Judul: Hurry Up
Author: Rieyo
Genre: Drama, Romance
Rating: PG - NC
- - - - -
(Part 5 – Don’t Love Me? Run!)
Junsu baru kembali dari mini market dan harus tertegun sesaat begitu ia keluar dari lift yang membawanya ke lantai dimana apartemennya berada. Tepat di depan pintu masuk ia melihat Jaejoong sedang berciuman dengan seorang perempuan yang sepertinya tidak begitu asing. Beberapa detik Junsu terpana disana, pasangan yang sedang sibuk itu akhirnya tersadar.
“Oh Junsu-san!” sapa perempuan yang ternyata adalah Aito, salah satu klien ‘kesayangan’ Jaejoong. Junsu pun jadi tak heran karena hubungan Jaejoong dengan Aito-san memang sudah sedekat itu sebagai klien dan host, meski setaunya mereka hanya baru satu kali tidur bersama. Jaejoong pernah bilang kalau Aito sudah seperti kakaknya, sahabatnya sekaligus ‘kekasihnya’. Well, Jaejoong memang punya hubungan yang unik dengan setiap klien-nya. Host tampan itu bisa tetap bersama mereka dan menjadi favorit mereka walau ia tidak harus selalu menuruti keinginan mereka. Itulah yang membuat Junsu kagum dan ingin menjadi host yang seperti Jaejoong. Tetap memiliki harga diri tanpa harus berpura-pura menikmati pekerjaan mereka. Hingga selama 5 tahun ini mereka menjadi host, semuanya memang terasa baik-baik saja bahkan terkesan menyenangkan.
Hanya saja akhir-akhir ini Junsu merasa Jaejoong agak berbeda, sejak kedatangan Jung Yunho dan sejak hubungan mereka tampaknya tidak semulus yang Jaejoong kira. Jaejoong jadi semakin sering menghabiskan waktu di club, bahkan menemani klien walaupun itu bukan hari kerjanya. Entahlah, Junsu merasa kalau hyung-nya ini seperti sedang mencari kesibukan untuk melupakan apapun yang mengganggu pikirannya meski kemudian malah terlihat seperti menyusahkan dirinya sendiri.
“Yo” sapa Junsu agak datar. “Kenapa kalian tidak masuk?” tanyanya pula sambil berjalan mendekati pintu. Jaejoong dan Aito otomatis bergeser.
“Aku hanya mengantarkan Jejung-kun” jawab Aito.
Junsu agak mengernyitkan keningnya. Ini sungguh tidak biasa. Jaejoong tak pernah diantar siapapun ke apartemen mereka sebelumnya.
“Tapi aku masih ingin bersama Ai-chan” sahut Jaejoong dengan suara manja yang Junsu tahu kalau itu adalah pertanda bahwa ia sedang mabuk. Pria itu membenamkan wajahnya di sisi wajah Aito dan mengecupi pipi wanita itu mesra. Aito tersenyum geli sambil memberikan lirikan penuh arti pada Junsu, seperti meminta tolong – mungkin ia sudah lelah harus menghadapi Jaejoong yang terlalu manja seperti ini. Seorang klien bisa juga merasa terganggu oleh host yang ia bayar sendiri.
“Jaejoong-hyung, kau mabuk...” kata Junsu akhirnya sambil berusaha melepaskan dekapan Jaejoong di tubuh Aito. “Ayo sebaiknya kau tidur”
Jaejoong sempat memberontak sesaat tapi kemudian melepaskan dekapannya karena Aito segera menjauh begitu dirasanya dekapan Jaejoong mulai melonggar. Wanita itu menghembuskan nafas lega. Sepertinya ini pertama kalinya ia merasa cukup risih oleh perlakuan host langganannya. Biasanya Aito akan selalu suka setiap kali Jaejoong memperlakukannya dengan lembut dan manja.
“Ok, aku pulang dulu. Jya ne. Arigato, Jejung-kun”
“Ai-chan? Eh? Jyaaaa” Jaejoong yang tampak tidak rela Aito pergi tapi kemudian melambaikan tangannya begitu dilihatnya Aito menuju lift.
Junsu mendecakkan lidahnya sambil menyeret Jaejoong masuk ke dalam apartemen mereka.
“Hyung, apa kau harus mabuk setiap malam?!” protes Junsu pula setelah menghempaskan tubuh sahabatnya itu diatas sofa.
Jaejoong menggerutu pelan tapi ia juga tersenyum lagi sambil memejamkan matanya, bersandar dengan nyaman diatas bantal sofa.
“Aku seorang host, Junsu ya. Aku harus mabuk dan bersenang-senang dengan klien ku setiap malam... aku hanya harus bersenang-senang dan menemani mereka, aku tak boleh menggunakan perasaanku... tak boleh jatuh cinta, tak boleh menginginkan sesuatu yang tak mungkin, tak boleh memikirkan mimpi dan keinginanku...”
Junsu yang sedang mengeluarkan barang-barang yang ia beli dari mini-market tadi, terdiam sesaat mendengarkan celotehan Jaejoong. Diamatinya sahabatnya itu, masih tersenyum sambil memejamkan matanya. Junsu kemudian mendesah pelan dan melanjutkan kegiatannya. Seperti yang sudah ia duga, jatuh cinta telah membuat hidup Jaejoong berubah.
“Sejak kapan kau jadi mudah menyerah, hyung? Hanya karena dia menolakmu, kau jadi mengganggap hidupmu berantakan? kau tidak biasanya menghabiskan waktumu sebanyak itu dengan klien-klienmu, kau juga tak pernah diantar mereka pulang, belum lagi kau hampir tidur dengan Tomohisa-kun... kau bukan dirimu lagi, hyung” Junsu membeberkan semua keanehan yang ia lihat dari Jaejoong belakangan ini.
Jaejoong membuka matanya dan memudarkan senyuman di bibirnya. Ia memang mabuk, tapi ia selalu bisa mengendalikan pikirannya. Dan perkataan Junsu tepat sekali mengenai perasaannya. Jaejoong tak akan menyangkalnya karena semua itu memang benar. Pria tampan itu jadi memandang kosong ke arah tembok di hadapannya, berpikir.
Junsu tersenyum tipis. Ia mengambil rokok mild-nya, menyelipkannya satu batang diantara bibirnya dan menyalakannya sambil berjalan mendekati Jaejoong, untuk duduk di samping sahabatnya itu.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Jaejoong tiba-tiba, sedatar tatapan kosongnya.
Junsu menghembuskan asap dari hisapan pertamanya.
“Kejar dia sampai dia bertekuk lutut padamu. Itu yang kau inginkan, bukan?”
Jaejoong kembali terdiam, meresapi perkataan Junsu yang lagi-lagi sesuai dengan pikirannya. Sahabatnya ini memang sangat mengenal dirinya.
“Kau benar...” gumam Jaejoong kemudian sambil memejamkan lagi matanya. Kali ini pikiran yang menyesakkan benaknya perlahan mulai menghilang. Sebuah harapan dan semangat kembali memenuhi pikirannya. Senyuman pun terulas di bibir tipisnya. Ia harus membuat Jung Yunho bertekuk lutut di hadapannya, membuat pria itu tak bisa menghindarinya lagi.
Karena Jaejoong tetap yakin kalau ikatan takdir memang ada diantara mereka.
- - - - -
“Changmin-ah, aku sudah bilang kau harus pakai syal mu! Udaranya sangat dingin sekarang, kau bisa sakit” Yunho terus mengomeli adiknya begitu mereka turun dari penthouse mereka.
Seperti biasa Changmin tampak tak begitu ambil pusing. Ia terus berjalan lebih dulu untuk menuju ke basement. Ia harus pergi ke suatu tempat dan seperti biasa juga, Yunho harus selalu mengantarnya.
“Changmin-ah, ayo pakai syal ku...” Yunho sudah melepas syal nya dan bermaksud memberikannya pada Changmin ketika dilihatnya adiknya itu berhenti, begitu ia sudah akan berbelok ke basement. Changmin rupanya menyapa seseorang dan sayangnya orang itu bukan seseorang yang ingin Yunho temui belakangan ini.
“Sedang apa kau disini, Jaejoong ssi? Mana Junsu?” tanya Changmin tanpa perlu banyak berbasa-basi.
Jaejoong yang tadi baru akan masuk ke gedung apartemen itu, tak menyangka malah bertemu dengan kakak-beradik ini disini. Ia memang bermaksud menemui Yunho. Sudah hampir 2 minggu ini ia berusaha untuk melupakan pria itu dan ingin menyerah, tapi ternyata hidupnya malah seolah makin memburuk. Jaejoong sudah jelas tak bisa kembali pada keadaan dimana ia sebelum mengenal Yunho. Ia sudah terlanjur terjebak disini, dan ia tak mau membuat ini hanya akan menyakitinya. Ia sudah tak peduli kalau dirinya terburu-buru. Yunho harus mau melihat padanya atau ia tak akan pernah bisa mendapatkan pria ini selamanya.
“Junsu? Sepertinya dia sedang ada pekerjaan”
“Oh. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Kakakku tidak mau menghubungi dia untukku”
Jaejoong mengernyitkan keningnya dan melirik Yunho yang berusaha tetap dingin disana padahal sudah jelas kebohongannya di pertemuan terakhir mereka sudah terbongkar. Jadi selama ini Yunho tak pernah menghubungi Junsu sama sekali padahal ia bilang sudah mendapatkan kontak Junsu. Sepertinya semakin jelas kalau Yunho memang tak mau berurusan lagi dengan apapun yang berhubungan dengan dirinya. Entah menghindari karena benci atau karena ingin menutupi sesuatu.
Jaejoong harus percaya diri kalau pria kaku ini memang hanya ingin menutupi perasaannya. Bagaimanapun Yunho pernah menggenggam tangannya dengan hangat dan itu jelas bukan karena tidak di sengaja.
“Kau pasti merindukannya, hm?” kata Jaejoong menggoda Changmin.
Changmin tersenyum kecut.
“Aku tidak mungkin rindu padanya. Aku hanya ingin dia membereskan kamarku, membuatkanku makanan dan mengantarku berjalan-jalan” sahut pemuda itu, jelas-jelas menyangkal.
Jaejoong tertawa pelan. Kakak beradik ini sepertinya sama saja, selalu berusaha menutupi sesuatu. Tapi rasanya Changmin masih lebih lumayan dibanding kakaknya yang sangat kaku dan cukup menyebalkan hingga harus menguji kesabaran Jaejoong lebih jauh.
“Aku akan menyampaikan itu pada Junsu nanti”
Changmin hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli walaupun ada semburat kemerahan di kedua pipinya yang tak bisa ia sembunyikan. Sekali lagi Jaejoong tersenyum tipis.
“Dan ngomong-ngomong, kalian mau pergi?” tanya Jaejoong pula.
“Yeah, aku ada wawancara pekerjaan disebuah studio foto” jawab Changmin yang otomatis membuat Jaejoong cukup terkejut. “Aku sangat suka memotret, jadi aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini” tambahnya yang menyadari keterkejutan Jaejoong. Tentu saja, siapapun yang tahu siapa dirinya, akan terheran-heran. Kenapa adik dari seorang pemilik perusahaan besar di Korea seperti dirinya harus bekerja di tempat lain?!
“Aku sudah melarangnya, tapi dia terus memaksa” jelas Yunho akhirnya setelah sejak tadi ia hanya terdiam. Sepertinya ia tak mau dikira sudah membiarkan adiknya. Memang hanya yang berhubungan dengan Changmin yang bisa membuat Yunho mau terlibat, padahal sejak tadi tampaknya ia tak begitu tertarik untuk ikut berbicara dengan Jaejoong.
“Kau memang selalu melarang apapun yang ingin aku lakukan sendiri” cetus Changmin.
“Kalau kau sudah tahu itu, kenapa kau harus melakukannya?”
“Karena aku sudah bukan anak kecil lagi dan aku tak mau terus seperti ini... ah sudahlah” Changmin menghentikan sendiri protesannya yang ia anggap sudah sangat klasik dan tak pernah digubris oleh Yunho. “Jaejoong ssi, tolong kau beritahu Junsu juga kalau nanti aku akan bekerja di studio foto” kata Changmin, jadi bicara pada Jaejoong. Tanpa menunggu reaksi dari pria itu, ia langsung berlalu lebih dulu menuju basement.
Yunho pun segera bermaksud menyusulnya, tapi pegangan tangan Jaejoong menghentikannya.
“Aku perlu bicara denganmu” kata Jaejoong sebelum Yunho sempat bertanya.
“Maaf, tapi aku buru-buru Jaejoong-san” sahut Yunho berusaha tenang dan datar meski sebenarnya debaran di dadanya semakin tak karuan. Inilah hasil dari ungkapan kegelisahannya pada Yoochun waktu itu. Seperti yang sahabatnya bilang, semakin ia mencoba berlari – ia malah semakin tak menentu. Satu-satunya cara, ia tentu tak boleh bertemu lagi dengan Jaejoong. Tapi menghindari seseorang tanpa alasan yang jelas memang bukan perkara mudah.
“Tidak, sebentar saja. Changmin pasti akan menunggumu”
“Baiklah, ada apa?” Yunho melepaskan pegangan tangan Jaejoong perlahan. Ia tak mau Jaejoong merasakan debaran yang tak biasa di nadinya.
Jaejoong menelan ludahnya diam-diam. Ia menatap lekat pada pria tampan di hadapannya ini. Pria yang ia yakin kerap mendatangi mimpinya dan membuatnya jatuh cinta bahkan jauh sebelum mereka bertemu.
“Kau tidak menyukaiku?” tanya Jaejoong tanpa basa-basi.
Yunho agak terhenyak, tak menduga akan diberi pertanyaan se-frontal itu.
“Ap- apa maksudmu?”
“Kau membenciku?”
“Tidak, aku—“
“Kau yakin tidak menyukaiku?” Jaejoong memotong, tak mau mendengarkan alasan.
Yunho pun terdiam, tak mau menjawab. Jaejoong menghela nafasnya.
“Ok, kalau kau tidak menyukaiku, larilah sejauh mungkin dariku” lanjut Jaejoong.
Yunho agak melebarkan mata seksinya.
“Tapi aku tak akan menjauh darimu sedikitpun” tambah Jaejoong pula, membuat Yunho semakin terpana. Ia bisa merasakan ada perasaan lega yang aneh di dadanya setelah sesaat tadi ia hampir tak mau terima karena mengira Jaejoong sudah melepasnya.
Yunho terdiam, tak bisa berkata-kata.
Jaejoong tersenyum puas. Akhirnya ia bisa mengungkapkan semua yang coba ia kubur selama ini. Ia sudah memutuskan untuk tidak menyerah. Ia akan terus mengejar Yunho walau mungkin pria itu akan terus berlari menjauhinya. Apapun pasti akan memiliki ujung. Dan semua ini harus berakhir dengan Yunho yang bertekuk lutut di hadapannya suatu hari nanti.
“Aku sudah selesai, kau bisa pergi sekarang” kata Jaejoong berusaha santai.
Yunho mengerjapkan matanya.
“Apa kau akan menemui klien disini?” tanyanya, menanyakan juga hal yang membuatnya penasaran sejak beberapa saat tadi.
“Hm? Tid—yeah, aku mau menemui klien” jawab Jaejoong agak terbata karena baru saja ia akan berkata jujur tapi kenapa tidak ia sedikit berbohong. Dan rupanya jawabannya berhasil membuat Yunho terlihat seperti terganggu.
“Oh” gumam Yunho. “Ok, selamat bersenang-senang” katanya pula sebelum kemudian berbalik dan melanjutkan menuju basement.
“Yunho!” panggil Jaejoong sebelum pria itu benar-benar menjauh. Yunho berhenti dan berbalik lagi sebentar. Di lihatnya Jaejoong sedang tersenyum disana. “Kalau kau tidak suka aku menemui klien, aku bisa berhenti. Aku sudah pernah bilang kalau aku bisa meninggalkan semua klienku agar aku bisa punya banyak waktu bersamamu...”
Rasa hangat memenuhi seluruh wajah dan dada Yunho. Ia beruntung karena jarak mereka cukup jauh hingga Jaejoong tak akan bisa mendeteksi wajah memerahnya. Tanpa menyahut, Yunho kembali berlalu meninggalkan Jaejoong yang semakin melebarkan senyumannya.
‘I got you, Jung Yunho. definitely’
- - - - -
“Jadi, sekarang Changmin bekerja di sebuah studio foto?” tanya Yoochun setelah ia menyimpan kembali cangkir espresso-nya. Ia dan Yunho sedang menikmati malam di sebuah cafe di kawasan Ropongi. Terakhir mereka bertemu adalah sekitar 2 minggu lalu ketika Yunho mendadak muncul di apartemennya tengah malam, meminta mie instan dan secangkir teh. Waktu itu Yoochun tahu kalau Yunho menyimpan sebuah kegelisahan dan akhirnya Yunho memang tak bisa menutupi apapun darinya. Sahabatnya itu sedang jatuh cinta dan itu adalah sebuah masalah besar baginya. Setelah itu, Yunho tiba-tiba jadi sulit sekali ia temui karena sibuk menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Tipikal Yunho saat ingin menutupi dan melupakan sesuatu. Yoochun hanya bisa membiarkannya, ingin tahu sampai sejauh mana sahabatnya itu akan bertahan. Dan ternyata lihat saja, tidak lama.
“Yeah, aku sudah melarangnya tapi dia terus bersikeras bahkan mengancam akan pergi dari apartemen kalau aku tak juga mengijinkan” jelas Yunho sambil mendesah pelan.
Yoochun tertawa.
“Oh sekarang dia punya trik yang lebih luar biasa, yang tak akan bisa kau lawan”
Yunho mendecakkan saja lidahnya.
“Dia pasti bosan terus-terusan berada di apartemen dan hanya bermalas-malasan karena kau pasti melarang dia melakukan apapun...” lanjut Yoochun.
“Aku hanya tak mau dia terluka—“
“Dia sudah 23 tahun, Yunho hyung. Oh sudahlah, aku sudah terlalu sering mengingatkan ini padamu, dan kau tak pernah peduli” potong Yoochun sambil mengangkat kedua bahunya, menyerah.
“Yeah kau lebih baik tak mengulang-ngulangnya terus” ujar Yunho benar tak peduli.
Yoochun agak memutarkan bola matanya dan kembali meminum espresso nya. Sahabatnya ini memang keras kepala, percuma saja ia banyak mengingatkan. Bahkan Changmin sudah tak peduli lagi setiap kali Yunho bertingkah berlebihan padanya.
“Dan ngomong-ngomong, kau tahu dari mana?” tanya Yunho lagi. “Changmin sudah bercerita padamu lebih dulu?”
“Tidak. Aku tahu dari Junsu”
Yunho menganggukkan kepalanya pelan, teringat pada pertemuannya dengan Jaejoong beberapa hari yang lalu. Sepertinya Jaejoong memang menyampaikan pesan Changmin untuk Junsu.
“Lalu, apa kau masih mencari perempuan seksi?” tanya Yoochun lagi dengan senyuman aneh di bibirnya.
Yunho tak langsung menjawab, sahabatnya itu malah menghabiskan espresso nya dengan sekali teguk dan memandang nanar keluar dari jendela cafe. Yoochun pun memudarkan senyumannya, ia bisa membaca kekalutan yang dirasakan Yunho seperti 2 minggu lalu – saat mendadak sahabatnya itu muncul di depan pintu apartemennya tengah malam. Yoochun menduga selama 2 minggu ini Yunho pasti belum bisa kembali pada dirinya yang normal. Dan ucapan frontalnya tentang apa yang dirasakan Yunho, mungkin juga sudah memberikan efek yang luar biasa bagi sahabatnya itu.
“Aku... sepertinya...” Yunho mencoba untuk bicara. Sebenarnya ia berada disana pun ingin mengeluarkan kegelisahan di hati dan pikirannya yang tidak kunjung menghilang sejak beberapa minggu lalu, apalagi beberapa hari lalu ia bertemu lagi dengan orang yang sedang ingin ia hindari itu. Perlahan tapi pasti, Yunho memang mulai menerima apa yang pernah disebutkan oleh Yoochun. Meskipun, rasanya sulit untuk mengakui secara terang-terangan. Yunho sungguh tak menyangka kalau akhirnya ia benar-benar akan memiliki perasaan seperti ini terlebih pada seorang host... ia tak pernah membayangkan itu sedikitpun.
“Siapa dia, hyung?” Yoochun memotong untuk memudahkan Yunho. Ia tahu kalau sahabatnya itu pasti agak kesulitan untuk mengakui bahwa dirinya memang sedang jatuh cinta pada seseorang. Yoochun pun merasa tak perlu mendengarkan pengakuan Yunho, ia sudah memahaminya bahkan sebelum Yunho ingin memahami dirinya sendiri.
“Eh? Uhm, dia—“
Yunho sebenarnya tak yakin untuk menyebutkan nama Jaejoong, bukan karena pria itu adalah seorang host, tapi di hatinya yang terdalam, ia masih tak bisa sepenuhnya mengakui kalau memang ia memiliki perasaan pada Jaejoong. Semua ini sungguh terasa rumit untuknya.
Tatapan Yunho keluar jendela terhenti pada sosok dua orang pria yang masuk ke dalam cafe. Matanya jadi mengikuti dua orang yang terlihat akrab itu. Jantungnya berdegup kencang dan semakin aneh. Entah apa yang sedang direncanakan takdir untuknya, tapi kenapa setiap kali ia sedang memikirkan orang itu – maka dengan tidak terduganya, orang itu akan muncul di depan matanya.
“Hyung?” Yoochun memandang Yunho yang tampak sudah tidak fokus dengan obrolan mereka. Perlahan, ia mengikuti tatapan mata Yunho dan menemukan dua orang pria yang sedang duduk di salah satu meja lainnya di cafe itu. “Dia...”
“Kita pergi, Yoochun-ah” kata Yunho tiba-tiba sambil beranjak dari duduknya. Pria tampan itu menyimpan lembaran yen di meja, lalu mengambil mantel dan syal nya.
“Eh? Hyung? Kenapa?”
Yunho tidak menjawab. Ia berjalan menuju pintu keluar.
“Yunho-hyung!?” Yoochun memanggil lagi sambil cepat beranjak juga dari tempatnya dan mengejar Yunho.
Jaejoong yang sedang mengobrol dengan Tomohisa, terhenyak mendengar sebuah nama yang sangat ia kenal dipanggil oleh seseorang. Host tampan itu menolehkan wajahnya dan bertepatan dengan Yunho yang sedang memandang ke arahnya sambil berjalan keluar. Wajah tampan pria itu datar saja tapi Jaejoong bisa menangkap tatapan yang cukup mengerikan. Ia sungguh tak menyangka kalau mereka akan bertemu lagi disana. Dan sepertinya sesuai dengan pembicaraan terakhir mereka waktu itu, Yunho akan terus lari darinya.
“Sepertinya mereka orang Korea” komentar Tomohisa sambil ikut memperhatikan dua orang pria yang sedang keluar dari cafe. Jaejoong nyaris memutarkan tubuhnya untuk melihat Yunho yang sudah akan benar-benar menghilang dari sana. “Jeje?” tanya Tomohisa, menyadari sikap temannya itu. “Kau kenal mereka?”
Jaejoong cepat membetulkan lagi posisi duduknya. Ia tersenyum gugup sambil menggelengkan kepalanya, ragu. Tomohisa tidak lekas mempercayainya. Ia masih ingat nama yang tadi terdengar disana. Yunho. Nama yang sama dengan yang pernah digumamkan Jaejoong.
Tomohisa tersenyum kecut.
- - -
“Hyung, kenapa kau tiba-tiba pergi seperti itu? Siapa mereka?!” Yoochun tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya begitu mereka sudah berada di dalam mobilnya.
“Dia orangnya” jawab Yunho datar.
“Hah?” Yoochun tak jadi menyalakan mesin mobilnya. “Dia yang—“ Yoochun tak yakin untuk melanjutkan ucapannya.
Yunho menghela nafas panjang lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Ia merasakan dadanya yang berdebar kencang begitu menyesakkan dan membuatnya lelah. Ini pertama kalinya ia merasa harus menghindari sesuatu dengan cepat kemudian ditambah ada perasaan aneh yang begitu menggelegak di dadanya. Kemana perasaan datarnya yang biasa? Ia sungguh tak pernah merasakan yang tidak-tidak, jika bukan karena apapun yang berhubungan dengan Changmin. Inilah sebenarnya yang Yunho hindari. Ia tak mau merasa khawatir, gelisah, bahagia oleh orang lain. Hanya adiknya Changmin yang boleh membuatnya merasakan seperti itu. Yunho tak pernah mau perasaannya dikendalikan oleh orang lain, hanya Changmin yang boleh!
“Hyung...”
“Ok Yoochun, aku sungguh berada dalam masalah. Beritahu aku, dimana aku bisa cepat menemukan seorang perempuan seksi yang bisa aku kencani, agar aku tidak tersiksa seperti ini—“
“Hyung, calm down—“
Tok tok
Sebuah suara ketukan di jendela menghentikan pembicaraan mereka. Yunho menolehkan wajahnya ke samping dan mata kecilnya agak melebar begitu melihat Jaejoong yang berada disana sedang melipatkan kedua lengannya di depan dada. Dari luar memang terlihat, itu sebabnya, Yunho tak segan menunjukkan wajah paniknya dan memandang Yoochun untuk meminta bantuan.
“Buka saja jendelanya, hyung” kata Yoochun.
“Tidak, aku—“ untuk pertama kalinya seorang Jung Yunho menunjukkan sebuah kepanikan yang sangat tak biasa. Yoochun menahan senyumannya dan mengulurkan tangan untuk menekan tombol agar kaca jendela mobilnya terbuka.
Yunho yang tak bisa mencegah pun terpaksa menenangkan dirinya dan berusaha memasang wajah datarnya lagi. Ia jelas saja tak mau terlihat konyol di hadapan Jaejoong.
“Yo!” sapa Jaejoong dengan tenangnya.
Yunho meliriknya sedikit.
“Ada apa Jaejoong san?”
“Aku boleh menumpang? Tadi temanku meninggalkanku...”
Yunho agak memutarkan bola matanya.
“Ini bukan mobilku—“
“Masuklah!” Yoochun memotong ucapan dingin Yunho begitu saja, membuat sahabatnya nyaris memberikan tatapan membunuh di matanya, tapi Yoochun tak peduli. “Ini mobilku, jadi masuklah!” kata Yoochun lagi, kali ini tak bisa menahan senyumannya.
Jaejoong berterima kasih kemudian masuk ke mobil itu di kursi penumpang.
