Rabu, 09 Desember 2009
KOI DA YO - SEASON 2/HeySayJump Fanfic
"Jaa mata. Ittekimasu" kata Chinen sambil membuka pintu mobil nya.
"Yuuri" panggil Kei, sebelum ia benar-benar keluar. Ia menoleh pada kakak tertuanya yang duduk di kursi penumpang depan. "Kau lupa kotak bento mu" Kei menunjuk kotak bento yang tadi sengaja Chinen simpan di bawah jok mobil. Kuso.. ketauan, pikirnya.
"Ah.." Chinen berakting seolah-olah ia memang lupa. Dengan setengah hati, ia mengambil kotak bento yang sudah terbungkus itu.
"Lebih baik makan bento daripada kau menghabiskan uangmu di kantin" ujar Hikaru yang duduk di kursi pengemudi. Kakak keduanya itu memandang Chinen dari kaca kecil yang berada diatas kepalanya. Chinen mengeluh pelan.
"Hai, wakarimashita" jawabnya malas. Lalu cepat keluar dari sana, sebelum kakaknya menambah ceramah mereka.
Sebenarnya, mereka masih muda, tapi mereka harus jadi lebih dewasa karena tanggung jawab yang mereka pegang. Sejak ibu mereka menikah lagi dan pergi, mereka harus mengurus diri sendiri dan mengurus Chinen. Itu sebabnya mereka terlalu protektif pada adik kecil mereka. Chinen yang hampir berusia 17 tahun mulai risih dengan perlakuan mereka. tapi ia juga bersukur sekali memiliki keduanya. Satu hal rutin yang ingin sekali Chinen protes adalah tentang bento ini. Disekolahnya sudah tak ada yang membawa-bawa kotak bento. Tapi sampai sekarang, Chinen masih tak berani melawan kedua kakaknya. Mereka sangat baik, tapi kadang bisa menakutkan juga.
"Ohayo kouhai.." sebuah tepukan mendarat lembut di kepala Chinen, membuat anak itu tersentak.
"Oha-ohayo.." sahut Chinen agak terbata-bata. Daiki ada disana dengan senyuman khasnya. Chinen melihat Daiki membawa-bawa sebuah kertas yang digulung, sepertinya tadi ia menepuk kepala Chinen memakai benda itu.
"Tadi kau diantar seseorang?" tanya Daiki. Mereka berjalan bersama memasuki sekolah.
"Bukan. Itu kakak ku. Dan mereka ada 2 orang" jelas Chinen.
"Sokka" Daiki mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah kenapa ia merasa lega.
Mereka lalu terdiam, mendadak tak ada bahasan. Daiki tak pernah sebingung ini sebelumnya. Ia melirik Chinen diam-diam dan matanya melihat pada bungkusan yang dibawa Chinen. Ia hapal bungkusan itu, jadi ia sudah pasti tahu apa isinya.
"Bento ka?" Daiki akhirnya memulai percakapan lagi. Chinen yang agak sensitif dengan bahasan itu, hanya mengangguk. "Istirahat nanti makanlah di atap sekolah" kata Daiki lagi terdengar seperti ajakan. Ia tersenyum sebelum mereka berpisah di koridor. Tak tahu kenapa Chinen jadi senang mendengarnya.
Chinen membuka pintu atap sekolah dan masuk kesana dengan sedikit ragu. Ia tak percaya sudah menuruti permintaan Daiki. Chinen menggelengkan kepala dan meyakinkan dirinya berkali-kali kalau ia datang kesitu karena mencari tempat bagus untuk memakan bento nya, bukan karena ajakan Daiki.
Ia melangkahkan kaki ke tempat sewaktu ia bertemu Daiki dulu. Sepi. Chinen mengeluh pelan, ia langsung berpikir kalau Daiki hanya sekedar meminta bukan benar-benar mengajaknya.. Lalu apa peduli ku? pikir Chinen pula. Ia mendecakkan lidahnya dan mulai menyimpan kotak bento nya. Ia hanya mau makan, tak peduli ada orang itu atau tidak.
Chinen baru akan duduk ketika ia mendengar ribut-ribut. Ia mendekat ke tembok dan melihat ke bagian tengah atap. Daiki ada disana dengan 3 orang yang merubunginya.
"Wakatta, wakatta.." kata Daiki yang mencoba menahan 3 orang yang sedang marah dan tampak hendak memukulnya itu. "Uang kan?" katanya lagi sambil mengeluarkan dompetnya untuk mengambil uangnya. Tapi salah seorang dari mereka merebutnya, mengambil semua uang miliknya dan melempar dompet itu begitu saja. "Yada.. itu uangku sampai minggu depan" keluh Daiki yang tak bisa mencegah orang itu. Mereka tak peduli. Setelah mendapat yang mereka inginkan, mereka melepaskan Daiki dan pergi dari sana.
Chinen terpana melihatnya. Tadi ia berniat membantu tapi karena mereka tak melukai Daiki, ia akhirnya memilih diam disana.
"Daijobu ka?" tanya Chinen setelah suasana tenang.
"Ah.. Daijobu da" sahut Daiki yang agak terhenyak melihat Chinen disana. "Kau datang.." tambahnya pula mengulas senyuman.
"Uhm.." Chinen mengangguk. Ia berjalan mendekati dompet Daiki yang tergeletak tak jauh darinya. Ia terpaku sesaat mengamati isi dompet yang tak sengaja terbuka itu. Ada sebuah foto, Daiki dan seorang gadis manis yang tampak mesra. Chinen berusaha tak peduli, ia mengambilkannya dan menghampiri Daiki.
"Siapa orang-orang tadi?" tanyanya sambil memberikan dompet itu. "Mereka bukan murid sekolah ini?" tambahnya.
Daiki menerima dompetnya dan mengucap 'arigato' tanpa menyela perkataan Chinen.
"Yea, mereka bukan murid sekolah ini" Daiki membenarkan tapi tak mau menambah perkataannya. Ia tak terpikir untuk menjelaskan bagaimana berandalan itu bisa mengejarnya hingga sini. Tadi ia melompati pagar gerbang belakang sekolah dan ia tak mau Chinen tahu. Bagaimanapun anak ini adalah anggota dewan murid.
"Sepertinya aku harus memberitahu keamanan tentang ini" kata Chinen.
"Sou da" Daiki menghindar.
Daiki tak mau terus membahasnya. Ia berjalan ke tempat favoritnya, di ikuti oleh Chinen.
"Kau belum mulai makan" katanya. Ia melihat kotak bento Chinen masih terbungkus rapi di lantai.
"Aku baru akan mulai" kata Chinen. Kemudian duduk disana, menghadap bento nya. Daiki ikut duduk di depannya tanpa diminta.
"Tampaknya enak" komentar Daiki begitu Chinen membuka
kotak bento nya. Chinen meliriknya, ia berpikir Daiki selalu saja bisa membuat orang lain senang.
"Tapi, aku hanya membawa satu buah sumpit"
"Sokka.." Daiki tampak berpikir beberapa detik. "Kau bisa menyuapiku" katanya tersenyum tanpa beban. Chinen agak terhenyak dengan usul Daiki. "Kenapa? Kau tidak mau? Kalau begitu biar aku yang menyuapimu"
"Ah iie.." Chinen menggelengkan kepalanya. "Baiklah, aku akan menyuapimu" katanya setuju, walau merasa malu menyebutkan itu. Daiki tersenyum puas.
Mereka akhirnya makan bersama dengan Chinen yang menyuapi Daiki. Menyenangkan juga. Chinen tak pernah merasa se enak ini menikmati bento nya. Beruntung sekali ia bisa kenal dengan orang aneh di hadapannya ini.
"Daiki-kun, kenapa kau suka sekali menyendiri disini?" tanya Chinen setelah mereka selesai makan dan meminum teh sambil melihat pemandangan dari atap.
"Aku tidak menyendiri, aku hanya suka sekali tempat ini. Aku akan segera lulus, dan aku pasti merindukannya" jawab Daiki.
"Sou. Tapi kenapa kau hanya sendiri? Kenapa tidak mengajak teman-temanmu?"
"Kadang aku bersama Yuuto disini dan kadang juga ada beberapa temanku.." Daiki menoleh pada Chinen lalu tersenyum. "Sekarang aku bersamamu, bukan?" lanjutnya.
Chinen balas tersenyum dan mengangguk.
"Ohya, acara makan siang tadi juga aku pasti merindukannya nanti" tambah Daiki.
Chinen tertawa.
"Kau memang tak seharusnya melupakan itu" katanya.
"Aku janji" kata Daiki ikut tertawa. Chinen hanya diam tak tahu harus menyahut apa.
"Yuuri.."
"H-hai?" sahut Chinen agak gugup, berdebar dipanggil seperti itu oleh orang lain selain kakak-kakaknya.
"Kau.. punya pacar?"
"Eh?" Chinen nyaris berseru kaget mendengar pertanyaan Daiki.
"Warui. Aku hanya ingin tahu. Tak apa kalau kau tak mau memberitahuku" kata Daiki lagi, merasa konyol sudah menanyakan itu. Chinen pasti berpikir ia aneh. Tapi Daiki tak mengelak kalau ia memang sangat ingin tahu. Ia pikir, gadis mana yang akan melewatkan laki-laki semanis Chinen.
"Aku.. belum pernah berpacaran" jawab Chinen akhirnya. Mengejutkan.
Daiki pun merasa ada sinyal yang berkedip ke arahnya.
"Aku benar-benar sibuk.." keluh Yamada sambil mencari-cari sesuatu di meja kerjanya di ruang dewan murid. Yuuto memperhatikannya, datar. Ia sudah berada disana sejak 5 menit yang lalu, tapi Yamada masih mengacuhkannya. Hanya berkali-kali mengatakan kalau ia sedang sibuk.
"Aku belum menyelesaikan laporanku" gumam Yamada pula yang mulai membuka-buka sebuah buku dan membereskan kertas yang berserakan di mejanya. Terang saja ia sulit menemukan benda yang ia cari, meja itu sangat berantakan. Benar-benar menunjukkan kalau ia sibuk. Yuuto menghela nafas lelah. Ini memang resikonya menyukai seorang presiden murid. Ia jadi terpikir, andai saja dulu Yamada benar-benar diganti.. tapi belum tentu hubungannya dengan Yamada akan sedekat sekarang. Belum tentu Yamada mau mengenalnya lagi.
"Aku tahu. Tapi bukan berarti kau tidak makan siang" kata Yuuto akhirnya sambil bergerak menghampiri Yamada yang masih tampak repot. Yuuto berdiri di sampingnya.
"Aku tak punya banyak waktu"
"Makan siang tidak menyita semua waktumu"
"Aku benar-benar harus menyelesaikan ini. Kau makan siang saja sendiri" Yamada bersikeras. Ia berkata tanpa melihat pada Yuuto yang semakin gemas.
"Keras kepala" gumam Yuuto sambil mengulurkan tangannya menghentikan tangan Yamada yang begitu sibuk dengan kertas-kertas bodohnya. Yamada terkejut, ia menoleh pada laki-laki tinggi di sampingnya itu.
"Nakajima-"
"Kau masih saja memanggilku begitu" dan sebelum Yamada menyahut, ia menundukkan wajahnya untuk meraih bibir Yamada.
Ada sedikit gerakan melawan dari Yamada yang mencoba menghentikan Yuuto. Tapi tidak lama, karena Yuuto selalu bisa mengendalikannya. Yamada menyerah, menikmati ciuman mereka.
Saat itu Chinen baru akan masuk dan menyapa Yamada, tapi terhenti karena ia melihat pemandangan yang membuatnya shock.
"Yama-chan dan Nakajima..?" desisnya tak percaya. Telapak tangannya menutup mulutnya, kedua matanya terbelalak. Ia mengintip di pintu yang tadi sempat dibuka sedikit, dan mereka berdua tampaknya tak sadar.
Chinen menyandarkan tubuhnya ke tembok disamping pintunya. Dadanya berdetak lebih cepat. Ia benar-benar tak bisa percaya.
"Mereka pasti lupa mengunci pintu" gumam seseorang yang membuat Chinen nyaris melonjak kaget. Ia melihat ada Daiki disana. "Daijobu ka?" tanyanya pada Chinen. Anak manis itu cepat menggelengkan kepalanya. "Kau seperti baru pertama kali melihat orang berciuman" komentarnya pula.
"Bukan. Aku hanya kaget, Yama-chan.."
"Mereka bersama sekarang" sela Daiki.
Chinen terdiam beberapa detik menerima perkataan Daiki di benaknya.
"Apa mereka akan baik-baik saja?" tanyanya pelan.
"Tentu saja. Mereka saling menyukai.." jawab Daiki. "Kau tahu, cinta tak mengenal apapun. Usia, status, gender.." lanjut Daiki, membuat Chinen melihat ke arahnya. Kata-kata Daiki membuatnya tergerak. Ia yang belum pernah mencoba mencintai atau membiarkan dirinya dicintai seseorang tiba-tiba saja merasa kesepian. Selama ini ia belum terpikir untuk menyukai orang lain dengan perasaan yang bukan pertemanan apalagi sampai menjalin sebuah hubungan. Baginya, perempuan itu hanya pengganggu. Ia pernah di jahati perempuan hanya karena mereka iri padanya, dan ia juga pernah disukai perempuan hingga ia seperti tak bisa bernafas dengan bebas dimanapun. Berbeda dengan para laki-laki yang selalu bersikap manis padanya. Chinen sadar ini terlalu aneh dan tidak benar. Jadi ia lebih memilih tak mau terlibat. Ia berpikir, persetan dengan cinta.. hingga ia bertemu dengan Daiki dan pandangannya pun harus mulai terkikis sedikit demi sedikit.
"Ne, kita pergi saja. Nanti ada orang lain yang curiga" perkataan Daiki menyentakkan Chinen. Ia mengangguk saja. Daiki cepat merapatkan kembali pintu ruangan itu, tak sadar menimbulkan suara yang cukup membuat orang tersadar.
Yamada melepaskan ciumannya lebih dulu dan menoleh ke pintu.
"Kau tidak mengunci pintunya" gerutu Yamada, menatap tajam pada Yuuto.
"Aku tidak tahu kalau harus menguncinya"
"Baka. Kalau kau mau menciumku, seharusnya kau kunci dulu"
"Aku bahkan tidak tahu akan menciummu sekarang" Yuuto membela diri.
"Bagaimana kalau ada orang yang melihat?" Yamada tak mau kalah. Yuuto baru akan membalas lagi, tapi tidak jadi. Ia mendadak teringat sesuatu. Yamada pun tampak memikirkan hal yang sama. Mereka saling memandang beberapa detik, lalu perlahan melihat ke arah pintu dan kembali berpandangan lagi dengan mata yang lebih lebar.
YABAI.
---
"Eh, aku?" Chinen menunjuk dirinya sendiri, Daiki mengangguk.
"Bagaimana kalau kau mengalami hal yang sama dengan Yamada? Menyukai seorang berandalan sekolah.."
"Aku tidak mengalaminya, jadi aku tidak tahu" Chinen mengangkat bahunya.
"Pikirkan kalau itu seandainya terjadi padamu.. Kau akan terus menyukai dia, meski nyaris semua orang menentangmu?" Daiki bersikeras dengan pertanyaannya.
"Entahlah. Mungkin aku memilih tak berurusan dengan berandalan" jawab Chinen akhirnya.
"Sokka"
Daiki mengangguk pelan. Jawaban Chinen membuatnya terdiam.
"Ah, jadi itu kalian!?" Yuuto berseru lega, setelah mendengar cerita Daiki yang tadi siang mengintipnya.
"Chinen yang pertama melihat kalian"
"Ah yokatta" kata Yuuto yang benar-benar terlihat lega.
"Lain kali, kalian harus hati-hati. Carilah tempat yang aman" Daiki menasihatinya.
"Aku tahu. Tadi itu tanpa rencana, jadi terjadi begitu saja"
"Pervert" gumam Daiki meledeknya, tapi terdengar oleh Yuuto.
"Oi" protesnya. Daiki hanya tertawa. "Ngomong-ngomong kau sering bersama Chinen sekarang" kata Yuuto lagi, setelah mereka berhenti tertawa dan kembali berjalan menuju halte.
"Uhm. Ada masalah?"
"Bukan. Aku hanya berpikir kalau kau menyukainya" Yuuto memandang Daiki, curiga.
"Ada masalah kalau aku menyukainya?" Daiki menjawab tenang. Yuuto tertawa puas.
"Ne, kalian harus seperti aku dan Yamada" katanya tersenyum penuh arti.
"Aku tidak tahu" Daiki mengeluh pelan. Ia jadi ingat dengan jawaban Chinen tadi tentang berandalan sekolah. Ia merasa sinyal yang selama ini menyala dan berkedip padanya, agak mulai meredup.
"Jangan sampai kau menyesal seumur hidupmu" kata-kata Yuuto terekam di memori otaknya sebelum ia menangkap 3 sosok manusia yang dia tahu akan berbahaya, sedang menghampiri mereka.
"Arioka-kun.. kebetulan sekali kita bertemu disini" kata salah satu dari mereka.
"Kuso" kutuk Daiki "Kita lari, Yuuto" bisiknya sambil bergerak mundur. Yuuto mengerutkan keningnya.
"Mereka masih saja dendam padamu?" tanyanya tak percaya. Daiki dengan sempatnya, mengulas senyuman untuk Yuuto yang langsung menggelengkan kepalanya.
