejoong sempat berkomentar. “Kami tak pernah tahu siapa orangtua kami. Nama ‘Jung’ kami ambil dari nama suster yang membesarkan kami di panti. Sekarang kami sudah tak pernah memakainya lagi, karena kami sadar itu bukan nama kami”
Jaejoong menarik nafasnya saja. Ia jadi merasa tak enak setelah mendengar keseluruhan cerita dari Yunho. Hidup pemuda ini dan adiknya ternyata tidak begitu beruntung.
“Aku—aku tidak mempermasalahkan itu” kata Jaejoong akhirnya setelah terdiam lagi beberapa saat. Yunho melihat padanya. “Aku hanya—yea, aku belum mengenal kalian. Tidak salah bukan, kalau aku agak mengkhawatirkan anakku?”
“Ok, tapi aku mohon jangan menyudutkan Jihye. Dia sangat menyukai Changmin, dan Changmin juga sangat menyukai Jihye. Aku rasa, kita harus membiarkan mereka bersama”
Jaejoong menarik nafas dan menghembuskannya dengan agak berat.
“Tentu, kalau itu demi kebahagiaan puteraku”
Yunho tersenyum tipis. “Aku tahu kau bukan pria yang kejam…” gumamnya ditambahi dengan tawa pelan. “Aku sudah akan membayangkan kalau hubungan adikku dengan kekasihnya akan seperti cinderella. Dia sangat menginginkan seorang pria yang tampan dan kaya sedangkan aku selalu mengingatkan dia kalau kami sama sekali tidak pantas. Itu sebabnya aku memaksa dia untuk melanjutkan sekolahnya ke universitas, setidaknya tak akan ada siapapun yang berani menganggapnya remeh”
Jaejoong ikut tersenyum tipis. Ia sedikitnya memang sangat menghargai pemikiran Yunho yang seperti ini. Bagaimanapun Yunho adalah kakak yang baik dan sangat bertanggung jawab atas adiknya, padahal mereka sama sekali tak memiliki hubungan darah. Jaejoong bisa menduga kalau semua pekerjaan yang Yunho lakukan selama ini pun adalah demi adiknya.
“Lagi-lagi kau terlihat keren” komentar Jaejoong.
“Hm?”
Mereka saling memandang.
“Kau sangat keren dan… aku bukan orang yang tepat untukmu” kata Jaejoong, mengungkapkan juga apa yang menghinggapi pikirannya.
Yunho mengernyitkan keningnya.
“Kau bicara apa?”
“Changmin dan Jihye lebih baik untuk kita perhatikan daripada kita memperhatikan diri kita sendiri”
Yunho membetulkan duduknya dan jadi agak lebih menghadap Jaejoong.
“Apa maksudmu?” ia mulai cemas. Jaejoong seperti akan menghindarinya lagi, padahal ia sudah melihat hubungan mereka cukup membaik beberapa minggu ini. Yunho sudah yakin bisa mendapatkan hati Jaejoong sepenuhnya. “Jangan bilang, karena adikku dan puteramu bersama, jadi kita—“
“Benar” potong Jaejoong. Ia memasang wajah sedatar mungkin. “Apa menurutmu, kita masih bisa bermain-main seperti itu sementara adik dan anakmu sedang menkalin hubungan yang mereka bilang serius!?”
“Siapa yang bermain-main?!” sergah Yunho tak terima.
Jaejoong menggelengkan kepalanya.
“Jaejoong sshi, aku sudah bilang kalau aku serius—“
Jaejoong semakin menggelengkan kepala sambil memejamkan matanya. Kedua tangannya ia simpan menutupi telinganya.
“Cukup Yunho sshi! Cukup!” ia berbicara dengan suara yang lebih keras untuk menutupi suara Yunho.
Yunho memandangnya tak percaya. Lagi-lagi Jaejoong memang benar seperti akan menjauhinya.
“Sudahlah. Kita tak akan bermain-main lagi” Jaejoong mengulang lagi perkataannya dan kali ini suaranya kembali melunak.
“Jaejoong sshi…”
“Aku tidak bisa” Jaejoong menatap Yunho yakin, walau di mata besarnya Jaejoong menangkap sesuatu yang tampak dipaksakan. “Aku sudah katakan dari awal, aku tak cocok untukmu. Aku akan menjadi orangtuamu dan Jihye…” tambahnya dan memelankan kalimat yang terakhir.
Yunho tersenyum kecut. “Aku tak mau orangtua yang seperti sebaya denganku” ledeknya. “Kau terlalu banyak berpikir, Jaejoong sshi. Jihye bisa berpacaran dengan Changmin, dan mereka tak perlu langsung tahu dengan hubungan kita… kalau kau memang tak suka ada yang tahu, tak perlu ada siapapun yang tahu”
“Apa? Kau mengajakku seperti melakukan perselingkuhan…”
“Kau sendiri yang membuatnya terdengar sulit!” Yunho mengeluh nyaris kesal.
“Tapi aku memang tidak bisa!”
Yunho mendecak, Ia lebih mendekat pada Jaejoong dan memegang salah satu wajah pria itu, membuat wajah mereka sangat berhadapan hingga ujung hidung mereka nyaris bersentuhan.
“Terus saja kau bilang tidak bisa, dan aku semakin akan memaksamu” bisiknya geram.
“Kau gila” Jaejoong balas berbisik tajam. Ia mencoba menyingkirkan tangan Yunho di pipinya, tapi Yunho tak bergeming. Malah membuat jemarinya turun ke leher Jaejoong dan mengusapnya lembut.