“Ah aku sangat tertolong... arigatou” katanya pula begitu duduk disana.
“Ii yo. Kita sesama orang Korea harus saling menolong” sahut Yoochun sambil mulai menjalankan mobilnya.
Yunho pun seketika tak berbicara lagi. Pria tampan itu sama sekali tak menengok ke belakang, seolah tak pernah mengenal Jaejoong. Ia menggerutu dalam hati karena seperti nya ucapan Jaejoong waktu itu memang tidak main-main. Ia akan terus berlari sementara Jaejoong akan terus mendekat.
“Yoochun san, kau tidak ingat padaku?” tanya Jaejoong pula setelah beberapa detik mereka terdiam.
“Eh?” Yoochun menoleh sekilas sebelum kemudian ia mengamati Jaejoong dari cermin diatas kepalanya. “Kau—“ ia mencoba mengingat-ingat.
“Aku teman Junsu!” Jaejoong langsung membantunya.
“Aaah, benar!” sahut Yoochun yang langsung teringat. “Apa kabar? Oh kau tidak bersama Junsu?”
“Tidak, tadi aku sedang bersama temanku, dan sepertinya Junsu juga sedang sibuk dengan Changmin—“
“Junsu san sedang bersama Changmin” sela Yunho tiba-tiba. Seperti biasa akan bereaksi ketika nama adiknya disebut-sebut. “Tadi aku meminta dia untuk menemaninya di studio kalau memang dia ada waktu..” jelas pria itu pula.
Yoochun mengangkat kedua bahunya. “Pantas, aku kesulitan untuk menemui dia akhir-akhir ini”
“Kau keberatan?” tanya Yunho sambil melirik sahabatnya itu.
“Tidak, hyung, tenang saja. Aku bisa pergi bertiga dengan mereka kalau aku mau” jawab Yoochun.
Yunho menganggukkan kepalanya, lalu melirik Jaejoong sekilas dari cermin diatas kepalanya.
“Jaejoong san, kau akan turun dimana?” tanyanya masih sedatar perkataannya di awal tadi.
“Hm? Aku belum tahu...”
Yoochun tersenyum sambil agak membuang mukanya ke luar. Ia tak mau Yunho melihat senyumannya lalu jadi kesal padanya.
“Tidak boleh seperti itu. Kami ada urusan, dan tak bisa membawamu...”
“Kau jangan dingin begitu Yunho-san, aku sudah kenal dengan Yoochun-san, dan sepertinya dia juga tidak keberatan aku ikut dengan kalian” sahut Jaejoong sambil menepuk bahu Yunho dan tersenyum dengan percaya diri.
Yunho agak terhenyak. Ia melirik Yoochun dan memberikan kode melalui mata pada sahabatnya itu, meminta Yoochun untuk segera mengeluarkan Jaejoong dari mobilnya.
“Kau sebaiknya menghubungi klien-mu saja, Jaejoong san” kata Yunho pula, mencoba untuk lebih tegas dan semakin dingin.
“Aku tidak mau”
Sekali lagi Yunho memberikan kode dari matanya pada Yoochun, tapi lagi-lagi sahabatnya itu mengacuhkannya dan malah tersenyum-senyum.
“Ok, aku akan mengantarkanmu ke apartemen Yunho hyung. Karena Changmin pasti belum pulang, Yunho hyung akan sendirian di apartemennya. Is that ok, Jaejoong san?”
Yunho memutarkan bola matanya, tak menyangka sahabatnya malah akan menjerumuskannya seperti itu – sementara Jaejoong langsung menyetujui dengan gembira. Ia memang membutuhkan waktu berdua saja dengan Yunho. Dan ia sangat beruntung karena ternyata Yoochun memihaknya.
- - - - -
“Sudah selesai?” tanya Junsu setelah ia menguap untuk ketiga kalinya. Host manis itu sedang duduk di sebuah kursi di samping Changmin yang sedang mengganti lensa kamera nya.
“Ini yang terakhir” jawab Changmin dengan senyuman yang tampak bersinar daripada biasanya. Tatapan bahagia juga terpancar dari sepasang mata indahnya. “Aku akan mentraktirmu setelah ini”
Junsu hanya menghela nafas dan kembali bersandar di kursinya, memperhatikan Changmin yang kini mulai lagi memotreti model di depan sana. Sungguh entah apa yang sudah merasukinya, tapi ketika tadi Yunho memintanya untuk menemani Changmin di studio tempatnya bekerja, Junsu langsung tak bisa menolak. Padahal ia sudah merencanakan untuk tidak lagi berurusan dengan mereka. Terlebih, ia sudah lama tak pergi menemani Yoochun. Ia ingin kembali bekerja sebagai host yang sebenarnya, yang memang hanya untuk bersenang-senang, bukan untuk sekedar menemani seorang pemuda bahkan diperintah-perintah seperti ini. Hanya saja, Junsu tak bisa memungkiri kalau bayaran yang diberikan Yunho memang sangat menggiurkan.
Matanya kembali menikmati setiap gerakan yang dilakukan Changmin ketika sedang membidikkan kamera dan memberikan instruksi pada model. He’s so cool. Dia tak seperti Shim Changmin manja yang selalu Junsu panggil dengan sebutan ‘bayi besar’. Dia bahkan seperti seorang fotografer profesional, padahal ia tahu persis kalau Changmin hanya baru beberapa hari bekerja disana. Sepertinya pemuda itu memang tidak main-main soal hobi nya memotret. Hobi telah membuatnya jadi lebih terampil seperti seorang profesional. Sesaat Junsu seolah tersedot lagi oleh pesona seorang Shim Changmin. Pemuda itu jelas akan cepat menarik perhatian banyak wanita hanya dari penampilannya dan kekayaannya. Tapi Junsu tak yakin jika semua orang tahu dengan sikap manjanya. Rasanya akan lebih baik kalau ia melihat Changmin terus memotret agar pemuda itu terlihat lebih dewasa dan tak menyebalkan seperti biasanya. Bahkan Junsu bisa melihat sisi lain dari pemuda itu. Wajah tampannya seolah lebih bersinar, senyumannya terihat lebih tulus. Nampak sekali kalau dia begitu bahagia ketika sedang memotret...
“Ayo!” ajakan Changmin membuat Junsu tersentak. Ia nyaris tak menyadari kalau pemuda itu sudah berada di dekatnya dan baru selesai merapikan kamera nya.
“Kau sudah selesai?”
Changmin tak menjawab dan hanya berjalan lebih dulu setelah berpamitan pada rekan-rekan kerjanya. Junsu pun hanya bisa menggerutu dalam hati sambil mengikutinya.
“Kau mau makan apa?” tanya Changmin setelah mereka berada di dekat mobil.
Junsu hanya mengangkat kedua bahunya tidak begitu antusias meski sebenarnya ia cukup lapar karena sudah menemani pemuda itu dari sore. Ia berjalan ke arah pintu pengemudi, tapi kemudian ditahan oleh Changmin yang meminta kuncinya.
“Apa?”
“Aku yang akan menyetir” sahut Changmin dengan senyumannya yang tak biasa lagi.
“Kau bisa menyetir?” Junsu sengaja agak mengejeknya.
Changmin hanya mendecakkan lidah sambil tetap tersenyum. Pemuda itu merebut kunci dari tangan Junsu dan menuju pintu pengemudi. Junsu hanya menggelengkan kepalanya dan kembali menyusulnya. Sejujurnya, senyuman Changmin barusan agak menakutkan baginya – karena sungguh tak biasanya pemuda itu tersenyum seperti itu.
“Aku akan mentraktirmu di restoran Italy” kata Changmin pula setelah mereka berada di dalam mobil. Ia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam saku celananya sebelum menyalakan mesin mobil. “Ini gaji pertamaku, akan aku habiskan denganmu” katanya dengan senyuman yang lebih lebar.
Junsu terpana beberapa detik sebelum kemudian ia tertawa kecil. Pemuda itu lucu juga dan mau tak mau membuatnya tersentuh. Changmin memang terlihat begitu senang sudah mendapatkan gaji pertamanya, dan entah kenapa harus dirinya yang menemani untuk menghabiskan uang itu!?
“Baka. Seharusnya kau habiskan dengan kakakmu, atau kau tabungkan!” kata Junsu.
“Tidak apa, ini uangku. Yunho hyung sudah punya uang banyak, dia tak memerlukan traktir dari ku”
Junsu hanya menggelengkan kepalanya masih sambil tersenyum.
“Kau senang?” tanya Changmin tiba-tiba dengan tatapan yang lebih lembut daripada biasanya.
“Yeah—“ Junsu tentu saja tak mau lekas mengakui.
“Kau harus senang!” sahut Changmin sambil menepuk pundak pria itu. “Karena kalau kau senang, aku juga akan senang. Aku puas bisa membuatmu senang”
Junsu mendadak terdiam menangkap kalimat Changmin yang terdengar agak aneh itu. Ia memandang pemuda itu, tapi Changmin sudah menjalankan mobilnya dengan senyuman yang semakin lebar di bibirnya. Junsu mengerjapkan matanya sekali. Ia tiba-tiba seolah tersadar.
Mungkinkah, Changmin benar-benar... padanya? Tidak mungkin!
- - - - -
“Kau tidak seharusnya memanfaatkan sahabatku seperti ini” kata Yunho setelah akhirnya ia hanya berduaan dengan Jaejoong di apartemennya. Ia tak bisa mengusir host tampan itu setelah tadi Yoochun mengantarkan mereka kesana.
Jaejoong mengangkat kedua bahunya. “Yoochun san memang baik hati...”
“Aku sedang lari darimu, dan kau tahu itu—“
“Yeah, karena itu aku terus mendekatimu” potong Jaejoong cepat sambil duduk di sofa, tanpa diminta oleh Yunho. Ia memandang pria di hadapannya yang tampak tidak mau berdekatan dengannya.
Yunho balas memandang Jaejoong dengan tatapan penuh masalah di sepasang mata musangnya.
“Maaf Jaejoong san, tapi aku—“
“Aku tak membutuhkan penolakan, itu percuma”
“Tidak, aku serius. Kau tahu kalau aku sangat mencintai adikku lebih daripada apapun. Aku tak akan pernah bisa mencintai siapapun lagi!”
Jaejoong terdiam lagi memandang Yunho. Ucapan tegas pria itu cukup mengganggunya. Tapi bagaimana bisa ia menyerah hanya karena sebuah alasan konyol yang tak seharusnya merintangi hubungan mereka.
“Aku tak peduli. Perlahan, kau pasti bisa membagi cintamu. Aku tidak apa-apa mendapatkan 10% saja, asal kau memang menyukaiku juga” kata Jaejoong kemudian, setelah ia menyusun kata-kata di benaknya. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri Yunho, berdiri tepat di hadapan pria bertubuh tinggi tegap itu. “Kau menyukaiku juga, bukan?” bisiknya pula.
Yunho tak menjawab, ia merasakan ada hangat di wajahnya dan dingin di telapak tangannya. Ia tak bisa menjelaskan betapa nervous dirinya. Ini sungguh pertama kalinya.
“Yunho...” bisik Jaejoong lagi sambil perlahan semakin mendekat dan mencoba mensejajarkan bibirnya dengan bibir pria itu meski ia harus agak menjinjitkan kakinya. Ia pernah gagal untuk mencium pria ini, dan sekarang ia ingin membayar kegagalannya dengan keberhasilan.
Sebuah kecupan lembut terasa di bibir Yunho. Pria tampan itu agak terhenyak, mata seksinya melebar dan dadanya berdebar menyesakkan lagi. Wajah tampan Jaejoong begitu dekat dan sedang terpejam dengan indah di hadapannya, menghayati ciuman lembut mereka. Menyesapi setiap detik saat bibir mereka bersentuhan.
Yunho merasakan kaku di sekujur tubuhnya, tak bisa menggerakkan apapun – sementara debaran di dadanya semakin menggila dan aliran darah berdesir-desir nyaman di nadinya.
Bibir Jaejoong bergerak dengan halus diatas bibirnya, perlahan sedikit menekannya hingga Yunho tak bisa menahan diri untuk tidak membalasnya. Yunho akhirnya memang menyerah dan memejamkan matanya sambil mendekapkan kedua tangannya dengan tiba-tiba di tubuh ramping Jaejoong. Ia balik menekan bibir lembut Jaejoong dan entah karena sudah lelah menahan diri atau memang sudah tak bisa mengendalikan dirinya, pria tampan itu segera mencium bibir Jaejoong dengan sebenarnya. Sebuah ciuman yang terbuka dan panas.
Jaejoong agak tersentak, namun ia tak bisa menghentikannya karena dekapan tangan Yunho begitu kuat di pinggangnya. Ia mengeluh dalam ciuman mereka dan berusaha mengikuti irama ciuman Yunho yang sangat terburu-buru. Jaejoong memang cukup puas karena akhirnya ia bisa membuat pria kaku ini menyerah juga, namun ia agak kewalahan karena sepertinya Yunho tidak begitu paham untuk berciuman dengan nyaman dan tenang.
“Mmhh...” Jaejoong mencoba melepaskan ciuman mereka, namun Yunho tak membiarkannya. Ciuman pria itu semakin tak terkendali, begitu meminta bahkan nyaris memaksa, seolah akan menghisap seluruh wajahnya. “Mmh... Yunhh.. AHH!”
Dengan agak sekuat tenaga, Jaejoong pun berhasil melepaskan ciuman. Ia terengah-engah memandang pria di hadapannya yang juga sedang menenangkan nafasnya. Ia melihat tatapan yang tak biasa di mata Yunho.
“Kau... marah.. Yunho?” tanya Jaejoong, yang cukup penasaran dengan tatapan di mata seksi pria itu.
Yunho menggelengkan kepalanya cepat.
“Lalu...?”
“Maaf” kata Yunho kemudian sambil melepaskan tangannya di pinggang Jaejoong. Ia juga sebenarnya tidak tahu apa yang sudah merasukinya. Tubuhnya seolah bergerak sendiri begitu ia merasakan ciuman Jaejoong. Sepertinya setelah bertahun-tahun ia tak berhubungan dengan siapapun, membuatnya jadi sangat frustasi. Apalagi ini juga pertama kalinya ia sungguh memiliki perasaan untuk memeluk dan mencium seseorang.
“Tidak... jangan minta maaf” kata Jaejoong sambil menarik kembali tangan Yunho agar terus mendekapnya. “Kita mulai lagi, tapi dengan lebih tenang, ok?”
Yunho menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak bisa...”
Jaejoong tak mempedulikan ucapan pria itu, lalu memegang kedua sisi wajahnya agar menghadapnya lagi. Perlahan ia kembali mencium Yunho, namun tidak selambat tadi, ia langsung menggerakkan bibirnya dengan lembut namun panas - agar Yunho bisa segera menyesuaikan diri. Perlahan Yunho pun bisa mengambil alih ciuman, dengan irama yang sudah ditentukan oleh Jaejoong. Host tampan itu diam-diam memang mengajari pria kaku ini.
Senyuman terulas di bibir Jaejoong dalam ciuman mereka. Seperti yang ia duga, Yunho memang cepat bisa menangkap ajarannya. Dalam beberapa menit saja, ciuman mereka jadi begitu nyaman, membuat Jaejoong tak mau melepaskan pria itu lagi. Di benaknya ia berteriak-teriak bahagia. Ia memang tak butuh banyak waktu untuk membuat seseorang bertekut lutut di hadapannya.
- - - - -
Dokter Kwon, dokter keluarga Jung berjalan dengan agak terburu-buru menuju ruang kerja di dalam mansion besar milik kediaman Jung. Pria setengah baya yang sudah lama mengabdikan diri pada keluarga Jung itu sengaja mengosongkan jadwalnya hari ini hanya untuk memastikan bahwa keluarga yang sudah sejak lama ia tangani kesehatannya itu baik-baik saja.
“Oh Dokter Kwon, apa kabar?” Choi ssi yang tengah memantau pekerjaannya di meja kerja milik Yunho segera menyambut dokter itu.
Dokter Kwon menyambut uluran tangan Choi ssi, namun ia tak bisa tersenyum tenang seperti sang asisten keluarga itu.
“Dimana Changmin? Kenapa dia tak pernah menemuiku lagi?” tanyanya, tanpa basa-basi.
Choi ssi agak memudarkan senyumannya.
“Ah, Tuan Muda Changmin sedang berada di Tokyo sejak satu bulan yang lalu. Dia bersama Tuan Muda Yunho juga”
“Apa?” Dokter Kwon, tak melanjutkan gerakannya untuk duduk. “Di Tokyo? Kenapa tidak ada yang memberitahuku!” serunya kemudian.
“Maaf Dokter Kwon, tapi Tuan Muda bilang, dia akan menghubungimu dari sana...” jelas Choi ssi, yang mau tak mau jadi khawatir. Hanya saja ia memang ingat kalau Changmin bilang akan tetap menghubungi dokter pribadi mereka itu dari Tokyo sana.
“Dia sama sekali tidak menghubungiku! Aku pikir dia sangat sibuk hingga belum menghubungiku. Tapi ini sudah satu bulan, dan aku tak bisa membiarkannya”
“Maaf..”
“Choi sii, kau belum mengatakan apapun pada Yunho?” tanya Dokter Kwon pula semakin tak sabar. “Dia jelas tak akan mengingatkan Changmin untuk menghubungiku kalau dia tidak tahu apapun tentang kesehatan adiknya”
“Tuan Muda Changmin melarangku untuk memberitahu Tuan Muda Yunho...” gumam Choi ssi terdengar menyesali ketidakberdayaannya.
Dokter Kwon mendecakkan lidahnya. “Kau harus segera memberitahunya dan minta mereka untuk segera pulang. Aku harus mengecek Changmin secepatnya. Aku takut penyakitnya akan semakin parah... tapi kalau mereka tidak bisa, aku akan segera menghubungi rekanku yang berada di Tokyo. Pokoknya aku minta kau segera membuat mereka menghubungiku!”
Choi ssi mengangguk pelan, tak begitu yakin bagaimana ia harus melakukannya. Dokter Kwon mendekati asisten keluarga yang dia tahu sangat menyayangi kedua Tuan Muda nya itu. Ia menepuk pundak Choi ssi, penuh simpati.
“Kita tak mau Changmin bernasib seperti ibunya, bukan?” kata Dokter Kwon pula, lebih lembut dan tak bermaksud menakuti.
Choi ssi agak melebarkan matanya kemudian menggelengkan kepalanya. Tentu saja ia tak akan pernah mau hal buruk terjadi pada Tuan Muda yang sudah ia jaga sejak kecil. Choi ssi ingat bagaimana Nyonya Besar sangat memohon padanya untuk menjaga puteranya. Dan dalam hati, pria setengah baya itu agak menyesal karena tidak segera memberitahu Yunho tentang penyakit Changmin . Waktu itu dirinya pernah memanggil Dokter Kwon karena Changmin tiba-tiba mengeluh sakit di dadanya. Ternyata setelah diperiksa, Tuan Muda nya positif mengidap penyakit jantung yang sama persis dengan penyakit ibunya. Sejak itu Changmin memintanya untuk tidak mengatakan apapun pada Yunho. Dan sekarang, Choi ssi jadi merasa bingung bagaimana ia harus memberitahu Yunho. Ia tahu sekali kalau Yunho sangat protektif pada Changmin dari sejak ibu mereka meninggal. Ini pasti akan menjadi sebuah pukulan untuk Tuan Muda nya itu.
“Choi ssi, aku mengandalkanmu. Kita harus menyelamatkan Changmin”
Choi ssi mengangguk dengan lebih yakin. “Aku mengerti...” gumamnya.
- - - - -
Yunho membetulkan posisi kepalanya yang sedang tersimpan nyaman diatas pangkuan Jaejoong. Mereka sudah selesai dengan sesi berciuman yang panas dan panjang. Sekarang ia sedang menikmati sentuhan lembut jemari Jaejoong di rambutnya.
“Aku penasaran...” gumam Jaejoong sambil terus memainkan rambut tebal Yunho di jemarinya.
“Apa?” Yunho melihat pada Jaejoong.
“Kenapa kau sangat mencintai Changmin? Sejak kapan kau jadi seorang brother complex?” Jaejoong bertanya tanpa ragu, ia ingin membuat pembicaraan apapun yang mereka bahas jadi tidak begitu kaku. Ia juga ingin Yunho jadi lebih banyak bercerita padanya, apalagi sekarang sepertinya sudah jelas kalau mereka bukan sekedar teman lagi.
Yunho terdiam beberapa saat. Ia mengalihkan pandangannya dari wajah tampan Jaejoong.
“Aku sangat mencintainya karena... ibu ku sangat mencintainya” kata Yunho akhirnya.
Jaejoong mencoba memahami kalimat Yunho. Ia sungguh tak menyangka kalau jawabannya akan seperti itu dan nada suram di suara Yunho rasanya terdengar aneh bagi Jaejoong.
“Oh. Tentu saja seperti itu...”
“Karena ibu ku sangat mencintai Changmin, karena Changmin sangat penting untuk ibu ku” sela Yunho lagi. Kali ini ada senyuman yang terlihat pahit di bibirnya.
Jaejoong jadi agak mengernyitkan keningnya. Ia semakin merasakan ada yang aneh disini. Yunho sangat mencintai Changmin... karena ibunya? Tidakkah itu aneh? Dan belum lagi senyuman pahitnya. Apa mungkin sebenarnya, Yunho melakukan semua itu karena ia terpaksa? Karena ia sangat kesal ibunya lebih mencintai Changmin daripada dirinya?
Astaga! Jaejoong mengerjapkan matanya. Entah kenapa bisa-bisanya ia memiliki pikiran seperti itu. Ia bahkan baru memahami seorang Yunho sekarang. Mungkin inilah ikatan takdir yang selalu dirasakannya dari sejak ia bertemu dengan Yunho.
“Itu sebabnya aku tak akan pernah bisa mencintai siapapun lagi” kata Yunho pula sambil memandang Jaejoong. Kali ini tatapan yang sedikit sedih terlihat di matanya.
Jaejoong mencoba mengulas senyuman. Ia menundukkan wajahnya dan menyentuhkan hidungnya di hidung mancung Yunho.
“Kau sudah mendengarnya tadi... aku tidak peduli” bisik Jaejoong.
“Karena kau seorang host? Kau sudah terbiasa dengan perasaan yang sepihak?” tanya Yunho tiba-tiba, begitu datar dan polos.
Jaejoong memudarkan senyumannya dan menatap Yunho, tajam.
“Karena aku tahu kau akan segera mencintaiku!” bisiknya lagi namun setajam tatapannya.
Yunho tertawa kecil, setengah mengejek.
“Kau sangat percaya diri, tipikal host—“
“Kau membuatku kesal, Tuan!” tanpa peringatan, Jaejoong langsung melancarkan gelitikan yang mematikan di tubuhYunho. Pria itu melonjak kaget, Jaejoong semakin menjadi karena Yunho mulai seperti ketakutan. Mereka pun tertawa-tawa bodoh seperti anak kecil. Untuk pertama kalinya Jaejoong melihat Yunho begitu lepas tertawa, dan bahagia seperti ketika ia mengajaknya menaiki kereta. Pria ini memang butuh untuk lebih banyak tertawa, itu membuatnya jadi lebih tampan dan bersinar daripada saat ia bertingkah dingin dan kaku.
“Jaejoong! Hentikan!” Yunho berteriak sebelum kemudian berhasil menjebak tubuh ringan Jaejoong di sofa dengan dirinya berada diatas pria itu. Ia memegang kedua tangan Jaejoong yang jelas sudah tak bisa host tampan itu lawan. Mereka terengah-engah dan sedikit tawa masih tersisa. Keduanya saling memandang dengan tatapan yang hanya bisa mereka artikan berdua.
“Aku mencintaimu, Yunho” kata Jaejoong tiba-tiba, membuat dada Yunho berdegup nyaman.
Jaejoong yang tahu Yunho tak akan semudah itu menyahut, akhirnya mencoba untuk mendekatkan wajahnya dan mencium lembut bibir Yunho lagi. Pria di atasnya segera meleleh dan membalas ciumannya. Yunho memang sudah tak bisa berlari lagi. Setiap ciuman Jaejoong, membuatnya melupakan Changmin... melupakan ibunya... melupakan kekesalannya... melupakan masa lalunya.. bahkan membuatnya melupakan siapa dirinya.
Yunho seolah menjadi orang baru dengan kebebasan yang sangat ia inginkan sejak lama. Ia berharap bisa seterusnya seperti ini... bersama Jaejoong tentu saja.
- - - - -
Junsu berbalik sebelum membuka pintu apartemennya. Changmin berada disana, entah kenapa malah mengantarkannya sampai apartemennya. Mereka memang baru kembali dari restoran Italy dimana Changmin mentraktirnya kemudian sedikit minum-minum di sebuah cafe.
“Seharusnya aku yang mengantarmu pulang, kau tahu? Kakakmu akan membenciku setelah ini” desah Junsu, memprotes.
“Tidak apa. Lagipula aku membawa mobilnya. Kalau kau mengantarku, kau harus pulang dengan Taxi”
“Aku sudah biasa seperti itu” Junsu memutarkan bola matanya.
“Mulai sekarang, biar aku yang terbiasa mengantarmu, bagaimana?”
Sekali lagi Junsu agak terhenyak oleh ucapan pemuda ini. Ia memandangnya semakin curiga.
“Tidak. Sebenarnya apa yang kau rencakan, bayi besar?” tanyanya.
Changmin malah tertawa, lalu mengulurkan tangan untuk mengacak rambut Junsu. Pria itu cepat menepisnya, tak terima diperlakukan seperti anak kecil oleh orang yang lebih muda darinya, walau ia memang jauh kalah tinggi oleh pemuda itu.
“Hey, kau tidak sopan!” protes Junsu pula.
“Oh sudahlah, seharusnya kau berterima kasih saja padaku, Junsu”
“Ok, terima kasih. Sekarang sebaiknya kau pulang, dan... jangan melakukan lagi ini padaku. Aku sungguh tak mau membuat masalah dengan kakakmu” ujar Junsu akhirnya.
Changmin malah tertawa lagi. Sungguh sangat tak biasa karena biasanya Changmin akan sangat kesal setiap kali Junsu menyebutnya ‘bayi besar’ atau mengaitkannya dengan kakaknya yang posesif. Entah ada apa dengan Shim Changmin hari ini, dan itu sungguh membuat Junsu semakin curiga.
“Kau semakin manis kalau marah-marah seperti itu” cetus Changmin, entah sadar atau tidak, dan itu semakin membuat kecurigaan Junsu seolah akan terbukti.