"Berikan uangmu!" Mereka mulai.
"Tak ada lagi. Kemarin kalian mengambil semua uangku untuk 1 minggu" lawan Daiki.
"Kau pikir aku percaya!?"
Daiki tak sempat menyahut lagi karena orang itu memukulnya. Mereka pun berkelahi. Yuuto menolongnya, tapi tetap tidak seimbang, mereka akhirnya harus kabur. Berandalan itu mengejar mereka.
"Yuuto, nanti kau lari ke arah sana. Mereka tak akan mengejarmu, OKAY?" teriak Daiki disela-sela mereka berlari.
"Tapi kau-"
"Aku akan mengurusnya. HAYAKU!" Daiki menyuruh Yuuto agar berbelok, sedangkan ia terus berlari lurus kembali ke arah menuju sekolah.
Berandalan itu belum menyerah. Daiki mengutuki sambil terus berlari.
"Hai, wakatta. Aku akan menunggu kalian di cafe terdekat" Chinen berkata malas di ponselnya. Kedua kakaknya akan telat menjemput, tapi ia tak boleh naik bis.
Chinen mendengar ribut-ribut di belakangnya, ia baru akan menoleh saat seseorang menarik tangannya..
Orang itu menarik Chinen dan membawanya berlari.
Ia tak sempat berontak, tak sempat melepaskan diri. Yang ia tahu, mereka dikejar 3 orang laki-laki yang tampak berbahaya.
Setelah berlari sekian lama, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah. Chinen mengatur nafasnya sambil melihat ke sekeliling, aman. Tak ada lagi orang-orang yang mengejar mereka.
"W-warui.." kata laki-laki yang terduduk di hadapannya, kelelahan. Ia orang yang tadi tiba-tiba menarik dan mengajaknya berlari begitu saja. Chinen mengamati orang itu.
"Daiki-kun..?" cetusnya lalu menghela nafas panjang sambil bergabung, ikut terduduk disana. "Apa-apaan itu?!" protes Chinen walau di nada suaranya terdengar lega. Ia mengelap keringat yg menetes di keningnya dengan lengan seragamnya.
Daiki tersenyum.
"Sedikit masalah"
Chinen hanya mengeluh, tak habis pikir dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi diakuinya ia tak begitu risau, karena ini Daiki yang bersamanya. Selalu kebetulan.
"Hora, kita kerumahku" kata Daiki setelah berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Chinen berdiri.
"Ke rumahmu? untuk apa?" Chinen tak langsung menyambutnya.
"Kau tak lihat aku terluka?" sahut Daiki sambil menunjuk beberapa memar dan luka di wajahnya. Seragamnya sudah berantakan tak karuan. Chinen tak punya pilihan lain, ia menyambut tangan Daiki untuk berdiri.
Orang itu berjalan agak tertatih-tatih menuju rumah yang ada di depan mereka, Chinen membaca nama Arioka yang terpasang di tembok sebelah pagar. Rumah yang cukup besar dan bagus.
"Ch-chotto! Kenapa aku harus ikut kerumahmu?" Chinen menahannya. Ia malas kalau bertemu keluarganya di dalam, lagipula ia tak ada alasan untuk berada disana.
"Bantu aku merawat luka ku" jawab Daiki pendek, dan meneruskan berjalan.
"Eh-" Chinen tak bertanya lagi. Tadi ia heran kenapa Daiki tak minta tolong pembantunya atau siapalah. Ternyata sepertinya rumah itu kosong. Daiki membuka gembok pagar dan pintu rumahnya menunjukkan ia tinggal sendiri. Belum lagi suasana yang sangat sepi, saat Chinen memasukinya. Di rumah sebesar ini, Daiki tinggal sendiri.. pikir Chinen, takjub.
"Ah itai.." keluhan Daiki membuat Chinen berhenti terkagum-kagum. Ia melihat Daiki sudah merebahkan tubuhnya di sofa, mengeluh berkali-kali.
"Daijobu ka?" Chinen menghampirinya. "Kau ambil kotak obatnya di lemari di kamar mandi" pinta Daiki sambil menunjuk ke arah kamar mandi yang berdekatan dengan dapur. Chinen beranjak untuk mengambilnya, dan matanya sempat melirik sebuah foto..
"Aw.. itai" Daiki terus mengeluh ketika Chinen sedang membersihkan lukanya dan memberi obat.
"Ssh, jangan seperti perempuan" ledek Chinen.
"Ini benar-benar sak-- ahh!" Daiki mencoba membela diri di antara keluhannya.
Chinen hanya menghela nafas dan terus menekan-nekan kapas dengan lembut ke pelipis kanan Daiki. Ia juga meniup luka itu setiap sudah di tetesi obat. Daiki mengeluh perih sekaligus nyaman. Hembusan nafas Chinen di wajahnya, membuat ia merasa lebih baik. Ia mengamati wajah manis itu yang sekarang tampak dekat sekali dengannya. Daiki jadi makin tersadar kalau ia sangat menyukai Chinen. Setiap jengkal di wajah hingga ke tubuhnya adalah sesuatu yang mampu menggerakan seluruh otot jantungnya hingga berdetak dengan sangat liar. Darahnya pun berdesir-desir nyaman di nadinya.
"Ne, kenapa kau pandai sekali merawat luka?" Daiki memulai obrolan, daripada tadi hening karena ia berhenti mengeluh.
"Apa aku tampak pandai?" Chinen malah balik bertanya dan melirik sekilas pada Daiki yang tak lepas mengamatinya. Chinen terus sibuk dengan memasang plester di pelipisnya. Jarak wajah mereka masih dekat, Chinen berdiri dengan lututnya di atas sofa, jadi ia agak lebih tinggi dari Daiki yang hanya duduk. Bibir berwarna kemerahan yang segar itu sangat menggoda Daiki, ia hanya tinggal mengangkat wajahnya sedikit untuk meraih bibir itu dengan bibirnya kalau ia memang mau. Tapi Daiki masih bisa menahannya. Ia menelan ludahnya diam-diam dan menjilat bibirnya pelan.
"Tanganmu cekatan" kata Daiki lagi.
"Benarkah? Mungkin karena dari dulu aku biasa merawat kakak-kakakku" sahut Chinen yang sudah selesai dengan pekerjaannya. "Selesai" katanya pula sambil mengamati sekali lagi, plester yang menempel di pipi dan pelipis Daiki. Setelah yakin benar, ia kemudian duduk disana.
"Sankyu ne"
"Ii yo" Mereka saling melempar senyum. "Daiki-kun, kau tinggal sendiri disini?" tanya Chinen pula.
"Uhm. Keluarga ku pindah ke Saitama, sedangkan aku di tinggal karena akan segera lulus"
"Sokka" Chinen menganggukkan kepalanya.
"Ah, kau mau minum? pasti tadi melelahkan sekali" Daiki bermaksud beranjak untuk mengambil minum, tapi Chinen menahannya.
"Aku akan mengambilnya sendiri dan mengambilkan untukmu juga" katanya sambil beranjak lebih dulu.
"Okay"
Chinen lalu mengambilkan 2 buah kaleng jus dari lemari es Daiki. Mereka terdiam sesaat menikmati minuman mereka.
"Ano, gadis di foto itu.." Chinen berkata dan menunjuk sebuah foto yang tersimpan di meja.
Daiki menolehkan wajahnya ke arah yang ditunjuk Chinen.
"Gomen, dulu aku pernah melihat fotonya di dompetmu.." lanjut Chinen. Ia memang pernah melihat gadis itu di foto yang berdua dengan Daiki. Chinen hanya mau tahu siapa gadis itu.
"Ah, dia adikku"
"Adikmu?"
Daiki mengangguk. Chinen mengamati foto itu lebih dekat. Gadis yang cantik dan tampaknya hanya berbeda beberapa tahun saja dari Daiki.
"Dia seumurmu" kata Daiki lagi seperti bisa membaca pikiran Chinen.
"Oh" gumam Chinen, "Dia.. cantik"
"Darou" sahut Daiki. Ada ekspresi tertentu di suaranya yang tak yakin untuk Chinen terjemahkan. Tapi ia menepisnya, tak mau memikirkannya berlarut-larut.
"Kau baik-baik saja tinggal tanpa orangtua mu?" tanya Chinen, mengalihkan pembicaraan. Ia kembali ke sofa, duduk di samping Daiki.
"Maa.. aku baik-baik saja" jawab Daiki. Ia tersenyum dan Chinen membalasnya.
"Sou. Aku juga dan kakak-kakakku. Kami baik-baik saja" kata Chinen.
"Kalian tinggal terpisah juga?"
"Kami ditinggalkan. Dulu orangtua kami bercerai, dan saat umurku 6 tahun ibu menikah lagi kemudian pergi dengan suami barunya" jelas Chinen yang bercerita dengan ekspresi datar, seolah hal getir itu memang tak berpengaruh pada hidupnya.
Daiki terpana, selama itu mereka hidup tanpa orangtua.
"Kami sempat tinggal bersama saudara, tapi sejak Hikaru dan Kei-chan bisa part time sambil bersekolah, kami kembali ke rumah yang dulu di tinggalkan ibu. Tinggal bertiga saja hingga hari ini" tambah Chinen dan mengakhiri ceritanya dengan senyuman seperti malaikat.
"Sou.." gumam Daiki, "Jadi mereka sangat berarti sekali untukmu"
"Tentu saja. Mereka sudah seperti orangtua ku, walau.. aku kadang merindukan ibu" Chinen menghela nafas dan bersandar ke sandaran sofa, menatap langit-langit ruang tengah rumah Daiki.
"Kau.. kesepian?" Daiki menatapnya dari samping.
"Sedikit. Aku jadi sentimental setiap mengingatnya. Karena itu Hikaru dan Kei-chan selalu menyuruhku melupakannya" sekali lagi senyuman terulas di bibirnya.
"Mereka tak ingin melihatmu sedih"
"Uhm.." Chinen mengangguk tanpa melepaskan matanya dari langit-langit.
"Aku juga tak mau melihatmu sedih" lanjut Daiki yang tiba-tiba sudah mendekat. Chinen melihat ke arahnya, mereka saling menatap. Tatapan lembut Daiki membuat Chinen merasa lebih baik. "Kau juga tak perlu merasa kesepian. Banyak yang menyayangimu di sekelilingmu" bisik Daiki pula, karena wajah mereka semakin dekat. Chinen tak bergerak, terpana. Dan Daiki tak menahan lagi, ia menciumnya..
Chinen hanya bisa diam, kaku. Dadanya berdebar tak karuan, seluruh tubuhnya bergetar aneh. Ini ciuman pertamanya, dan ia tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya menutup matanya kuat-kuat dan membiarkan Daiki menekan bibirnya. Tak ada respon dari Chinen yang benar-benar blank.
Daiki tersenyum di ciuman nya. Ia bisa merasakan ketegangan Chinen, ia menggerakan wajah Chinen agar lebih menghadapnya dan menciumnya lebih lembut. Membuat Chinen lebih rileks. Genggaman eratnya di lengan sofa mulai melemah. Ia mulai menikmati meski belum sepenuhnya bisa membalas ciuman Daiki.
Kegilaan ini meliarkan detakan jantung Daiki untuk kesekian kalinya. Ia semakin yakin dengan hatinya. Ia ingin membuat Chinen nyaman, melindunginya, tak membiarkannya bersedih dan selalu melihat senyuman malaikatnya.
..Atau kau akan menyesal seumur hidup.. kata-kata Yuuto itu muncul lagi di benaknya.
Ia sependapat dengan Yuuto, sekarang atau penyesalan..
Daiki tahu pilihan mana yang akan ia ambil. Setiap manusia sangat membenci penyesalan, dan ia pun tak akan pernah mau menyesal.
Drrtt
Drrtt
Sebuah getaran, menyentakkan mereka berdua. Daiki melepaskan Chinen yang sudah nyaris dipeluknya. Anak itu berdiri dengan salah tingkah dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Hai?" sapa Chinen tanpa melihat dulu id penelepon nya.
"Yuuri, kau dimana?!" terdengar suara Kei disana.
"Ah aku.. gome, aku akan segera kesana!" Chinen bingung dengan jawabannya. Ia benar-benar lupa kalau harus menunggu kakak-kakak nya.
"Tidak. Beritahu aku kau dimana!?" kata Kei tegas.
"Ini di.." Chinen melirik Daiki, meminta bantuannya.
"Gomenasai. Aku sudah merepotkan adik kalian" Daiki membungkukkan badannya di hadapan Hikaru dan Kei.
"Ii yo" jawab Kei pendek dan menyuruh Chinen untuk segera naik ke mobil. Mereka mulai lagi dengan sikap over-protektif nya.
"Jadi kau senpai nya?" tanya Hikaru dingin.
"Hai. Tadi aku terluka, jadi minta dia menolongku"
Hikaru mengangguk.
"Lain kali jangan seenaknya. Senpai tak harus menyuruh-nyuruh kouhai nya" kata Hikaru lagi sebelum berbalik ke arah mobil.
"Hai, sumimasen" Daiki membungkuk lagi, meski Hikaru sudah tak berada disana.
Ia memandang mobil yang mulai bergerak meninggalkan depan rumahnya, membawa orang yang ia sayangi.
Ciuman tadi mungkin akan merubah pertemanan mereka selama ini. Daiki memang lebih baik merubahnya saja sekalian, ia tak pernah jatuh cinta lagi seperti ini setelah cinta nya yang dulu tak bisa disatukan.
Sekarang, atau penyesalan..
Hari-hari berlalu sejak insiden ciuman itu. Sebenarnya keesokan harinya ia sudah siap untuk menghadapi Chinen dan mengatakan semua perasaan yang sudah di yakini nya. Tapi, ia tak melihat Chinen. Anak itu tak pernah datang lagi ke atap untuk memakan bento nya, tak pernah terlihat di dekat gerbang saat datang atau sedang menunggu jemputan. Daiki mendadak seperti kehilangan sosok itu dari kesehariannya. Hingga suatu hari mereka tak sengaja berpapasan, Chinen menghindarinya. Terlihat sekali bagaimana Chinen berpura-pura seolah tak melihatnya, dan itu terjadi berulang-ulang hingga hari ini. Tak ada lagi Chinen yang dikenalnya. Daiki tak menyangka, penyesalan yang ia takutkan justru berubah menjadi penderitaan. Ia mengutuki dirinya karena sudah lancang mencium Chinen waktu itu. Andai saja ia bisa menahan lagi, pasti tak akan jadi kekacauan macam ini.
Daiki seharusnya ingat dengan apa yang pernah Chinen katakan, ia tak mau berurusan dengan berandalan.. dan dirinya malah bersikap tidak tahu diri.
"Kuso!" Daiki mengutuk lagi sambil melempar puntung rokok nya yang kedua. Ia mengambil sebatang rokok lagi, menyalakan dan menghisapnya dengan kesal. Keluhan demi keluhan keluar dari mulutnya. Berkali-kali ia menghela nafas panjang. Ia duduk bersandar pada tembok di tempat favoritnya, menatap kosong ke arah langit. Kenapa rasanya menyakitkan??
---
Chinen memandang bayangannya di cermin, mengusap bibirnya pelan. Sudah berhari-hari yang lalu, tapi masih terasa sentuhan bibir lembut Daiki disana.
Ia terus berpikir dan berpikir, hingga ia tak berani bertemu dengan Daiki. Berkali-kali ia sengaja menghindar. Perasaan tak jelas itu semakin menjadi jika ia melihat Daiki dan mengingat setiap kebaikan, juga ciumannya. Chinen ingin meyakinkan dirinya. Apa ini memang saatnya ia merasakan hal lain pada seseorang? Ciuman pertama itu jelas tak akan terjadi kalau saja Chinen menolaknya, tapi waktu itu ia tak menolak. Ia membiarkannya.
"Koi ka?" gumam Chinen pada bayangannya sendiri. Tak ada yang menjawab. Hanya hati kecilnya di dalam sana yang mengiyakan.
Chinen tersenyum pada bayangannya. Ia sudah yakin dengan perasaan dan apa yang akan ia lakukan. Berhari-hari menghindari Daiki juga bukan sesuatu yang mudah. Ia sudah cukup.
Chinen membuka pintu atap sekolah, mengumpulkan keberaniannya sebelum menuju tempat favorit Daiki. Ada seseorang disana.. juga asap.
Chinen terpaku melihat Daiki yang tengah merokok.
Daiki balas melihat ke arahnya, dan jelas terkejut..
Mereka terdiam beberapa detik saling menatap. Daiki coba menguasai dirinya, pura-pura acuh dengan keberadaan Chinen.
"Ada apa kau kemari?" tanyanya dingin.
"Mencarimu"
"Oh jadi sekarang kau sedang ada perlu denganku?" sindir Daiki, lalu menghisap rokoknya, acuh.
Chinen sadar Daiki agak marah padanya. Ia memilih tak menanggapi.
"Kau merokok?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Uhm. Kau baru tahu ya? Aku ini suka sekali merokok, aku berandalan. Aku yakin kau tak mau berurusan dengan berandalan" kata Daiki menyebalkan. Ia bicara tanpa melihat pada Chinen. Padahal ia tak mau seperti itu, tapi rasa kecewanya sudah menumpuk selama beberapa hari ini.
Chinen mengerutkan keningnya, dan lebih mendekat ke arah Daiki.