“Kau terlalu buruk dalam membuat alasan untuk mencampakanku, Jaejoong sshi. Setelah masalah umur yang sama sekali tidak penting, sekarang kau ingin menjadikan hubungan Jihye dan Changmin sebagai alasan”
“Aku tidak mencampakanmu, karena kita tidak memulai apapun. Sejak awal pun kita hanya bermain-main—mmpph—“
Kalimat Jaejoong terpotong oleh ciuman Yunho. Ia mencoba memberontak beberapa saat, tapi kemudian ia baru akan memilih menyerah ketika Yunho malah melepaskan ciumannya. Jaejoong terengah dengan mulut yang sedikit terbuka, tak percaya Yunho malah menyudahi ciuman begitu saja.
“Jangan katakan kalau kita hanya bermain-main lagi!” ujar Yunho, memperingatkan.
Kali ini Jaejoong jadi tak bisa menyahut, ciuman barusan cukup membuatnya kehilangan banyak kata-kata dari benaknya.
Mereka kembali saling menatap. Lagi, ada perasaan yang tak bisa dibantahkan oleh keduanya. Mereka ingat mobil Jaejoong ini adalah tempat mereka berbagi ciuman pertama kali, dengan tiba-tiba dan hanya karena acara saling menatap seperti ini.
“Jangan mengajakku ke tempatmu lagi” kata Jaejoong tiba-tiba menghenyakkan tatapan serius mereka.
Yunho tertawa pelan. “Bukankah sekarang waktu yang tepat? Jihye sedang berkencan dan mungkin pulang larut…”
“Tidak. Aku tak akan membiarkan puteraku membuat seorang gadis pulang larut malam” Jaejoong menolak cepat.
“Ok, ok, kita tak akan ke tempatku” Yunho menghentikan lagi perlawanan Jaejoong. Mereka saling menatap untuk kesekian kali. “Mobilmu cukup luas, dan sepertinya bukan masalah untuk kita…” bisik Yunho lagi.
“Tidak di mobilku” sahut Jaejoong tegas. Ia membalas senyuman nakal Yunho dengan tatapan penuh iritasi
“Mereka bilang, mobil tempat yang cukup seksi... kau ingat film Titanic?”
Jaejoong mendecak. “Kau sungguh seperti anak kecil” ledeknya.
Yunho tertawa lagi. Ia mengecup bibir Jaejoong, memberinya senyuman lagi sebelum kemudian melanjutkan ke leher pria itu. Jaejoong mengeluh pelan, ia ingin memprotes lagi, tapi Yunho mengembalikan ciumannya ke bibir. Mereka pun berciuman lama, melupakan semua perdebatan mereka tadi.
Jaejoong masih belum tahu apa yang akan diputuskannya. Ia hanya tak mau menyesali hidupnya jika ketika tiba-tiba saja Yunho meninggalkannya. Ia mungkin harus mendengarkan apa yang dikatakan pasangan Yoochun dan Junsu, bagaimanapun mereka adalah senior soal hubungan seperti ini.
Mungkin suatu hari nanti ia harus bercerita dengan baik-baik pada Changmin, kemudian menjelaskan semua juga pada ibunya. Kalau mereka mencintainya, mereka pasti hanya menginginkan kebahagiaannya. Dan pemuda yang sedang menciumnya ini adalah seseorang yang menawarkan kebahagiaan padanya yang ia rasa memang bisa membuatnya bahagia.
Biarlah saat ini, untuk sementara tanpa siapapun yang mengetahuinya, ia akan menjalani hubungan dengan seorang anak muda.
“Kau benar-benar berusia 22 tahun huh? Kau tak pernah lelah setiap kali bertemu denganku dan menggodaku” kata Jaejoong disela-selanya menahan desahan geli karena Yunho sudah turun ke dadanya yang masih dihalangi pakaian.
“Yea, dan kau selalu bisa mengimbangiku” sahut Yunho sambil tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya, dengan nakal. “Kau yakin ini akan seperti ini saja?” tanyanya tiba-tiba begitu sadar posisi mereka tidak nyaman sedangkan mereka membutuhkan sebuah ruangan yang lebih luas.
“Kita pindah ke belakang, kau bodoh” sahut Jaejoong sambil menepuk kepala Yunho pelan. Pemuda yang sedang mendekapnya itu tersenyum puas, jawaban singkat Jaejoong yang masih terdengar kesal itu justru memberikan lampu hijau baginya. Ia segera menarik Jaejoong hingga mereka nyaris bergulingan dengan susah payah menuju kursi penumpang belakang.
Jaejoong berada di bawah Yunho yang memberinya senyuman lembut, Jaejoong membalas senyuman itu perlahan-lahan. Pemuda ini tak pernah menganggapnya lebih tua, seharusnya ia memang tidak mengkhawatirkan apapun.
“Aku suka rambut pirangmu” bisik Yunho sambil mengusap rambut halus Jaejoong.
“Sshh…” Jaejoong menghentikannya dari pembicaraan tak penting, lalu menarik Yunho untuk kembali berciuman dengannya.
It’s gonna be a long long night, and nobody knows…
> > > > >
E N D

1 komentar:

  1. Baru baca. Rasanya kamu penulis yang bagus. Ide ceritanya tidak biasa. Dan aku kurang suka jaejoong yang digambarkan terlalu feminim oleh banyak penulis. Two tumbs up....

    BalasHapus