“Kau ini bicara apa!? Sudahlah, pulang sana!” Junsu tak bisa bereaksi dengan baik dan tak tahan lagi untuk menduga-duga. Ia mendorong tubuh tinggi Changmin, tapi Changmin justru malah balas menarik lengannya. Tubuh Junsu yang memang lebih kecil, dengan mudah langsung terjebak di dekapan pria itu. Sekali lagi, Junsu hanya bisa melebarkan kedua matanya. “Hey—“
Junsu tak bisa melanjutkan perkataannya karena tangan Changmin memegang dagunya. Tidak begitu keras namun cukup membuat Junsu tak bisa mengelak. Pemuda itu membuatnya menghadap padanya. Senyuman lembut yang tak biasa terulas di bibir Changmin, dan malah membuat Junsu merinding. Ia antara takut, berdebar, penasaran, percaya diri... entahlah.
Sebelum Junsu sempat menduga-duga lagi apa yang akan Changmin lakukan, sebuah kecupan mendarat di bibirnya begitu saja. Singkat, namun berhasil lebih menggetarkan dadanya. Junsu terpana dan tak sempat mengatakan apapun hingga Changmin melepaskan dekapannya. Pemuda itu juga hanya tersenyum sekilas padanya dengan senyuman menyebalkan yang sepanjang hari ini sempat tak terlihat di bibirnya, lalu pergi begitu saja.
Junsu terdiam beberapa detik, mencoba mengingat lagi apa yang sudah terjadi barusan dan mengaitkannya dengan setiap adegan yang ia lalui bersama Changmin, juga perkataannya... Pemuda itu sepertinya memang ada sesuatu padanya. Walau ia bertingkah menyebalkan, tapi Junsu untuk pertama kali bisa menangkap dan menyadari ada makna dibalik semua itu.
“Oh damn” keluh Junsu pelan. Ia menyentuh keningnya yang entah kenapa terasa panas. Wajahnya juga terasa menghangat dan debaran di dadanya masih cukup kencang. “Tidak mungkin aku juga sudah terjebak olehnya... aku hanya menyukai Yoochun ssi... hanya Yoochun ssi..” gumamnya bicara dengan dirinya sendiri. Ia sungguh membutuhkan Jaejoong sekarang.
- - -
Changmin masih tersenyum-senyum bodoh setelah ia keluar dari gedung apartemen Junsu. Ia sungguh tak menduga dirinya akhirnya akan seberani itu. Ia mungkin terlalu bahagia hari ini setelah mengerjakan apa yang ia sukai ditemani oleh Junsu, lalu menghabiskan uang yang ia dapat sendiri dengan jerih payahnya bersama orang yang diam-diam ia sukai itu. Ia ingin menunjukkan kalau dirinya bukan sekedar ‘bayi besar’ bagi Junsu. Ia bisa menjadi dewasa dan bisa melakukan apa yang memang ingin ia lakukan. Yang paling penting, ia juga bisa membuat Junsu senang.
“Hi, maaf, kau adik Jung Yunho?” seorang pria tampan dengan bahasa Jepang yang sangat fasih mendadak menghadang Changmin yang sedang menuju ke mobilnya.
“Uhm, benar.. kau siapa?” tanya Changmin yang jelas tidak mengenal pria Jepang itu.
Pria itu tersenyum.
“Aku teman kakakmu. Kau bisa ikut denganku?”
“Oh, kemana?”
BUK!
Changmin tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya karena kemudian sebuah benda terasa menghantam belakang kepalanya. Ia tersungkur ke depan. Kepalanya pusing, pandangannya seolah berputar-putar ketika ia mencoba melihat pria di hadapannya sekali lagi, sebelum kemudian semuanya menjadi hitam dan gelap. Ia pingsan.
Pria Jepang itu masih tersenyum. Ia pun menyuruh orang yang tadi sudah memukul Changmin untuk mengangkat tubuh pemuda itu masuk ke dalam mobilnya. Ia sedang mengambil langkah yang penuh resiko dan tak pernah ia lakukan sebelumnya, tapi cinta yang tak bisa di hindari memang bisa membuat siapapun jadi berbeda. Entah menjadi lebih baik atau justru... menjadi buruk.
- - - - -
TBC
Rabu, 21 Agustus 2013
Rabu, 27 Februari 2013
DOU? (Fanfic Takaki x Chinen - Yaoi/PG18)
DOU?
by: Rieyo
"Gomenasai" Tsubaki membungkukkan badannya di hadapanku setelah selesai dengan penjelasannya yang cukup panjang lebar. Aku masih terpaku, mencerna perkataannya tadi di otakku. Aku belum dewasa. Aku kekanakan. Aku tak bisa mengimbanginya. Dia merasa tak pantas untukku. Dia tak mau merusakku.
Semuanya berurutan memasuki ruangan di kepalaku. Itu kata-kata yang di ungkapkan Tsubaki padaku, hingga akhirnya di akhiri dengan kalimat 'kita sudah tidak cocok, kita cukup sampai disini saja..' tak lupa ditambahi ucapan permintaan maaf yang tadi dia sampaikan sebagai kata-kata terakhir sebelum dia bermaksud pergi, menjauh.. keluar dari kehidupanku.
Kaname Tsubaki gadis pertama yang sukses membuatku jatuh cinta.. lalu patah hati. Hanya 5 bulan saja aku merasakan dunia ku jadi berwarna-warni dan penuh bunga. Aku mengalami manis dan pahitnya bercinta setelah baru beberapa bulan aku berusia 16 tahun. Memang usia yang masih sangat muda, dan pastinya di depan sana aku bisa menemukan lagi cinta-cinta yang lain. Tapi kalimat demi kalimat yang di katakan Tsubaki masih tertanam dengan jelas di benakku hingga aku sampai pada kesimpulanku sendiri.
Aku bukan pacar yang baik. Aku telah mengecewakan gadis yang kusuka. Aku bukan laki-laki yang menyenangkan.
Perlahan aku menghela nafasku, berat. Aku sudah berjalan dengan langkah gontai sejak keluar dari sekolah tadi, dan aku juga rasanya tak mau cepat-cepat pulang. Patah hati ternyata memang sangat tidak enak.
Aku berhenti di pinggir sebuah jembatan yang terlewat sebelum sampai di rumahku. Aku diam disana menatap air sungai dengan pandangan nyaris kosong. Pikiranku berkecamuk, hingga aku berani menyalahkan takdir. Kenapa takdir sekejam ini padaku? Aku rasa itu pikiran wajar disaat seseorang sedang dalam keadaan sepertiku. Dan demi tuhan aku hanya anak berusia 16 tahun yang tak pernah diperlakukan begini sebelumnya.
Aku membulatkan tanganku dan mulai meninju-ninju pinggiran jembatan. Aku memang kesal, juga sedih. Mungkin aku butuh sesuatu untuk menyalurkan perasaanku, mengekspresikan kekecewaanku, dan melupakan semuanya.
"Disini terlalu mencolok untuk bunuh diri, sepertinya kau akan cepat ditolong" suara seseorang menyentakanku. Aku menoleh dan melihat orang asing disampingku. Mungkin dia hanya lebih tua beberapa tahun dariku, seperti seorang mahasiswa atau semacamnya.. ah, aku tak peduli. Aku mengacuhkannya, sembarangan sekali dia mengira aku ingin bunuh diri.
"Aku tahu tempat yang lebih bagus" tawarnya.
Entah sihir macam apa yang orang asing itu pakai hingga aku telah mengikutinya sekarang. Beberapa menit yang lalu aku memang mengacuhkannya, tapi kemudian aku malah jadi penasaran. Dia terus bercerita tentang tempat bagus yang dia tahu. Baru kali ini aku mendengar ada tempat untuk bunuh diri semenarik yang dia ceritakan.
Aku terpana melihat pemandangan di hadapanku. Sebuah danau dengan pepohonan disekitarnya. Airnya berwarna bening dan tenang. Cahaya matahari sore yang akan tenggelam, memantul disana berwarna kuning kemerahan tercampur dengan warna kehijauan dari pohon-pohon tadi. Indah. Benar-benar sebagus yang orang itu ceritakan.
"Airnya cukup dalam dan disini juga tak banyak orang. Paling kau akan ditemukan besok sudah mengapung disana" kata orang itu setelah hampir beberapa menit kami terdiam. Dia tampak sengaja membiarkan aku takjub dengan suasana disekitarku. Aku memang tak pernah tahu ada tempat seperti ini disini.
Aku menoleh padanya yang masih tersenyum-senyum seperti saat pertama kali bertemu di jembatan tadi.
"Kenapa kau mengira aku akan bunuh diri?" tanyaku.
"Kau berubah pikiran? Yokatta.. sudah aku duga tempat ini pasti membuatmu berpikir lebih jernih"
Aku mengerutkan keningku. Orang ini..
"Indah bukan?" tanyanya pula.
"Kau harus tahu, dari awal juga aku tak pernah berniat untuk bunuh diri" ujarku, mengabaikan pertanyaannya.
"Eh??" dia memandangku shock. Yappari.. keluhku dalam hati. "La-lalu kenapa kau mengikuti aku kemari?"
"Aku hanya penasaran" jawabku agak gugup. Memang kebodohanku juga mengikutinya hingga kemari.
"Ah sou.." dia tertawa. "Aku pikir kau memang ingin menyudahi hidupmu. Ekspresimu saat di jembatan tadi terlihat depresi" jelasnya pula. Aku tak bisa menahan senyumku. Untuk pertama kalinya lagi sejak beberapa jam yang lalu aku nyaris lupa cara tersenyum.
"Sebaiknya kau bertanya dulu sebelum mengambil kesimpulan" kataku.
"Gomen"
Kami tertawa bersama.
Rasanya aku jadi lebih rileks. Di tempat yang indah dan segar seperti ini, aku merasa lebih ringan. Aku mendadak lupa begitu saja dengan masalahku, dengan kepatah- hatian ku.
"Kau anak sekolah.." katanya, baru sadar dengan seragam sekolahku. Aku mengangguk saja, lalu dia melihat jam tangannya. "Kau sudah terlambat pulang" tambahnya.
"Memang" jawabku tenang. Aku merebahkan tubuhku di rumput, menghembuskan nafasku kuat-kuat, ingin melepaskan semua kegalauanku. Kulihat langit sudah mulai gelap. "Biar aku disini dulu"
Dia tiba-tiba mendekatiku..
Dia menciumku. Orang asing itu menciumku. Mencuri ciuman pertamaku! Tapi aku tak mengelak, aku tak mendorongnya, memakinya lalu pergi dari sana, seperti yang biasa terjadi di drama-drama televisi. Sebaliknya, aku membiarkan dia..
Dia setengah berbaring disampingku, menekankan bibirnya dengan bibirku, lembut. Aku merasa nyaman dengan segera hingga mataku sudah terpejam begitu saja. Tanganku menggantung lemah di jaketnya. Aku tahu aku menyerah. Situasi ini terlalu bagus untuk aku lewatkan. Sesaat aku ingin tak peduli dengan semuanya. Dengan Tsubaki yang sudah memutuskanku, dengan komentar-komentarnya yang terus terang sempat membuatku down dan merasa tak berharga sebagai laki-laki, tentang orangtua ku yang sudah bercerai dan ayahku yang tak pernah datang sekalipun untuk melihatku, tentang ibuku yang bekerja sendiri siang-malam untuk menghidupiku hingga terkadang dia nyaris tak punya waktu untukku, tentang aku.. yang sering tak mengerti dengan diriku sendiri.
Orang asing yang sedang menciumku ini, ternyata memang membantu. Aku tak tahu apa dia seorang pencium yang baik atau tidak, karena aku tak pernah berciuman sebelumnya, tapi bagiku sekarang dia yang terbaik. Dia sudah membuatku merasa aman, nyaman, terlindungi dan tak kesepian. Aku jadi berpikir apa dia malaikat yang dikirim tuhan untuk menghiburku? Entahlah.
Kami berhenti beberapa saat untuk mengambil udara. Mata kami bertemu dan sama sekali tak ada pembicaraan disana. Aku tak bisa membaca apapun di matanya, dan aku yakin dia juga tak bisa menemukan apapun di mataku. Dia memiringkan wajahnya ke arah yang lain, dan mulai menciumku lagi. Aku menyambutnya tanpa harus banyak berpikir. Hingga aku nyaris lupa, orang yang sedang menciumku dan mengambil ciuman pertamaku ini seorang laki-laki. Laki-laki asing yang entah dari mana datangnya. Aku tahu ini aneh, tapi aku tak banyak berpikir. Ini hanya sebuah ciuman. Mungkin setelah ini kami pun tak akan bertemu lagi.
Perlahan, tanganku naik menyusuri jaketnya sampai menemukan rambut ikalnya yang kemerahan. Aku menggenggamnya, membuat dia semakin memperdalam ciuman kami. Aku tak peduli.
***
Aku menjatuhkan tubuhku di ranjang setelah menyimpan tas ku begitu saja. Aku bahkan belum melepas seragamku. Mataku menatap langit-langit kamar. Blank. Aku menyentuh bibirku, mengusapnya pelan. Kenapa aku tak menyesal sedikitpun?
"Yuuri"
Aku terhenyak melihat ibuku telah berdiri di dekat pintu kamarku. "Ada yang ingin aku bicarakan" katanya.
Aku terpana mendengar yang dibicarakan ibuku. Aku melihat pipinya merona kemerahan, dia seperti gadis belasan tahun yang sedang jatuh cinta. Aku biasa melihat ekspresi seperti itu, ketika berkencan dengan Tsubaki, tentunya jauh sebelum kejadian tadi siang saat dia memutuskanku.
"Muka mu merah Kaachan" komentarku.
"Eh? hontou? ah hazukashii~" ibuku menutupi kedua pipi dengan telapak tangannya. Wajahnya semakin memerah. Aku tertawa kecil melihat tingkah ibuku itu. Dia memang masih muda, umurku dan ibuku tak begitu jauh. Dia melahirkanku ketika berusia 18 tahun, dan setahun kemudian, suaminya pergi meninggalkan kami. Ayahku meninggalkan kami disaat ibuku sangat membutuhkannya. Di usia semuda itu dia harus mulai membesarkan aku sendirian. Mungkin itu yang menyebabkan hubungan kami jadi lebih dari sekedar hubungan ibu dan anak, kami sudah seperti teman. Aku mengerti dengan pekerjaan ibuku sebagai seorang model juga produser pencari bakat membuatnya tak begitu banyak waktu untukku, tapi karena pekerjaannya itu kami bisa hidup lebih baik terlebih lagi membuatnya merasa selalu muda. Kadang orang-orang mengira aku dan ibuku adalah saudara. Mereka nyaris tak menyangka ibuku yang cantik dan masih segar itu sudah punya anak laki-laki berusia 16 tahun.
"Lalu dia akan menjadi ayah tiri ku?" tanyaku. Ibuku memang baru saja menceritakan kisah asmaranya. Setelah sekian lama, dia mengakui baru merasakan jatuh cinta lagi. Aku tak keberatan selama dia menemukan orang yang tepat yang benar-benar bisa menyayanginya dan membuatnya bahagia.
"Aku harus menunggu sampai dia sedikit dewasa" jawab ibuku dengan senyum malu-malu di bibirnya. Aku melihat matanya berbinar-binar, hal yang jarang aku lihat sebelumnya.
Dia sudah bercerita tadi kalau laki-laki yang dia suka memang lebih muda darinya, tapi aku tak bertanya seberapa muda. Aku bisa mengira mungkin sekitar 2-3 tahun, aku tak keberatan selama dia pria yang bertanggung jawab. Aku juga tak mau tahu apa maksud kata 'dewasa' yang diucapkan ibuku. Yah, itu urusan orang dewasa.
"Sokka. Jadi apa rencanamu?"
"Mengajaknya tinggal disini" ibuku menjawab dengan cepat. Aku agak terkejut, tak menyangka secepat itu. "Aku pikir, dia bisa menemanimu saat aku pulang malam atau saat aku keluar kota" tambah ibuku lagi. Masuk akal. Ibu memang jarang dirumah dan dampaknya aku sering sendirian. Sepi.
"Bukan ide buruk" kataku akhirnya.
"Baiklah. Dia akan kemari besok"
Aku tersenyum, senang melihat ibuku senang.
= = = = =
Shock. Itu yang aku rasa sekarang. Setelah kemarin aku dikejutkan dengan pernyataan putus dari Tsubaki, sekarang aku harus terkejut lagi melihat orang yang berdiri di hadapanku. Orang itu! Laki-laki itu! Orang yang aku pikir tak akan pernah aku temui lagi, sekarang justru berada di dalam rumahku!
Baru kemarin ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Dia dengan rambut ikalnya yang kemerahan, jaket birunya.. aku ingat pernah menyentuh keduanya. Dia pencuri ciuman pertamaku!
"Kau.." gumamku nyaris berbisik. Dia juga tampak shock melihatku, tapi dia memaksakan senyuman di bibirnya.
"Kalian sudah saling kenal?" ibuku bertanya, menyela kekagetan kami.
"Uhm, tidak.. hanya seperti pernah bertemu" jawabku mengelak.
"Sokka. Yuya memang bekerja di restoran di dekat jembatan sana, mungkin kau pernah melihatnya" jelas ibuku.
"Ah iya. Sepertinya begitu" kataku.
Laki-laki yang bernama Yuya Takaki dan berusia 19 tahun itu, ternyata memang calon ayah tiriku. Laki-laki yang disukai ibuku, yang dia bilang akan menikah jika laki-laki ini sudah sedikit dewasa. Tentu saja! Sekarang usianya hanya 19 tahun, tak beda jauh dengan usiaku. Cinta memang tak mengenal usia, tapi entah kenapa aku merasa curiga padanya. Aku takut dia memang merencanakan sesuatu dibalik keinginannya menikah dengan ibuku. Ibuku memang cantik dan tak terlihat begitu tua, dia juga wanita yang mapan. Tapi dia sudah pernah menikah dan punya anak sebesar aku. Kenapa dengan laki-laki ini..?? Padahal aku yakin dia bisa mendapatkan gadis yang lebih muda.
Selain itu, kenapa harus dia? Dia orang yang mencuri ciuman pertamaku dan aku tak menyesal karena aku tak berpikir bisa melihatnya lagi. Aku hanya menganggapnya makhluk yang tak sengaja menghampiri hidupku dan melewatinya begitu saja. Sayangnya tidak. Dia akan jadi bagian dari kehidupanku untuk waktu yang lama. Permainan takdir macam apa ini??
***
"Aku tak percaya bisa melihatmu lagi" kataku saat tak sengaja kami berpapasan di dapur pagi itu. Aku mengambil susu di lemari es dan dia sedang membuat dua cangkir kopi.
"Ohayo Yuuri-kun" katanya tanpa melepaskan perhatian dari kopinya. Dia mengabaikan ucapanku.
"Aku tak mengerti, kenapa dari sekian banyak orang harus kau yang akan jadi ayah tiriku" keluhku.
"Itu takdir. Kita berjodoh"
Aku melihat ke arahnya dan dia masih membelakangiku. Aku mengerutkan keningku dan menghampirinya.
"Aku tak mau punya ayah tiri sepertimu" kataku tegas.
"Aku juga. Tapi aku senang bisa dekat denganmu.."
Senyumannya mengenaiku. Membuatku agak berdebar. Mungkin karena efek perkataannya juga.
"Apa maksudmu?" aku tak bisa menahan diri untuk tak bertanya. Yuya tersenyum sekali lagi.
"Kau tahu maksudku" katanya sambil membawa dua cangkir tadi ke dalam. Itu pasti untuk ibuku. Mereka belum menikah, tapi orang ini sudah bisa memanjakan ibuku. Kenapa aku malah merasa terganggu? Bukankah dia bisa menyenangkan ibuku? Tapi.. usia dia yang cukup jauh dengan ibuku dan kenyataan dia adalah pencuri ciuman pertamaku, membuat aku jadi tak menentu.
"Yuuri"
Aku terhenyak dari pikiranku, tak sadar aku masih terpaku di tempatku dan Yuya sudah ada lagi di depanku.
"Apa?" tanyaku.
"Mau pergi denganku besok?"
"Untuk apa?" Berani sekali dia mengajakku untuk pergi dengannya, sedangkan ibuku ada di kamar yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
"Kita perlu saling mengenal lebih dekat lagi kan?"
Aku terdiam. Mengenal lebih dekat sebagai ayah dan anak? Aku masih tak bisa membayangkannya.
"Aku rasa tidak perlu" aku beranjak dan mengambil gelasku yang berisi susu.
"Aku sudah bilang pada Mayumi-san" katanya, tampak menang karena mendapat izin dari ibuku.
"Aku sudah bilang, aku tak mau punya ayah tiri sepertimu"
"Kau tak perlu menganggapku sebagai calon ayah tirimu" katanya selalu tenang. Dan itu membuatku jadi tak bisa berkata banyak. "Aku akan menjemputmu sepulang sekolah besok" dia memutuskan sendiri dan berlalu lagi masuk ke kamar ibuku tanpa menunggu jawabanku dulu.
Aku merasa akan ada yang berubah dengan hidupku.
***
"Chinen, ada yang mencarimu di gerbang" Yamada memberitahu saat aku sedang merapikan buku pelajaranku dan memasukkannya ke dalam tas. Aku mendekati jendela dan melihat ke bawah, ada Yuya disana. Seperti yang dia janjikan kemarin, dia akan menjemputku disini. Ah, aku tak tahu apa mau nya.
"Siapa dia?" tanya Yamada pula. "Aku tak tahu kau punya kenalan seperti itu"
"Uhm, dia.. teman ibuku"
"Eh? sepertinya dia sangat muda" Yamada terheran-heran, tapi aku tak mau ambil pusing.
"Jaa, aku duluan" kataku sambil pergi dari sana. Aku merasakan tatapan Tsubaki saat aku melewatinya. Aku tak terpengaruh. Kenapa dia harus menatapku?!
Yuya membawaku ke danau itu lagi, aku langsung mengantisipasi.
"Kenapa kita kemari?"
"Bukankah kau suka tempat ini?" dia malah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan.
"Aku suka, tapi tidakkah ini aneh?"
"Apa yang aneh?"
"Dua orang laki-laki ditempat seperti ini.."
"Kita tidak berciuman lagi"
Dadaku jadi berdebar. Teringat lagi.
"Aku menyukaimu sejak aku sering mengamatimu pulang sekolah melewati jembatan yang terlihat jelas dari restoran tempatku bekerja. Awalnya aku hanya melihat sekilas tapi di hari-hari berikutnya kau membuatku penasaran. Dan aku senang sekali saat kemarin melihatmu berhenti di jembatan itu, aku jadi punya kesempatan untuk mengenalmu" penjelasan yang dia katakan terdengar seperti cerita di shoujo manga milik Tsubaki yang dulu pernah tak sengaja aku baca. Atau mirip cerita di drama-drama televisi juga. Tapi dia mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Dia menyukaiku dan ingin mengenalku sejak lama, tapi kenyataannya dia menciumku. Mencuri ciuman pertamaku!
"Aku pikir waktu itu kau sedang sangat kalut sampai tak menolak saat aku nekat coba menciummu"
Ini dia! aku memang sedang sangat kacau setelah Tsubaki memutuskanku, dan dia datang dengan tiba-tiba menawarkan aku sebuah kenyamanan. Bagaimana mungkin aku bisa menolak!? Dia benar-benar berada di waktu yang tepat.
"Itu hanya ciuman" gumamku, dibuat sedatar mungkin, seolah tak memberi kesan apapun padaku.
"Sou da ne.. dan aku sangat menyukainya" dia berkata jujur lagi. Tatapan matanya pun lekat sekali di wajahku, tatapan lembut yang aku yakin bisa membuat meleleh hati perempuan manapun. Tapi aku bukan perempuan, aku balas menatapnya.
"Jangan salah mengira. Itu.. tak ada artinya. Aku sedang kacau setelah putus dari pacarku" kataku pula, agak tajam. Aku harus bersikap melawan atau pada akhirnya aku akan kehilangan pertahanan dan menyerahkan semua. Aku takut.
Yuya nampak terpengaruh dengan ucapan tajamku. Dia mungkin merasa tak enak, seolah-olah dia hanya menjadi sebuah pelarian. Dan aku memang sempat berpikir seperti itu, dia sudah membuatku nyaman, aku merasa cukup. Aku tak ada perasaan suka seperti yang dia rasakan padaku, karena aku baru saja melihatnya waktu itu.
"Aku mengerti" kata Yuya akhirnya.
"Kau seharusnya berpikir dulu sebelum mengatakan apapun" kataku lagi, mendahuluinya yang seperti ingin berkata-kata. "Kau lihat posisimu sekarang. Kau bukan orang yang bisa dengan mudahnya mengatakan suka padaku" lanjutku.
"Aku belum menikahi Mayumi-san, aku berhak mengatakan suka pada siapapun, termasuk kau" dia membela diri. Aku menatapnya lebih tajam.
"Aku sudah menduganya.. Kau pasti punya maksud lain dengan menikahi ibuku" aku langsung menuduhnya.
"Apa maksudmu? Aku tulus pada ibumu! Aku tidak tahu kalau kau adalah anaknya.." dia tak terima.
Tulus? Lalu bagaimana dengan kata suka nya padaku?
Kami berakhir dengan perdebatan di tempat itu. Sangat terbalik dengan keadaan saat pertamakali kami bertemu dulu.
Aku agak membanting pintu kamarku, melempar tas ku dan melepas dasi ku dengan kesal. Beruntung ibuku belum pulang, jadi tak ada yang memprotes tingkahku. Laki-laki aneh diluar sana tentu saja tak ada hak untuk melakukannya.
"Aku belum selesai bicara" dia ternyata belum menyerah, sekarang dia ada di ambang pintu kamarku.
"Kau sudah tak perlu bicara lagi" sahutku kesal.
"Aku memang mengharapkan hidup yang lebih baik jika menikah dengan ibumu. Aku memerlukan uang, aku memerlukan tempat tinggal yang nyaman, aku menginginkan sebuah keluarga. Apa aku salah mengharapkan semua itu?" dia terus bicara, tak peduli dengan gerutuanku.
"Jadi materi? Aku sudah menduganya" ujarku dengan nada mengejek.
"Aku akan membalas semua kebaikan Mayumi-san dengan apapun.. apapun yang dia inginkan dariku"
Aku tertegun beberapa detik. Jadi itu? dia bersedia menikah dengan ibuku karena balas budi?
"JANGAN BERCANDA!" teriakku. Aku berdiri di hadapannya dan menatapnya setajam mungkin. Aku kesal. Sangat kesal.