"Jadi ini maksudmu tentang berandalan dan dewan murid yang kau tanyakan?" pertanyaan Chinen cukup menembak Daiki. Ia tak mau menjawab dan memilih mengalihkan pandangannya ke tempat lain. "Kau tidak seperti berandalan" tambah Chinen pula. Daiki meliriknya dan agak tak terima dengan perkataan Chinen.
"Kau ingat orang-orang yang mengejar kita dulu? Mereka itu temanku, tapi karena ada masalah mereka dendam padaku" cerita Daiki akhirnya, ia menambahkan nada bangga di suaranya. Tapi tak berpengaruh pada Chinen yang masih memandangnya datar.
"Orang sepertimu tidak cocok jadi berandalan. Lihat mukamu yang lucu itu.. Sangat tidak mungkin" kata Chinen, jujur. Daiki melihat lagi ke arah lain kata-kata Chinen terlalu mengenainya. "Kau juga bersuara seperti perempuan saat kesakitan. Kau pikir itu berandalan?"
"Cukup! Kau kemari hanya mau mengataiku?!" Daiki berdiri dari duduknya dan menatap Chinen lekat. Sebenarnya ia malu, bukan benar-benar marah.
"Berhentilah menganggap dirimu berandalan. Kau sama sekali tidak seperti mereka" kata Chinen, tetap tenang. Mereka saling menatap. Daiki menghela nafas, mengalihkan pandangannya, tak tahu harus berkata apa lagi. Dari tadi Chinen mematahkan setiap pernyataan nya. Ia memang kesal, tapi tidak berarti ia jadi membenci Chinen. Kekecewaan nya kemarin sebenarnya sudah hilang sejak tadi melihat Chinen berdiri disana.
"Daiki-kun.." Chinen berkata lagi. Daiki melihat ke arahnya sambil mengisap rokoknya, ia sudah tak merasakan sesuatu lagi di rokok itu jadi ia menjatuhkannya dan menginjaknya. "Aku menyukaimu" perkataan Chinen selanjutnya membuat Daiki menghentikan kakinya yang asik menghancurkan rokok tadi. Ia terdiam, tak berani langsung memandang Chinen lagi.
Ia tidak sedang berhalusinasi kan? pikirnya.
"Aku menyukaimu" Chinen mengulangnya lagi dan terdengar seperti nyanyian surga di telinga Daiki. Ia merasa menahan nafasnya sesaat, perlahan ia mengangkat wajahnya dan memandang Chinen. Anak itu terlihat serius. Tapi Daiki belum bisa mengatakan apapun, ia masih terlena. "Aku perlu waktu selama beberapa hari ini untuk meyakinkan diriku" tambah Chinen lagi.
"S-Sokka" hanya itu yang bisa dikatakan Daiki. Ia terlalu senang sampai ia merasa jantungnya ingin meloncat keluar, seluruh tubuhnya bergetar. Kalau saja akal sehatnya sudah tak bisa ia kendalikan, mungkin sekarang ia sudah memeluk Chinen erat-erat lalu menciumnya tanpa henti..
"Gomen, mungkin aku terlalu banyak bicara. Mungkin kau merasa muak mendengarnya. Tapi aku hanya ingin mengatakannya.. Sejak kau menciumku waktu itu, membuatku semakin mengerti" Chinen masih berkata panjang lebar. Daiki langsung menguasai dirinya. Ia tak boleh diam saja atau Chinen akan salah paham padanya.
"Aku tak percaya-"
"Aku tahu, kau tak akan mau mempercayainya" sela Chinen dan menundukkan kepalanya.
"Bukan itu maksudku.." Daiki balas menyela. "Aku tak percaya kau punya perasaan yang sama denganku"
Mata mereka bertemu lagi. Kali ini Chinen yang merasakan degupan-degupan kencang di dada dan nadinya. Ia ingin berkata untuk meyakinkan, takut telinganya salah mendengar.
Tapi ia tak sempat karena Daiki tiba-tiba sudah memeluknya. Ia menemukan wajahnya terbenam di pundak laki-laki itu. Tangan Daiki melingkar di pinggangnya dengan posesif. Chinen tak perlu menunggu otaknya berpikir, ia langsung memeluk balik, mencengkram seragam Daiki. "Mungkin aku sudah menyukaimu jauh sebelum kau menyukaiku" gumam Daiki lagi, terdengar berbisik di telinga Chinen. Ia tak bisa menahan senyumnya.
"Arigato" bisik Chinen.
"Untuk apa?" Daiki mengerutkan keningnya.
"Untuk menerima perasaanku" kata Chinen.
Daiki merenggangkan pelukan mereka, dan menatap wajah manis di hadapannya. Ia menggeleng.
"Seharusnya aku yang mengatakan lebih dulu.. suki da yo" katanya. "Suki suki suki suki suki suki su-"
Jari Chinen yang menempel di bibirnya, membuat Daiki menghentikan pengulangan kata yang ia lakukan.
"Wakatteru" bisik Chinen dan tersenyum dengan rona merah di kedua pipi nya.
Daiki mempererat pelukan dan mendekatkan wajahnya. Ia ingin menunjukkan betapa ia bahagia saat ini.
"Boleh aku menciummu?" tanya Daiki sesaat sebelum bibir mereka bertemu. Chinen hanya tersenyum dan memejamkan matanya. Daiki pun tak menyia-nyiakan itu
Ciuman pertama adalah kecelakaan, ciuman kedua dan seterusnya adalah dari hati..
Chinen merasakan sekali maksud ungkapan itu. Ciuman pertamanya waktu itu memang masih membuatnya shock jadi ia tak begitu merespon. Tapi di ciuman kedua, ia sudah lebih siap walau ciuman mereka tetap tak lebih daripada sebuah innocent kiss. Entah Daiki memang tak mau menunjukkannya atau karena sadar partnernya hanya seorang amatir jadi harus memulai dengan perlahan. Chinen jadi berpikir, ia harus lebih baik nanti. Ia tak mau mengecewakan Daiki..
Tanpa sadar Chinen menggigiti sumpit yang sedang dipakainya, memikirkan hal itu membuatnya malu. Sekarang pipinya pasti sudah memerah.
"Apa ada yang lucu di makananmu, Yuuri?" suara Kei menyentakkan Chinen yang entah sejak kapan sudah tersenyum sendiri.
"Iie.." Chinen menggeleng dan tak berani memandang kakaknya itu. Ia pura-pura sibuk dengan makan malamnya.
"Tampaknya kau sedang senang" tambah Hikaru pula. Chinen melihat pada mereka sekilas, tersenyum gugup.
"Betsuni" katanya. Ia sangat belum siap untuk bercerita banyak pada mereka.
"Ne, aku tiba-tiba ingat senpaimu yang waktu itu.." lanjut Hikaru lagi. Chinen terhenyak diam-diam, ia berusaha mengendalikan dirinya. "Dia tidak menganggumu lagi kan?" Lagi, Chinen menggelengkan kepalanya.
Bukan hanya mengganggu, tapi juga sudah mencuri.. pikir Chinen.
"Bagus. Dia akan berhadapan denganku kalau berani macam-macam padamu" kata Hikaru terdengar mengancam.
"Sou da, denganku juga. Jadi kau tak perlu takut pada senpai macam itu" timpal Kei.
Chinen menghela nafasnya pelan. Sikap protektif kedua kakaknya ini menjadi salah satu faktor kenapa ia tak mau bercerita banyak pada mereka. Ia tak ada pilihan lagi selain menyembunyikan dulu hubungannya dengan Daiki. Ia masih tak bisa membayangkan reaksi kedua kakaknya jika mereka tahu..
---
Yuuto masih saja tertawa setelah Daiki bercerita. Ia tak maksud menertawakan, tapi justru takjub dengan yang terjadi pada Daiki dan Chinen.
"Sugeee Dai-chan.." pujinya. Daiki tersenyum puas.
"Tapi kami hanya bisa bertemu di atap dan tak bisa pulang bersama" keluh Daiki.
"Tentu saja. Dia itu dewan murid. Akan sangat beresiko kalau orang-orang tahu dia berhubungan dengan seorang senpai" sahut Yuuto, Daiki membenarkan. Ia juga sadar dengan hal itu jadi ia memang tak bisa berharap banyak. "Tapi kalian akan baik-baik saja" tambah Yuuto sambil menepuk bahunya. Lalu mereka berpisah disana, Daiki bergabung dengan teman-temannya.
Chinen nyaris melamun sambil melihat ke jalanan di dekat gerbang sekolahnya, seperti biasa menunggu jemputan. Ia mengingat lagi obrolannya dengan Yamada. Sahabatnya itu bisa melihat sesuatu yang lain dari dirinya. Ia yang lebih berbinar-binar dan senyum yang beda dari biasanya. Yamada bilang, ia terlihat sedang berada di dunia yang dipenuhi bunga. Chinen tak mengerti bagaimana Yamada bisa tahu, mungkin karena sahabatnya itu sudah banyak pengalaman. Tapi Chinen tak menyangkalnya, jatuh cinta itu memang sangat menyenangkan.
Lagi, ia tersenyum-senyum sendiri disana. Apalagi begitu ia mengingat lagi saat makan siang bersama Daiki tadi..
Tiba-tiba ada sekelompok orang yang nyaris menubruk Chinen. Mereka berjalan sambil bercanda dan tertawa sampai tak menyadari sekeliling. Dari seragamnya Chinen bisa melihat mereka adalah para senpai. Salah satu dari mereka adalah orang yang ia kenal dan baru saja ia pikirkan.
"Warui" Daiki mewakili teman-temannya meminta maaf lalu terkejut begitu melihat siapa orang di hadapannya. Mereka saling menatap dan tersenyum gugup. Ada teman-teman Daiki disana, jadi lebih baik mereka pura-pura tak kenal.
Chinen hanya menganggukkan kepalanya, dan Daiki ditarik lagi teman-temannya untuk meneruskan berjalan. Chinen terus pura-pura melihat ke jalan walau ia tahu Daiki masih melihat ke arahnya. Hingga beberapa detik kemudian, Chinen merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana. Ia mengambilnya dan membaca sebuah mail baru.
From : Daiki-kun
Aku akan meneleponmu nanti malam.
Senyuman Chinen yang tadi sempat terinterupsi, sekarang terkembang lebar. Orang itu benar-benar manis.. pikirnya.
---
"Yuya, ohisashiburi" Kei memeluk teman lamanya yang datang ke rumah Chinen malam itu. Hikaru juga memeluknya, mereka terlihat seperti teman yang lama tak bertemu. Hanya Chinen yang terpana melihat mereka. Ia tahu laki-laki tinggi berambut ikal pirang itu. Dulu mereka juga sering bermain bersama. Tapi itu dulu saat ia masih kecil, dan Takaki yang dulu pun tak se-kakkoi ini.
"Yuuri ne?" Takaki bertanya, sambil menghampirinya. Chinen mengangguk sekaligus membungkukkan badannya. "Tampan.. aku sudah menduga kau akan jadi setampan ini" Takaki merangkul Chinen tanpa canggung. "Kau masih ingat aku, kan?"
"Hai, Yuya-kun" Chinen tersenyum.
"Ah yappa kawaii" Takaki memujinya lagi.
"Oi oi, jangan coba merayunya" Kei menyela mereka. Takaki tertawa. Chinen pun tak menganggap serius. Ia lebih menunggu ponselnya berbunyi.
Yuuto memainkan permen lolipop di mulutnya sambil mengamati Yamada yang tersenyum-senyum mengamati foto masa lalunya yang tak pernah ia duga dimiliki Yuuto sebanyak itu.
"Kau suka?"
"Kau gila" Yamada menoleh pada kekasihnya itu dan tertawa lucu. "Kau seperti stalker" komentarnya pula. Ia nyaris tak percaya melihat foto-foto yang sebagian besar diambil saat ia sedang tak sadar.
"Aku suka melihatmu yang seperti itu" kata Yuuto.
Yamada melihat lagi padanya.
"Sou.. jadi kau tak suka aku yang sekarang?" tuduhnya, dan menatap datar di balik kacamatanya. Yuuto tersenyum lalu bergerak ke belakang Yamada, menyimpan kedua tangannya di sisi kanan kiri pagar balkon, membuat Yamada terjebak di tengahnya.
"Aku suka kau yang manapun" bisik Yuuto. Yamada balas tersenyum, dan berbalik hingga menghadap Yuuto. Punggungnya bersandar di pagar balkon seolah membuat jarak. Kedua tangannya menyentuh dada Yuuto dibalik kemejanya.
"Kau tahu, aku pikir kita perlu sedikit melakukannya" kata Yamada tiba-tiba, mata indahnya menatap Yuuto dengan berani dan tampak menyiratkan sesuatu. Yuuto tak pernah melihat ia seperti ini sebelumnya.
"Apa maksudmu dengan sedikit melakukannya?"
Yamada tak menjawab, malah mengambil permen lolipop di mulut Yuuto dan memasukkan ke mulutnya dengan sangat menggoda. Yuuto tertawa kecil melihatnya. Ia merasakan dadanya berdegup dan menangkap maksud Yamada.
"Jangan menggodaku" katanya, walau ia berharap agar Yamada tak berhenti.
"Kau tergoda?" Yamada membuang permen itu lalu melepas kacamatanya sambil berjalan melewati Yuuto masuk ke kamarnya.
"Chotto!" Yuuto sangat tidak puas dan tak mau menghentikannya begitu saja. Ia menarik tangan Yamada hingga orang itu masuk ke pelukannya dan menciumnya tanpa harus banyak bicara lagi. Surprise, karena Yamada meresponnya dengan cepat seolah ia memang menunggu ini dari tadi. Ciuman mereka meningkat dengan lebih cepat daripada biasanya. Tangan Yamada begitu liar di pundaknya, mencari-cari celah agar bisa menyentuh kulit di balik kemejanya. Yuuto tersenyum diantara ciuman mereka. Tampaknya Yamada sedang sangat menginginkannya.. Yuuto mendesak tubuh Yamada hingga menyentuh meja belajarnya, tanpa berpikir panjang ia mengangkat tubuh Yamada dan mendudukannya di meja, terdengar bunyi berderit. Ciuman mereka tak terinterupsi sedikitpun dan semakin mudah setelah Yamada duduk disana.
Yamada sedang berusaha membuka kemejanya saat ia merasakan sesuatu bergetar di dalam celananya, membuat mereka mengeluh..
"..apa itu..?" tanya Yamada setelah mereka melepas ciuman dengan terpaksa.
"P-ponsel ku.." jawab Yuuto. Nafas mereka masih kurang teratur. Yamada mendecakkan lidahnya. Yuuto tersenyum, ia tahu memang mengesalkan harus diinterupsi disaat seperti ini. "Chotto ne" Yuuto mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Daiki muncul di sana. Jarang sekali orang itu menghubunginya, pasti ada sesuatu.
"Doushita Dai-chan?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Yuuri tak mengangkat teleponku" jawab Daiki dengan nada lesu di suaranya.
"Eh?" Yuuto agak bingung. Ia melirik Yamada yang sedang memperhatikannya.
"Yea. Dia seperti tak mau menjawab teleponku"
"Mungkin dia sedang sibuk. Jangan berpikir yang buruk-buruk dulu" Yuuto menenangkan Daiki dan Yamada mengerutkan kening, bertanya 'ada apa' dengan ekspresi di wajahnya. Yuuto memintanya menunggu.
"Aku tahu, tapi perasaanku tidak enak. Bagaimana kalau ternyata dia berubah pikiran?"
"Oi.. Sudahlah, aku yakin tidak ada apa-apa. Kau temui dia besok"
Daiki menghela nafas berat.
"Wakatta. Warui na, sudah mengganggumu" katanya. Dan ia pun menutup teleponnya. Yuuto memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku celana.
"Siapa?" tanya Yamada.
"Dai-chan"
"Siapa dia?"
"Temanku, dia seorang senpai"
"Oh, yang dulu kau bilang suka merokok itu?"
"Kau masih ingat rupanya" Yuuto tertawa, takjub.
"Ada apa dengannya?"
"Ehm dia.. ada sedikit masalah dengan pacarnya"
Yamada terus memandangnya, menunggu Yuuto melanjutkan. "Dia.. berpacaran dengan Chinen"
"EH?!" Yuuto sudah menduga Yamada akan bereaksi seperti itu. "Benarkah? pantas sejak kemarin aku melihatnya lebih berbinar-binar" gumam Yamada pula. Yuuto tersenyum. "Tapi kau bilang mereka sedang ada masalah?"
"Bukan masalah besar, hanya sedikit kekhawatiran" Yuuto mengangkat bahu nya.
"Apa yang terjadi? Aku sangat mengenal Chinen, mungkin aku bisa membantunya"
"Mereka bisa menyelesaikannya" kata Yuuto yakin.
"Tapi siapa tahu aku-"
"Ssh. Kau juga sedang ada masalah denganku, Yamada Ryosuke-kun" Yuuto menghentikannya dengan berbisik di bibir Yamada. Jarinya mengusap bibir mungil itu. "Jangan bilang kau sudah tak mood melanjutkannya" tambah Yuuto. Yamada tersenyum dan melingkarkan lagi lengannya di pundak Yuuto.
"Aku memang sudah tak mood" bisiknya. Yuuto mengeluh pelan. Yamada tertawa kecil, lalu memeluknya. Mengusap rambut halus Yuuto dan mengecupnya. Yuuto menggerakkan hidungnya di antara leher dan pundak Yamada.
"Mmh.. mood ku sudah kembali" gumam Yamada pelan. Yuuto tersenyum puas.