"Jangan coba-coba mempermainkan perasaan ibuku" tambahku tak kalah tajam dengan tatapanku malah terdengar mengancam.
"Aku tidak akan pernah!" tegasnya.
"Lalu? Kenapa kau menjelaskan tentang kebaikan ibuku.."
"Aku akan melakukan apapun untuknya" dia memotong.
"Sou ka.. kau mencintainya bukan?"
Pertanyaanku membuatnya terdiam beberapa lama. Ada keragu-raguan di matanya. Aku benci melihatnya.
"Aku menghormatinya, menyayanginya.." jawab Yuya akhirnya. Yappari.. aku sudah menduganya. Dia memang tak mencintai ibuku, tapi dia ingin membuat ibuku bahagia.. Aku tak bisa menyalahkannya. Selama ibuku senang, apapun harus aku terima.
"Sudah cukup, aku tak mau berdebat denganmu lagi" kataku mulai menurunkan suaraku. Aku duduk di ranjangku, menenangkan diri.
"Gomen" katanya meminta maaf lebih dulu. Padahal aku yang memulai semuanya. Mungkin dia memaklumi aku hanya anak kecil yang belum berpikir panjang. "Kita tak perlu membahas ini lagi" tambahnya dan keluar dari kamarku tak menunggu aku mengatakan maaf juga. Dia tahu aku tak akan mengatakannya.
Aku merebahkan tubuhku di ranjang, menghela nafas sekuatnya. Dan mataku menatap langit-langit kamar lagi.. Blank.
***
Suasana di meja makan jadi berbeda. Ada orang yang duduk di sebelah ibuku. Kami mengobrol bersama, tapi akhirnya aku selalu merasa disisihkan lalu merasa bodoh melihat mereka bertingkah mesra.
Berkali-kali aku mengganti channel di televisi, dan semuanya nyaris sama. Aku menyerah, aku berhenti mengganti channelnya di drama yang mana saja. Aku tak mengerti satupun tentang drama-drama itu.
"Kau menonton drama?" Yuya menghampiri dan duduk disebelahku dengan membuat jarak. Dia membawa dua kaleng minuman dan memberikannya satu padaku. Jus. Sedangkan dia sendiri minum bir. Aku mengamatinya.
"Itu bir" kataku.
"Hm, kenapa?"
"Kau belum cukup umur"
"Beberapa bulan lagi aku 20 tahun" jawabnya tenang dan meneguk birnya lagi. Aku tak bisa memprotes lagi.
"Mayumi-san tampak lebih telat malam ini" Yuya melihat ke arah jam dinding.
"Kaachan memang pulang lebih larut setiap hari Jumat malam" jelasku.
"Sokka"
Kami pun terdiam, tak ada bahasan. Entah kemana pembicaraan yang biasanya selalu ada diantara kami. Mungkin sekarang kami sama-sama terlalu lelah untuk mengobrol. Perdebatan waktu itu sudah menguap begitu saja, kami sudah tak merasa untuk membahasnya lagi.
Drama yang kupilih dengan acak itu ternyata drama romantis. Aku memang tak menyimak ceritanya, tapi mataku lurus melihat ke layar. Hingga adegan disana mulai menarik perhatianku. Pemeran wanita dan prianya berciuman. Aku jadi agak tak nyaman dengan posisi dudukku. Orang disebelahku ini.. dia satu-satunya orang yang pernah menciumku, bahkan Tsubaki yang jelas-jelas waktu itu adalah pacarku, tak pernah aku beri ciuman di bibir. Entahlah.
Aku terkesiap merasakan kehangatan di tanganku. Kulirik sekilas, seperti yang sudah aku duga, itu tangan Yuya. Aku tak bergerak sedikitpun, dan dia makin mempererat genggamannya di tanganku, menyelipkan jari-jari tangannya di jari-jari tanganku. Setengah sadar, aku menyambutnya. Dan tangan kami pun terkunci.
"Yuuri" panggilnya nyaris berbisik. Aku menoleh dan melihat dia sedang menatapku seperti sedang menyampaikan sesuatu lewat tatapan matanya. Dan anehnya aku mengerti. Aku tahu yang dia maksud.
Adegan ciuman di drama itu mungkin sudah berakhir dari tadi, dan mungkin juga acaranya sudah berganti. Kami sudah tak memperhatikannya. Kami sudah sibuk dengan dunia kami sendiri. Untuk kedua kalinya kami berciuman. Aku dan Yuya. Tapi dalam kondisi yang sudah berbeda. Dia bukan lagi orang asing seperti saat pertamakali. Dia Yuya Takaki, laki-laki yang akan menjadi suami ibuku.
Rasanya memang ada yang salah, tapi entahlah, aku seperti tak peduli.
- - - - -
Yuya sudah berkali-kali mengatakan kalau dia menyukaiku. Aku sendiri masih tak yakin dengan perasaanku. Tapi aku sadar, aku tak pernah menolaknya. Setiap dia memulainya, aku pasti menyambutnya. Aku seolah tak peduli dengan apapun. Seperti waktu pertamakali kami berciuman, aku berhasil melupakan semuanya. Sekarang juga setiap melakukan itu, aku selalu nyaris tak ingat kalau dia adalah orang yang sebenarnya paling tak boleh berada dalam situasi seperti itu denganku.
Pertama, dia seorang laki-laki dan kedua, dia adalah calon suami ibuku. Demi tuhan dia adalah calon ayah tiriku!
Aku mengusap-usap wajahku, agak mengacak-acak rambutku sambil menggerutu tak jelas. Keluhan demi keluhan tak berhenti keluar dari mulutku.
"Ne, kau kenapa?" sebuah tepukan mendarat di pundakku, membuatku menghentikan monolog tak jelas yang sedang aku lakukan. Aku menoleh, dan ada Yamada disana. Dia tersenyum dan langsung duduk disampingku. "Kau jadi aneh setelah putus dengan Tsubaki-chan" komentarnya pula.
"Hah?" aku melihat pada Yamada. Benarkah aku terlihat aneh? Aku tak menyadarinya kalau sikapku nampak dari luar. Aku langsung ingat ibuku.. mungkinkah dia bisa membaca semuanya? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tanpa sadar.
"Chinen?" Yamada menepukku lagi, dan dia tertawa begitu aku memandangnya gugup. "Kau benar-benar aneh" ujarnya lagi, pasti tak habis pikir.
"Hanya perasaanmu saja" aku mengelak.
"Apa kau sangat payah setelah diputuskan Tsubaki-chan?"
"Kau bisa lihat, aku baik-baik saja" jawabku cepat. Aku memang baik-baik saja, tapi aku kerap bermain-main dengan api. Aku hanya berharap api itu tak akan membakarku.
"Hmm, apa kau masih menyukai Tsubaki-chan?" pertanyaan itu.. Aku jadi merasa seperti sedang diinterogasi oleh Yamada.
"Maa.." aku tak bisa menjawab dengan pasti. Ada rasa egoisku sebagai laki-laki yang tak bisa aku biarkan. Aku tak mau siapapun tahu kalau aku memang sangat terpukul dengan keputusan Tsubaki. Kalau saja waktu itu aku tak bertemu dengan Yuya, mungkin aku perlu berminggu-minggu untuk memulihkan patah hati ku.
"Tsubaki-chan sering menanyakanmu" kata Yamada lagi, tampak tak peduli dengan jawabanku.
"Eh?"
"Sou. Dia menanyakan siapa gadis yang dekat denganmu sekarang"
"Apa maksudnya bertanya begitu?" aku mengerutkan keningku.
"Apalagi? Dia pasti masih menyukaimu" kata Yamada yakin. "Paling dia menyesal sudah memutuskanmu"
Majide? Itu memang masuk akal, tapi apa mungkin dia memang menyesal? Pikiranku berkecamuk.
- - - - -
"Tadaima" sejak dulu aku biasa mengatakannya walau aku tahu tak akan ada yang menjawab. Tapi beberapa minggu ini sudah berbeda, ada orang itu yang suka menjawabnya. Hanya saja hari ini.. aku tak melihatnya. Aku masuk sambil melepas jas dan melonggarkan dasiku. Dia tak ada di ruang tengah ketika aku lewat sana, mungkin di kamar. Aku terus menuju dapur, membuka lemari es dan mengambil air dingin. Aku baru menghabiskannya ketika aku merasakan pelukan di pinggangku dan sebuah kecupan di pipiku.
"Okaeri" sebuah bisikan juga. Aku nyaris melepaskan gelas di tanganku kalau saja aku tak cepat menguasai diriku. Aku melepaskan diri dari pelukan Yuya dan langsung memprotesnya.
"Kau mengagetkanku!" kataku sambil meninju lengan kanannya. Aku menyingkirkannya dan menyimpan gelasku di meja makan. Tapi dia memang bukan orang yang mudah menyerah. Sekali lagi tangannya melingkar di pinggangku dari belakang.
"Gomen" lagi-lagi dia berbisik di telingaku, dan melanjutkannya dengan kecupan berantai dari telinga, pipi sampai ke leherku. Aku masih sadar dan ingin melepaskan diri, tapi sekarang pelukannya lebih kuat. Ciumannya pun makin menghangat di leherku, aku bisa menyerah kalau terus seperti ini.. aku harus menghentikannya..
Sebelum aku sempat melepaskan diri dengan sekuat tenaga, ternyata Yuya lebih dulu melepaskanku. Dan aku mendadak merasa kosong..
"Ganti seragammu, lalu kita makan malam" katanya. Dia beranjak dari sana dan aku masih terpaku di tempatku. Kenapa..? Tidak biasanya dia berhenti di tengah-tengah seperti itu. Apa dia tahu tadi aku berusaha melepaskan diri? Tapi biasanya juga dia tak peduli.
"Takaki-kun" aku memanggilnya dan dia berbalik lagi, menatapku penuh tanya. Aku jadi gugup, tapi tak urung keluar juga kata-kataku. "Apa ada yang salah..?"
"Eh?" dia menatapku bingung.
"Ano.. a-aku memang baru pulang sekolah, d-dan tadi siang aku berolahraga.. jadi--" aku menggantungkan kalimatku, tak tahu bagaimana cara menyampaikannya.
Yuya mengerutkan keningnya seperti sedang mencerna kata-kata ku, aku harap dia mengerti tanpa harus aku jelaskan lagi.
"Ah.." dia tampak mengerti. Aku pura-pura melihat ke arah lain. Dia tertawa dan aku mulai tak enak. Sudah kuduga dia pasti menertawakanku, aku merasakan hangat di seluruh wajahku. Sial.
"Ne, bau mu selalu enak, jangan khawatir. Aku hanya ingin kau lebih rileks kalau sudah mengganti seragammu" katanya. Sial. Wajahku pasti sudah memerah. Aku cepat pergi dari sana diiringi dengan senyum lebar di wajahnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa terganggu melihat sebuah pemandangan di pagi hari. Yuya dan ibuku, mereka tengah berciuman. Aku baru melihat mereka seintim itu di hadapanku, walau aku sering melihat mereka tampak mesra, tapi tidak yang seperti ini.
Aku terpaku beberapa saat. Mereka lama.. Kuso. Tak ada yang menyadari aku berada disana. Terlalu sibuk. Aku sangat terganggu dengan ekspresi Yuya, dia.. dia tampak menikmatinya, berciuman dengan ibuku. Dan kenapa aku tak menyukainya? Kenapa aku seperti ingin menentangnya? Ada perasaan kesal di hatiku.. kenapa??
"OHAYO!!" sapaku. Aku tahu aku berteriak dan mereka cepat memisahkan diri, terkejut. Aku memang terlalu berisik.
"Ohayo Yuuri" jawab ibuku. Yuya hanya menatapku shock. Dia seperti pencuri yang sedang tertangkap basah. Aku meliriknya dingin dan mengulas senyuman terpaksa di bibirku.
"Aku pikir Kaachan belum bangun" kataku berbasa-basi. Di pagi hari biasanya ibuku masih tidur karena dia sering bekerja hingga larut.
"Yuya sudah membuat sarapan"
"Hmm" aku tak berkomentar. Dengan tenang aku melewati mereka dan mengambil segelas susu. Aku minum setengahnya. Kulihat disana benar ada sarapan yang sudah disiapkan Yuya. Tapi ku tak bernapsu.
"Jaa ittekimasu" kataku setelah menyimpan lagi gelasku dan berlalu dari sana, tanpa menunggu reaksi mereka. Aku hanya mendengar ibuku berkata 'itterashai' dan dari sudut mataku, sekilas aku melihat Yuya yang masih terdiam menatapku. Dia tak bisa berkata apapun, aku tak peduli.
- - - - -
"Chinen-kun.." aku mengangkat wajahku dari buku yang sedang aku baca. Sekolah sudah usai, tapi aku masih duduk di bangku ku dan membaca buku, rasanya aku malas untuk cepat-cepat pulang.
"Ha-hai?" aku menyahut begitu melihat Tsubaki di hadapanku. Pertama kalinya kami berinteraksi lagi setelah beberapa minggu berlalu sejak kami putus. Dan dia jadi memanggilku dengan panggilan formal.
"Ada yang mencarimu di gerbang" katanya, agak mengarahkan wajahnya ke jendela.
"Oh" aku langsung melihat kesana juga. Yuya. Apa yang dia lakukan disini? Aku masih teringat kejadian tadi pagi, membuatku tak bersemangat bertemu dengannya.
"Apa dia temanmu? Aku tak pernah melihat dia sebelumnya" perkataan Tsubaki menyela pikiranku.
"Dia.. teman ibuku"
"Sokka. Dia menjemputmu?"
"Sepertinya begitu"
"Uhm.. aku berpikir untuk pulang bersama"
Eh? Aku menatap Tsubaki, dia tersenyum. Aku jadi teringat perkataan Yamada, benarkah Tsubaki..?
"Gomen" kataku, aku terpaksa menolak.
. . . . .
"Apa yang kau lakukan disini?" aku menghampirinya juga tapi tak melihat langsung ke matanya seperti biasa. Aku terpaksa menemuinya daripada Tsubaki akan curiga ada sesuatu yang terjadi di antara kami.
"Tentu saja menjemputmu"
"Aku tak memintamu menjemputku" kataku, dingin. Yuya tak berkata apapun tapi dengan cepat menarik tanganku agar mengikutinya masuk ke dalam mobil. Dia memakai mobil ibuku.
Aku terduduk di kursi penumpang depan, di sampingnya yang mulai menyalakan mesin mobil. Aku tak tahu kalau dia bisa menyetir.
"Soal tadi pagi.." dia memulai pembicaraan setelah menjalankan mobil di jalanan. Aku menoleh padanya. Dia membahas soal itu. "Gomen na"
"Untuk apa kau meminta maaf?" kataku masih dingin, meski aku agak senang dengan ucapannya.
"Kau tak seharusnya melihat itu"
Aku memandangnya lagi. Dia serius saja dengan setirnya dan lurus melihat ke depan. Kakkoi.. dia terlihat lebih dewasa saat seperti itu. Aku cepat mengalihkan pandanganku ke arah manapun asal tidak melihat padanya lagi. Ini bukan saatnya untuk memuji dia.
"Seharusnya kami tidak melakukan itu disana" lanjutnya.
"Aku tidak peduli"
Kali ini dia yang melihat ke arahku.
"Kau marah?"
"Tidak"
Aku merasa sebelah tangannya terulur dan menyentuh tanganku yang berada di atas pangkuanku. Aku ingin menepisnya, tapi dia sudah lebih dulu menggenggam tanganku dengan erat. Selalu seperti ini, kenapa aku cepat menyerah setiap dia berusaha meyakinkanku hanya dengan tangan hangatnya.
"Kau tahu kalau aku hanya menyukaimu" katanya, tanpa melepaskan pandangannya dari jalan. Aku hanya melirik dia dari sudut mataku, tak mau diam-diam memujinya lagi. "Yuuri?" dia menoleh sesaat.
"Aku tahu" gumamku, menundukkan saja wajahku memandang tangan kami yang saling bertautan.
"Kau bisa mengerti kondisiku, bukan?" tanyanya pula. Pertanyaan yang terdengar egois, dia selalu ingin aku mengerti dengan kondisinya, lalu bagaimana denganku??
"Aku mengerti.." kataku sambil melepaskan tanganku dari genggamannya. Dia menoleh lagi, dengan terpaksa melepaskan tanganku. "Dan mungkin seharusnya kita tidak seperti ini. Kondisimu tidak memungkinkan kita" tambahku, memulai lagi pembicaraan yang paling kami benci. Pembicaraan ini tak pernah berujung pada apapun, membuat kami muak.
"Kita bisa melaluinya, Yuuri"
"Benarkah? Sampai kau resmi menjadi ayah tiriku dan memberikanku seorang adik?" aku menyindirnya. Dia malah tertawa kecil.
"Bagaimana kalau aku memberimu seorang anak?"
Aku memutar bola mataku.
"Baka" gerutuku.
Ternyata aku memang tak bisa berlama-lama marah padanya. Yuya selalu bisa menenangkanku, dan masalah dia berciuman dengan ibuku pun menguap begitu saja. Bagaimanapun mereka akan menikah, aku tak punya hak untuk melarangnya, meski aku tahu aku mulai menyukai dia..
"Tsubaki? mantan pacarmu itu?" Yuya memastikan lagi, setelah aku bercerita tentang sikap aneh Tsubaki akhir-akhir ini. Setelah kemarin-kemarin dia mengajakku pulang bersama, hari ini dia membuatkanku sekotak biskuit yang hanya ku makan sedikit saat makan siang tadi, jadi aku membawanya pulang. Dan Yuya sedang memakannya sekarang. Biskuit buatan Tsubaki memang enak, dia sering membuatkannya untukku dulu waktu kami masih bersama. Kadang aku memang merindukan rasanya. Tapi setelah ada, aku malah merasa aneh. Aku tak begitu nyaman saat memakannya, Tsubaki membuatku bingung.
"Sou" aku menganggukkan kepalaku, dan memperhatikan Yuya yang tampak menikmati memakan biskuit itu.
"Ini enak" pujinya pula.
"Dia memang pandai memasak"
"Oh, kau pasti merindukannya. Ayo makanlah" Yuya menyodorkan setengah biskuit yang sudah dia makan, ke mulutku. Aku tak bisa mengelak karena dia memaksaku.
"Ne, ciuman tidak langsung" bisiknya, sambil tersenyum konyol. Aku hampir tersedak, tapi cepat mengambil air minumku. Yuya malah tertawa-tawa, aku menatapnya tajam. Kenapa harus orang bodoh ini yang suka padaku!? dan kenapa aku menyukainya juga..? ck.
"Aku ada kabar bagus untuk kalian" ibuku tiba-tiba datang dan bergabung dengan kami.
"Kabar apa?" tanyaku penasaran. Ibuku tersenyum senang.
"Aku akan libur selama seminggu. Aku akan punya banyak waktu untuk kalian" katanya membeberkan kabar yang menurutnya kabar bagus. Jika dia mengatakan ini beberapa bulan yang lalu sebelum dia membawa Yuya kemari, mungkin aku pun sependapat dengannya. Dan aku pasti senang. Tapi sekarang?? Aku merasa tak ada alasan untuk senang.
Aku masih tercengang saat Yuya membuyarkan semuanya.
"Yokatta na, Mayumi-san"
Aku melihat padanya, dia memasang senyuman terbaiknya. Itu palsu kan? Atau dia memang benar senang ibuku mendapat libur hingga mereka bisa terus berduaan..
"Kau senang, Yuuri?" ibuku bertanya, membuat aku nyaris gugup memasang senyuman lebar di wajahku. Aku tidak sungguh-sungguh, walau senyumanku selalu tampak manis dan tulus.
"Aku senang" kataku. Ibuku mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambutku. Aku tak memprotesnya. Yuya tersenyum dan matanya bertemu denganku. Aku bisa membacanya.. kecemasan sepertiku.
- - - - -
Sikap Tsubaki yang aneh semakin menjadi-jadi. Aku jadi yakin dengan perkataan Yamada kalau mantan pacarku itu mungkin ingin kembali. Ditambah sore itu dia mengejutkanku dengan kedatangannya ke rumah. Yuya yang membuka pintunya dan kami pun duduk di ruang tengah. Tsubaki membawa sekotak sushi buatannya sendiri. Dia biasa membuatkan sushi kesukaanku untuk makan siang saat kami masih berpacaran.
"Ah Tsubaki-chan, jadi merepotkanmu. Kau tak perlu membawa apapun" Yuya berada di tengah kami dan menghidupkan suasana, karena aku memang tak tahu harus berkata apa.
"Takaki-san boleh mencobanya" kata Tsubaki membukakan kotak itu dan menyodorkannya di hadapan Yuya.
"Benarkah? ah aku jadi tidak enak.." Yuya tersenyum-senyum sambil melirikku sekilas, aku hanya memperhatikannya datar. Aku tak mengerti apa maksudnya malah bergabung dengan kami sampai mereka sempat berkenalan, dan Tsubaki pun tahu kalau Yuya adalah teman dekat ibuku. Dia juga mungkin sudah mengira kalau suatu hari Yuya akan menjadi ayah tiriku.
"Douzo Takaki-san" kata Tsubaki lagi dan dengan senang hati Yuya menyambutnya.
"Baiklah.. itadakimasu~" dia mengambil satu buah sushi menggunakan sumpit yang biasa aku pakai ketika makan siang dengan Tsubaki. Itu sumpit couple, kami tak sengaja membelinya bersama saat sedang kencan, dulu.
"Umai~" puji Yuya begitu dia memakannya, "Tsubaki-chan sangat pandai membuatnya.. memakan ini membuatku senang" katanya pula, tampak sangat terkesan dengan sushi itu.
"Ah hontou? arigato Takaki-san" Tsubaki pun tersenyum senang dengan pujian Yuya, wajah manisnya agak merona.
"Ne Yuuri, ayo makan juga" Yuya mengambilkan sebuah dan menyodorkannya ke depan mulutku. Kebiasaan buruknya, dia suka sekali menyuapiku malah kadang dia membagi makanan yang sedang dia makan. Hanya kali ini dia tak melakukannya di depan Tsubaki.
Aku membuka mulutku dan memakannya, memang enak seperti terakhir kali aku memakannya.
"Itu kesukaan Chinen-kun" kata Tsubaki pula.
"Sokka. Tsubaki-chan tampak sangat mengerti Yuuri" sahut Yuya. Tsubaki tersenyum saja. Dan aku mengutuki Yuya yang terlalu banyak berkomentar.
"Oishi.. Aku boleh menghabiskannya?" kataku menyela mereka. Dari tadi aku membiarkan mereka saja yang mengobrol.
"Tentu saja" Tsubaki terlihat berbinar-binar mendengar perkataanku. Aku memang sudah tak tahu dengan perasaanku padanya, tapi aku juga tak mau mengecewakannya. Aku tak berpikir untuk balas dendam.
"Jangan menghabiskannya sendirian" protes Yuya. Aku mengacuhkannya.
"..jadi kalian pernah berpacaran? pantas Tsubaki-chan begitu mengerti Yuuri" Yuya berkomentar lagi, dia berakting seolah tak tahu apa-apa soal aku dan Tsubaki. "Yuuri beruntung sekali bisa berpacaran denganmu.. Tsubaki-chan pasti sangat memperhatikannya" tambah Yuya lagi, aku tak mengerti kenapa dia banyak sekali bicara hari ini.
"Aku terus berusaha. Tapi ternyata memang tak bisa bertahan lama" kata Tsubaki, dia seperti akan mencurahkan semua tentang hubungan kami pada Yuya. Secepat itu dia merasa nyaman dengan orang ini.. ck.
"Sou da yo ne. Mungkin dia memang belum saatnya berpacaran. Dia kadang masih sangat manja"
Aku nyaris membelalakan mataku menatap laki-laki di depanku ini. Dia membuat pernyataan-pernyataan yang seenaknya. Dia menyebutku manja? yang benar saja! Selama ini aku selalu mengerjakan apapun sendiri, nyaris tak ada yang memperhatikanku karena ibuku sangat sibuk. Tapi dia orang asing yang baru beberapa minggu tinggal bersamaku malah menilaiku seperti itu.
"Dia masih kecil" lanjutnya pula sambil tertawa, Tsubaki ikut tersenyum lucu. Mungkin dia setuju dengan perkataan Yuya, karena dulu dia memutuskanku pun karena alasan itu. Dia menganggapku masih kecil, kekanakan..
"Oi Takaki-kun, jangan bicara sembarangan!" sergahku. Dia masih tertawa-tawa.
"Chinen-kun sebenarnya cukup dewasa, hanya dia agak tidak peka dengan keinginan wanita" kata Tsubaki akhirnya. Sekarang dia mengatakan yang lain tentang aku.. cukup dewasakah? dulu jelas-jelas dia menyebutku kekanakan! Tidak peka..? Aku tak mau mengerti lagi. Dua orang ini tak bisa dipercaya, membicarakan aku tepat di depan hidungku.
"Ah sou? dia payah sekali" komentar Yuya lagi, mereka tertawa-tawa. Sial. "Jadi menurutku Tsubaki-chan seharusnya bisa berpacaran dengan laki-laki yang lebih baik"
Apa maksudnya itu?! Aku menatap tajam lagi pada Yuya.
"Tapi Chinen-kun sudah cukup baik untukku" sahut Tsubaki malu-malu. Hah??
"Tidak, seharusnya Tsubaki-chan mendapat laki-laki yang lebih baik. Anak ini payah, itu kan sebabnya kalian putus kemarin?"
Yuya berkata panjang lebar dan Tsubaki menyahutnya tak kalah panjang. Aku diacuhkan. Mereka berdebat tapi sambil tertawa-tawa dan yang paling parah, mereka mendebatkan aku. Tsubaki yang bersikeras seperti ingin kembali padaku lalu Yuya.. dia sangat bersikeras juga seperti ingin menentang kami, tak mau membiarkan kami kembali. Dia terus mengatakan Tsubaki seharusnya mendapatkan pacar yang lebih baik daripada aku.
Aku menghela nafas.
- - - - -
"Kenapa tadi kau cerewet sekali?" gerutuku setelah Tsubaki pulang, dan tinggal kami berdua lagi. Ibuku akan pulang besok pagi dari luar kota, setelah itu dia akan libur selama 1 minggu. Waktu kami berdua hanya sampai besok pagi, seterusnya mungkin tak akan ada lagi tingkah-tingkah sok manis yang biasa dilakukan Yuya padaku.
"Kau tak suka aku banyak mengobrol dengannya, huh?" dia malah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan, kebiasaan buruk.
"Aku bilang kau terlalu banyak bicara. Berkata tentang aku seenaknya" kataku agak tak sabar.
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya" katanya tenang.
"Kau banyak mengarang" sangkalku. Yuya tertawa.
"Kau tak perlu semarah itu. Aku hanya ingin menolongmu"
"Hah?" aku melihat padanya tak mengerti.
"Aku tahu kau tak mau kembali padanya. Gadis itu jelas-jelas ingin mendapatkanmu lagi" terangnya.
"S-siapa yang bilang aku tak mau kembali..?"
"Kau mau?" dia menatapku. Dia tampak tahu kalau aku tak jelas dengan perasaanku. Pertanyaannya tentu saja memojokanku. Aku menghela nafasku, mencoba mengalihkan pertanyaannya. "Setidaknya kau berterima kasih padaku" katanya lagi, nada suaranya mendadak dingin. Aku mengerutkan keningku, melihat dia berjalan ke arah dapur. Aku mengikutinya dan berdiri di dekat pintu.
"Kau tidak melakukan sesuatu yang--"
"Jadi kau benar mau kembali padanya, setelah dia mencampakanmu seperti itu!?" Yuya cepat memotong dan menatapku tak percaya. Kata-kata tajamnya agak membuatku terhenyak. "Kau tahu kalau aku menyukaimu. Kau pikir aku akan diam saja melihat kalian?"
"Jadi, itu.. apa kau.." aku tak bisa mengatakan kalimatku dengan jelas.
"Aku tidak apa-apa kalau kau bersama gadis yang benar-benar bisa menerimamu apa adanya, tidak Tsubaki yang mempermainkanmu seperti itu. Setelah dia mencampakanmu, dengan enaknya dia ingin kembali padamu!? ck!" Yuya berkata panjang lebar dan tampak marah. Dia membalikkan tubuhnya membelakangiku. Mungkin tak ingin aku melihat kekesalannya, dan aku mendadak ingin tersenyum. Ternyata Yuya sangat peduli padaku, kelakuan konyolnya tadi hanya karena dia memikirkanku. Dia manis juga. Perlahan, aku berjalan menghampirinya, berdiri tepat di belakangnya.
"Kau.. cemburu" gumamku pelan, tapi aku tahu dia mendengarnya. Dia seperti ingin menengokkan kepala, tapi di tahannya. Aku tertawa pelan. Pertamakalinya aku melihat dia semarah ini, ternyata lucu juga. Aku pun melingkarkan tanganku di tubuh Yuya, memeluknya dari belakang. Kepalaku bersandar nyaman di punggungnya..
Dia terhenyak dengan pelukanku yang tiba-tiba. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya, aku tak pernah mengambil inisiatif lebih dulu. Tapi sekarang, entah kenapa aku ingin melakukannya, memeluk dia selama mungkin.
"Yuuri.." panggil Yuya, lembut.
"Hmm?" aku bergumam di punggungnya. Ada bau khas darinya yang ku suka jika tubuh kami berdekatan seperti ini. "Kau cemburu, iya kan? Akui saja, Takaki-kun" kataku pula. Aku merasakan tangannya menyentuh tanganku. Dia suka sekali menggenggam jari-jari tanganku. Dan tentu saja aku, aku suka dengan tangannya yang hangat setiap menyentuh tanganku. Perlahan, dia melepas pelukanku dan membalikkan tubuhnya menghadapku. Dia memandangku, aku membalasnya dengan agak mendongakan kepalaku ke arahnya. Dia sedikit menunduk, hingga wajah kami cukup berdekatan.
"Ternyata kau peka padaku. Kenapa kau tak bisa peka pada Tsubaki?" katanya agak berbisik, menggodaiku. Aku mengerutkan keningku dan memukul lengannya pelan. Dia tertawa kecil, lalu tangannya menarikku hingga nyaris menabrak tubuhnya, membuat kami semakin merapat. Tangannya melingkar di pinggangku, sedangkan tanganku tersimpan di dadanya. Mata kami tak berhenti saling menatap, walau aku agak kaget dengan kelakuannya dan dadaku mulai berdebar tak karuan. Tapi ternyata bukan aku saja, dari tanganku yang menempel di dadanya, aku bisa merasakan jantungnya pun berdetak lebih cepat.
"Besok, mungkin aku tak bisa memelukmu lagi seperti ini" katanya. Pikiranku pun langsung menuju kesana, pada ibuku yang akan libur nanti. Yuya benar, kami tak akan punya kesempatan seperti ini lagi.
Yuya tersenyum sebelum menyentuhkan bibirnya denganku. Mungkin tadi dia menunggu aku mengatakan sesuatu, tapi aku terlalu tercekat untuk berkata-kata. Perbendaharaan kata di otak ku seperti menghilang dan akhirnya benar-benar blank ketika dia menciumku. Ciuman kami yang kesekian, tapi aku masih saja merasa gugup seperti baru kali ini kami melakukannya.
Ini memang terasa lain. Ada sesuatu yang lebih membuatku berdebar daripada biasanya. Tangannya mengusap pinggangku, lembut. Aku seperti menahan helaan nafasku. Dia memiringkan lagi kepalanya agar ciuman kami lebih terasa nyaman dan dalam. Tanganku pun mulai bergerak dari dadanya menuju pundak, hingga ke belakang lehernya. Aku mengeluh pelan di bibirnya saat dia memutar posisi kami, hingga sekarang aku terjebak di antara tubuhnya dan meja dapur. Tanpa melepaskan ciuman, dia mengangkat tubuhku dan membuatku duduk di meja dapur..
Tubuh kami agak sejajar dengan posisi seperti ini. Dia bisa lebih mudah menciumku, aku merasakan detakan jantung yang bersahutan di dada kami yang menempel.
Tangan Yuya di pinggangku mulai menyusup ke kaosku, bersentuhan dengan kulit tubuhku yang mungkin sudah memanas. Aku pun makin erat memeluk lehernya, memainkan ujung rambut ikalnya dengan jariku. Aku merasa nafasku mulai limit, beruntung Yuya pun melepaskan ciumannya. Kami terengah, tapi aku belum bisa membuka mataku karena kurasa bibir Yuya mulai turun ke dagu ku.. ke leherku. Salah satu tanganku mencengkram rambutnya. Sementara dia terus mengusap kulit di balik kaosku. Nafasku jadi terasa berat, tubuhku makin memanas. Aku bisa merasakan hal yang sama di tubuh Yuya. Kita bertindak terlalu jauh.. iya kan? Otakku menyadarinya, tapi aku tak ada keinginan untuk menghentikannya. Tanpa sadar, aku mengeluh lagi dan menggigit bibirku saat kurasa Yuya melakukan sesuatu dengan kulit leherku. Aku malah menekan belakang kepalanya, membuat dia makin terbenam di lekukan leherku. Aku tak bisa mengendalikan diriku lagi, dan aku tahu Yuya juga..
"T-Takaki.. -kun" gumamku, hanya bisa menyebut namanya. Aku seperti tak punya pilihan lain, aku menyerah. Tubuhku nyaris berbaring disana, tapi tangan Yuya terus memegang tubuhku. Dia berhenti dengan leherku dan mulai dengan kecupan berantainya hingga ke telinga kananku.
"Yuya. Panggil aku Yuya" bisiknya, membuat tubuhku merinding. Aku membuka mataku sedikit dan dia balas melihatku dengan senyumannya. Aku meraih wajahnya agar lebih menghadapku, dan kami mulai berciuman lagi. Hidung kami yang berbenturan jadi terasa seperti marshmallow. Ciuman kami sudah sangat meningkat. Aku merasakan salah satu tangannya sudah berada di dadaku, menyentuhku dengan halus. Membuatku mengeluarkan suara-suara tak jelas lagi. Aku ingin menghentikannya tapi aku tak bisa. Semuanya seperti sudah ter-set dengan sendirinya.
"I love you" aku mendengar dia menggumamkan sesuatu diantara ciuman kami. Kata-kata yang belum pernah dia katakan sebelumnya.
Aku tak menyahut apapun, tak tahu harus berkata apa. Lebih baik pura-pura tak mendengarnya.
Yuya menghentikan ciuman, dan menyandarkan dahinya di dahiku. Nafas kami berbaur nyaris tak beraturan.
"Kita.. hh-harus pindah.." kata Yuya disela-selanya mengambil nafas.
"Eh??" hanya itu yang bisa keluar dari mulutku meski aku mengerti maksudnya. Kami sudah tak bisa mengendalikan diri lagi, harus menemukan tempat yang lebih nyaman.
Yuya. Aku merasa sudah memanggil namanya berkali-kali, bukan Takaki-kun seperti biasanya. Aku menuruti yang dia minta. Aku menyebut namanya setiap merasakan sesuatu yang membuatku bergejolak.
Hangat.
Nyaman.
Yuya.
Yuya lagi.
Perlahan, aku membuka mataku dan menggerakan tanganku yang seperti terjebak sesuatu.
Yuya?
Ada Yuya disana, memeluk tanganku erat.
Pikiranku langsung teringat pada kejadian semalam..
Aku menarik tanganku dari pelukannya, langsung bangun dari posisi tidurku dan shock melihat tubuhku tak memakai piyama seperti biasanya.
Ada beberapa titik aneh di dadaku, aku cepat menarik selimutku, menutupinya.
Aku melihat pada Yuya yang masih lelap tertidur. Dia juga.. tak memakai bajunya. Aku mengeluh pelan dan mengusap-usap wajahku, hingga mataku melihat ke arah jendela yang terang benderang. Cahaya matahari menyusup dari tirai. Sudah siang? aku melihat jam di meja belajarku.. pukul 7.00. Yabai.
"Takaki-kun!" aku mengguncangkan tubuh Yuya agar dia cepat bangun. Dia bergerak dan menggumam sambil menarik tanganku, hingga aku terjatuh di dadanya. Aku berusaha melepaskan diri, tapi dia sangat kuat.
"Aku sudah bilang, panggil saja aku Yuya" katanya dengan mata yang masih terpejam dan senyuman aneh di bibirnya.
"Takaki-kun!" aku memanggilnya lagi, kali ini agak berteriak. Dia membuka matanya dan memandangku bingung. Aku cepat melepaskan diri dari pelukannya.
"Yuuri?"
Aku menutup lagi tubuhku. Gugup juga rasanya. Aku nyaris tak berani melihat wajahnya.
"Cepat keluar dari kamarku"
"Hah?" dia melihat ke sekeliling dan mengerti juga kalau dia bukan berada di kamarnya. "Yuuri.. kita--?" dia tak melanjutkan perkataannya, karena aku lebih dulu menatapnya tajam. Dia terdiam. Kami terdiam. Berpikir. Kejadian kemarin sore.. Semalam..
"Ne, cepat keluar. Kaachan akan segera pulang!" tiba-tiba aku teringat lagi. Bukan saatnya untuk kami merenung sekarang. Tak ada waktu.
Yuya pun seperti tersadar. Dia segera bangun, menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan turun dari ranjangku. Dia tampak gugup mencari-cari sesuatu. Aku tahu, dia pasti mencari bajunya. Aku melihat ke samping bawah di dekatku. Ternyata ada. Aku tak mengerti kenapa bisa sampai kemari.
"Ini" kataku melemparkan baju itu padanya, dia langsung menangkap dan memakainya. Tapi dia tak cepat pergi dari sana dan malah melihat ke arahku.
"Apa lagi?" tanyaku. Dia tersenyum.
"Ohayo Yuuri" katanya, dan membuat ekspresi mencium di wajahnya.
Malu, aku melemparkan bantal ke arahnya.
"Takaki-kun!!"
- - - - -
"Aku ingin kita kembali seperti dulu" kata-kata Tsubaki membuatku terkesiap. Ragu-ragu aku menoleh padanya yang berjalan di sampingku. Kami baru pulang dari acara pergi berdua, setelah beberapa kali aku menolaknya dengan halus. Lama-lama aku tak enak terus menolaknya. Dia sudah sangat berusaha. Jadilah sekarang kami pergi berdua lagi seperti berkencan, setelah hampir beberapa bulan ini kami berteman.
Kami berhenti begitu tiba di depan rumahnya, dia berdiri di hadapanku dan tersenyum lembut.
"Aku selalu menyukaimu, Chinen-kun. Aku ingin kau kembali padaku" dia mempertegas semuanya. Mata beningnya yang indah menatapku penuh harap, meski aku tahu dia pasti mengira aku akan menerimanya. Aku tak tahu harus berkata apa. Sulit. Tak bisa berkata tidak dan tak mau berkata iya.
Aku menggigit bibirku perlahan, kemudian mengulas senyuman untuknya. Matanya berbinar. Dia pasti menganggap jawaban positif dari senyumanku.
"Aku akan lebih memahami mu. Aku tak akan banyak menuntut darimu" katanya pula, meyakinkanku. Kata-kata yang pantasnya diucapkan oleh laki-laki sepertiku.
Aku masih terdiam saat Tsubaki menghilangkan jarak diantara kami. Wajah manisnya hanya beberapa centi saja dariku, dan sebelum aku sempat berkedip, dia mengecup bibirku. Sebuah kecupan yang sangat polos. Kami memang belum pernah melakukannya, dan ini membuatku berdebar. Dia tersenyum lagi.
"Oyasumi" katanya. Lalu berbalik masuk ke rumahnya, tanpa menunggu reaksi ku dulu. Aku sempat melihat rona merah di pipinya tadi. Mungkin dia malu. Dan aku lebih memalukan.. hanya bisa diam. Dari awal hingga sekarang, aku hanya diam, tersenyum tanpa mengungkapkan apa yang ada di pikiranku. Aku jadi setuju dengan perkataan Yuya kalau Tsubaki pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik daripada aku. Aku sangat payah. Aku seharusnya dulu tak heran kenapa Tsubaki mencampakanku, karena aku memang pantas dicampakkan. Aku tak lebih dari seorang pengecut.
Aku menghela nafasku. Sekarang aku harus menghadapinya. Aku tak boleh jadi pengecut untuk kedua kalinya. Aku pun beranjak dari sana, aku ingin cepat pulang dan tak mau memikirkannya.
"Yuuri" seseorang memanggilku setelah aku berjalan cukup jauh dari rumah Tsubaki.
Mataku membelalak ketika kulihat siapa, pantas aku familiar dengan suaranya.
"Takaki-kun? sedang apa kau disini?!"
"Aku sudah menduga kau mengantarnya pulang" dia tak menjawabku.
"Tentu saja aku mengantarnya pulang. Jangan bilang kau membuntuti kami?!" sahutku menuduhnya.
"Benar.."
"Aku memang membuntuti kalian. Kau tidak suka?" kata Yuya datar. Aku agak heran dengan sikap dan cara bicaranya.
"Aku hanya menebak. Tidak usah memasang muka mengerikan begitu" sahutku dan melanjutkan lagi jalanku, mengacuhkannya.
"Kau tak bisa menghindar dariku" dia mengikutiku. Suaranya masih datar seperti tadi, malah lebih tajam. Aku mengerutkan keningku dan menengok padanya sekilas.
"Kenapa aku harus menghindarimu?" kataku tak mengerti. Aku sebenarnya senang karena ternyata dia membuntuti ku dan Tsubaki, ternyata dia peduli juga padaku. Tapi dia terlihat aneh. Aku bisa merasakan dari tatapan dan nada bicaranya. "Hujan.. kau lihat? aku bukan menghindarimu, tapi ini sudah akan turun hujan" tambahku yang tersadar sebuah titik air mengenai keningku. Untung rumahku sudah dekat.
"Aku melihatnya.." Yuya berkata ketika aku bermaksud mempercepat langkahku. Melihat?
Aku menghentikan langkahku bersamaan dengan hujan yang turun langsung membasahi kami. Aku berbalik dan melihat padanya, dia tampak tak peduli dengan hujan yang cukup deras ini. Dia benar-benar aneh.
"Takaki-kun.."
"Aku melihat dia menciummu, dan kau diam saja" potong Yuya tajam. Aku agak terkejut. Itu.. itu rupanya. Aku sendiri nyaris tidak ingat tadi Tsubaki menciumku.
"Memangnya aku bisa--"
"Dimana harga dirimu sebagai laki-laki? Dia sudah mencampakanmu!" lagi, dia memotong perkataanku, membuat aku makin terkejut. Aku bisa melihat ekspresi kesalnya di balik air hujan yang menyirami kami. Dia tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Aku memang pengecut, kau tak perlu mengingatkanku lagi" kataku mulai terganggu dengan ucapannya. Aku berbalik dan meneruskan menuju rumahku yang hanya tinggal beberapa meter saja.
"Berhentilah jadi pengecut!" kata Yuya yang mengikutiku lagi.
"Aku tahu, kau jangan cerewet!" aku menyahut tanpa menengok lagi padanya.
"Kau masih bodoh!"
"Bukan urusanmu!"
"Aku tak suka melihatnya!"
"Aku tak minta kau melihatnya!"
"Harusnya kau menolak dia!"
"Kau sudah tahu kalau aku pengecut!" diulang lagi. Perdebatan ini membuatku muak.
Sebuah sentakan di tanganku membuat aku menghentikan langkah dan berbalik dengan terpaksa. Yuya. Dia menarik tanganku, kasar. Aku tak sempat protes, karena beberapa detik kemudian, tangannya yang lain merengkuh pinggangku, membuat tubuh basah kami merapat. Dia menatapku dalam-dalam, dan aku bisa membaca kegalauan di matanya.
Pelan, jemari dingin Yuya mengusap bibirku yang basah. Aku bisa menduga apa yang akan terjadi selanjutnya...
"Kau bergetar" bisik Yuya. Tentu saja dia bisa merasakan tubuhku yang bergetar, dia memelukku se erat ini.
"Kita berada di tengah hujan, baka. Jelas aku kedinginan" sahutku, berusaha tak terpengaruh dengan tindakannya. Bukankah tadi kami sedang berdebat?
"Kedinginan, hah?" Yuya makin mempererat pelukannya. Aku mencoba melepaskan diri, tapi memang tak mungkin.
"Takaki-kun, sebaiknya kita cepat ke rumah.. kita bisa sakit kalau terlalu lama seperti ini" protesku.
Dia tampak tak peduli. Salah satu tangannya terus mengusap wajahku dari tetesan-tetesan air hujan. Aku tak mengerti apa yang ada di benaknya. Di tatapannya hanya ada kegalauan.
"Takaki-kun.." aku tak menyelesaikan kalimatku karena Yuya menghentikanku dengan menaruh telunjuknya di bibirku. Dia tersenyum. Untuk pertama kalinya lagi sejak beberapa saat yang lalu. Aku diam. Dadaku berdebar kencang, dia selalu membuatku seperti ini.
Perlahan, dia menarik telunjuknya dari bibirku, sangat lambat sampai aku merasa bibirku agak terpisah. Aku sudah menduganya.. dan agak mengharapkannya.
Yuya menciumku. Bibirnya yang basah terasa dingin dan bergetar. Dia juga pasti kedinginan. Aku tak menolak, aku menyambut ciuman itu dengan sendirinya. Di saat menjelang malam dalam tengah hujan yang cukup deras.. suasana yang sempurna. Romantis.
Nyaman, meski kami basah kuyup. Tubuh kami yang sama-sama basah dan kedinginan jadi terasa hangat dengan merapatkannya seperti ini.
Yuya menyelipkan lidahnya diantara ciuman kami, sangat meminta dan nyaris tak sabar. Aku hanya mengikuti, semakin memiringkan kepalaku, mencengkram jaketnya. Ciuman kami pun semakin dalam dan tak bisa di elakkan.
Tetes-tetes air hujan ikut masuk ke mulut kami. Aku merasa mulai kehabisan udara dan air hujan ini membuatku tersedak. Reflek, aku melepaskan ciuman kami dan terbatuk-batuk. Sangat merusak suasana.
"..Daijobu..ka?" tanya Yuya mengusap wajahku lagi. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan tak berani melihat ke arahnya.
"..Go..men.." aku berusaha minta maaf. Dia tak berkata, hanya melonggarkan pelukannya dan menarik tanganku pergi dari sana, menuju rumah.
Sudah selesai kah? padahal aku suka dengan suasana tadi..
Dia membawaku ke samping rumah, dimana disana ada sebuah jendela besar. Yuya membuatku bersandar disana, menjebak tubuh basahku diantara tubuhnya dan kaca besar di belakangku. Beruntung tirainya sudah di tutup, jadi tak akan terlihat dari dalam. Aku ingat ibuku.
"Takaki-kun, kita--" dia menciumku lagi. Ini pasti lama..
Yuya mengangkat tangan kiriku dan menjebaknya di samping atas kepalaku dengan tangan kanannya. Tangan nya yang lain memegang pinggangku. Dia menciumku seperti tak pernah menciumku sebelumnya. Lembut, tapi agak memaksa dan ada keresahan di dalamnya. Putus asa? Aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.
Tangan kananku yang dari tadi mencengkram bahunya mulai naik ke belakang lehernya, aku terlalu lemah untuk menyingkirkannya.. selain itu ciumannya pun memang selalu membuatku menyerah. Membuatku tak ingat apapun.
Aku mengeluh pelan merasakan tangan dinginnya menyusup ke balik kemejaku, mengangkatnya, membiarkan tangannya bebas menelusuri setiap jengkal kulit di pinggang hingga ke perutku. Ciuman kami terus berlanjut, tanganku mulai terbenam di antara rambut ikalnya yang basah.
Kami mulai kekurangan udara yang masuk ke paru-paru, hingga melepaskan ciuman. Aku tersadar dan mengambil kesempatan untuk menghentikannya. Tempat ini tidak aman, ibuku mungkin saja memergoki kami.
"Takaki-kun, disini--ahh.." Aku bersuara tanpa sadar ketika bibir Yuya menciumi leherku.
Ciuman ini.. perasaan ini.. aku ingat, sama dengan saat aku dan Yuya.. malam itu.. di ranjangku..
"..Takaki-kun.. jangan--" aku makin mencoba menghentikannya, karena dia semakin tak terkendali. Tangannya menjelajahi pinggangku, perutku, dadaku.. aku bisa merasa kemeja ku sudah berantakan. Aku memegang wajahnya agar menghadapku lagi, dia harus mendengarkanku atau kami akan berakhir disini.
"..di dalam ada Okaachan, sebaiknya kita tidak macam-macam" bisikku.
"Dia tak akan melihat kita" sahutnya, yakin. Dia mencium bibirku kilat, aku tak sempat mengelak. Tapi aku cepat menatapnya lagi, serius.
"Jangan menganggap remeh"
"Kau terlalu khawatir" dia tersenyum dan mengecup hidungku, aku berkedip dan begitu sadar, dia sudah mencium bibirku lagi. Ya, tuhan.. dia sangat keras kepala. Aku jadi melingkarkan tanganku di lehernya, mengejar irama ciumannya yang sangat tidak teratur. Apa dia jadi bernafsu gara-gara suasana dingin dan basah di sekitar kami? Apa karena tubuh basah kami yang merapat satu sama lain?
Aku merasa tak ada lagi benda basah yang menempel di tubuhku. Yuya sudah menanggalkan kemejaku. Aku memejamkan mataku kuat-kuat saat sekali lagi Yuya menurunkan ciumannya ke leherku, ke dadaku.. rasanya semakin ke bawah, tapi aku membawa dia kembali ke atas. Aku membantu dia melepas jaket dan kausnya.
Kami memang sudah terlalu jauh, tapi tak ada yang mau berhenti..
"Takaki-kun.." entah sudah berapa kali aku memanggil namanya. Aku merasa bibirku tak berhenti bergerak mengeluarkan suara-suara yang membuatku malu sendiri mendengarnya.
"Kau ribut sekali" bisik Yuya di telingaku. Aku merasa wajahku semakin menghangat. Mungkin wajahku sudah sangat merah sekarang.
Aku mencoba menyahut, tapi lagi-lagi aku hanya bisa mengeluh. Yuya melakukan sesuatu lagi di kulit leherku. Aku terus memejamkan mataku dan menggigit bibirku untuk menahan menyebut namanya.
"Jangan menahannya, sebut saja namaku.. Yuya.." dia berbisik lagi, tubuh dinginku bergetar merasakan hembusan nafasnya di telingaku.
"Yu..ya.." aku langsung menurutinya begitu saja. Tanganku erat melingkar di tubuhnya, aku memeluknya seperti takut dia akan meninggalkanku. Secepat ini aku sudah menyerah. Beruntung, hujan masih turun, bisa menutupi suara-suara yang aku keluarkan.
Aku merasakan Yuya tersenyum di leherku, ciumannya menjauh ke arah pundakku yang sudah tak tertutup apapun. Aku menekan belakang kepalanya tanpa sadar, dan saat itu tangan Yuya menemukan ujung celanaku. Tangannya menggapai-gapai tak jelas berusaha menyentuh tulang pinggangku. Dia tampak ingin membukanya. Aku cepat menggerakkan tanganku memegang pergelangan tangannya yang sudah akan membuka celanaku. Aku tersadar begitu saja, jadi aku cepat menghentikannya. Mataku terbuka, menatapnya. Dia balas melihat padaku.
Aku tak mengatakan apapun, tapi mataku menunjukkan keberatan.
"Kau takut?" gumamnya. Nafasnya yang agak memburu mengenai wajahku, hangat. Aku nyaris menutup mataku lagi, tapi aku bertahan.
"Aku takut" jawabku tanpa banyak berpikir. Aku melihat senyuman di ujung bibir Yuya, sebelum tiba-tiba dia memegang pinggangku lebih kuat dan membalikkan tubuhku hingga aku menghadap ke kaca. Aku sangat terkejut, tapi tak sempat mencegahnya. Tanganku menekan kaca untuk menahan tubuhku. Yuya menyimpan tangannya tepat di atas tanganku, menggenggamnya. Aku suka merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku hanya karena genggaman tangan itu.
Kecupan-kecupan terasa di pipi hingga ke pundakku. Dada Yuya menempel di punggungku, aku bisa merasakan detak jantungnya yang cukup liar sepertiku.
Lagi, aku hanya memejamkan mataku.
"Yuuri.." bisikannya membuatku membuka mata perlahan. Pemandangan pertama yang kulihat, bayangan wajahku sendiri yang memantul di kaca. Kuso, aku mengumpat dalam hati melihat
Aku memang menyukainya. Aku memang jatuh cinta padanya. Dia sudah menjadi orang yang spesial untukku. Aku tak pernah keberatan dia menciumku, memelukku, menyentuhku, membuat banyak tanda merah di leher dan sekujur tubuhku, aku juga tak keberatan tertidur dengannya di ranjangku dan sekarang aku pun tak keberatan dia menciumiku tanpa henti dari sejak kami berhujan-hujanan tadi.