Chinen berlari di koridor kelas 3 begitu ia tiba di sekolah, mencari kelas Daiki. Memang bodoh, mereka sudah meresmikan hubungan hampir sejak seminggu yang lalu tapi Chinen tak pernah tahu dimana kelas Daiki. Ia mengamati isi kelas satu persatu, tak peduli dengan pandangan heran para senpai. Akhirnya ia menemukan Daiki yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. Chinen harus segera bertindak atau kejadian tadi malam akan jadi salah paham yang membahayakan.
"Ano.." mereka menoleh begitu mendengar suara Chinen, termasuk Daiki yang tampak terkejut. "A-Arioka senpai, bisa kita bicara?" kata Chinen memberanikan diri. Teman-teman Daiki seketika jadi ribut, menggodainya. Mereka takjub melihat kouhai manis yang memakai pin anggota dewan murid di kerah seragamnya itu, ingin bicara dengan Daiki.
"Kau pasti sengaja ya membuat masalah? Aku juga mau kalau ditangani dewan murid semanis ini" kata salah satu temannya dan mereka tertawa-tawa. Chinen agak tak nyaman dengan situasi itu, tapi ia harus bertahan.
"Urusai omaera" sahut Daiki balas meledek mereka. "Ikou" ia menarik tangan Chinen menjauh dari sana diiringi dengan kehebohan di belakang mereka.
"Ada apa?" Daiki dan sikap dinginnya seperti yang sudah Chinen duga. Mereka sudah berada di tempat yang agak sepi.
"Go-gomen na soal tadi malam. Ada teman lama kakakku datang, jadi kami mengobrol sampai aku lupa mengecek ponselku" jelas Chinen, menundukkan wajahnya, takut Daiki tak percaya.
"Benarkah begitu?" Daiki bertanya dan ia cepat mengangkat wajahnya.
"Benar! Gomen na"
"Teman lama itu.. orang penting?"
"Tidak, hanya sudah lama sekali tak bertemu"
Daiki menganggukkan kepalanya.
"Kau.. memaafkanku?"
"Aku takut sekali tadi malam. Aku takut kau berubah pikiran" Daiki mengaku. Chinen merasa tak enak mendengarnya. "Tenang saja, aku sudah lega sekarang" tambah Daiki pula, lalu menepuk pundak Chinen sambil berjalan melewatinya. Tapi Chinen tak membiarkan begitu saja. Ia menarik tangan Daiki, membuat orang itu berbalik lagi.. Dan sebuah kecupan lembut pun mendarat di pipinya.
"Gomen na" ulang Chinen lagi. Daiki yang terpana menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ii yo"
Chinen tersenyum dan menundukkan lagi wajahnya.
"Arigato" gumamnya pula.
Daiki menyentuh dagunya, membuat ia kembali harus menatap wajah tampan di hadapannya.
"Bagaimana kalau kita kencan sepulang sekolah nanti?" ajak Daiki tiba-tiba.
"Eh?"
"Onegai"
Chinen pun mengangguk. Ia harus mencari alasan pada kedua kakaknya nanti.
Ini kencan pertama mereka setelah beberapa hari bersama. Meski Chinen harus berbohong pada kakak-kakaknya agar ia diperbolehkan untuk pulang agak terlambat.
"Kita kemana?" tanya Daiki setelah mereka turun dari bus dan berjalan di kota. Hari itu tak seperti biasanya cuaca agak mendung, tapi mereka tetap bersemangat untuk melakukan kencan yang menyenangkan.
"Taman bermain?" usul Chinen.
"Ii ne" Daiki langsung menyetujuinya.
Mereka sedang menuju kesana ketika ada segerombolan gadis yang menghadang mereka. Gadis-gadis liar dari sebuah sekolah. Daiki mengenal mereka, begitu juga sebaliknya.
"Dai-chan.. hisashiburi~" mereka menyapanya dengan nada genit yang memuakkan.
"Ah kalian" Daiki menyapa balik.
"Kami tak pernah melihatmu lagi.. kau sudah punya barang baru yang manis rupanya" kata salah satu dari mereka yang di duga ketua nya. Ia menatap tajam pada Chinen yang terpaksa harus bersembunyi di balik tubuh Daiki. Chinen paling benci perempuan-perempuan seperti ini, juga takut. Ada trauma tersendiri di benaknya. Memang payah tapi ia memang tak bisa berbuat apapun.
"Sejak kapan kau jadi suka benda manis seperti itu? kau bilang, kau suka gadis kuat sepertiku"
Daiki tertawa datar. Ia tak ingat pernah mengatakan itu, kalaupun iya mungkin saat itu ia sedang bercanda.
"Sudah tidak lagi" katanya.
"Tapi dia laki-laki. Apa kau sudah gila?!"
"Tapi dia lebih manis daripada kalian" sahut Daiki, yakin.
"Menjijikan sekali!" gadis itu berusaha mengambil tangan Chinen, tapi Daiki cepat menghadangnya.
"Jangan sentuh dia!" bentaknya. Gadis itu tertawa sinis.
"Kau benar-benar sudah gila, huh?!"
"Bukan urusanmu. Minggirlah, kami mau lewat!" Daiki memerintah dengan kesal. Ia memegang tangan Chinen, dan Chinen memegangnya balik dengan sangat erat. Ia merasa jadi pengecut, tapi ia tak bisa melakukan apapun. Ia hanya berjalan mengikuti Daiki. Gadis-gadis itu akhirnya membiarkan mereka lewat, dengan tatapan membunuh di matanya.
"Arioka!" suara seseorang yang lebih berat, menghentikan mereka. Apa lagi ini!? gerutu Daiki. Mereka berbalik dan menemukan 3 laki-laki mengerikan yang waktu itu mengejar mereka. Daiki mengeluh terganggu.
"Kalian lagi.." katanya.
"Urusan kita belum selesai"
"Baiklah, apa mau kalian? uang? aku akan memberikan, tapi jangan ganggu aku lagi selamanya"
Orang-orang itu tertawa.
"Bagus. Tapi biarkan kami sedikit mencicipi juga anak manis yang kau bawa itu" pinta mereka. Daiki menatap mereka marah.
"JANGAN SEMBARANGAN!"
Reflek, ia menyerang.
Mereka berkelahi, tapi sekarang lebih beruntung di pihak Daiki, entah kenapa. Ia beberapa kali bisa menghindari mereka. Chinen hanya memperhatikan dengan khawatir, ia ingin menolong tapi ia tak yakin.
Tiba-tiba hujan turun, perkelahian berhenti dengan sendirinya.
"Kita lanjutkan kapan-kapan!" kata Daiki yang langsung menarik Chinen, membawanya berlari menembus hujan yang semakin deras. Orang-orang itu meneriaki mereka, tapi Daiki tak peduli. Ia malas harus berkelahi di tengah hujan.
Mereka berhenti di sebuah gang yang sepi untuk berteduh.
"Kuso!" gerutu Daiki sambil mengibaskan jaket seragamnya. Ia nyaris lupa ada Chinen disana.
"Daijobu ka, Daiki-kun?" tanyanya. Daiki menoleh dan tersenyum gugup sambil menggelengkan kepalanya.
"Gome, aku sudah merusak kencan kita" ia mengalihkan lagi pandangannya ke arah hujan, tak berani menatap Chinen lama-lama. Malu rasanya.
"Bukan salahmu. Mereka yang salah" kata Chinen. Daiki terdiam sesaat.
"Aku selalu menyusahkanmu" gumamnya, nyaris tak terdengar. Tapi Chinen bisa mendengarnya.
"Aku tahu kau akan selalu melindungiku" sahutnya. Membuat Daiki semakin tak sanggup menoleh. Cuaca sangat dingin, tapi ia merasakan hangat di pipinya. Ia sedang berpikir untuk merespon bagaimana, saat di dengarnya suara bersin Chinen. Ia cepat menoleh.
"Daijobu?" tanyanya. Ia sudah tak malu-malu lagi, takut kekasihnya itu sakit.
"Uhm, daijobu da" Chinen tersenyum. Bibirnya agak bergetar, kedinginan. Daiki melepas jaketnya dan memberikannya pada Chinen.
"Pakai ini"
"Ii yo. Aku tidak apa-apa" Chinen menolak.
"Pakai saja" Daiki melemparkannya, membuat Chinen menangkap itu daripada terjatuh ke tembok.
"Tapi nanti kau-"
"Aku lebih kuat darimu" potong Daiki. Chinen tak ada pilihan lain. Ia memakai jaket Daiki di atas jaketnya. Dilihatnya Daiki memeluk dirinya sendiri, hanya memakai kemeja seragam yang cukup basah.
"Daiki-kun.." panggil Chinen. Daiki menoleh lagi. "Kenapa kau berdiri disitu? Kochi" pinta Chinen, memprotes Daiki yang berdiri cukup jauh dari tempatnya.
"Ah.." Daiki mengangguk, dengan agak gugup ia menghampiri Chinen, berdiri di sampingnya yang bersandar ke tembok.
"Lebih hangat, bukan?" tanya Chinen. Daiki mengangguk lagi. Mereka saling melempar senyum, lalu terjebak dalam keheningan. Hanya suara hujan yang memenuhi suasana. Chinen mengamati Daiki diam-diam. Menatap wajahnya dari samping, butiran air hujan tampak menetes dari ujung rambut ke dahinya. Darah Chinen berdesir, ia berpikir yang tidak-tidak..
Chinen menggeleng-gelengkan kepalanya. Berani sekali ia berpikir seperti itu! Sambil menenangkan dirinya, Chinen menurunkan tubuhnya dan duduk di tembok. Daiki melihat ke arahnya, lalu ikut duduk disampingnya.
"Kau pasti sangat kedinginan" katanya sambil meraih tangan Chinen dan menggenggamnya memberikan kehangatan.
"K-Kau juga kedinginan.." ia merasa darahnya semakin cepat berdesir.
"Uhm. Dengan begini jadi lebih hangat" Daiki tersenyum sambil terus menggenggam tangan Chinen yang merasakan hangat juga di pipinya. Ia menggigit bibirnya pelan, berpikir lagi hal yang tak mau ia pikirkan. Matanya menatap ke arah tangan mereka, lebih baik daripada harus bertatapan dengan Daiki. Ia bisa hilang kendali.
Tanpa sadar, Daiki memperhatikan Chinen. Wajah tenang seperti malaikat itu sangat menggugahnya. Setiap jengkal di wajah Chinen selalu memabukannya. Apalagi di situasi seperti ini..
Cuaca yang teramat dingin ternyata memang berdampak pada hormon seseorang. Bagaimana kalau ia tak bisa mengendalikan diri? Walaupun mereka sudah resmi bersama, tapi bukan berarti ia harus meminta Chinen untuk mau melakukan sesuatu dengannya, bukan? Lagipula masih 1 minggu dan Chinen baru pertama kali ini menjalin suatu hubungan.. Daiki pun baru pertama kali menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Rasanya sama saja, membuat ia berdebar dan berusaha mengendalikan diri.
Tiba-tiba Chinen menyandarkan kepala ke bahunya, Daiki agak terhenyak tapi kemudian membetulkan posisinya agar Chinen merasa lebih nyaman. Salah satu tangannya mendekap pundak Chinen.
"Begini lebih hangat lagi" gumam Chinen. Daiki balas bergumam, mengiyakan. Mereka terdiam lagi, keheningan sekarang lebih baik karena tubuh mereka yang saling merapat satu sama lain.
Chinen agak mengangkat wajahnya memandang Daiki dari samping bawah. Otaknya memerintah dengan cepat, sedetik kemudian ia telah mengecup leher senpainya itu. Daiki terkejut, ia menoleh, tapi Chinen tak berhenti. Kecupannya naik ke dagu Daiki, ke pipinya, ke ujung bibirnya.. Daiki membiarkannya hingga Chinen berhenti sendiri dan mereka pun saling menatap. Mereka tak perlu kata-kata. Daiki segera menyentuh dagu Chinen lalu mempertemukan bibir mereka. Keduanya terpejam dengan otomatis, seolah memang ini sudah mereka nantikan dari tadi. Tak ada lagi innocent kiss, untuk pertama kalinya Chinen merasakan ciuman orang dewasa. Lidah Daiki menjilat bibir Chinen, membuat anak itu membuka mulutnya menerima ciuman yang lebih dalam dan hangat.
"Ahh..mmhh" Chinen tak bisa menahan desahan nafasnya saat bibir Daiki turun ke lehernya. Ia mencengkram kemeja Daiki dan meremas rambut basahnya.
Mereka sudah sangat terbawa suasana hingga Daiki merasakan ada desakan dari tangan Chinen yang menyentuh belakang kepalanya. Kekasih kecilnya itu menginginkan yang lebih. Jaket seragam yang dipakai Chinen telah terlepas dan sekarang tangannya mulai menyusup ke bagian depan kemeja Daiki, ingin membuka kancingnya dan menyingkirkannya juga. Daiki terhipnotis mendengar suara-suara yang dikeluarkan Chinen juga mendengar namanya yang beberapa kali disebut Chinen seperti itu. Tanpa sadar ia membantu Chinen membukakan kemejanya hingga tangan lembut kekasihnya itu bisa memeluk Daiki di dalam kemejanya. Sentuhannya bergetar tapi tampak tak mau melepaskan. Mungkin sensasi pertama kali yang dirasakannya terlalu menguasai. Daiki pun meraba-raba pinggang ramping Chinen hingga nyaris ke tulang pinggulnya untuk semakin ke bawah, dan mendengar keluhan lembut Chinen juga nafas berat mereka yang berbaur dengan bunyi hujan. Ia berpindah ke sisi lainnya dan sempat melihat bagaimana ekspresi Chinen yang begitu menikmati setiap sentuhan. Seketika Daiki berhenti. Ia mendadak tak bisa melanjutkannya. Ia tak pernah berpikir melakukan sejauh ini dengan Chinen. Perlahan Daiki melepaskan dirinya dari pelukan Chinen. Kekasihnya itu membuka mata, merasa kosong setelah Daiki menghentikan sentuhannya. Mereka saling menatap, masih ada hasrat di tatapan keduanya. Tapi Daiki berusaha menahan. Ini bukan waktu yang tepat, bukan tempat yang tepat. Ia tak mau yang pertama untuk mereka terjadi begitu saja hanya karena terjebak suasana. Apalagi di tempat yang jelas tak nyaman seperti ini.
"Daiki-kun.." panggil Chinen pelan, tapi membuyarkan segala macam pikiran di benaknya. Ia mengulas senyuman. "Apa yang kau pikirkan?"
"Iie, betsuni" Daiki beranjak dari posisinya yang membuat Chinen terdesak dan nyaris berbaring. Daiki berdiri dan mendekati ujung gang untuk mengecek hujan sambil merapikan kemejanya. Chinen pun ikut berdiri dan merapikan dirinya. Ia mengambil jaket mereka yang berantakan dan kotor disana. Lalu menatap Daiki yang berdiri membelakanginya. Ada sesuatu yang terasa menyesakkan dadanya. Tadi Daiki berhenti begitu saja dan Chinen jadi merasa dirinya terlalu berlebihan. Mungkin itu membuat Daiki muak.
"Ne, hujannya sudah berhenti. Aku akan mengantarmu pulang" ajak Daiki. Chinen hanya mengangguk, dan terus menunduk.
Mereka berjalan menyusuri trotoar menuju halte di tengah gerimis. Hujan nya tampak akan terus turun, daripada nanti hujan nya membesar lagi mereka pun memilih pulang sekarang.
"Gome, kau pulang dengan keadaan seperti ini" kata Daiki membuka percakapan setelah mereka cukup lama berjalan tanpa bicara.
"Ii yo. Mereka akan mengerti kalau kita kehujanan" kata Chinen. Daiki menganggukkan kepalanya puas. Mereka kembali tak banyak bicara, entah kenapa rasanya jadi sedikit canggung. Mungkin masih gara-gara kejadian tadi.
Mereka tak sadar ada sebuah mobil yang mundur dan mendekati mereka.
"Yuuri?" keduanya menoleh bersamaan. Chinen terkejut melihat orang disana.
"Yuya-kun" katanya. Takaki tersenyum dan menyuruh mereka naik. Daiki yang tampak bingung jadi menurut saja untuk ikut menumpang.
"Domo. Aku Takaki Yuya" tanpa ditanya, Takaki langsung mengenalkan diri pada Daiki.
"Ah domo. Aku Arioka Daiki" sahut Daiki yang balas melihat ke arah kaca kecil diatas kepala Takaki.
"D-dia senpaiku" Chinen menyela.
"Sokka" Takaki tersenyum sambil serius melihat ke jalan. "Sedang apa kalian disini?" tanyanya pula.
"Kami-"
"Mencari buku. Daiki-senpai membantuku mencarikan buku" Chinen menyela lagi. Daiki hanya mengerutkan kening memperhatikan Chinen yang duduk di kursi penumpang depan, lalu melihat ke arah Takaki. Rasanya ada yang aneh. Perasaannya agak tak enak.
Akhirnya Daiki memang lebih banyak diam menyimak mereka yang mengobrol dan tertawa berdua. Daiki menghela nafas, tapi mereka seperti tak peduli.
"Aku berhenti di depan situ" kata Daiki tiba-tiba.
"Ah disini?" Takaki menepikan mobilnya.
"Hai" jawab Daiki. Chinen agak terkejut karena ia tahu tempat ini masih cukup jauh dari rumah Daiki. Ia ingin bertanya tapi Daiki sudah lebih dulu turun.
"Sankyu. Jaa ne" katanya. Takaki yang menyahut. Daiki tak mengatakan apapun lagi pada Chinen. Ia hanya bisa melihat Daiki yang berjalan disana seolah bukan siapa-siapa. Chinen mengutuki dirinya sendiri yang sudah bersikap kekanakan. Ia sebenarnya tak bermaksud mengacuhkan Daiki.
"Dia sepertinya senpai yang baik" komentar Takaki.
"Sangat baik" Chinen cepat membenarkan.
"Sou. Aku harap kau tidak menganggap dia lebih daripada seorang senpai"
Chinen menoleh, mencari maksud perkataan Takaki. Laki-laki itu malah tertawa. "Aku menyukaimu. Tidak salah kan kalau aku berharap kau tidak punya pacar atau menyukai seseorang!?" lanjutnya, membuat Chinen berpikir. Orang ini sedang mengaku padanya? Masaka?!
"Tadaima" Chinen membuka pintu dan masuk ke rumahnya diikuti oleh Takaki.
"Okaeri.. ah, kenapa seragam mu?" sahut Hikaru yang sedang membuat makan malam.
"Hujan" jawab Yuuri singkat, sambil berjalan melewati Hikaru menuju kamarnya. Ia belum merespon pengakuan Takaki tadi. Ia tak yakin. Mungkin saja Takaki sedang bercanda dengannya.
Kedua kakaknya langsung ramai menyapa Takaki dan mulai mengobrol, menanyakan kenapa Takaki dan Chinen bisa datang bersamaan. Chinen lelah, dia memilih untuk mandi dan beristirahat saja.
"Yuuri, kau pergi dengan senpai mu yang waktu itu?" tanya Hikaru, membuat Chinen berhenti di depan pintu kamarnya.
"Namanya Arioka" sambung Takaki.
"Dia menyuruh-nyuruhmu lagi?" timpal Kei.
"Katanya dia mengantar Yuuri membeli buku" Lagi, Takaki yang menjawab. Chinen menggerutu dalam hati. Jadi ia hanya menganggukkan kepalanya dan berbalik lagi menuju kamarnya.
"Yuuri, aku serius soal yang tadi" Takaki berkata lagi, membuat Chinen kembali berbalik dengan perlahan.
"Soal apa Yuya?" tanya Hikaru ingin tahu.
Chinen mencoba menutupi kekagetannya. Ia mengeluh dalam hati, tak menyangka orang itu ternyata memang serius.
"Aku meminta Yuuri jadi pacarku, ii ka na?" jelas Takaki pada kedua kakak Chinen dengan nada tenang di suaranya.
"EH?!" kedua kakak Chinen nyaris melonjak begitu mendengarnya. Chinen sebenarnya sama, tapi ia tak menunjukkannya. Bahkan ia tak habis pikir apa maksud Takaki.
"Aku serius, ingin berpacaran dengan Yuuri. Ii ka?" Takaki mengulang untuk menegaskan.
"Jangan bercanda" kata Kei.
"Aku serius!"
Kei dan Hikaru saling memandang. Mereka sebenarnya masih tak rela kalau adik kecil mereka satu-satunya berpacaran.. "Aku akan melindungi dia, menjaganya. Aku janji pada kalian" lanjut Takaki lagi, membuat Chinen semakin tak bisa bicara. Hanya gerutuan-gerutuan yang muncul di benaknya. Ia berharap kedua kakaknya menentang, tapi mereka tampak terpana mendengar perkataan Takaki. Yabai.
"Kau sudah berkata langsung padanya?" tanya Hikaru, menunjuk Chinen.
"Sudah.." Takaki menoleh pada Chinen dan tersenyum, "Tenang saja.. aku tak meminta jawabanmu sekarang. Kau boleh menjawabnya besok atau besoknya. Tapi jangan terlalu lama" tambah Takaki.
Chinen mengulas senyuman juga, tak bisa berkata apapun. Ia memandang kedua kakaknya dan agak kesal. Kemana sikap over protektif mereka!? Apa karena Takaki teman mereka?! Chinen tiba-tiba teringat Daiki.
"Aku mau mandi" katanya, tak mau lama-lama disana.
Pikirannya jadi dipenuhi Daiki.
Daiki memperhatikan dengan datar ketika di lihatnya Chinen keluar dari mobil yang ia tahu bukan mobil kakaknya seperti biasa. Itu mobil laki-laki bernama Takaki yang kemarin memberi mereka tumpangan. Perasaan tak enak menyergap Daiki lagi, ia bisa merasakan ada yang tak beres tapi Chinen belum berkata apapun padanya.
Daiki menghela nafas dan memilih pergi dari tempat favoritnya itu, dimana ia bisa mencegat Chinen lalu berjalan bersama menuju kelas. Ia tak mau melakukannya hari ini, ia tidak marah hanya.. agak tidak nyaman.
Chinen mengedarkan pandangannya mencari sosok Daiki, tapi tak ada. Ia menggigit bibirnya pelan, khawatir. Tampaknya Daiki memang sedang marah padanya. Chinen memikirkan cara untuk meminta maaf sambil berjalan sendiri ke kelasnya. Ia pun berpikir tentang pengakuan Takaki kemarin, ia tak tahu harus mengatakannya pada Daiki atau tidak. Semuanya terasa rumit untuk Chinen, perjalanan cinta pertamanya yang baru saja dimulai, kenapa harus sudah mengalami masalah? Padahal kemarin mereka nyaris menuju level paling tinggi untuk hubungan mereka, tapi kenapa sekarang..?
Chinen masih terlalu baru untuk hal seperti ini, ia takut tak bisa melewatinya.
---
"Sokka.." Yuuto mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memasukan brokoli ke mulutnya. Ia sedang membantu Daiki memakan bento yang tadi dibawakan Chinen sambil mendengarkan cerita senpai nya itu. "Mereka memang sibuk. Aku juga tak bisa makan siang dengan Yama-chan" tambahnya.
"Tapi bukan itu masalahnya, Yuuto" Daiki memandang serius dan nyaris tak bernafsu untuk makan. Ia memikirkan tentang laki-laki tadi dan perasaan tak enaknya.
"Lalu apa?"
"Yuuri menyembunyikan sesuatu dariku. Tadi saat mengantarkan ini dan berkata dia tak bisa menemaniku karena harus rapat, dia tak berani melihat mataku" jelas Daiki.
"Mungkin kau membuat dia takut belakangan ini"
"Apa maksudmu?" Daiki mengerutkan keningnya. Yuuto malah mengangkat kedua bahu nya, santai.
"Kau harus mencari tahu kalau begitu. Lakukan yang kira-kiranya kau pikir bisa menuntaskan rasa penasaranmu" saran Yuuto. Daiki termangu sebentar, mencerna dan akhirnya setuju dengan saran Yuuto. Itu mungkin bisa membantunya.
"Ne, aku lihat kau dan Yamada selalu baik-baik saja" Daiki mengganti topik dan mulai memakan bento nya lagi.
"Begitulah. Akhir-akhir ini dia memang sibuk, tapi kami selalu bisa menyesuaikan waktu. Walau kami memang belum sempat kencan diluar"
"Hmm, yakimochi na.." komentar Daiki.
Mereka tertawa bersama.
Laki-laki bernama Takaki itu berdiri di gerbang sekolah. Daiki tahu apa yang ia lakukan, pasti menunggu Chinen untuk pulang bersama. Tapi hari ini Chinen harus rapat seusai sekolah, dan Daiki bisa menduga kalau orang itu tidak tahu. Mungkin aku harus menyuruhnya pergi, pikir Daiki. Ia pun berjalan menghampiri Takaki lalu berdehem untuk memulai pembicaraan.
"Ou, Arioka-kun" sapa Takaki yang rupanya masih sangat ingat pada Daiki.
Daiki hanya menganggukkan kepalanya membalas sapaan Takaki.
"Yuuri tampaknya lama sekali" kata Takaki pula.
"Dia ada rapat dewan murid"
"Ah sou"
"Dia mungkin akan pulang malam" tambah Daiki lagi.
"Kalau begitu aku akan menunggunya" gumam Takaki.
"Gome, sebenarnya kau ini teman Chinen atau..?" Daiki mencoba mencari tahu.
"Aku teman kecil kakak Yuuri, juga tetangga mereka saat dulu aku masih disini. Aku sering menjagai Yuuri saat dia kecil dulu" jelas Takaki.
Daiki mengangguk dan agak iritasi dengan nada suara serta senyum yang dipamerkan Takaki. Seperti penuh kemenangan. "Ohya, karena kau teman baiknya, aku akan memberitahumu sesuatu" sambung Takaki.
"Apa?" Daiki sebenarnya tak begitu tertarik. Kenapa ia harus mengobrol lama-lama dengan orang ini?
"Aku juga adalah.. calon pacar Yuuri" kata Takaki dengan senyum senang di wajahnya. Pipinya pun agak memerah.
Berbeda dengan Daiki yang tiba-tiba menegang, nyaris tak percaya dengan apa yang ia dengar. Perasaan tak enaknya selama ini, terjawab sudah. Ia pun berusaha mengendalikan diri agar tidak mengayunkan tinju ke arah laki-laki itu. "Aku sudah mengaku padanya dan sedang menunggu dia memberiku jawaban" tambah Takaki yang membuat Daiki harus mengepalkan jari tangannya kuat-kuat. Menunggu? Kenapa Chinen harus membiarkan orang ini menunggu? Kenapa tidak secepatnya mengatakan tidak!? Sekarang Chinen jadi tampak memberikan harapan padanya.
Daiki menghela nafas perlahan. Diakuinya ia agak kecewa sekarang.
"Doakan aku, ne!" Takaki menepuk pundak Daiki, seolah mereka sudah berteman akrab. Rasanya Daiki ingin memegang tangan itu dan memelintirnya. Sampai kapan pun ia tak akan pernah sudi mendoakan orang ini. Daiki bersumpah tak akan membiarkan Chinen jatuh ke pelukan orang lain. Apalagi orang seperti ini!
"Sou. Aku harus pulang" kata Daiki dengan respon seadanya, ia benar tak mau berlama-lama atau Takaki akan mendapat memar di seluruh wajah tampannya. Takaki tak sempat menyahut, Daiki sudah berlalu dengan gerutuan di benaknya. Ini tak boleh dibiarkan!
Yuuto sudah memasuki banyak toko buku untuk mencari sebuah buku yang sangat di inginkan Yamada. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia ingin sekali memberi kejutan pada pacarnya itu. Ia sadar kalau dirinya dan buku, bukanlah sebuah kombinasi yang baik. Ia akan cepat mengantuk dengan hanya memegangnya saja. Memang payah. Sedangkan sekarang ia harus mencari-cari sebuah judul dari ratusan bahkan ribuan buku disana. Walau sempat mengeluh beberapa kali, tapi ia tak menyerah. Demi Yamada.
"Ada yang bisa kubantu?" suara lembut seseorang menyentakkan Yuuto. Ia menoleh dan melihat seorang laki-laki tampan sekaligus cantik sedang berdiri disana. Melihat dari pakaiannya, Yuuto tahu ia pegawai di toko itu. Dan walau badannya lebih pendek beberapa sentimeter, tapi Yuuto juga tahu laki-laki ini pasti lebih tua 2-3 tahun darinya.
"Ah yea, aku mencari buku dengan judul ini" Yuuto menunjukkan judul yang sudah ia catat di notes nya.
"Oh itu. Sebelah sini" ia mengajak Yuuto ke sisi lain dan langsung menemukannya dengan cekatan.
"Ah.. arigato" Yuuto puas begitu buku itu ada di tangannya. Tadi berjam-jam ia keluar masuk toko buku dan tak menemukannya, tolol sekali. Yuuto tengah membayar ketika melihat laki-laki pegawai tadi sudah mengganti pakaiannya dan tampak akan pergi. Ia berpamitan pada bos nya lalu keluar dengan terburu-buru. Yuuto tak berpikir banyak hanya kagum melihat orang itu. Terlihat dewasa dan pintar..
Yuuto menyusuri trotoar menuju halte. Sudah cukup malam. Ia melirik jam tangannya, pukul 7. Tadi ia benar-benar menghabiskan waktunya begitu saja. Kalau tak ada kakak baik hati tadi mungkin ia malah akan pulang dengan sia-sia.
Yuuto berhenti saat mendengar suara terbatuk-batuk. Ia menolehkan kepalanya ke segala arah, agak sepi. Hanya jalanan yang ramai oleh kendaraan, tapi di sekelilingnya tidak begitu banyak orang. Yuuto menggelengkan kepalanya dan memilih tak ambil pusing. Tapi ia berhenti ketika matanya tak sengaja menangkap seseorang yang sedang bersandar di sebuah bangku taman. Ia terbatuk-batuk dan Yuuto pun jadi ingin tahu. Perlahan ia menghampirinya, mengamati. Entah kenapa ia tak takut, ia justru merasa harus menolongnya.
"Daijobu ka?" tanya Yuuto, memegang pundak orang itu. Orang itu melihat ke arahnya dengan mata setengah terbuka. Wajahnya merah, dan ada aroma alkohol. Ia mabuk. Tapi yang membuat Yuuto terkejut adalah, ia tahu orang itu! Baru beberapa jam yang lalu mereka bertemu. Pegawai toko buku yang baik hati itu.. ini takdir.
Perlahan, Yuuto menidurkan orang itu di ranjang yang ada disana. Mereka berada di sebuah penginapan kecil. Tadi orang itu meminta Yuuto mengantarnya kesana.
"Gomen na, aku merepotkanmu"kata orang itu dengan suara yang terdengar malas. Ia mabuk, tapi masih bisa menyadari keadaannya.
"Ii yo" sahut Yuuto singkat. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya berdiri di sisi ranjang, mengamati orang itu yang tampak tertidur. Orang itu benar-benar menarik, Yuuto sampai tak sadar kalau dadanya berdebar cepat. Dia laki-laki, Yuuto! ada yang berteriak di benaknya. Bukankah ia merasakan debaran seperti itu hanya pada Yamada? tidak untuk laki-laki lain, hanya Yamada!? Yuuto menenangkan dirinya. Ia mungkin sudah tersihir oleh kelembutan yang terpancar dari orang ini, sejak ia membantunya menemukan buku tadi.. Apakah ini, cinta pada pandangan pertama?! Tidak mungkin!!
"Ne, kau masih disitu?"
"H-hai?" Yuuto menyahut dengan kaget. Ia melihat orang itu berbicara padanya dengan mata terpejam. Rupanya ia belum tidur.
"Bantu aku melepas jaketku" pintanya. Yuuto mendekat lagi dengan salah tingkah. Ia membantu orang itu untuk sedikit bangun agar memudahkan ia melepas jaketnya. Saat itulah orang itu membuka matanya dan mereka saling memandang beberapa lama.
"Kau orang yang tadi membeli buku.." katanya, membuat Yuuto agak terkejut. Dalam keadaan mabuk seperti ini, ia masih ingat. Yuuto membantunya untuk bersandar pada bantal. "Gome, aku mabuk. Tadi ada pesta dengan teman-temanku dan mereka membuat aku mabuk" ceritanya pula. Ia agak tertawa kecil, pipi kemerahannya makin tampak. Malah membuatnya semakin manis. Kuso, gerutu Yuuto yang merasa gugup dan tak tahu harus bagaimana. "Namaku Kei, kau?" orang itu mengulurkan tangan. Yuuto menyambutnya.
"Yuu-Yuuto" ia menyebutkan nama depan karena orang itu juga hanya menyebut nama depannya.
"Yuuto.. nama yang bagus" komentar Kei. Ia mencoba bangun dari posisi tidurnya dan duduk berhadapan dengan Yuuto yang masih mematung disana. Tersenyum gugup mendengar pujian Kei. "Kau murid sekolah" Kei menyentuh kemeja seragamnya, walau tadi ia sudah melepas dasi dan jaketnya tapi tetap terlihat. Tangan Kei menyentuh kerah hingga ke pundaknya. Halus. "Tapi kau pasti murid yang nakal, ne?" kali ini mata mereka bertemu. Membuat Yuuto serasa menahan nafas. Kenapa suasana jadi tampak berat dan tegang seperti ini.. juga sedikit panas.
"K-kau bisa melihatnya?"
Kei tersenyum, lalu menyentuh pipi Yuuto.
"Tentu saja" bisiknya.
Nafas yang hangat dan bau alkohol menyentuh wajah Yuuto. Sensual sekali. Membuat anak yang baru berusia 17 tahun itu harus tak memikirkan apapun selain wajah manis di hadapannya, mata yang indah, hidung yang sempurna, bibir yang menggoda.. Ia tak pernah mengamati laki-laki lain sedetil ini sebelumnya, hanya Yamada. Tapi dimana Yamada sekarang? Yuuto sedang tak mengingatnya, apalagi saat bibir mereka bersentuhan. Mereka berciuman seperti sepasang kekasih. Tak ada ciuman ragu-ragu di awal, semua terjadi dengan cepat dan mudah. Yuuto merasakan alkohol dari lidah Kei, ia memang belum pernah minum karena masih di bawah umur. Tapi ia bisa tahu rasa aneh yang menjalar di mulutnya dan lama-lama akan memabukannya juga. Ia sudah sering melakukan hal gila dan bodoh dalam hidupnya, tapi ia merasa ini yang paling gila. Berciuman dengan orang asing yang baru ia kenal, hingga ia melupakan semuanya. Melupakan Yamada-nya.. dan kehilangan akal sehatnya.