Tapi ketika sejauh ini, aku tidak bisa.. aku tak mungkin membiarkannya lagi.
"Cukup Takaki-kun.." aku sedang berada dalam kesadaran penuh. Aku tak boleh terkalahkan lagi.
"Hmm?" Yuya bergumam di pundakku. Aku menghentikan tangannya yang mulai berkutat lagi dengan celanaku. Yuya tak boleh melakukan ini padaku.
Aku melihatnya dari balik bahuku, dia menatapku. Di matanya, keresahan dan nafsu bercampur aduk. Dia mencoba menciumku, tapi aku mengelak dengan cepat. Pikiranku benar-benar sedang sadar sepenuhnya. Yuya tak menyerah, dia membuatku menghadap lagi padanya dan terus mencoba menciumku. Tangannya semakin bebas menjelajahi tubuhku yang terbuka. Aku mengelak sekuat tenaga, hingga aku berhasil mendorongnya. Melepaskan dia dari tubuh kami yang sudah saling menghangatkan dari tadi. Aku mengakui terasa ada yang kosong.
"Yuuri?" dia menatapku terkejut dengan yang kulakukan.
"Sudah cukup" kataku. Aku tak perlu menunggu dia bereaksi lagi, dengan cepat aku mengambil pakaianku yang berserakan di bawah. Sudah sangat basah dan kotor. Yuya tak sempat mencegahku. Aku segera pergi dari sana, masuk ke dalam rumah. Yuya tak mengejarku, dia sadar itu tak mungkin.
Aku masuk ke rumahku dengan hati-hati. Ibuku pasti kaget melihatku datang dengan keadaan basah dan tak berpakaian seperti ini. Aku berhasil melewati ruang tengah dan menuju kamarku, karena ibuku tak ada disana. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan air hujan yang rasanya jadi lengket, belum lagi bekas-bekas ciuman Yuya...
Aku terpana melihat bayanganku sendiri di cermin, dimana-mana ada tanda itu. Aku harus memakai syal lagi untuk menutupi di bagian leherku. Lemas, aku menahan tubuhku di wastafel tak berani lagi menatap bayanganku sendiri. Yang sudah ku lakukan tadi semakin tak bisa aku terima. Kenapa aku masih saja tak bisa menolak setiap tindakannya? Apa karena aku sudah jatuh cinta padanya? Tapi ini tidak benar, dia bukan orang yang seharusnya aku cintai, bukan orang yang seharusnya mencintaiku. Dia calon ayah tiriku. Aku tak bisa memungkiri kalau aku tak mau dia meninggalkanku. Reaksi nya saat melihatku dengan Tsubaki cukup membuatku senang. Dia sangat peduli padaku. Tapi aku tetap merasa ini tidak benar.
"Yuuri?? Kau sudah tidur??" terdengar suara ibuku dna ketukannya di pintu kamarku. Aku segera memakai piyama ku dan menyahut dengan malas.
"Hai, aku masih bangun"
"Kalau begitu keluarlah, kita menonton film bersama" katanya lagi.
"Hai" aku menyahut dan beranjak dari depan cermin. Aku sebenarnya ingin tidur saja, tapi aku tak enak menolak ajakan ibuku.
Di bawah, kulihat ibu dan Yuya sudah duduk di sofa melihat ke arah televisi yang akan memutarkan film. Aku duduk di sisi ibuku, dia diantara aku dan Yuya. Aku mencoba tak melihat ke arahnya, walau aku bisa merasakan tatapannya cukup lekat padaku.
Suasana menonton yang aneh. Setidaknya untukku, karena ada ibuku diantara aku dan Yuya. Kami tak pernah seperti ini sebelumnya. Yang membuatku semakin merasa aneh karena apa yang sudah terjadi diantara aku dan Yuya tadi. Di balik jendela kaca itu kami hampir melakukannya. Parah. Aku tak sedikitpun melihat pada laki-laki yang duduk tak jauh dariku ini. Aku menyukainya. Tapi aku takut.
"Popcorn~" kata ibuku begitu dia kembali dari dapur dan duduk lagi di tempatnya. Di tengah-tengah aku dan Yuya. Ibuku menyimpan mangkuk popcorn yang dia bawa di pangkuannya agar memudahkan kami bertiga mengambilnya.
"Ah akhirnya kita bisa seperti ini" kata ibuku lagi. Dia bersandar di sandaran sofa dan menghela nafas lega. Aku senang juga melihat dia bisa bersantai seperti ini. Hanya saja soal aku dan Yuya..
Aku merasakan sebuah tangan menggenggam tanganku hangat di dalam mangkuk popcorn saat aku mau mengambilnya. Itu tangan Yuya. Aku meliriknya tajam, dia malah tersenyum tanpa dosa. Aku tak mengerti apa yang ada di otaknya. Berani sekali dia bertindak begini sedangkan ibuku- calon isterinya ada di antara kami sekarang. Walau aku tahu ibuku tak memperhatikan karena terlalu serius dengan film nya, tetap saja ini bodoh!
Aku menarik tanganku saat ku rasa Yuya mulai memainkan jemariku. Dia benar-benar tak bisa dipercaya! Sekali lagi aku meliriknya tajam, memberi dia peringatan kalau aku tak setuju dengan yang dia lakukan. Tanpa menunggu reaksinya lagi, aku bergeser ke ujung sofa dan menyandarkan kepalaku disana. Aku mencoba menyimak film nya, tak mau lagi berurusan dengan laki-laki yang duduk di samping ibuku. Aku tak mau memikirkannya dulu, sudah cukup kejadian di tengah hujan tadi membuatku tak karuan. Aku merasa bersalah, takut tapi aku juga bahagia.. Perasaan konyol ini membuatku benci pada diriku sendiri. Kenapa..?
- - - - -
Kecupan hangat dan sedikit basah mendarat di pipiku. Aku menggumam pelan dan tak jelas tanpa membuka mataku. Kecupan itu mulai mendarat di tempat lain, di keningku, hidungku.. tapi tidak di bibirku, dia melewatnya. Aku tetap tak mau membuka mataku, percuma.. ini pasti hanya mimpi. Tak mungkin Yuya menciumiku saat aku tertidur, terlalu beresiko.
Yuya? Aku memang familiar sekali dengan sentuhan bibirnya di kulitku walau tanpa melihat wajahnya, aku tahu itu dia. Tanganku menggapai dan menyentuh wajahnya, terasa nyata. Tapi aku masih yakin ini hanya mimpi. Aku hanya membiarkannya sampai dia menghilang sendiri atau aku yang terbangun..
Seperti yang aku duga, kecupan-kecupan itu menghilang dengan sendirinya. Aku membuka mataku perlahan, dan sadar aku masih berada di salah satu ujung sofa dengan kepala bersandar di lengannya. Leherku agak sakit saat aku menggerakannya. Aku melihat ke sekeliling, tak ada siapapun. Televisinya sudah mati. Ibuku dan Yuya tak terlihat lagi. Mangkuk popcorn kosong tergeletak di tempat ibuku duduk tadi.
Sepertinya pesta kecil ibuku sudah selesai, aku malah tertidur disini dan mereka tak membangunkanku. Mereka mungkin sudah masuk ke kamar masing-masing. Aku juga payah. Aku sudah berusaha tak memikirkan Yuya, tapi mimpiku tadi sangat memalukan. Aku masih saja berharap melakukan sesuatu dengannya setelah nyaris terjadi di luar tadi sore.
Gila.
Aku mengacak-acak rambutku sambil beranjak dari sana menuju ke kamarku. Aku masih mengantuk dan akan melanjutkan tidurku. Siapa tahu dia akan datang lagi di mimpiku.. huh? benarkan? aku sudah gila.
Langkah kaki ku melambat saat kudengar suara-suara yang terdengar aneh di telingaku. Suara-suara yang membuat aku mendadak merinding. Aku menoleh ke arah dari mana suara itu berasal.
Kamar ibuku.
Tidak.
Aku tertegun disana beberapa saat memastikan kalau pendengaranku tidak salah.
Suara-suara itu semakin jelas terdengar dan tak terasa aku sudah menahan nafasku sendiri.
Tidak.
Aku merasakan sesak di dadaku.
Tidak.
Aku tak sanggup lagi mendengarnya. Tanganku langsung menutupi kedua telingaku, dan kaki ku cepat berlalu dari sana menuju kamarku.
Tubuhku bergetar hebat, bukan karena rasa nyaman yang biasa menghampiri saat aku sedang bersama Yuya. Ini getaran yang menyakitkan, tak sadar aku merasakan mataku sudah menghangat..
Sial!
Aku mengusap air mata dari pipiku dengan ujung lengan piyamaku.
Suara-suara itu yang membuatku risau. Sakit hati aku menerka-nerka apa yang terjadi disana. Yuya.. Tubuhku lemas dan terduduk sambil bersandar di pintu kamarku.
Aku memang bukan siapa-siapa, dari awal aku tak seharusnya menyela kebahagiaan ibuku.
Beberapa jam yang lalu aku masih berdebar karena tindakan manisnya padaku, dan sekarang aku harus terpuruk disini menyesali diriku sendiri.
- - - - -
"Yuuri, kenapa buru-buru sekali? Ini masih pagi, kau masih sempat sarapan" ibuku memandangku heran, melihat aku yang setelah turun dari kamar langsung memakai sepatuku.
"Aku janji berangkat dengan temanku" kataku singkat. Aku meliriknya sekilas, rambut ibuku basah.. Yuya juga.
Rasanya aku mau menghilang saja.
. . . . .
Sekotak bento yang tampak lezat terpampang di hadapanku. Insting laparku tak berpikir dua kali saat aku mulai membukanya dan agak berseru takjub melihat isi bento itu.
"Kau suka?" Tsubaki mengambil tempat dan duduk di kursi di depanku. Aku nyaris lupa kalau gadis ini yang membawakan bento untukku. Aku memang terlalu peduli dengan perutku yang kelaparan, gara-gara tidak sarapan tadi pagi.
"Hai. Arigato.." kataku, mengulas senyuman untuk Tsubaki.
"Hontou? yokatta~ kalau begitu makanlah" dia memberiku sumpit yang biasa aku pakai. Aku mengangguk sebelum mengucap 'itadakimasu' dan mulai makan. "Rasanya sudah lama tidak seperti ini.." kata Tsubaki lagi setelah beberapa detik kami serius dengan makanan masing-masing, terutama aku yang hanya ingin membuat perutku kenyang dengan makanan enak buatan nya ini. Dia benar, sudah beberapa bulan berlalu sejak kami putus. Dulu kami biasa makan siang bersama seperti ini.
"Sou" sahutku seperti bergumam karena mulutku agak penuh. Tsubaki tersenyum dan mengulurkan tangannya, mengusap ujung bibirku, tampaknya ada nasi yang menempel.
"Aku senang kita bisa bersama lagi" katanya.
Aku menelan makananku dan coba tersenyum walau aku tahu rasanya kaku. Dia menganggap kami sudah bersama lagi.. sedangkan aku tak berpikir begitu. Tapi tentu saja aku tak mungkin menyalahkan perkataannya. Sama saja itu berarti aku menolaknya, aku tak sampai hati melakukan itu, walau Yuya sudah sering mengingatkanku tentang Tsubaki yg sudah mencampakanku. Menurut Yuya, aku jelas-jelas tak boleh memberinya kesempatan lagi.
Yuya.
Kenapa aku jadi ingat padanya? Mendadak membuatku mual mengingat lagi kejadian semalam dan tadi pagi. Kuso.
Aku mengambil air minum yang sudah disiapkan Tsubaki dan meminumnya. Rasanya perutku jadi kenyang.
"Eh? kau sudah selesai?" tanya Tsubaki karena aku tak melanjutkan makanku.
"Sepertinya aku sudah kenyang" kataku.
Tsubaki tersenyum, dia menyimpan juga sumpitnya dan mengambil sesuatu dari tas nya, sebuah jeruk.
"Pencuci mulut" katanya. Dia masih ingat saja kalau aku suka buah jeruk. Dia mengupasnya dan menyuapiku. Aku menerimanya saja walau ada keraguan di hatiku. Dulu kami memang biasa seperti ini, tapi sekarang aku tak menikmatinya lagi. Perasaanku sudah berubah. Aku tak merasakan apapun lagi padanya. Tak ada lagi dari dirinya yang membuatku berdebar.
"Tsubaki-chan kau mau ke rumahku?"
Tsubaki tampak tercengang dengan ajakanku.
Aku sadar, tapi ada yang aku perlukan juga darinya.
Untuk melupakan Yuya.
. . . . .
Rumahku kosong ketika aku pulang. Biasanya ada Yuya, tapi aku tak melihat dia dimanapun. Ibuku juga..
"Tidak ada orang?" tanya Tsubaki yang mengikutiku masuk ke dalam rumah.
"Yea, sepertinya mereka sedang pergi" aku tidak tahu apa nada suaraku terdengar seperti membuat alasan atau tidak. Hanya saat melihat Tsubaki sekilas, dia tengah tersenyum sendiri. Huh, dia pasti mengira sebenarnya aku sengaja mengajak dia datang karena rumahku sedang kosong. Padahal aku benar-benar tidak tahu kalau dirumah tidak ada orang. Aku tadinya malah berpikir ingin menunjukkan kedatanganku bersama Tsubaki. Aku tahu kalau itu akan membuat Yuya terganggu.
"Duduklah" aku membiarkan Tsubaki duduk di sofa di depan televisi. Aku menuju dapur untuk mengambil minuman, dan seperti yang aku duga ada note tertempel di pintu lemari es. Aku membacanya :
yuuri,
kami pergi berjalan-jalan dan mungkin sampai makan malam, kau tak perlu menunggu kami. aku sudah siapkan yang kau suka di lemari es. kau bisa kan membuat makan malammu sendiri? gomen ne ^^
-okaasan
Aku mengeluh. Mencabut note itu lalu meremas dan melemparkannya ke tempat sampah. Rupanya mereka benar-benar menghabiskan waktu berdua, untuk memanfaatkan masa libur ibuku.
"Apa yang mau kau minum, Tsubaki-chan?" tanyaku setengah berteriak dari tempatku.
"Eh? ehm.. apapun aku tidak apa-apa" jawabnya dari ruang tengah.
"Ok" gumamku dan mengambilkan dua buah kaleng jus. Aku kembali lalu memberikan satu kaleng pada Tsubaki.
"Arigato"
Aku hanya tersenyum dan duduk di sampingnya. Sepi. Tak ada yang bicara diantara kami. Aku mengambil remote dan menyalakan televisi, setidaknya membuat suasana jadi tidak terlalu sepi dan aneh. Tapi kami masih terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku teringat Yuya dan ibuku, membuatku semakin sadar kalau tak akan ada celah lagi untukku. Aku harus segera menarik diriku dari kegilaan ini.
Aku melihat Tsubaki bergerak di tempatnya dari ujung mataku. Dia lebih rileks menyandarkan tubuhnya di sofa. Aku meliriknya perlahan, mataku langsung jatuh ke lehernya yang agak terbuka karena dia membuka kancing atas seragamnya. Kuso. Aku mengutuki diri dalam hati tapi mataku tak berhenti menjelajahi wajahnya. Tsubaki memang cantik, tak salah kalau dulu aku sangat menginginkannya. Hanya saja aku tidak memperlakukan dia seperti seorang gadis yang aku sukai. Aku belum pernah menyentuhnya.
Pelan, aku mulai mendekat. Kuhirup wangi di sekelilingnya, seketika otak ku pun berhenti berpikir..
Tsubaki meremas rambutku bersamaan dengan ciuman kami yang semakin dalam. Dia bergumam tak jelas di bibirku, membuat tubuhku merinding dan akal sehatku semakin tak bisa dikendalikan.
Tsubaki telah berbaring di sofa dengan aku di atasnya. Entah sudah berapa lama kami berciuman seperti ini, rasanya sudah berjam-jam. Kami berhenti setelah nyaris tak ada udara yang masuk ke paru-paru. Nafas kami memburu dan berbaur. Tsubaki menatapku lembut.
"Yuuri.." dia memanggil namaku. Tangannya masih memainkan rambutku. Aku tak menunjukkan ekspresi apapun, datar. Sedatar perasaan yang menyergap saat kami berciuman tadi. Tak ada debaran-debaran tertentu, aku hanya merasakan naluri laki-laki ku tergerak dengan keadaan Tsubaki yang tanpa pertahanan seperti ini. Tapi semuanya kosong, tak ada perasaan bahagia yang aku rasa ketika melakukannya dengan Yuya. Dia lagi. Disaat seperti ini pun aku masih memikirkannya. Aku benci.
Tanpa perlu berkata-kata, aku meneruskan ciumanku ke leher Tsubaki. Tempat yang dari tadi sudah aku amati. Dia tampak terkejut sesaat, tapi kemudian kembali rileks. Tangannya meremas rambutku dan mencengkram seragamku. Dia menyukainya, aku tahu dari tarikan nafasnya yang agak berat. Aku juga bernafas seperti itu saat aku dan Yuya..
Aku mengangkat diriku dari tubuhnya. Dia menatapku heran, karena aku berhenti dengan tiba-tiba. Aku sudah cukup, dari tadi pikiranku tak bisa lepas dari Yuya. Aku harus menyudahinya.
"..Tsu-Tsubaki-chan.. kamarku.." aku berkata-kata nyaris tak jelas dengan kalimatku sendiri. Tapi Tsubaki tampak langsung mengerti. Dia mengangguk begitu saja. Aku mungkin sudah gila, tapi tak urung aku menarik tangannya dan membawa dia ke kamarku di lantai atas. Aku tak ingat untuk mematikan televisi lebih dulu.
Disinilah aku mulai lagi dengan keraguanku. Kami malah terduduk di ranjangku, tak berkata dan melakukan apapun. Tsubaki menatapku bingung, aku tak berani melihat ke arahnya. Kemana perginya keintiman yang tadi terjadi? aku tidak tahu bagaimana cara memulainya lagi.
"Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan" suara Tsubaki memecah keheningan. Aku mencoba melihat ke arahnya dan tak menunjukkan wajah ragu-ragu ku.
"Gomen" aku memaksakan senyuman. "Aku hanya berpikir, apa ini tidak apa-apa?" kataku lagi, mengelak.
"Aku.. tidak apa-apa" sahut Tsubaki, pelan. Aku menarik nafasku, lalu mulai membuka kancing seragamku. Dia menatapku, aku tak mau terlihat bodoh. Pelan, aku meraihnya, menyelipkan tanganku ke dadanya
. . . . .
"Gomen.. gomen" aku berkali-kali membungkukkan badanku. Tsubaki hanya menggeleng sambil mengancingkan kembali seragamnya. Aku mengamati wajahnya yang memerah, entah marah, malu atau menahan tangis. Aku sudah melakukan hal bodoh.
"Seharusnya kau jangan memulai jika kau memang tak siap" ujarnya pelan. Aku menggigit bibirku. Ini ketololan yang biasa terjadi padaku. Menghentikan hal yang membuatku ragu, tepat disaat-saat terakhir.
"Gomen" kata maafku seperti tak berguna lagi.
"Sampai jumpa besok di sekolah" Tsubaki berkata dan beranjak dari ranjangku. Dia langsung keluar tanpa menungguku mengatakan apapun. Aku cepat menyusul, dia sudah mengambil tasnya dan baru akan membuka pintu ketika pintunya terbuka lebih dulu. Yuya, dia sudah pulang.
"Eh? Tsubaki-chan?"
"Aku pulang. Jaa Takaki-san" Mereka saling menyapa disana. Aku hanya terdiam di dekat tangga, hingga sadar Yuya sudah berada di hadapanku.
"Apa yang dia lakukan disini?" tanya Yuya mengerutkan keningnya.
"Bukan urusanmu" jawabku dingin, dan cepat berbalik menuju kamarku lagi. Tapi Yuya mencengkram lenganku.
"Tunggu! Jangan bilang kalian--" dia tak melanjutkan kalimatnya. Matanya tajam menatap seluruh tubuhku. Sial, aku baru sadar kalau aku belum menutup kancing seragamku lagi. Ini bahkan sudah sangat terlihat berantakan. Siapapun yang melihat, akan langsung menduga apa yang sudah aku lakukan.. dengan gadis yang baru keluar dari rumah ini.
"Yuuri..??" dia mulai menatapku tak percaya.
"Aku berhak melakukan apapun dengan pacarku. Seperti kau dengan ibuku" sahutku lebih dingin lagi. Yuya memandangku shock. Dia melepas cengkramannya tapi bukan berarti dia akan melepasku begitu saja.
"Yuuri, kau tidak mungkin--"
"Kenapa kau sudah kembali? mana Kaasan? katanya kalian akan kembali setelah makan malam?" aku menyela dan mengalihkan pembicaraan sambil melanjutkan menuju kamarku.
"Tunggu, Yuuri!" dia menarik tanganku lagi, tapi aku cepat menepisnya.
"Kita sudahi saja semuanya, Takaki-kun!" kataku tak bisa menahan lagi kekesalanku.
"Apa!? kau jangan bicara sembarangan!"
"Aku sudah cukup! aku tak mau seperti ini lagi!"
"Kau tidak serius, Yuuri"
"Aku sangat serius. Kita benar-benar harus berakhir"
"Tapi, aku--"
"Kau ayah tiriku!" lagi, aku menyela dan membuatnya terdiam. Kepanikan terlihat di matanya. Apa dia sungguh tak mau kehilangan aku? Aku tak mau menyerah lagi.. Tidak.
"Sudah cukup" aku coba menepisnya lagi. Dia masih diam.
"Ada apa ini?kalian bertengkar?" Okaasan pun menghentikan kami.
- - - - -
"Itu.. Takaki-san, bukan?" perkataan Tsubaki membuatku melihat ke depan dan reflek agak melambatkan langkahku. Yuya ada di dekat gerbang melihat ke arahku. "Dia menjemputmu" tambah Tsubaki lagi.
"Aku tidak minta dia menjemputku" sahut aku cepat. Aku memang benar tidak tahu kalau dia akan datang, dan aku sedang tak mau bertemu dengannya. Di rumah pun aku berkali-kali menghindari dia, aku tak mau lagi berdua saja dengannya dalam satu situasi. Kemarin dulu ibuku memergoki kami yang sedang bertengkar, untung saja Yuya bisa membuat alasan yang bisa diterima ibuku. Tapi aku semakin merasa cukup dengan semua itu, aku semakin bertekad dengan keputusanku untuk melupakan Yuya dan kembali pada hari-hariku sebelumnya, walau aku merasa lain.
"Aku tidak langsung pulang" kataku saat sudah berada di dekatnya, tanpa menunggu dia berkata apapun dulu, aku cepat berjalan melewatinya. Tsubaki tampak bingung tapi tetap mengikutiku juga.
"Yuuri!" seperti yang aku duga, Yuya memanggilku. Suaranya tidak kasar tapi terdengar tegas. Dia mungkin kesal atau marah. Ada Tsubaki disini, aku tak mau dia bisa membaca sesuatu yang mencurigakan diantara kami. Aku menghentikan langkahku, dan melihat ke arahnya. Tsubaki memandang bingung lagi ke arah kami.
"Aku dan Tsubaki-chan akan main dulu, kau sampaikan saja pada Kaasan" kata ku, lagi tak membiarkan dia mengatakan apapun dulu. Aku tak berharap dia akan membahas hal bodoh tentang kami disini, di depan Tsubaki. Terang saja itu akan menyeret aku dan dirinya sendiri dalam masalah besar.
"Kau tak akan pergi kemanapun. Ayo pulang denganku!" Yuya akhirnya berkata, dan menarik tanganku.
"Ne, aku sudah bilang.. aku dan Tsubaki-chan akan--"
"ii yo Yuuri, kita bisa main besok" Tsubaki memotong perkataanku. Aku tahu dia canggung pada Yuya yang terlihat sedang marah.
"Bagus. Besok-besok kalian masih punya banyak waktu" Yuya lalu menarikku pergi dari sana menuju mobil. Aku mencoba berontak, tapi tak bisa, pegangan tangannya sangat kuat. Tsubaki semakin terlihat bingung, aku benar-benar takut dia akan mencurigai sesuatu.
"A-aku akan meneleponmu nanti. Gomen ne!" kataku agak berteriak pada Tsubaki, karena Yuya sudah jauh menyeretku.
"Baka. Aku yakin Tsubaki pasti akan mencurigai sesuatu" aku tak bisa menahan lagi kekesalanku setelah sampai dirumah. Untung ibuku sedang pergi, Yuya meninggalkannya di salon tadi. Masih ada beberapa jam sebelum dia menjemputnya lagi.
"Kita perlu bicara, Yuuri"
"Tidak lagi" aku menggeleng.
"..ini bukan ide buruk, bukan? kita bisa terus berdekatan kalau aku dan Mayumi-san benar-benar menikah. Aku melakukannya demi kita. Dari awal aku hanya menyukaimu.." Yuya terus berkata-kata mencoba meyakinkanku. Aku antara menerima dan tidak. Aku antara senang dan merasa berdosa.
"Kau tidak berhak berkata seperti itu. Kau menyakiti ibuku!" akhirnya aku bereaksi.
"Tidak. Aku tak bermaksud begitu.. Aku hanya mau membiarkanmu tahu, kalau perasaanku ada untukmu.. bukan untuk Mayumi-san.."
"Urusai! Berani sekali kau berkata begitu setelah semua yang kau lakukan dengan ibuku!" nada suaraku agak meninggi tanpa aku sadari. Dan Yuya memang terpaku disana, shock. Dia mungkin tak mengira aku tahu semuanya.
"Yuuri, itu hanya.. aku tak mau mengecewakan Mayumi-san.." Yuya memelankan suaranya di kalimat terakhir. Seperti ada sesuatu yang menghantam hatiku saat mendengarnya. Entah kekesalan macam apa yang aku rasa sekarang.. semuanya tak karuan.
"Sudah cukup. Aku tak mau mendengar apapun lagi" kataku memintanya berhenti bicara. Aku menyandarkan punggungku di tembok terdekat dengan helaan nafas yg terhembus lewat mulutku. Aku nyaris tak sadar kami masih berada di dekat pintu masuk.
"Aku mohon.. Kita pasti bisa melewatinya" ujar Yuya, mulai memohon padaku. Dia mendekat dan memojokanku di tembok. Tatapannya lekat sekali, membuatku berdebar seperti biasa. Dengan cepat aku berusaha menyangkalnya. Tidak. Aku tak boleh berdebar lagi padanya. Aku tahu ini bisa jadi buruk.
Aku segera menstabilkan diriku, tak mau membiarkan dia mengendalikanku terus.
"Aku tidak tahu. Jangan memaksaku.."