---
Yamada beranjak dari meja belajarnya begitu melihat kamar Yuuto yang menyala. Sudah pukul 8 lewat, dan ia baru pulang. Yamada ingin tahu darimana saja pacarnya itu.
"Yuuto!" panggilnya agak berbisik. "Nakajima!" ia memanggil lagi karena tak ada sahutan. Akhirnya ia mengambil kertas dan meremasnya membuat bola-bola, melemparkannya ke jendela Yuuto. Ia melempar bola kertas kedua saat Yuuto membuka jendelanya. Bola kertas itu mengenai dadanya.
"Ah gomen!" Yamada langsung meminta maaf. Yuuto hanya tersenyum, dan berjalan menghampiri ujung balkon. "Kenapa kau baru pulang?" tanya Yamada.
Yuuto mendadak terkesiap. Ia jadi ingat lagi apa yang sudah ia lakukan tadi. Tiba-tiba ia gugup dan tak bisa menatap wajah Yamada.
"Ne?" kata Yamada lagi.
"A-ano.. aku membeli sesuatu. Chotto" beruntung Yuuto bisa mengendalikan dirinya. Ia mengambil buku yang ia beli dan menunjukkannya pada Yamada.
"Jaa jaan!"
"Eh?!" seru Yamada, senang sekali melihat benda yang sangat ia inginkan itu. "Kau membelinya?"
"Um. Untukmu" Yuuto mengulurkan tangannya untuk memberikan buku itu.
"Hontou ni?!" Yamada tampak tak percaya. Mata indahnya berbinar-binar memandang Yuuto yang sangat senang juga melihatnya. Tapi ia tetap tak bisa menghapus rasa bersalahnya. Kenapa buku itu jadi terasa seperti semacam suapan? Tidak! Yuuto berteriak di benaknya.
"Yuuto"
"Mm?" Yuuto memandang Yamada. Pacarnya itu tersenyum sambil agak menggigit bibirnya.
"E..tto, aku mau tidur denganmu malam ini" katanya pelan. Yuuto terpana. Ia senang tapi tak menentu.
Daiki menggeleng-gelengkan kepalanya setelah Yuuto selesai bercerita.
"kau tak akan mengatakan apapun pada Yamada?" tanya Daiki.
"Aku takut" Yuuto membenamkan wajahnya diantara lipatan tangannya. Daiki tertawa kecil, ia malah teringat pada Chinen. Mungkinkah Chinen tak mengatakan soal Takaki karena takut juga? Tapi ia tak melakukan hal separah Yuuto kan? Atau.. Daiki mendadak panik dengan pikirannya sendiri.
"Aku memang salah. Aku membiarkannya malah menyambutnya. Aku tak sadar" kata Yuuto yang tak henti menyalahkan dirinya. "Dia meminta maaf setelah kami berciuman, setelah aku membuat tanda di lehernya.."
Daiki hanya bisa mendengarkan dengan takut-takut. Tanda? Mungkin ia juga harus mengecek di leher Yuuri, siapa tahu..
"Apa yang harus aku lakukan, Dai-chan?" Yuuto mengangkat wajahnya dan memandang Daiki lesu. "Semalam, aku tidur dengan Yamada. Aku memeluknya, tapi pikiranku tak bisa lepas dari orang itu"
"Kau menyukainya" Daiki membuat pertanyaan yang seperti pernyataan, membuat Yuuto tak bisa menyahut apapun dan hanya mengerang pelan. Ia menutupi wajah dengan telapak tangannya. Depresi. Baru saja kemarin Daiki merasa iri karena hubungan Yuuto dan Yamada yang selalu baik-baik saja, sekarang tiba-tiba seperti ini. Daiki menarik lagi kata-kata irinya.
"Jujurlah pada Yamada. Mungkin itu bisa menenangkanmu" saran Daiki akhirnya. Yuuto berpikir dan membayangkan dirinya berkata jujur pada Yamada kalau ia sudah mengkhianatinya karena berciuman dan bermesraan dengan orang lain. Juga membuat tanda di tubuh orang lain, padahal Yamada sendiripun belum pernah ia tandai. Manusia macam apa aku!? teriak Yuuto dalam hati. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Dan Daiki hanya menghela nafas. Ia juga sedang dalam masalahnya sendiri.
---
Daiki mengamati rumah Chinen. Ada mobil Takaki yang ia tahu, dan pemiliknya pun ada disana sedang mengobrol dengan salah satu kakak Chinen. Daiki memutuskan hingga orang itu pergi, baru ia akan kesana.
Beberapa menit kemudian, Takaki pergi dan Hikaru bermaksud kembali masuk ke rumahnya. Daiki pun segera muncul.
"Ano.." katanya, membuat Hikaru menoleh lagi dan mengerutkan keningnya melihat Daiki.
"Omae" ujarnya. Daiki membungkukkan badan.
"Konbanwa. Aku mau menjemput Chinen untuk pergi ke perpustakaan" kata Daiki mengumpulkan keberaniannya.
"Perpustakaan?" ulang Hikaru. Daiki mengangguk. Ia mengarang agar Chinen di izinkan untuk pergi dengannya.
Hikaru masuk dan memanggil Chinen yang terkejut begitu melihat Daiki.
"Daiki-kun?" kata Chinen tak percaya melihat kekasihnya ada disana.
"Yo Chinen, kau sudah siap? Kita akan ke perpustakaan kan malam ini?" sapa Daiki se-kasual mungkin.
"Eh?" Chinen tampak bingung beberapa saat. Ia memandang Daiki, meminta penjelasan tapi laki-laki itu tetap dengan ekspresi biasanya. Chinen menoleh dan ada Hikaru disana nyaris memandang mereka curiga.
"Aaah.. iya. Aku sudah siap" kata Chinen akhirnya ikut berakting.
"Jadi kalian benar akan ke perpustakaan?" tanya Hikaru. Chinen mengangguk cepat.
"Jaa Hikaru. Nanti sampaikan pada Kei-chan, ne?"
"Tunggu. Kau harus kembali sebelum makan malam"
"Hai, wakatta"
Chinen pun pergi dengan Daiki walau dengan banyak pertanyaan di benaknya.
Hikaru memperhatikan adiknya dan Daiki, ia merasa ada yang aneh. Tadi Takaki datang untuk mengajak Chinen pergi tapi ditolaknya.. hanya demi menemani senpai nya itu ke perpustakaan? Pasti ada sesuatu, pikir Hikaru. Ia harus menyelidikinya.
---
"Kau benar-benar mengajakku ke perpustakaan" kata Chinen agak berbisik, setelah Daiki kembali ke tempat duduk mereka dan menyimpan beberapa buah buku di meja.
"Aku memang ingin ke perpustakaan"
"Aku pikir itu hanya alasan agar kau bisa mengajakku keluar" kata Chinen, agak terdengar nada kecewa di suaranya. Itu juga.. gumam Daiki dalam hati.
"Aku harus belajar untuk ujian nanti" sahut Daiki sambil mulai membuka-buka salah satu buku. Beberapa detik kemudian, ia sudah tenggelam serius dengan buku nya. Chinen termangu, melihat ke sekeliling sampai matanya berhenti di wajah Daiki, lama. Ia tersenyum sendiri tanpa sadar. Daiki selalu terlihat keren di matanya dan memandangnya dalam jarak sedekat ini, memang sangat menyenangkan.
"Jangan melihatku seperti itu, aku tidak bisa konsentrasi" kata Daiki tiba-tiba. Chinen terhenyak dan pura-pura melihat ke arah lain.
"A-aku tidak.." elak Chinen cepat. Daiki menoleh dan melihat Chinen yang sedang mengedarkan pandangannya, seolah disana memang banyak yang menarik. Daiki terus memperhatikannya, hingga sekali lagi mata Chinen berhenti di wajahnya. Mereka saling menatap.
"Kau menyebalkan" kata Chinen akhirnya, memecah keheningan diantara mereka. Daiki hanya tersenyum tipis dan kembali pada bukunya. Chinen mengerutkan keningnya. Ia pun memilih beranjak dari sana, menuju rak buku mencari yang menarik daripada ia duduk disana dan di acuhkan oleh Daiki yang mendadak serius.
Chinen sedang asik melihat-lihat, ketika sepasang lengan tiba-tiba saja memeluknya dari belakang.
"Aku benar-benar tak bisa konsentrasi" sebuah suara yang sangat familiar berbisik di telinga Chinen. Ia agak terhenyak, tapi tak bergerak sedikitpun.
"Da-Daiki kun.." bisiknya pula tanpa menoleh. Ia merasakan kecupan-kecupan disekitar leher dan pundaknya.
"Mm?" gumam Daiki sambil terus menempelkan hidungnya di leher Chinen lalu naik ke dagunya, pipinya, telinganya. Pelukannya pun terasa semakin erat. Punggung Chinen bersandar nyaman di dada Daiki.
"Apa yang kau lakukan?" bisik Chinen lagi. Daiki tak menjawab, hanya terus melancarkan kecupan-kecupan di sisi wajah kekasihnya itu. Chinen heran karena tadi jelas-jelas Daiki mengacuhkannya, tapi sekarang tiba-tiba jadi semesra ini. Diakuinya, ia senang juga.
Chinen memejamkan matanya ketika kecupan Daiki kembali di lehernya. Ia menghela nafas dan menggigit bibirnya pelan. Tanpa berpikir lagi, ia menolehkan wajahnya ke samping dimana Daiki berada. Ia mencari wajah Daiki, hingga bibir mereka pun bertemu. Mereka berciuman beberapa saat dengan posisi seperti itu sampai Chinen merasa agak pegal. Ia akhirnya merenggangkan pelukan Daiki dan berbalik. Lengannya melingkar di pundak Daiki, sementara Daiki memeluk pinggangnya dengan posesif. Mereka berciuman lagi, nyaris tak peduli dengan sekitar. Mereka berada di salah satu jalur diantara rak buku di sebuah perpustakaan umum. Disana memang sepi, tapi bukan berarti tidak akan ada orang yang datang.
Hikaru berdiri di ujung jalur dengan mata yang melebar. Ia tak mungkin salah melihat, disana adiknya dan laki-laki yang sering ia bilang hanya seorang senpai, tengah berciuman tanpa mempedulikan sekelilingnya. Hikaru merasa ingin kesana dan menarik pergi adiknya tapi ia bisa melihat memang ada sesuatu diantara mereka. Ia pun memilih untuk pergi dan akan menanyai adiknya nanti.
Chinen melepas ciuman mereka perlahan, ketika ia merasakan telapak tangan Daiki yang hangat mulai menyentuh kulit di balik kausnya. Wajah Chinen memerah, nafasnya tak beraturan. Ia sedikit menahan Daiki.
"..Tidak disini, Daiki-kun" bisiknya.
"Tidak ada siapapun disini" Daiki balas berbisik.
"Tapi bagaimana kalau ada orang yang datang?"
"Baiklah, kalau begitu kita ke tempatku. Disana tak akan ada yang mengganggu kita" kata Daiki dengan senyum penuh arti di bibirnya.
"Eh?" Wajah Chinen makin menghangat.
"Kita masih punya waktu setengah jam. Kau tak mau berhenti begitu saja kan?"
Daiki memeluknya lagi, menciumi lehernya. Chinen hanya bisa tersenyum dan menyerah tanpa kata.
Chinen terdiam begitu ia menutup pintu kamar Daiki di belakangnya. Kamar yang cukup besar dengan gaya anak muda sekarang. Daiki duduk di ranjangnya, menunggu Chinen yang malah tampak takjub dengan keadaan kamarnya. Mata Chinen yang beredar berhenti pada Daiki yang sedang balik mengamatinya. Ia mendadak semakin kaku.
"Kau sedang apa disitu?" Daiki tertawa kecil, "Kochi ne"
Chinen tersenyum gugup dan perlahan ia menghampiri Daiki, berdiri tepat di hadapannya. Daiki tersenyum, menikmati wajah tegang Chinen yang terlihat lucu.
"Dulu kau tak seperti ini saat kita terjebak hujan dan berteduh di gang. Malah kau yang memulai-"
"Sshh" Chinen memotong dengan menyuruhnya diam. Ia malu mengingat saat-saat itu. Daiki tertawa lagi, lalu menarik tangan Chinen agar lebih mendekat. Dengan cepat ia memeluk dan menyandarkan kepalanya di perut Chinen, mengusap-usapkan wajahnya disana.
Chinen gugup sekaligus menyukainya. Ia menyimpan tangannya di kepala Daiki, menyentuh rambutnya.
Daiki tersenyum lagi dan mengangkat wajahnya untuk memandang Chinen. Mata mereka bertemu.
"Naiklah" pinta Daiki dan menarik Chinen lagi, hingga ia duduk di pangkuannya. Kedua tangan Chinen memegang pundak Daiki, sementara pinggangnya masih dipeluk dengan erat.
"A-apa yang--"
"Apapun" Daiki menyela perkataan Chinen. Dan tanpa perlu banyak bicara lagi, mereka mulai berciuman. Semakin meningkat hingga Daiki terdesak dan sengaja berbaring di ranjang bersama dengan Chinen di atasnya. Mereka berhenti untuk mengambil udara.
"Daiki-kun.." kata Chinen, setelah mereka menormalkan nafas mereka.
"Mm?"
"Orang bernama Takaki itu.. dia menyukaiku" Tiba-tiba Chinen ingin sekali mengatakannya. Ia merasa bersalah karena sudah menutupi.
"Aku sudah tahu" sahut Daiki dan tersenyum kecut.
"Eh?" Chinen terkejut. Ia agak merenggangkan tubuhnya dari Daiki. "Kenapa kau tak bilang padaku?"
"Aku ingin tahu sampai kapan kau akan menyembunyikannya dariku" jawab Daiki tenang. Chinen jadi tak enak. Ia memang salah karena tak segera memberitahu Daiki.
"Aku sangat ingin mengatakannya. Aku ingin kau membantuku, tapi aku takut" gumam Chinen dan menundukkan kepalanya, menatap dada Daiki.
Daiki tersenyum dan menyentuh kepalanya.
"Aku mengerti" katanya, membuat Chinen mengangkat lagi wajahnya dan menemukan senyuman lembut Daiki. Ia tersentuh, kekasihnya ini memang orang yang baik. "Tapi, tunggu.." Daiki membalik posisi hingga Chinen berada di bawah. Ia mengangkat kaus Chinen, mencari sesuatu. Chinen jadi panik.
"Eh? Apa?!" Chinen bertanya kaget, karena Daiki mengamati setiap jengkal di kulit leher hingga ke dada dan perutnya.
"Tanda. Aku mencari tanda"
"Tanda apa?"
"Tanda yang mungkin ditinggalkan orang itu padamu"
"Hah? Kau gila!" Chinen mendorong Daiki dan duduk sambil menatap tajam pada kekasihnya itu. "Kau pikir aku melakukan apa dengannya?!"
"Saa.." Daiki mengangkat bahunya main-main, membuat Chinen kesal lalu melancarkan tepukan lembut di kepalanya. Daiki pura-pura kesakitan.
"Baka! Aku tak akan melakukan itu dengan orang lain. Kau jangan meremehkanku!" kata Chinen marah sekali. Daiki tersenyum lalu membuat Chinen berbaring lagi di bawahnya. Chinen terkejut tapi tak sempat menghindar.
"Bagaimana kalau kau melakukannya denganku?" tanya Daiki dengan senyum pervert di wajahnya. Chinen masih kesal, jadi berusaha melepaskan diri tapi sia-sia.
"Kau menyebalkan, Daiki Arioka" katanya.
"Sou da" ujar Daiki tenang.
"Lepaskan aku!"
"Tidak mau"
Mereka saling menatap beberapa lama. Hingga Chinen tersenyum kecut, lalu menarik wajah Daiki dan membenamkan wajahnya di leher laki-laki yang lebih tua itu. Daiki tak sempat menghindar karena Chinen sudah menggigit kulit lehernya pelan, membuat ia mengeluarkan suara seperti keluhan.
"Yuuri-" katanya, dan mengeluh lagi ketika ia merasakan jilatan dan kecupan lembut di tempat yang sama. "Kau ini.." katanya begitu Chinen selesai dan tersenyum puas padanya.
"Aku membuatkan yang bagus untukmu" kata Chinen dengan senyuman malaikatnya.
"Darimana kau belajar melakukan itu?" Daiki agak kaget, karena setahunya Chinen hanya seorang anak polos dan baru kali ini berpacaran.
"Itu sangat mudah, aku tak perlu belajar" jawab Chinen, bangga. Daiki tertawa kecil. "Ne, sekarang buatkan untukku. Nanti kita lihat, apa lebih baik dari buatanku atau tidak" kata Chinen pula.
"Kau menantangku. Aku akan membuat yang banyak di seluruh tubuhmu" sahut Daiki yang langsung membenamkan wajahnya di antara leher dan pundak Chinen. Membuat anak itu terhenyak tapi tetap memiringkan kepalanya untuk memberi akses yang lebih luas. Ia mengusap punggung dan belakang kepala Daiki. Mereka berharap ini tak segera berakhir.
Tapi mendadak Daiki berhenti saat mereka mulai berciuman lagi.
"Kau harus pulang" katanya.
"Nanti saja" gumam Chinen malas. Daiki melihat jam tangannya.