"Kau tahu apa yang kau rasakan padaku. Kau tahu kau tak mau menjauhiku" Yuya memberiku masukan-masukan yang terang aku tentang.
Aku memejamkan mataku, mencoba menepis suara-suara Yuya.
Tapi, tanpa aku sempat menyadari situasi, sesuatu yang lembut dan aku kenal mengenai bibirku.
Sial! Aku membuka mataku, dan memang terlambat. Yuya mendekapku, menciumku. Dia sama sekali tak memaksa, sebenarnya aku bisa mendorong dia dengan keras kalau aku mau berusaha. Tapi aku sangat tak bisa dipercaya. Aku membiarkannya hingga aku menyerah. Tanganku memegang ujung jaketnya, sedikit ragu aku membalas ciumannya
Ya tuhan.. Aku harus cepat menentang semuanya setelah ini selesai. Dengan pikiran itu, aku jadi bergerak sesuai yang aku inginkan. Kami pun berciuman dengan hasrat dan putus asa.
Tapi mendadak, aku menjauhkan tubuh Yuya. Kulihat Tsubaki ada disana.. menatap kami horor.
Sial!
Sial!
Tsubaki seperti membeku disana, menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Pasti pemandangan yang dia lihat tadi sangat tak bisa diterima akal sehatnya. Akupun terpaku, menahan nafasku. Yuya tak beda jauh, dia terlihat panik juga meski mencoba tenang.
"Kalian.." Tsubaki tak mampu melanjutkan kalimatnya. Suaranya bergetar, sebentar lagi dia pasti menangis. Aku harus mengatakan sesuatu untuk menenangkannya, tapi sebelum aku sempat membuka mulutku, dia sudah berbalik keluar lagi. Dia menjatuhkan buku yang dipegangnya. Itu buku catatan miliknya, yang tadi disekolah aku bilang mau aku pinjam.
Kaki ku terasa kaku. Aku memungut buku itu, dan berpikir untuk mengejar Tsubaki, tapi badanku seperti tak mau digerakkan.
Aku menoleh pada Yuya yang masih terdiam di tempatnya.
"Sekarang bagaimana?" aku bertanya tanpa aku mau tahu jawabannya. Yuya memandangku, dia tampak berpikir.
"Kita pergi saja dari sini. Ikutlah denganku, Yuuri"
"Huh? Lari? Kau mengajakku lari dari semua ini?!" aku agak menghardiknya, tak mengerti dengan jalan pikirannya.
"Tak ada cara lain-"
"Jangan berani-beraninya kau mempengaruhi anakku!" sebuah suara yang mengejutkan kami, tiba-tiba menyela. Sial lagi. Aku mengutuki diriku dalam hati.
Okaasan mendadak sudah muncul disana, menatap kami tajam, terutama pada Yuya. "Aku sudah mempercayaimu, dan apa yang kau lakukan pada anakku?! Bajingan!!" ibuku mulai berteriak. Yuya tampak pucat, dan aku sudah merasakan lemas di sekujur tubuhku. Kulihat Tsubaki ada di belakang ibuku, dia menangis. Ini semua pasti kebetulan, Tsubaki memergoki kami, lalu pergi dan bertemu ibuku yang baru pulang. Dia menceritakan semua yang sudah dia lihat, terang saja ibuku kalap.
"Ma-Mayumi-san.. aku b-baru akan menjemputmu.." Yuya coba berkata dengan terbata-bata. Dia masih berani mengalihkan pembicaraan, padahal ibuku sedang semarah ini.
"KELUAR KAU!" teriak ibuku lagi, "Aku menyesal pernah mengenalmu! Jangan berani-berani kau mengganggu kami lagi, terutama anakku!" Okaasan menarik tanganku, membawaku masuk. Yuya sudah benar-benar pucat, aku tak tega juga melihatnya.
"Tunggu Kaachan, kau salah paham" aku mencoba menenangkannya, walau aku sendiri pun bingung untuk apa. Apa aku benar-benar menyukai Yuya dan ingin menyelamatkannya? seharusnya tidak perlu.
"Apa maksudmu dengan salah paham? Kau jangan coba-coba membelanya. Aku tak percaya kau tega melakukan ini padaku!"
"Tapi Kaasan-"
"Aku menyukai Yuuri" Yuya menyela kami.
Aku membelalakan mataku.
TIDAK!
- - - - -
EPILOG
Dia terlihat disana, di balik jendela kaca yang dia bilang adalah tempatnya untuk mengamatiku setiap pulang sekolah. Sekarang aku yang berdiri di dekat jembatan dan mengamatinya dari sini. Dia mungkin sudah tak mau melihat ke arah sini lagi.
2 tahun sudah berlalu, tanpa terasa. Yuya sudah selama itu pergi dari kehidupanku dan kehidupan ibuku. Aku jadi ingat bagaimana dulu ibuku sangat kalap begitu tahu semuanya. Dia mengusir Yuya, bahkan setelah Yuya membuat pengakuan tentang perasaannya padaku, ibuku semakin tak terima. Aku juga menyalahkan Yuya saat itu, dia sudah gila dengan mengatakannya. Dia menyakiti ibuku. Tapi setelah lama aku pikirkan lagi, aku jadi sadar dengan kesungguhan yang dia miliki untukku. Dia berani mengambil semua resiko. Aku tersentuh dengan sikapnya.
Sayangnya memang tak ada yang bisa mencegah. Dia harus keluar dari hidup kami, setidaknya itu yang diharapkan ibuku. Yuya pun tak pernah menjadi ayah tiriku.
Aku menghela nafasku dan mengalihkan pandanganku ke tempat lain. Aku baru sadar dia sudah tak ada disana.
"Yuuri?" suara seseorang yang sudah cukup lama tak kudengar menghampiri telingaku. Aku menolehkan kepalaku dan melihat dia disana. Dia masih sama saja seperti dua tahun yang lalu, yah mungkin terlihat agak dewasa juga.
"Ohisashiburi" dia berkata lagi dan tampak senang melihatku. Dia tak mengingat masalah yang lalu sepertinya.
"Ohisa, Takaki-kun" aku pun memilih bersikap biasa.
"Kau tampak lain" Yuya mengamatiku. Tentu saja aku terlihat lain. Aku sudah lulus sekolah dan sebentar lagi akan menjadi seorang mahasiswa.
"Aku sudah berkuliah mulai bulan depan" jelasku.
"Eh?? Sugeee.. kau sudah besar rupanya"
"Tentu saja. Sudah 2 tahun berlalu"
Dia terdiam sesaat dan memudarkan tawanya perlahan.
"Sou da, sudah 2 tahun.." dia membenarkan. Sekali lagi matanya mengamatiku dan tersenyum lembut. Senyuman yang biasa aku dapat dan aku merindukannya.
"Aku sudah cukup hanya dengan melihatmu dan tahu kau baik-baik saja. Aku tak perlu tahu tentang yang lain" cetusnya. Aku terpana. Aku merasa yang dia maksud adalah ibuku, tapi aku tak merasa keberatan lagi. Ibuku sudah bahagia dengan suami barunya. Tak ada alasan lagi untukku merasa tidak enak pada ibuku.
"Aku juga senang melihatmu baik-baik saja"
"Benarkah?"
"Sou"
Yuya tersenyum puas.
"Aku tahu kalau kau masih menyukaiku" katanya pula. Aku tersenyum dan menepuk bahunya sambil berlalu.
"Aku harus menjemput Tsubaki. Jaa"
"Eh?"
Aku tak menoleh. Lebih baik terus seperti ini.
FIN !
by: Rieyo
"Gomenasai" Tsubaki membungkukkan badannya di hadapanku setelah selesai dengan penjelasannya yang cukup panjang lebar. Aku masih terpaku, mencerna perkataannya tadi di otakku. Aku belum dewasa. Aku kekanakan. Aku tak bisa mengimbanginya. Dia merasa tak pantas untukku. Dia tak mau merusakku.
Semuanya berurutan memasuki ruangan di kepalaku. Itu kata-kata yang di ungkapkan Tsubaki padaku, hingga akhirnya di akhiri dengan kalimat 'kita sudah tidak cocok, kita cukup sampai disini saja..' tak lupa ditambahi ucapan permintaan maaf yang tadi dia sampaikan sebagai kata-kata terakhir sebelum dia bermaksud pergi, menjauh.. keluar dari kehidupanku.
Kaname Tsubaki gadis pertama yang sukses membuatku jatuh cinta.. lalu patah hati. Hanya 5 bulan saja aku merasakan dunia ku jadi berwarna-warni dan penuh bunga. Aku mengalami manis dan pahitnya bercinta setelah baru beberapa bulan aku berusia 16 tahun. Memang usia yang masih sangat muda, dan pastinya di depan sana aku bisa menemukan lagi cinta-cinta yang lain. Tapi kalimat demi kalimat yang di katakan Tsubaki masih tertanam dengan jelas di benakku hingga aku sampai pada kesimpulanku sendiri.
Aku bukan pacar yang baik. Aku telah mengecewakan gadis yang kusuka. Aku bukan laki-laki yang menyenangkan.
Perlahan aku menghela nafasku, berat. Aku sudah berjalan dengan langkah gontai sejak keluar dari sekolah tadi, dan aku juga rasanya tak mau cepat-cepat pulang. Patah hati ternyata memang sangat tidak enak.
Aku berhenti di pinggir sebuah jembatan yang terlewat sebelum sampai di rumahku. Aku diam disana menatap air sungai dengan pandangan nyaris kosong. Pikiranku berkecamuk, hingga aku berani menyalahkan takdir. Kenapa takdir sekejam ini padaku? Aku rasa itu pikiran wajar disaat seseorang sedang dalam keadaan sepertiku. Dan demi tuhan aku hanya anak berusia 16 tahun yang tak pernah diperlakukan begini sebelumnya.
Aku membulatkan tanganku dan mulai meninju-ninju pinggiran jembatan. Aku memang kesal, juga sedih. Mungkin aku butuh sesuatu untuk menyalurkan perasaanku, mengekspresikan kekecewaanku, dan melupakan semuanya.
"Disini terlalu mencolok untuk bunuh diri, sepertinya kau akan cepat ditolong" suara seseorang menyentakanku. Aku menoleh dan melihat orang asing disampingku. Mungkin dia hanya lebih tua beberapa tahun dariku, seperti seorang mahasiswa atau semacamnya.. ah, aku tak peduli. Aku mengacuhkannya, sembarangan sekali dia mengira aku ingin bunuh diri.
"Aku tahu tempat yang lebih bagus" tawarnya.
Entah sihir macam apa yang orang asing itu pakai hingga aku telah mengikutinya sekarang. Beberapa menit yang lalu aku memang mengacuhkannya, tapi kemudian aku malah jadi penasaran. Dia terus bercerita tentang tempat bagus yang dia tahu. Baru kali ini aku mendengar ada tempat untuk bunuh diri semenarik yang dia ceritakan.
Aku terpana melihat pemandangan di hadapanku. Sebuah danau dengan pepohonan disekitarnya. Airnya berwarna bening dan tenang. Cahaya matahari sore yang akan tenggelam, memantul disana berwarna kuning kemerahan tercampur dengan warna kehijauan dari pohon-pohon tadi. Indah. Benar-benar sebagus yang orang itu ceritakan.
"Airnya cukup dalam dan disini juga tak banyak orang. Paling kau akan ditemukan besok sudah mengapung disana" kata orang itu setelah hampir beberapa menit kami terdiam. Dia tampak sengaja membiarkan aku takjub dengan suasana disekitarku. Aku memang tak pernah tahu ada tempat seperti ini disini.
Aku menoleh padanya yang masih tersenyum-senyum seperti saat pertama kali bertemu di jembatan tadi.
"Kenapa kau mengira aku akan bunuh diri?" tanyaku.
"Kau berubah pikiran? Yokatta.. sudah aku duga tempat ini pasti membuatmu berpikir lebih jernih"
Aku mengerutkan keningku. Orang ini..
"Indah bukan?" tanyanya pula.
"Kau harus tahu, dari awal juga aku tak pernah berniat untuk bunuh diri" ujarku, mengabaikan pertanyaannya.
"Eh??" dia memandangku shock. Yappari.. keluhku dalam hati. "La-lalu kenapa kau mengikuti aku kemari?"
"Aku hanya penasaran" jawabku agak gugup. Memang kebodohanku juga mengikutinya hingga kemari.
"Ah sou.." dia tertawa. "Aku pikir kau memang ingin menyudahi hidupmu. Ekspresimu saat di jembatan tadi terlihat depresi" jelasnya pula. Aku tak bisa menahan senyumku. Untuk pertama kalinya lagi sejak beberapa jam yang lalu aku nyaris lupa cara tersenyum.
"Sebaiknya kau bertanya dulu sebelum mengambil kesimpulan" kataku.
"Gomen"
Kami tertawa bersama.
Rasanya aku jadi lebih rileks. Di tempat yang indah dan segar seperti ini, aku merasa lebih ringan. Aku mendadak lupa begitu saja dengan masalahku, dengan kepatah- hatian ku.
"Kau anak sekolah.." katanya, baru sadar dengan seragam sekolahku. Aku mengangguk saja, lalu dia melihat jam tangannya. "Kau sudah terlambat pulang" tambahnya.
"Memang" jawabku tenang. Aku merebahkan tubuhku di rumput, menghembuskan nafasku kuat-kuat, ingin melepaskan semua kegalauanku. Kulihat langit sudah mulai gelap. "Biar aku disini dulu"
Dia tiba-tiba mendekatiku..
Dia menciumku. Orang asing itu menciumku. Mencuri ciuman pertamaku! Tapi aku tak mengelak, aku tak mendorongnya, memakinya lalu pergi dari sana, seperti yang biasa terjadi di drama-drama televisi. Sebaliknya, aku membiarkan dia..
Dia setengah berbaring disampingku, menekankan bibirnya dengan bibirku, lembut. Aku merasa nyaman dengan segera hingga mataku sudah terpejam begitu saja. Tanganku menggantung lemah di jaketnya. Aku tahu aku menyerah. Situasi ini terlalu bagus untuk aku lewatkan. Sesaat aku ingin tak peduli dengan semuanya. Dengan Tsubaki yang sudah memutuskanku, dengan komentar-komentarnya yang terus terang sempat membuatku down dan merasa tak berharga sebagai laki-laki, tentang orangtua ku yang sudah bercerai dan ayahku yang tak pernah datang sekalipun untuk melihatku, tentang ibuku yang bekerja sendiri siang-malam untuk menghidupiku hingga terkadang dia nyaris tak punya waktu untukku, tentang aku.. yang sering tak mengerti dengan diriku sendiri.
Orang asing yang sedang menciumku ini, ternyata memang membantu. Aku tak tahu apa dia seorang pencium yang baik atau tidak, karena aku tak pernah berciuman sebelumnya, tapi bagiku sekarang dia yang terbaik. Dia sudah membuatku merasa aman, nyaman, terlindungi dan tak kesepian. Aku jadi berpikir apa dia malaikat yang dikirim tuhan untuk menghiburku? Entahlah.
Kami berhenti beberapa saat untuk mengambil udara. Mata kami bertemu dan sama sekali tak ada pembicaraan disana. Aku tak bisa membaca apapun di matanya, dan aku yakin dia juga tak bisa menemukan apapun di mataku. Dia memiringkan wajahnya ke arah yang lain, dan mulai menciumku lagi. Aku menyambutnya tanpa harus banyak berpikir. Hingga aku nyaris lupa, orang yang sedang menciumku dan mengambil ciuman pertamaku ini seorang laki-laki. Laki-laki asing yang entah dari mana datangnya. Aku tahu ini aneh, tapi aku tak banyak berpikir. Ini hanya sebuah ciuman. Mungkin setelah ini kami pun tak akan bertemu lagi.
Perlahan, tanganku naik menyusuri jaketnya sampai menemukan rambut ikalnya yang kemerahan. Aku menggenggamnya, membuat dia semakin memperdalam ciuman kami. Aku tak peduli.
***
Aku menjatuhkan tubuhku di ranjang setelah menyimpan tas ku begitu saja. Aku bahkan belum melepas seragamku. Mataku menatap langit-langit kamar. Blank. Aku menyentuh bibirku, mengusapnya pelan. Kenapa aku tak menyesal sedikitpun?
"Yuuri"
Aku terhenyak melihat ibuku telah berdiri di dekat pintu kamarku. "Ada yang ingin aku bicarakan" katanya.
Aku terpana mendengar yang dibicarakan ibuku. Aku melihat pipinya merona kemerahan, dia seperti gadis belasan tahun yang sedang jatuh cinta. Aku biasa melihat ekspresi seperti itu, ketika berkencan dengan Tsubaki, tentunya jauh sebelum kejadian tadi siang saat dia memutuskanku.
"Muka mu merah Kaachan" komentarku.
"Eh? hontou? ah hazukashii~" ibuku menutupi kedua pipi dengan telapak tangannya. Wajahnya semakin memerah. Aku tertawa kecil melihat tingkah ibuku itu. Dia memang masih muda, umurku dan ibuku tak begitu jauh. Dia melahirkanku ketika berusia 18 tahun, dan setahun kemudian, suaminya pergi meninggalkan kami. Ayahku meninggalkan kami disaat ibuku sangat membutuhkannya. Di usia semuda itu dia harus mulai membesarkan aku sendirian. Mungkin itu yang menyebabkan hubungan kami jadi lebih dari sekedar hubungan ibu dan anak, kami sudah seperti teman. Aku mengerti dengan pekerjaan ibuku sebagai seorang model juga produser pencari bakat membuatnya tak begitu banyak waktu untukku, tapi karena pekerjaannya itu kami bisa hidup lebih baik terlebih lagi membuatnya merasa selalu muda. Kadang orang-orang mengira aku dan ibuku adalah saudara. Mereka nyaris tak menyangka ibuku yang cantik dan masih segar itu sudah punya anak laki-laki berusia 16 tahun.
"Lalu dia akan menjadi ayah tiri ku?" tanyaku. Ibuku memang baru saja menceritakan kisah asmaranya. Setelah sekian lama, dia mengakui baru merasakan jatuh cinta lagi. Aku tak keberatan selama dia menemukan orang yang tepat yang benar-benar bisa menyayanginya dan membuatnya bahagia.
"Aku harus menunggu sampai dia sedikit dewasa" jawab ibuku dengan senyum malu-malu di bibirnya. Aku melihat matanya berbinar-binar, hal yang jarang aku lihat sebelumnya.
Dia sudah bercerita tadi kalau laki-laki yang dia suka memang lebih muda darinya, tapi aku tak bertanya seberapa muda. Aku bisa mengira mungkin sekitar 2-3 tahun, aku tak keberatan selama dia pria yang bertanggung jawab. Aku juga tak mau tahu apa maksud kata 'dewasa' yang diucapkan ibuku. Yah, itu urusan orang dewasa.
"Sokka. Jadi apa rencanamu?"
"Mengajaknya tinggal disini" ibuku menjawab dengan cepat. Aku agak terkejut, tak menyangka secepat itu. "Aku pikir, dia bisa menemanimu saat aku pulang malam atau saat aku keluar kota" tambah ibuku lagi. Masuk akal. Ibu memang jarang dirumah dan dampaknya aku sering sendirian. Sepi.
"Bukan ide buruk" kataku akhirnya.
"Baiklah. Dia akan kemari besok"
Aku tersenyum, senang melihat ibuku senang.
= = = = =
Shock. Itu yang aku rasa sekarang. Setelah kemarin aku dikejutkan dengan pernyataan putus dari Tsubaki, sekarang aku harus terkejut lagi melihat orang yang berdiri di hadapanku. Orang itu! Laki-laki itu! Orang yang aku pikir tak akan pernah aku temui lagi, sekarang justru berada di dalam rumahku!
Baru kemarin ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Dia dengan rambut ikalnya yang kemerahan, jaket birunya.. aku ingat pernah menyentuh keduanya. Dia pencuri ciuman pertamaku!
"Kau.." gumamku nyaris berbisik. Dia juga tampak shock melihatku, tapi dia memaksakan senyuman di bibirnya.
"Kalian sudah saling kenal?" ibuku bertanya, menyela kekagetan kami.
"Uhm, tidak.. hanya seperti pernah bertemu" jawabku mengelak.
"Sokka. Yuya memang bekerja di restoran di dekat jembatan sana, mungkin kau pernah melihatnya" jelas ibuku.
"Ah iya. Sepertinya begitu" kataku.
Laki-laki yang bernama Yuya Takaki dan berusia 19 tahun itu, ternyata memang calon ayah tiriku. Laki-laki yang disukai ibuku, yang dia bilang akan menikah jika laki-laki ini sudah sedikit dewasa. Tentu saja! Sekarang usianya hanya 19 tahun, tak beda jauh dengan usiaku. Cinta memang tak mengenal usia, tapi entah kenapa aku merasa curiga padanya. Aku takut dia memang merencanakan sesuatu dibalik keinginannya menikah dengan ibuku. Ibuku memang cantik dan tak terlihat begitu tua, dia juga wanita yang mapan. Tapi dia sudah pernah menikah dan punya anak sebesar aku. Kenapa dengan laki-laki ini..?? Padahal aku yakin dia bisa mendapatkan gadis yang lebih muda.
Selain itu, kenapa harus dia? Dia orang yang mencuri ciuman pertamaku dan aku tak menyesal karena aku tak berpikir bisa melihatnya lagi. Aku hanya menganggapnya makhluk yang tak sengaja menghampiri hidupku dan melewatinya begitu saja. Sayangnya tidak. Dia akan jadi bagian dari kehidupanku untuk waktu yang lama. Permainan takdir macam apa ini??
***
"Aku tak percaya bisa melihatmu lagi" kataku saat tak sengaja kami berpapasan di dapur pagi itu. Aku mengambil susu di lemari es dan dia sedang membuat dua cangkir kopi.
"Ohayo Yuuri-kun" katanya tanpa melepaskan perhatian dari kopinya. Dia mengabaikan ucapanku.
"Aku tak mengerti, kenapa dari sekian banyak orang harus kau yang akan jadi ayah tiriku" keluhku.
"Itu takdir. Kita berjodoh"
Aku melihat ke arahnya dan dia masih membelakangiku. Aku mengerutkan keningku dan menghampirinya.
"Aku tak mau punya ayah tiri sepertimu" kataku tegas.
"Aku juga. Tapi aku senang bisa dekat denganmu.."
Senyumannya mengenaiku. Membuatku agak berdebar. Mungkin karena efek perkataannya juga.
"Apa maksudmu?" aku tak bisa menahan diri untuk tak bertanya. Yuya tersenyum sekali lagi.
"Kau tahu maksudku" katanya sambil membawa dua cangkir tadi ke dalam. Itu pasti untuk ibuku. Mereka belum menikah, tapi orang ini sudah bisa memanjakan ibuku. Kenapa aku malah merasa terganggu? Bukankah dia bisa menyenangkan ibuku? Tapi.. usia dia yang cukup jauh dengan ibuku dan kenyataan dia adalah pencuri ciuman pertamaku, membuat aku jadi tak menentu.
"Yuuri"
Aku terhenyak dari pikiranku, tak sadar aku masih terpaku di tempatku dan Yuya sudah ada lagi di depanku.
"Apa?" tanyaku.
"Mau pergi denganku besok?"
"Untuk apa?" Berani sekali dia mengajakku untuk pergi dengannya, sedangkan ibuku ada di kamar yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
"Kita perlu saling mengenal lebih dekat lagi kan?"
Aku terdiam. Mengenal lebih dekat sebagai ayah dan anak? Aku masih tak bisa membayangkannya.
"Aku rasa tidak perlu" aku beranjak dan mengambil gelasku yang berisi susu.
"Aku sudah bilang pada Mayumi-san" katanya, tampak menang karena mendapat izin dari ibuku.
"Aku sudah bilang, aku tak mau punya ayah tiri sepertimu"
"Kau tak perlu menganggapku sebagai calon ayah tirimu" katanya selalu tenang. Dan itu membuatku jadi tak bisa berkata banyak. "Aku akan menjemputmu sepulang sekolah besok" dia memutuskan sendiri dan berlalu lagi masuk ke kamar ibuku tanpa menunggu jawabanku dulu.
Aku merasa akan ada yang berubah dengan hidupku.
***
"Chinen, ada yang mencarimu di gerbang" Yamada memberitahu saat aku sedang merapikan buku pelajaranku dan memasukkannya ke dalam tas. Aku mendekati jendela dan melihat ke bawah, ada Yuya disana. Seperti yang dia janjikan kemarin, dia akan menjemputku disini. Ah, aku tak tahu apa mau nya.
"Siapa dia?" tanya Yamada pula. "Aku tak tahu kau punya kenalan seperti itu"
"Uhm, dia.. teman ibuku"
"Eh? sepertinya dia sangat muda" Yamada terheran-heran, tapi aku tak mau ambil pusing.
"Jaa, aku duluan" kataku sambil pergi dari sana. Aku merasakan tatapan Tsubaki saat aku melewatinya. Aku tak terpengaruh. Kenapa dia harus menatapku?!
Yuya membawaku ke danau itu lagi, aku langsung mengantisipasi.
"Kenapa kita kemari?"
"Bukankah kau suka tempat ini?" dia malah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan.
"Aku suka, tapi tidakkah ini aneh?"
"Apa yang aneh?"
"Dua orang laki-laki ditempat seperti ini.."
"Kita tidak berciuman lagi"
Dadaku jadi berdebar. Teringat lagi.
"Aku menyukaimu sejak aku sering mengamatimu pulang sekolah melewati jembatan yang terlihat jelas dari restoran tempatku bekerja. Awalnya aku hanya melihat sekilas tapi di hari-hari berikutnya kau membuatku penasaran. Dan aku senang sekali saat kemarin melihatmu berhenti di jembatan itu, aku jadi punya kesempatan untuk mengenalmu" penjelasan yang dia katakan terdengar seperti cerita di shoujo manga milik Tsubaki yang dulu pernah tak sengaja aku baca. Atau mirip cerita di drama-drama televisi juga. Tapi dia mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Dia menyukaiku dan ingin mengenalku sejak lama, tapi kenyataannya dia menciumku. Mencuri ciuman pertamaku!
"Aku pikir waktu itu kau sedang sangat kalut sampai tak menolak saat aku nekat coba menciummu"
Ini dia! aku memang sedang sangat kacau setelah Tsubaki memutuskanku, dan dia datang dengan tiba-tiba menawarkan aku sebuah kenyamanan. Bagaimana mungkin aku bisa menolak!? Dia benar-benar berada di waktu yang tepat.
"Itu hanya ciuman" gumamku, dibuat sedatar mungkin, seolah tak memberi kesan apapun padaku.