"Tak ada waktu lagi. Aku tak mau kakak-kakak mu tak percaya padaku dan akhirnya kau tak boleh pergi lagi denganku"
"Hai, hai.. wakatta"
Mereka pun terpaksa menyudahinya dulu.
Yuuto tak sadar kakinya sudah membawa ia ke toko buku yang waktu itu. Dimana ada orang asing yang dulu sempat terlibat keintiman dengannya. Yuuto bukan sengaja ingin bertemu dengannya, tapi ia memang tak ada alasan tertentu. Sepulang sekolah ia merasa bosan, tak bertemu dengan Yamada seperti biasanya karena Yamada sibuk dengan urusan dewan murid. Ia berpikir kalau mereka bertemu sekarang, itu pasti karena takdir lagi.
"Yuuto?" seseorang menyapanya, dan begitu menoleh ia tahu kalau perkataan nya tentang takdir memang benar.
"Kei-san.." katanya. Kei tersenyum dan menghampirinya, ia memakai pakaian biasa dan membawa sebuah tas. "Kau mau pergi?" tanya Yuuto pula.
"Um. Shiftku sudah selesai. Aku harus ke universitas ku setengah jam lagi" jawab Kei. Yuuto mengangguk-angguk dan mendapat informasi kalau Kei ternyata seorang mahasiswa, seperti yang sudah ia duga.
"Lalu kau?"
"Ah aku baru pulang dari sekolah, kebetulan lewat disini"
"Sokka. Mau makan eskrim denganku di taman?" ajak Kei tiba-tiba.
"Eh?"
"Tidak apa-apa.." Kei langsung menarik tangannya tanpa menunggu persetujuan dulu. Mereka menuju taman dan memilih tempat yang nyaman setelah Kei membelikan 2 buah eskrim.
"Aku sering seperti ini sambil menunggu waktu kuliahku" cerita Kei.
"Oh.. sendiri?"
"Sendiri"
Yuuto nyaris tak percaya. Orang-orang pasti tak bisa sembarangan dekat dengan laki-laki tampan dan pintar ini.. atau ia memang orang yang senang menyendiri? Tak sadar Yuuto sudah mengamati Kei, dan matanya menangkap titik berwarna merah kebiruan di leher dekat telinganya. Itu tanda yang dulu ia buat.
"Ne.." Kei menoleh ke arahnya membuat Yuuto cepat mengalihkan pandangannya ke tempat lain, ia jadi salah tingkah. "Gomen soal waktu itu" kata Kei lagi.
"Ah daijobu da, kita sudah membicarakannya kan?" sahut Yuuto berusaha tenang. Ia sebenarnya merasa bersalah, sudah mengambil keuntungan pada Kei yang sedang mabuk saat itu. Ia memang payah dalam urusan mengendalikan diri apalagi di situasi macam itu.
"Aku merasa tidak enak, tapi.. aku menikmati ciuman kita" kata Kei jujur, membuat dada Yuuto berdebar liar. Sial! sial! ia mengumpat dalam hati. "Kau pencium yang baik" tambah Kei sambil tersenyum pada Yuuto yang serasa sedang menahan nafasnya. "Gome, kau pasti sudah punya pacar kan? Aku tak berhak berkata seperti ini"
"Tidak.. aku tidak.." Yuuto menyahut tanpa berpikir. Ia terjerumus.
"Kau.. tidak punya pacar?" tanya Kei.
Dan Yuuto pun terjerumus lebih jauh dengan menggelengkan kepalanya.
Pelan, Yuuto menutup pintu kamarnya dan menyandarkan tubuhnya disana. Ia menghela nafas, memejamkan matanya beberapa saat. Ia tak habis pikir dengan dirinya sendiri. Kenapa bisa-bisanya ia terjebak seperti itu? Ia tak mengaku sudah memiliki Yamada. Entahlah tapi ia memang merasa sayang kalau harus melepaskan Kei begitu saja. Hatinya sudah bercabang, benarkah begitu?
Yuuto membuka matanya ketika mendengar sebuah suara dari luar balkonnya. Ia menghampiri dan melihat Yamada sedang tampak repot dengan buku-buku yang berjatuhan dari lemarinya. Yuuto segera keluar mendekati ujung balkon.
"Daijobu ka?" tanya Yuuto agak berteriak.
"Ah Yuuto, kau sudah pulang? Um, daijobu da" sahut Yamada yang mengambil beberapa buah buku, lalu berdiri dan keluar menuju balkonnya juga.
"Kau sedang apa?" tanya Yuuto lagi, khawatir.
"Aku mencari beberapa buku lama untuk kita belajar. Kau ingat kita akan belajar bersama, bukan?" jelas Yamada dengan senyuman di bibir mungilnya. Terus terang sebenarnya Yuuto lupa tapi beruntung ia pulang cepat karena tadi Kei pun harus ke universitasnya, jadi mereka tak bisa lama-lama menghabiskan waktu bersama. Yuuto mengutuki dirinya sendiri, ia sudah mengakui pengkhianatannya secara tak langsung.
"Tentu saja aku ingat. Di kamarku kan? Kau kemarilah, aku akan mandi dulu" kata Yuuto yang masuk lebih dulu, dan Yamada mengikutinya tanpa tahu apa yang ada di pikiran Yuuto-nya sejak kemarin.
Yamada sedang membuka-buka bukunya ketika Yuuto datang sudah selesai mandi dan duduk di hadapannya. Mereka duduk di bawah dengan meja kecil milik Yuuto berada diantara mereka.
Yuuto mengamati buku-buku itu sesaat, lalu melihat ke arah Yamada yang sedang membaca salah satu buku. Yuuto terdiam sebentar mengamatinya, ada yang lain.. dari Yamada. Ia memang tetap manis seperti biasanya, tapi tak ada lagi benda yang menghalangi mata indahnya
"Kau tidak memakai kacamata?" tanya Yuuto penasaran. Yamada mengangkat wajahnya dan tersenyum.
"Aku tak perlu memakainya lagi" katanya.
"Eh?" Yuuto mendekatkan wajahnya memperhatikan mata indah yang selalu menghipnotisnya itu.
"Aku memakai contact lense" kata Yamada.
"Yappari" Yuuto mengangguk-anggukkan kepalanya. Yamada tersenyum.
"Ini akan memudahkanmu, bukan?" tanya Yamada pula. Yuuto memandangnya bingung. "Kau sering bilang kalau kacamataku mengganggu.."
"Ah kau masih ingat itu" Yuuto tertawa kecil. Lalu menatap Yamada. "Jadi kau melakukan ini untukku?"
Yamada mengangguk. Yuuto tak menentu lagi di hatinya.
"Doushita?" tanya Yamada yang sadar kalau Yuuto malah terus memandangnya.
"Ah iie. Arigato na" kata Yuuto yang cepat menepis pikiran-pikiran bersalahnya.
"Kau tak perlu berterima kasih" Yamada tertawa. "Ayo kita mulai belajar" katanya dan kembali fokus pada buku di hadapannya. Yuuto masih terdiam. Ia sangat menyukai Yamada, semua yang dilakukan Yamada, semua yang ada pada diri Yamada.. Yuuto menyukai semuanya. Soal Kei, debaran-debaran terlarang dan pikiran yang terkendali, mungkin itu hanya kesalahan. Ia hanya menyukai Yamada. Hanya Yamada.
"Yuuto?" Yamada mengibaskan tangan di hadapan wajah Yuuto yang tersadar lalu memegang tangan Yamada dan menariknya, bersamaan dengan dirinya yang mendekat. Meja itu tidak terlalu lebar, jadi cukup mudah mendekatkan mereka.
Yamada agak terkejut, tapi ia sudah biasa dengan tindakan tiba-tiba Yuuto.
Yuuto menyentuh dagunya dan Yamada langsung mengantisipasi dengan memejamkan matanya.
"Memang benar lebih mudah, aku tak tak perlu melepas kacamatamu dulu" gumam Yuuto. Yamada tersenyum saja masih sambil memejamkan matanya. Tanpa banyak berkata lagi, Yuuto mengecup bibirnya lembut dan perlahan. Yamada membalasnya dengan senang hati. Ciuman mereka mungkin akan berlanjut kalau saja tidak ada pengganggu yang tiba-tiba masuk ke kamar Yuuto.
"Niichan!" suara teriakan dan pintu yang dibuka, membuat Yuuto dan Yamada cepat menjauhkan diri. Yamada pura-pura membaca buku dengan salah tingkah. Sementara Yuuto mengomel pada adiknya itu.
"Raiya, ketuk dulu pintunya sebelum kau masuk!"
"Gomen" kata Raiya pendek, lalu masuk dan mengambil sesuatu di meja belajar Yuuto. "Salahmu sendiri kenapa tidak mengunci pintunya" tambah Raiya pula sebelum keluar dari sana. Yuuto pura-pura mau mengejarnya, Raiya cepat kabur dengan menutup pintu. Yuuto cepat menguncinya lalu menghela nafas panjang.
"Hampir saja" gumamnya. Ia kembali ke tempatnya tadi, dan memandang Yamada yang kembali serius membaca. Yamada mengangkat wajahnya.
"Ayo kita lanjutkan"
Mata Yuuto berbinar dengan seketika. Ia mendekatkan lagi wajahnya, tapi Yamada menepuk kepalanya dengan buku. Yuuto meringis pelan dan mengusap-usap kepalanya. "Maksudku, kita lanjutkan belajar!" Yamada menegaskan. Yuuto menghembuskan nafasnya malas dan membenamkan wajahnya ke meja. Yamada tertawa, ia mengusap kepala Yuuto pelan.
Yuuto terdiam merasakan sentuhan lembut itu. Ia sadar tak ada yang bisa menandingi Yamada.. tapi kenapa ia masih saja suka melakukan hal bodoh?
"Yuuri.." panggil Hikaru, begitu Chinen duduk di tempatnya dan mulai memakan sarapan yang sudah disiapkan Kei.
"Hai?" Chinen melihat pada kakaknya itu. Tadi malam sepulang ia dari tempat Daiki atau dari perpustakaan- seperti yang kakak nya tahu, Hikaru tak bertanya apapun. Dan sekarang, Chinen merasa ada yang tak beres.
"Sebenarnya ada hubungan apa kau dan orang bernama Arioka itu?" Hikaru bertanya tanpa basa-basi sesuai dengan perasaan tak enak Chinen.
"Eh? Dia senpaiku, kalian sudah tahu itu kan?" Chinen berusaha tidak gugup.
"Benarkah?"
"Apa maksudmu, Hikaru?" sela Kei sembari mengambil cangkir teh nya. Ia agak heran dengan sikap adik pertamanya itu.
"Aku melihat kalian berciuman" kata Hikaru lagi tanpa nada tertentu di suaranya. Sikapnya juga tenang saja. Tapi Chinen jelas membelalakan matanya, shock. Tak menyangka Hikaru akan tahu hal segawat itu. Kei juga tak kalah kaget. Ia nyaris menyemburkan lagi semua teh di mulutnya.
"APA?!" seru Kei. Ia memandang Hikaru dan Yuuri bergantian. "Kau tidak mengada-ada kan, Hikaru?"
"Aku bersumpah aku melihatnya. Kau tanya saja pada adik kita ini" Hikaru meminum tehnya dan menatap Chinen datar. Chinen hanya bisa menundukkan kepalanya tak berani melihat balik pada kedua kakaknya.
"Yuuri.." desis Kei tak percaya. "Apa itu benar?"
Chinen masih tak bisa mengangkat wajahnya. Ia menatap makanan di hadapannya lekat. Yabai.. yabai.. yabai.. Chinen mengulang terus kata-kata itu di benaknya. Ia benar tak tahu harus bagaimana.
"Yuuri, aku sedang bicara padamu" kata Kei lagi dibuat lebih tegas. Chinen berhenti berpikir dan mulai mengangkat wajahnya perlahan. Kedua kakaknya sedang melihat ke arahnya. Mereka tak terlihat marah, tapi tetap mengerikan untuk Chinen.
"Tak perlu mengelak. Aku melihatnya sendiri" kata Hikaru mengingatkan. Akhirnya Chinen hanya bisa mengangguk, tak ada pilihan lain. Hikaru masih dengan ekspresinya sementara Kei tampak menghela nafasnya.
"Sou da" gumam Kei sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Kalian berpacaran?" tanya Hikaru. Sekali lagi Chinen hanya mengangguk, takut-takut. "Sokka. Pantas kau selalu menolak ajakan Yuya" tambah Hikaru lagi.
"Benar juga.. kalau begitu kita tak bisa terus membiarkan Yuya" sahut Kei.
"Berarti kau mengijinkan Yuuri dengan Arioka itu-?" Hikaru menoleh pada Kei.
"Mereka berpacaran bukan? Kita bisa apa lagi?"
"Tapi mereka semua itu laki-laki.."
"Memangnya kenapa kalau laki-laki?"
"Eh?!"
Perkataan Kei otomatis membuat kedua adiknya terpana.
"Kei?" Hikaru memandang kakaknya tak percaya. Chinen pun tak kalah kaget, tapi tak bisa dipungkiri kalau ia merasa lega. Kei sudah pasti akan memihaknya.
"Kenapa? Apa ada yang salah?" Kei berusaha bersikap tenang walau sebenarnya ia panik juga di lihat seperti itu oleh adik-adiknya.
"Kau-?"
"Menyukai seseorang tak mengenal apapun. Kita tak bisa menyalahkan Yuuri" potong Kei, yang beranjak dari tempatnya untuk menyimpan cangkir tehnya ke tempat cuci piring. Hikaru hanya mengerutkan keningnya, dan tak bisa melawan lagi. Ia melirik Chinen yang pura-pura sibuk dengan makanannya. "Kau juga mungkin sudah saatnya mencari seseorang" Kei kembali dan menepuk pundak Hikaru. Adiknya itu hanya diam, masih terlalu shock dengan kenyataan yang ia lihat. Tapi ia memang tak bisa melakukan apa-apa, bagaimanapun mereka adalah saudaranya.
"Oh iya Yuuri.." Kei melihat pada Chinen. "Kapan-kapan kau ajak senpaimu itu makan malam disini"
"Ha-hai" Chinen mengangguk senang. Ia sungguh tak menyangka semua akan jadi selancar ini. Walau reaksi Hikaru tadi belum bisa membuat ia bernafas lega sepenuhnya.
---
"Kau sungguh mengambil resiko, Yuuto" komentar Daiki, lagi hanya mampu menggelengkan kepalanya setelah mendengar cerita Yuuto.
"Aku tahu" gumam Yuuto yang menerawangkan matanya ke arah langit. Ia tak tahu memikirkan apa.
"Kau merasa takut lagi untuk jujur? bukankah ini malah semakin rumit?"
"Entahlah" Yuuto menghela nafasnya. Daiki tak tahu harus menasihati seperti apa lagi. "Kau tidak merasa kesepian, Dai-chan?" tanya Yuuto tiba-tiba.
"Hah?"
"Akhir-akhir ini kau tak bisa menghabiskan waktu dengan Chinen, bukan?"
"Um.. tapi aku tidak merasa kesepian.."
"Sou da. Karena Chinen akan menemuimu sebelum dia sibuk dengan urusan dewan murid, sedangkan Yamada.. aku tak bisa berdekatan dengannya di sekolah" Yuuto bercerita panjang lebar. Daiki langsung menangkap maksud Yuuto. Temannya itu mungkin memang kesepian karena Yamada terlalu sibuk. Mungkin memang ada yang berubah dalam hubungan mereka. Jika sekarang Yuuto melakukan hal se-berbahaya itu, pasti ada sesuatu yang membuatnya jadi berani. Daiki tak mau begitu ikut campur dalam wilayah pribadi mereka, ia hanya terus mengingatkan kalau Yuuto lebih baik berkata jujur.
"Kau belum benar-benar membuat sebuah komitmen dengannya, bukan? Kau masih bisa menarik dirimu lagi" Daiki menepuk pundak Yuuto yang hanya terus diam memikirkan hal yang sama sekali tak ada jalan keluar. Ia sudah lebih dulu menjerumuskan dirinya.
"Ryosuke.." Yamada mengangkat wajahnya dan melihat Nakayama masuk menghampirinya. Ia menyerahkan sebuah berkas yang harus ditanda-tangani oleh Yamada. Tanpa berkata apapun, Yamada hanya menerima berkas itu dan melakukan tugasnya, sementara Nakayama berdiri disana memperhatikannya. Setelah kasus waktu itu hubungan mereka memang agak dingin, walau Nakayama sudah datang padanya secara pribadi dan meminta maaf. Nakayama ternyata memang iri pada Yamada, dan yang lebih aneh lagi orang itupun menyukai Yamada juga. Ia tak suka melihat kedekatan Yamada dan Yuuto. Yamada tak merespon banyak saat itu, ia sungguh tak habis pikir. Ia pun memilih untuk tak begitu dekat lagi dengan orang ini.
"Are? kau tak memakai kacamata mu?" tanya Nakayama yang sadar kalau tak ada lagi benda itu di depan mata indah Yamada.
"Um, contact lense" jawab Yamada singkat.
"Eh??" Nakayama mulai over-acting, ia menunduk untuk memandang wajah Yamada lebih jelas. "Yappari, kau terlihat semakin manis" pujinya. Yamada hanya tersenyum tipis. "Na, Ryosuke.. beri aku satu kesempatan saja!" kata Nakayama lagi, tiba-tiba.
"Huh?" Yamada memandangnya bingung. Tapi ia melihat ekspresi Nakayama begitu serius.
"Satu kesempatan saja untuk.. untuk bisa mengenalmu lebih jauh"
Yamada mendengarnya seperti ajakan kencan, tapi ia memilih pura-pura tak mengerti.
"Apa maksudmu? seingatku kita sudah lama saling mengenal"
"Tidak, maksudku bukan itu.."
"Lalu?" Yamada mengangkat kedua alisnya.
"Kencan" kata Nakayama tegas, seperti yang Yamada duga. Ia memandang wakilnya itu beberapa saat.
"Kenapa kau tiba-tiba sekali-"
"Daisuki desu! aku sudah bilang padamu bukan kalalu aku menyukaimu? aku menyukaimu!" Nakayama memotong kalimat Yamada cepat. Ia berdiri di hadapan Yamada sambil menekan telapak tangannya ke meja. Yamada terus memandangnya, ia tak menyangka ternyata seserius ini. "Ryosuke?" kata Nakayama lagi seperti merengek karena nyaris belum mendapat respon dari Yamada.
"Yuma.. aku-"
"Kau pasti tak percaya kan? aku serius, aku sangat serius!"
"Tidak Yuma, aku.. tak bisa"
"Hah?!"
Yamada memejamkan matanya sesaat, lalu menatap Nakayama lagi.
"Aku tak bisa pergi denganmu"
"Karena Nakajima?" Nakayama tersenyum sinis. "Aku tak mengerti apa yang kau lihat darinya"
"Kau memang tak perlu mengerti. Cukup aku dan Nakajima yang tahu" Yamada membalasnya, agak kesal. Ia mengembalikan berkas tadi pada Nakayama. "Gomen na" katanya lagi.
Nakayama hanya bisa menahan diri, tapi mungkin ia belum menyerah..
"Aku tahu kau pasti datang" Yuuto terhenyak dengan suara di sampingnya. Suara itu memang jadi familiar akhir-akhir ini sejak ia rajin mengunjungi toko buku dimana tempat Kei bekerja part-time.
"Ha-hai" Yuuto tersenyum agak gugup. Selalu begitu setiap ia berhadapan dengan Kei.
"Rasanya aku ingin minum bir malam ini" kata Kei sambil meregangkan otot tubuhnya. "Ne? ikou!" tambahnya pula sambil melihat pada Yuuto yang sudah otomatis menganggukkan kepalanya. Mereka menyusuri trotoar dan berhenti di depan mesin minuman.
"Kau mau sesuatu?" tawar Kei.
"B-bir?"
"Eh? kau masih SMU"
"Tidak boleh?" Yuuto bertanya tapi tatapannya jelas mengharap.
"Hm.. sepertinya tidak akan ada yang tahu.."
"Boleh?"
"Tapi tidak banyak-banyak. Aku juga sebenarnya mulai minum saat seumurmu" Kei pun membeli dua buah kaleng bir. Yuuto tersenyum senang. Ia tahu kalau malam bersama Kei akan menyenangkan.
Mereka duduk di bangku taman yang waktu itu. Yuuto meminum birnya perlahan, terasa aneh di awal tapi lama-lama lidahnya bisa menyesuaikan. Ia melihat pada Kei yang tampak ahli meminum birnya. Untuk kesekian kali Yuuto harus terhipnotis. Hubungannya dengan Yamada memang sedang mengalami masa-masa sulit. Mereka semakin jarang bertemu di sekolah, sedangkan di rumah hanya beberapa jam saja karena Yamada selalu tampak lelah. Kegiatannya sebagai dewan murid, benar-benar berpengaruh pada tubuh dan pikirannya juga. Waktu luangnya otomatis menjadi korban utama. Yuuto harus rela.
"Kei-san?"
"Mm?"
"Aku tidak mabuk, bukan?" tanya Yuuto sambil menunjuk dirinya sendiri. Kei tertawa kecil.
"Wajahmu sudah merah" katanya lalu mengambil kaleng di tangan Yuuto. "Mou ii yo"
Yuuto tak menolak. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran bangku taman. Memejamkan matanya sesaat, kepalanya memang agak pusing.
"Daijobu ka?" tanya Kei. Yuuto mengangguk dan melihat ke arahnya.
"Aku belum biasa" gumam Yuuto. Kei tersenyum.
"Sou da"
Mereka saling memandang beberapa lama, seperti tak mau saling melepaskan.
"Na, Kei-san.." Yuuto mulai bicara lagi, memecah keheningan mereka. Kei mengangkat alisnya memasang wajah penuh tanya. "Kei-san kawaii"
"Hah? Kau ini bicara apa?" Kei tertawa kecil. Ia meminum tegukan bir terakhir dari kalengnya.
"Aku tidak mabuk, jadi aku serius" kata Yuuto dan memandang Kei lebih lekat. Kei tersenyum saja. "Kei-san.. aku.. tertarik padamu" kata Yuuto pula, terdengar serius. Kei melihat padanya.
"Aku tahu" tanpa menunggu lagi, ia mendekat dan mengecup bibir Yuuto. Sebuah perta
Sudah masuk waktu makan siang, seperti biasa Yamada berkutat lagi di ruang dewan murid. Rasanya sudah beberapa hari ini ada yang berbeda. Ia tak sempat lagi makan siang bersama Yuuto atau sekedar menghabiskan waktu bersama. Sejak ia bilang ia akan mulai sibuk, Yuuto tak pernah terlihat lagi muncul di ruangannya. Yuuto mungkin benar-benar tak mau mengganggunya, tapi tentu saja ia jadi merindukan pacarnya itu. Yamada tengah memikirkan Yuuto ketika Nakayama tiba-tiba masuk dengan senyum khasnya.
"Makan siang" kata Nakayama dan menyimpan sebuah mie instan yang sudah di seduh di hadapan Yamada. Ia sendiri mengambil kursi dekat Yamada dan mulai makan. Yamada hanya memperhatikannya, heran. "Kenapa? Ayo makan. Mie nya tidak enak kalau sudah dingin" kata Nakayama lagi yang merasa diperhatikan.
"Kenapa tak biasanya-"
"Kita akan membiasakan ini. Aku akan membawakan makan siang untukmu setiap hari" potong Nakayama sambil tersenyum lebar. Yamada mengerutkan keningnya. Sejak kemarin-kemarin Nakayama sungguh bertingkah aneh.
"Sonna koto janakutte.."
"Apa? kau berharap Nakajima yang datang kemari dan membawakan mu makan siang? Dia tak bisa melakukan itu" kata Nakayama lagi, yakin. Ia merasa hilang kesabaran dengan semua sikap dingin Yamada. "Aku tak bermaksud mempengaruhimu tapi kau harus sadar kalau kau dan Nakajima sangatlah berbeda. Orang sepertimu seharusnya dekat dengan orang yang punya kesibukan sama denganmu" kata Nakayama lagi, panjang lebar. Yamada mengerti arah pembicaraan itu dan ia tak begitu tertarik meski ada beberapa yang dikatakan Nakayama masuk di akalnya. Keadaan dirinya dan Yuuto memang bertentangan. Ia yang sibuk, Yuuto yang bebas. Sepertinya akan lebih baik kalau ia bersama orang yang juga sibuk sepertinya. Mereka bisa bekerjasama, hingga tetap bisa berdekatan walau dalam kondisi bekerja.
Yamada terdiam, menyadari pikirannya malah membenarkan Nakayama.
"Sudahlah Ryosuke, kau terlalu banyak berpikir" Nakayama membuyarkan pikirannya lagi. "Makan saja.."
Yamada tak mengkomplain lagi. Ia mengambil mie nya dan mulai makan bersama Nakayama. Ternyata tak seburuk yang ia duga. Selama waktunya dengan Yuuto belum bisa seperti dulu, mungkin ia harus menikmati waktunya disini dengan partner kerjanya. Walau Nakayama pernah bersikap jahat dan suka memaksakan kehendak, ternyata ia tak seburuk itu. Ia bisa bersikap manis dan cukup membuat Yamada tersenyum.
"Kau memang membutuhkan orang sepertiku"
Tapi tetap Yamada tak mau mengingat itu.
"Makan malam?" Daiki mengulang perkataan Chinen tak percaya. Chinen mengangguk yakin. "Tapi kenapa-" Daiki tak bisa berkata dengan benar. Ia terlalu shock karena senang.
"Mereka sudah tahu dan mereka ingin bertemu denganmu"
"Hontou?" Daiki benar-benar tak menyangka. Hubungannya dengan Chinen ternyata akan semudah ini. "Yokatta.. yokatta na" ia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya lagi, hingga reflek memeluk Chinen. Ia lupa kalau tak jauh dari tempat mereka mengobrol, ada Yuuto disana yang cepat pura-pura sibuk melihat ke arah lain.
"Dame, ada orang lain disini.." bisik Chinen sambil melepaskan diri dari pelukan Daiki. "Jaa, aku harus kembali" katanya pula. Daiki mengangguk. Mereka saling melempar senyum sebelum berpisah. Chinen harus kembali ke ruang dewan murid.
"Ah Yuuri!" panggil Daiki yang baru teringat sesuatu. Chinen berbalik lagi. "Jadi hari ini kita bisa pulang bersama?"
Chinen tampak berpikir beberapa detik, sebelum mengangguk yakin. Mereka saling tersenyum lagi, dan Chinen pun pergi dari sana.
Tinggallah Daiki dengan senyuman lebar di wajahnya, ia mendekat lagi ke tempat Yuuto berada.
"Tampaknya ada kabar bagus" komentar Yuuto.
"Sangat bagus" Daiki terus memamerkan senyumnya.
"Benarkah? Ada apa?"
"Kakak-kakak Yuuri memintaku datang untuk makan malam"
"Eh? Sugee"
"Darou? Aku senang sekali" Daiki terus tersenyum. Yuuto ikut tersenyum, senang dengan keberuntungan yang di dapat sahabatnya itu.
"Kondisi yang bagus untuk hubungan kalian" komentar Yuuto lagi. Daiki membenarkan.
"Na, lalu bagaimana denganmu?" tanya Daiki tiba-tiba teringat sesuatu. "Kau sudah bicara dengan Yamada?"
Yuuto menghela nafasnya.
"Iie. Kami belum sempat bicara lagi sejak seminggu yang lalu"
"Eh? Nande?"
"Kau lihat sendiri seperti apa kegiatan di dewan murid. Dia benar-benar tak ada waktu untukku" cerita Yuuto terdengar datar. Daiki tak lagi menangkap nada cemas atau takut dari suaranya. Daiki mengira ada yang berubah.
"Ada apa Yuuto? Sepertinya kau sedang dalam kondisi bagus juga?" Daiki memancingnya.
Yuuto melihat pada Daiki heran, bagaimana temannya itu bisa tahu kalau ia juga sedang senang.
"Maa.." jawab Yuuto sengaja membuatnya menggantung. Tapi dari senyumnya, Daiki sudah mengerti.
"Are? jangan bilang kau dan orang asing itu.." Daiki memandangnya curiga.
"Kami sudah resmi" sambung Yuuto tanpa ragu. Ia terlihat senang dan tak ada ekspresi merasa bersalah lagi.
Daiki tak tahu harus berkata apa, ia hanya berharap mereka akan baik-baik saja.
From : Daiki-kun
aku sudah di depan.
Chinen segera menuju ke depan rumahnya begitu ia mendapat pesan singkat dari Daiki.
"Kenapa kau tidak cepat masuk?" tanya Chinen setelah menghampiri Daiki yang berdiri di luar pagar rumahnya.
"Tidak apa-apa kah aku memakai pakaian ini?" tanya Daiki tiba-tiba. Chinen mengamatinya sesaat. Daiki tampak rapi dengan pakaian kasualnya, wangi-wangian segar juga menyeruak dari tubuhnya. Chinen tersenyum.
"Ii yo" katanya. Lalu menarik tangan Daiki untuk membawanya masuk, tapi Daiki malah balik menarik. Chinen melihat lagi ke arahnya, bingung.
"Aku.. gugup" kata Daiki pula. Chinen terpana selama beberapa detik, lalu ia tertawa kecil.
"Daijobu.. ini hanya makan malam" katanya dan menepuk-nepuk tangan Daiki yang terasa dingin. Ia tak menyangka kalau Daiki akan begitu terpengaruh dengan acara makan malam ini.
"Gome, tapi aku benar-benar gugup" kata Daiki yang tak bisa menutupi ekspresi cemasnya.
"Daijobu" Chinen terus menenangkannya dan membawa ia masuk.
Disana ternyata hanya ada Hikaru yang sedang mengatur meja makan. Kakak kedua Chinen itu memandang Daiki dengan tatapan datar. Sebenarnya Chinen pun agak khawatir dengan situasi ini. Kei belum ada dirumah karena harus menyelesaikan kerja part-time nya. Chinen takut kalau Hikaru bersikap tak ramah pada Daiki.
"Domo.. konbanwa" Daiki langsung menyapa Hikaru. Chinen kaget sekaligus takjub dengan keberanian Daiki. Hikaru membalas sapaan Daiki, walaupun masih dengan nada yang tak kalah datar. Setidaknya itu awal yang baik.
---
Yuuto bersin untuk ketiga kalinya. Kei jadi khawatir. Ia melepas scarf yang melingkar di lehernya, dan memasangnya di leher Yuuto.
"Kau akan terkena flu" katanya. Yuuto tersentuh dengan sikap Kei itu. ia tersenyum malu.
"Arigato" katanya pula. Kei tersenyum lalu beranjak dari tempat duduknya.
"Kita harus mencari tempat lain yang lebih hangat daripada hanya makan eskrim atau minum bir disini" kata Kei sedikit mengeluh. Mereka memang sudah beberapa hari ini sering bertemu dan menghabiskan waktu di bangku taman. Memang menyenangkan tapi Kei merasa perlu sesuatu yang baik untuk hubungan mereka yang baru dimulai itu.
"Kau mau mengajakku ke penginapan seperti saat pertama kali kita bertemu?" tanya Yuuto, terdengar polos tapi jelas-jelas menggodanya. Kei menoleh lalu menepuk kepala Yuuto pelan.
"Apa yang kau pikirkan?!" protesnya. Yuuto hanya tertawa kecil. "Ah kita kerumahku saja. Kita makan malam bersama" cetus Kei akhirnya.
Suasana masih sedikit tegang diantara mereka bertiga. Chinen memulai pembicaraan sedikit-sedikit tapi selalu berakhir dengan diam.
"Kei-chan tampak terlambat" gumam Chinen sambil melihat jam tangannya.
"Konbanwa" tiba-tiba seseorang masuk, menginterupsi keheningan mereka.
"Yuya!" sapa Hikaru, membuat Chinen dan Daiki terkejut. "Aku mengundang Yuya juga" kata Hikaru pada Chinen yang hanya hanya bisa terdiam, shock. Ia melirik Daiki yang juga hanya diam dan tampak terganggu. Chinen tak mengerti dengan apa yang dipikirkan Hikaru. Seingatnya Kei sudah bicara pada Takaki untuk tidak mengganggunya lagi. Tapi apa-apaan ini? Chinen menduga kalau Kei pasti tidak tahu apa-apa.
"Belum mulai?" Takaki duduk disamping Hikaru, tepat di hadapan Chinen.
"Kei belum pulang" kata Hikaru. Takaki menganggukkan kepalanya, lalu memandang Chinen yang pura-pura sibuk melihat ke arah lain. Takaki juga melirik Daiki, dan mendapat senyuman tipis darinya. Daiki tak mau menunjukkan kalau ia sangat terganggu dengan kehadiran orang itu. Ini acara makan malam yang diadakan kakak-kakak Chinen, mereka berhak mengundang siapapun.
"Maa, aku diberitahu Kei untuk tak meminta jawabanku. Kenapa Yuuri?" Takaki langsung membuka percakapan.
"Eh? itu.." Chinen agak gugup ditanya dengan tiba-tiba seperti itu. Ia bisa merasakan tatapan mata Daiki padanya. Tak mungkin ia mengelak atau beralasan, ia tak mau mengecewakan Daiki lagi. "Gomen na, aku menyukai seseorang dan kami sudah bersama" kata Chinen akhirnya.
"Eh? hontou?!" Takaki tak percaya. Ia mengeluh keras. "Berani sekali ada yang mendahuluiku"
Hikaru tertawa pendek, ia menepuk-nepuk pundak temannya itu dan tersenyum puas pada adiknya. Senyum pertamanya sejak beberapa menit yang lalu. Chinen merasa Hikaru sedang menguji ketegasannya. Ia balas tersenyum dan memegang tangan Daiki di bawah meja. Keduanya saling melihat dan melempar senyum.
"Tadaima" suara Kei menyela mereka. Orang yang mereka tunggu dari tadi. Chinen merasa akan lebih nyaman kalau ada Kei disana. Ia tak perlu takut dengan tatapan datar Hikaru juga kalimat-kalimat frontal yang biasa diucapkan Takaki.
Kei masuk tak sendiri, ia di ikuti seseorang.
"Aku mengajak temanku" kata Kei sambil bersiap mengenalkan orang yang datang bersamanya. "Ini Yuuto Nakajima"
Nama yang disebut Kei, membuat Daiki dan Chinen cepat menoleh hingga mereka membelalakan mata begitu melihat benar-benar Yuuto yang ada disana.
Dan Yuuto pun tak kalah shock melihat mereka.
HAH?!
FIN.
Label:
DaiChii,
Fanfiction,
HeySayJump,
ShounenAi,
YamaJima
Langganan:
Postingan (Atom)