"Sou da ne.. dan aku sangat menyukainya" dia berkata jujur lagi. Tatapan matanya pun lekat sekali di wajahku, tatapan lembut yang aku yakin bisa membuat meleleh hati perempuan manapun. Tapi aku bukan perempuan, aku balas menatapnya.
"Jangan salah mengira. Itu.. tak ada artinya. Aku sedang kacau setelah putus dari pacarku" kataku pula, agak tajam. Aku harus bersikap melawan atau pada akhirnya aku akan kehilangan pertahanan dan menyerahkan semua. Aku takut.
Yuya nampak terpengaruh dengan ucapan tajamku. Dia mungkin merasa tak enak, seolah-olah dia hanya menjadi sebuah pelarian. Dan aku memang sempat berpikir seperti itu, dia sudah membuatku nyaman, aku merasa cukup. Aku tak ada perasaan suka seperti yang dia rasakan padaku, karena aku baru saja melihatnya waktu itu.
"Aku mengerti" kata Yuya akhirnya.
"Kau seharusnya berpikir dulu sebelum mengatakan apapun" kataku lagi, mendahuluinya yang seperti ingin berkata-kata. "Kau lihat posisimu sekarang. Kau bukan orang yang bisa dengan mudahnya mengatakan suka padaku" lanjutku.
"Aku belum menikahi Mayumi-san, aku berhak mengatakan suka pada siapapun, termasuk kau" dia membela diri. Aku menatapnya lebih tajam.
"Aku sudah menduganya.. Kau pasti punya maksud lain dengan menikahi ibuku" aku langsung menuduhnya.
"Apa maksudmu? Aku tulus pada ibumu! Aku tidak tahu kalau kau adalah anaknya.." dia tak terima.
Tulus? Lalu bagaimana dengan kata suka nya padaku?
Kami berakhir dengan perdebatan di tempat itu. Sangat terbalik dengan keadaan saat pertamakali kami bertemu dulu.
Aku agak membanting pintu kamarku, melempar tas ku dan melepas dasi ku dengan kesal. Beruntung ibuku belum pulang, jadi tak ada yang memprotes tingkahku. Laki-laki aneh diluar sana tentu saja tak ada hak untuk melakukannya.
"Aku belum selesai bicara" dia ternyata belum menyerah, sekarang dia ada di ambang pintu kamarku.
"Kau sudah tak perlu bicara lagi" sahutku kesal.
"Aku memang mengharapkan hidup yang lebih baik jika menikah dengan ibumu. Aku memerlukan uang, aku memerlukan tempat tinggal yang nyaman, aku menginginkan sebuah keluarga. Apa aku salah mengharapkan semua itu?" dia terus bicara, tak peduli dengan gerutuanku.
"Jadi materi? Aku sudah menduganya" ujarku dengan nada mengejek.
"Aku akan membalas semua kebaikan Mayumi-san dengan apapun.. apapun yang dia inginkan dariku"
Aku tertegun beberapa detik. Jadi itu? dia bersedia menikah dengan ibuku karena balas budi?
"JANGAN BERCANDA!" teriakku. Aku berdiri di hadapannya dan menatapnya setajam mungkin. Aku kesal. Sangat kesal.
"Jangan coba-coba mempermainkan perasaan ibuku" tambahku tak kalah tajam dengan tatapanku malah terdengar mengancam.
"Aku tidak akan pernah!" tegasnya.
"Lalu? Kenapa kau menjelaskan tentang kebaikan ibuku.."
"Aku akan melakukan apapun untuknya" dia memotong.
"Sou ka.. kau mencintainya bukan?"
Pertanyaanku membuatnya terdiam beberapa lama. Ada keragu-raguan di matanya. Aku benci melihatnya.
"Aku menghormatinya, menyayanginya.." jawab Yuya akhirnya. Yappari.. aku sudah menduganya. Dia memang tak mencintai ibuku, tapi dia ingin membuat ibuku bahagia.. Aku tak bisa menyalahkannya. Selama ibuku senang, apapun harus aku terima.
"Sudah cukup, aku tak mau berdebat denganmu lagi" kataku mulai menurunkan suaraku. Aku duduk di ranjangku, menenangkan diri.
"Gomen" katanya meminta maaf lebih dulu. Padahal aku yang memulai semuanya. Mungkin dia memaklumi aku hanya anak kecil yang belum berpikir panjang. "Kita tak perlu membahas ini lagi" tambahnya dan keluar dari kamarku tak menunggu aku mengatakan maaf juga. Dia tahu aku tak akan mengatakannya.
Aku merebahkan tubuhku di ranjang, menghela nafas sekuatnya. Dan mataku menatap langit-langit kamar lagi.. Blank.
***
Suasana di meja makan jadi berbeda. Ada orang yang duduk di sebelah ibuku. Kami mengobrol bersama, tapi akhirnya aku selalu merasa disisihkan lalu merasa bodoh melihat mereka bertingkah mesra.
Berkali-kali aku mengganti channel di televisi, dan semuanya nyaris sama. Aku menyerah, aku berhenti mengganti channelnya di drama yang mana saja. Aku tak mengerti satupun tentang drama-drama itu.
"Kau menonton drama?" Yuya menghampiri dan duduk disebelahku dengan membuat jarak. Dia membawa dua kaleng minuman dan memberikannya satu padaku. Jus. Sedangkan dia sendiri minum bir. Aku mengamatinya.
"Itu bir" kataku.
"Hm, kenapa?"
"Kau belum cukup umur"
"Beberapa bulan lagi aku 20 tahun" jawabnya tenang dan meneguk birnya lagi. Aku tak bisa memprotes lagi.
"Mayumi-san tampak lebih telat malam ini" Yuya melihat ke arah jam dinding.
"Kaachan memang pulang lebih larut setiap hari Jumat malam" jelasku.
"Sokka"
Kami pun terdiam, tak ada bahasan. Entah kemana pembicaraan yang biasanya selalu ada diantara kami. Mungkin sekarang kami sama-sama terlalu lelah untuk mengobrol. Perdebatan waktu itu sudah menguap begitu saja, kami sudah tak merasa untuk membahasnya lagi.
Drama yang kupilih dengan acak itu ternyata drama romantis. Aku memang tak menyimak ceritanya, tapi mataku lurus melihat ke layar. Hingga adegan disana mulai menarik perhatianku. Pemeran wanita dan prianya berciuman. Aku jadi agak tak nyaman dengan posisi dudukku. Orang disebelahku ini.. dia satu-satunya orang yang pernah menciumku, bahkan Tsubaki yang jelas-jelas waktu itu adalah pacarku, tak pernah aku beri ciuman di bibir. Entahlah.
Aku terkesiap merasakan kehangatan di tanganku. Kulirik sekilas, seperti yang sudah aku duga, itu tangan Yuya. Aku tak bergerak sedikitpun, dan dia makin mempererat genggamannya di tanganku, menyelipkan jari-jari tangannya di jari-jari tanganku. Setengah sadar, aku menyambutnya. Dan tangan kami pun terkunci.
"Yuuri" panggilnya nyaris berbisik. Aku menoleh dan melihat dia sedang menatapku seperti sedang menyampaikan sesuatu lewat tatapan matanya. Dan anehnya aku mengerti. Aku tahu yang dia maksud.
Adegan ciuman di drama itu mungkin sudah berakhir dari tadi, dan mungkin juga acaranya sudah berganti. Kami sudah tak memperhatikannya. Kami sudah sibuk dengan dunia kami sendiri. Untuk kedua kalinya kami berciuman. Aku dan Yuya. Tapi dalam kondisi yang sudah berbeda. Dia bukan lagi orang asing seperti saat pertamakali. Dia Yuya Takaki, laki-laki yang akan menjadi suami ibuku.
Rasanya memang ada yang salah, tapi entahlah, aku seperti tak peduli.
- - - - -
Yuya sudah berkali-kali mengatakan kalau dia menyukaiku. Aku sendiri masih tak yakin dengan perasaanku. Tapi aku sadar, aku tak pernah menolaknya. Setiap dia memulainya, aku pasti menyambutnya. Aku seolah tak peduli dengan apapun. Seperti waktu pertamakali kami berciuman, aku berhasil melupakan semuanya. Sekarang juga setiap melakukan itu, aku selalu nyaris tak ingat kalau dia adalah orang yang sebenarnya paling tak boleh berada dalam situasi seperti itu denganku.
Pertama, dia seorang laki-laki dan kedua, dia adalah calon suami ibuku. Demi tuhan dia adalah calon ayah tiriku!
Aku mengusap-usap wajahku, agak mengacak-acak rambutku sambil menggerutu tak jelas. Keluhan demi keluhan tak berhenti keluar dari mulutku.
"Ne, kau kenapa?" sebuah tepukan mendarat di pundakku, membuatku menghentikan monolog tak jelas yang sedang aku lakukan. Aku menoleh, dan ada Yamada disana. Dia tersenyum dan langsung duduk disampingku. "Kau jadi aneh setelah putus dengan Tsubaki-chan" komentarnya pula.
"Hah?" aku melihat pada Yamada. Benarkah aku terlihat aneh? Aku tak menyadarinya kalau sikapku nampak dari luar. Aku langsung ingat ibuku.. mungkinkah dia bisa membaca semuanya? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tanpa sadar.
"Chinen?" Yamada menepukku lagi, dan dia tertawa begitu aku memandangnya gugup. "Kau benar-benar aneh" ujarnya lagi, pasti tak habis pikir.
"Hanya perasaanmu saja" aku mengelak.
"Apa kau sangat payah setelah diputuskan Tsubaki-chan?"
"Kau bisa lihat, aku baik-baik saja" jawabku cepat. Aku memang baik-baik saja, tapi aku kerap bermain-main dengan api. Aku hanya berharap api itu tak akan membakarku.
"Hmm, apa kau masih menyukai Tsubaki-chan?" pertanyaan itu.. Aku jadi merasa seperti sedang diinterogasi oleh Yamada.
"Maa.." aku tak bisa menjawab dengan pasti. Ada rasa egoisku sebagai laki-laki yang tak bisa aku biarkan. Aku tak mau siapapun tahu kalau aku memang sangat terpukul dengan keputusan Tsubaki. Kalau saja waktu itu aku tak bertemu dengan Yuya, mungkin aku perlu berminggu-minggu untuk memulihkan patah hati ku.
"Tsubaki-chan sering menanyakanmu" kata Yamada lagi, tampak tak peduli dengan jawabanku.
"Eh?"
"Sou. Dia menanyakan siapa gadis yang dekat denganmu sekarang"
"Apa maksudnya bertanya begitu?" aku mengerutkan keningku.
"Apalagi? Dia pasti masih menyukaimu" kata Yamada yakin. "Paling dia menyesal sudah memutuskanmu"
Majide? Itu memang masuk akal, tapi apa mungkin dia memang menyesal? Pikiranku berkecamuk.
- - - - -
"Tadaima" sejak dulu aku biasa mengatakannya walau aku tahu tak akan ada yang menjawab. Tapi beberapa minggu ini sudah berbeda, ada orang itu yang suka menjawabnya. Hanya saja hari ini.. aku tak melihatnya. Aku masuk sambil melepas jas dan melonggarkan dasiku. Dia tak ada di ruang tengah ketika aku lewat sana, mungkin di kamar. Aku terus menuju dapur, membuka lemari es dan mengambil air dingin. Aku baru menghabiskannya ketika aku merasakan pelukan di pinggangku dan sebuah kecupan di pipiku.
"Okaeri" sebuah bisikan juga. Aku nyaris melepaskan gelas di tanganku kalau saja aku tak cepat menguasai diriku. Aku melepaskan diri dari pelukan Yuya dan langsung memprotesnya.
"Kau mengagetkanku!" kataku sambil meninju lengan kanannya. Aku menyingkirkannya dan menyimpan gelasku di meja makan. Tapi dia memang bukan orang yang mudah menyerah. Sekali lagi tangannya melingkar di pinggangku dari belakang.
"Gomen" lagi-lagi dia berbisik di telingaku, dan melanjutkannya dengan kecupan berantai dari telinga, pipi sampai ke leherku. Aku masih sadar dan ingin melepaskan diri, tapi sekarang pelukannya lebih kuat. Ciumannya pun makin menghangat di leherku, aku bisa menyerah kalau terus seperti ini.. aku harus menghentikannya..
Sebelum aku sempat melepaskan diri dengan sekuat tenaga, ternyata Yuya lebih dulu melepaskanku. Dan aku mendadak merasa kosong..
"Ganti seragammu, lalu kita makan malam" katanya. Dia beranjak dari sana dan aku masih terpaku di tempatku. Kenapa..? Tidak biasanya dia berhenti di tengah-tengah seperti itu. Apa dia tahu tadi aku berusaha melepaskan diri? Tapi biasanya juga dia tak peduli.
"Takaki-kun" aku memanggilnya dan dia berbalik lagi, menatapku penuh tanya. Aku jadi gugup, tapi tak urung keluar juga kata-kataku. "Apa ada yang salah..?"
"Eh?" dia menatapku bingung.
"Ano.. a-aku memang baru pulang sekolah, d-dan tadi siang aku berolahraga.. jadi--" aku menggantungkan kalimatku, tak tahu bagaimana cara menyampaikannya.
Yuya mengerutkan keningnya seperti sedang mencerna kata-kata ku, aku harap dia mengerti tanpa harus aku jelaskan lagi.
"Ah.." dia tampak mengerti. Aku pura-pura melihat ke arah lain. Dia tertawa dan aku mulai tak enak. Sudah kuduga dia pasti menertawakanku, aku merasakan hangat di seluruh wajahku. Sial.
"Ne, bau mu selalu enak, jangan khawatir. Aku hanya ingin kau lebih rileks kalau sudah mengganti seragammu" katanya. Sial. Wajahku pasti sudah memerah. Aku cepat pergi dari sana diiringi dengan senyum lebar di wajahnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa terganggu melihat sebuah pemandangan di pagi hari. Yuya dan ibuku, mereka tengah berciuman. Aku baru melihat mereka seintim itu di hadapanku, walau aku sering melihat mereka tampak mesra, tapi tidak yang seperti ini.
Aku terpaku beberapa saat. Mereka lama.. Kuso. Tak ada yang menyadari aku berada disana. Terlalu sibuk. Aku sangat terganggu dengan ekspresi Yuya, dia.. dia tampak menikmatinya, berciuman dengan ibuku. Dan kenapa aku tak menyukainya? Kenapa aku seperti ingin menentangnya? Ada perasaan kesal di hatiku.. kenapa??
"OHAYO!!" sapaku. Aku tahu aku berteriak dan mereka cepat memisahkan diri, terkejut. Aku memang terlalu berisik.
"Ohayo Yuuri" jawab ibuku. Yuya hanya menatapku shock. Dia seperti pencuri yang sedang tertangkap basah. Aku meliriknya dingin dan mengulas senyuman terpaksa di bibirku.
"Aku pikir Kaachan belum bangun" kataku berbasa-basi. Di pagi hari biasanya ibuku masih tidur karena dia sering bekerja hingga larut.
"Yuya sudah membuat sarapan"
"Hmm" aku tak berkomentar. Dengan tenang aku melewati mereka dan mengambil segelas susu. Aku minum setengahnya. Kulihat disana benar ada sarapan yang sudah disiapkan Yuya. Tapi ku tak bernapsu.
"Jaa ittekimasu" kataku setelah menyimpan lagi gelasku dan berlalu dari sana, tanpa menunggu reaksi mereka. Aku hanya mendengar ibuku berkata 'itterashai' dan dari sudut mataku, sekilas aku melihat Yuya yang masih terdiam menatapku. Dia tak bisa berkata apapun, aku tak peduli.
- - - - -
"Chinen-kun.." aku mengangkat wajahku dari buku yang sedang aku baca. Sekolah sudah usai, tapi aku masih duduk di bangku ku dan membaca buku, rasanya aku malas untuk cepat-cepat pulang.
"Ha-hai?" aku menyahut begitu melihat Tsubaki di hadapanku. Pertama kalinya kami berinteraksi lagi setelah beberapa minggu berlalu sejak kami putus. Dan dia jadi memanggilku dengan panggilan formal.
"Ada yang mencarimu di gerbang" katanya, agak mengarahkan wajahnya ke jendela.
"Oh" aku langsung melihat kesana juga. Yuya. Apa yang dia lakukan disini? Aku masih teringat kejadian tadi pagi, membuatku tak bersemangat bertemu dengannya.
"Apa dia temanmu? Aku tak pernah melihat dia sebelumnya" perkataan Tsubaki menyela pikiranku.
"Dia.. teman ibuku"
"Sokka. Dia menjemputmu?"
"Sepertinya begitu"
"Uhm.. aku berpikir untuk pulang bersama"
Eh? Aku menatap Tsubaki, dia tersenyum. Aku jadi teringat perkataan Yamada, benarkah Tsubaki..?
"Gomen" kataku, aku terpaksa menolak.
. . . . .
"Apa yang kau lakukan disini?" aku menghampirinya juga tapi tak melihat langsung ke matanya seperti biasa. Aku terpaksa menemuinya daripada Tsubaki akan curiga ada sesuatu yang terjadi di antara kami.
"Tentu saja menjemputmu"
"Aku tak memintamu menjemputku" kataku, dingin. Yuya tak berkata apapun tapi dengan cepat menarik tanganku agar mengikutinya masuk ke dalam mobil. Dia memakai mobil ibuku.
Aku terduduk di kursi penumpang depan, di sampingnya yang mulai menyalakan mesin mobil. Aku tak tahu kalau dia bisa menyetir.
"Soal tadi pagi.." dia memulai pembicaraan setelah menjalankan mobil di jalanan. Aku menoleh padanya. Dia membahas soal itu. "Gomen na"
"Untuk apa kau meminta maaf?" kataku masih dingin, meski aku agak senang dengan ucapannya.
"Kau tak seharusnya melihat itu"
Aku memandangnya lagi. Dia serius saja dengan setirnya dan lurus melihat ke depan. Kakkoi.. dia terlihat lebih dewasa saat seperti itu. Aku cepat mengalihkan pandanganku ke arah manapun asal tidak melihat padanya lagi. Ini bukan saatnya untuk memuji dia.
"Seharusnya kami tidak melakukan itu disana" lanjutnya.
"Aku tidak peduli"
Kali ini dia yang melihat ke arahku.
"Kau marah?"
"Tidak"
Aku merasa sebelah tangannya terulur dan menyentuh tanganku yang berada di atas pangkuanku. Aku ingin menepisnya, tapi dia sudah lebih dulu menggenggam tanganku dengan erat. Selalu seperti ini, kenapa aku cepat menyerah setiap dia berusaha meyakinkanku hanya dengan tangan hangatnya.
"Kau tahu kalau aku hanya menyukaimu" katanya, tanpa melepaskan pandangannya dari jalan. Aku hanya melirik dia dari sudut mataku, tak mau diam-diam memujinya lagi. "Yuuri?" dia menoleh sesaat.
"Aku tahu" gumamku, menundukkan saja wajahku memandang tangan kami yang saling bertautan.
"Kau bisa mengerti kondisiku, bukan?" tanyanya pula. Pertanyaan yang terdengar egois, dia selalu ingin aku mengerti dengan kondisinya, lalu bagaimana denganku??
"Aku mengerti.." kataku sambil melepaskan tanganku dari genggamannya. Dia menoleh lagi, dengan terpaksa melepaskan tanganku. "Dan mungkin seharusnya kita tidak seperti ini. Kondisimu tidak memungkinkan kita" tambahku, memulai lagi pembicaraan yang paling kami benci. Pembicaraan ini tak pernah berujung pada apapun, membuat kami muak.
"Kita bisa melaluinya, Yuuri"
"Benarkah? Sampai kau resmi menjadi ayah tiriku dan memberikanku seorang adik?" aku menyindirnya. Dia malah tertawa kecil.
"Bagaimana kalau aku memberimu seorang anak?"
Aku memutar bola mataku.
"Baka" gerutuku.
Ternyata aku memang tak bisa berlama-lama marah padanya. Yuya selalu bisa menenangkanku, dan masalah dia berciuman dengan ibuku pun menguap begitu saja. Bagaimanapun mereka akan menikah, aku tak punya hak untuk melarangnya, meski aku tahu aku mulai menyukai dia..
"Tsubaki? mantan pacarmu itu?" Yuya memastikan lagi, setelah aku bercerita tentang sikap aneh Tsubaki akhir-akhir ini. Setelah kemarin-kemarin dia mengajakku pulang bersama, hari ini dia membuatkanku sekotak biskuit yang hanya ku makan sedikit saat makan siang tadi, jadi aku membawanya pulang. Dan Yuya sedang memakannya sekarang. Biskuit buatan Tsubaki memang enak, dia sering membuatkannya untukku dulu waktu kami masih bersama. Kadang aku memang merindukan rasanya. Tapi setelah ada, aku malah merasa aneh. Aku tak begitu nyaman saat memakannya, Tsubaki membuatku bingung.
"Sou" aku menganggukkan kepalaku, dan memperhatikan Yuya yang tampak menikmati memakan biskuit itu.
"Ini enak" pujinya pula.
"Dia memang pandai memasak"
"Oh, kau pasti merindukannya. Ayo makanlah" Yuya menyodorkan setengah biskuit yang sudah dia makan, ke mulutku. Aku tak bisa mengelak karena dia memaksaku.
"Ne, ciuman tidak langsung" bisiknya, sambil tersenyum konyol. Aku hampir tersedak, tapi cepat mengambil air minumku. Yuya malah tertawa-tawa, aku menatapnya tajam. Kenapa harus orang bodoh ini yang suka padaku!? dan kenapa aku menyukainya juga..? ck.
"Aku ada kabar bagus untuk kalian" ibuku tiba-tiba datang dan bergabung dengan kami.
"Kabar apa?" tanyaku penasaran. Ibuku tersenyum senang.
"Aku akan libur selama seminggu. Aku akan punya banyak waktu untuk kalian" katanya membeberkan kabar yang menurutnya kabar bagus. Jika dia mengatakan ini beberapa bulan yang lalu sebelum dia membawa Yuya kemari, mungkin aku pun sependapat dengannya. Dan aku pasti senang. Tapi sekarang?? Aku merasa tak ada alasan untuk senang.
Aku masih tercengang saat Yuya membuyarkan semuanya.
"Yokatta na, Mayumi-san"
Aku melihat padanya, dia memasang senyuman terbaiknya. Itu palsu kan? Atau dia memang benar senang ibuku mendapat libur hingga mereka bisa terus berduaan..
"Kau senang, Yuuri?" ibuku bertanya, membuat aku nyaris gugup memasang senyuman lebar di wajahku. Aku tidak sungguh-sungguh, walau senyumanku selalu tampak manis dan tulus.
"Aku senang" kataku. Ibuku mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambutku. Aku tak memprotesnya. Yuya tersenyum dan matanya bertemu denganku. Aku bisa membacanya.. kecemasan sepertiku.
- - - - -
Sikap Tsubaki yang aneh semakin menjadi-jadi. Aku jadi yakin dengan perkataan Yamada kalau mantan pacarku itu mungkin ingin kembali. Ditambah sore itu dia mengejutkanku dengan kedatangannya ke rumah. Yuya yang membuka pintunya dan kami pun duduk di ruang tengah. Tsubaki membawa sekotak sushi buatannya sendiri. Dia biasa membuatkan sushi kesukaanku untuk makan siang saat kami masih berpacaran.
"Ah Tsubaki-chan, jadi merepotkanmu. Kau tak perlu membawa apapun" Yuya berada di tengah kami dan menghidupkan suasana, karena aku memang tak tahu harus berkata apa.
"Takaki-san boleh mencobanya" kata Tsubaki membukakan kotak itu dan menyodorkannya di hadapan Yuya.
"Benarkah? ah aku jadi tidak enak.." Yuya tersenyum-senyum sambil melirikku sekilas, aku hanya memperhatikannya datar. Aku tak mengerti apa maksudnya malah bergabung dengan kami sampai mereka sempat berkenalan, dan Tsubaki pun tahu kalau Yuya adalah teman dekat ibuku. Dia juga mungkin sudah mengira kalau suatu hari Yuya akan menjadi ayah tiriku.
"Douzo Takaki-san" kata Tsubaki lagi dan dengan senang hati Yuya menyambutnya.
"Baiklah.. itadakimasu~" dia mengambil satu buah sushi menggunakan sumpit yang biasa aku pakai ketika makan siang dengan Tsubaki. Itu sumpit couple, kami tak sengaja membelinya bersama saat sedang kencan, dulu.
"Umai~" puji Yuya begitu dia memakannya, "Tsubaki-chan sangat pandai membuatnya.. memakan ini membuatku senang" katanya pula, tampak sangat terkesan dengan sushi itu.
"Ah hontou? arigato Takaki-san" Tsubaki pun tersenyum senang dengan pujian Yuya, wajah manisnya agak merona.
"Ne Yuuri, ayo makan juga" Yuya mengambilkan sebuah dan menyodorkannya ke depan mulutku. Kebiasaan buruknya, dia suka sekali menyuapiku malah kadang dia membagi makanan yang sedang dia makan. Hanya kali ini dia tak melakukannya di depan Tsubaki.
Aku membuka mulutku dan memakannya, memang enak seperti terakhir kali aku memakannya.
"Itu kesukaan Chinen-kun" kata Tsubaki pula.
"Sokka. Tsubaki-chan tampak sangat mengerti Yuuri" sahut Yuya. Tsubaki tersenyum saja. Dan aku mengutuki Yuya yang terlalu banyak berkomentar.
"Oishi.. Aku boleh menghabiskannya?" kataku menyela mereka. Dari tadi aku membiarkan mereka saja yang mengobrol.
"Tentu saja" Tsubaki terlihat berbinar-binar mendengar perkataanku. Aku memang sudah tak tahu dengan perasaanku padanya, tapi aku juga tak mau mengecewakannya. Aku tak berpikir untuk balas dendam.
"Jangan menghabiskannya sendirian" protes Yuya. Aku mengacuhkannya.
"..jadi kalian pernah berpacaran? pantas Tsubaki-chan begitu mengerti Yuuri" Yuya berkomentar lagi, dia berakting seolah tak tahu apa-apa soal aku dan Tsubaki. "Yuuri beruntung sekali bisa berpacaran denganmu.. Tsubaki-chan pasti sangat memperhatikannya" tambah Yuya lagi, aku tak mengerti kenapa dia banyak sekali bicara hari ini.
"Aku terus berusaha. Tapi ternyata memang tak bisa bertahan lama" kata Tsubaki, dia seperti akan mencurahkan semua tentang hubungan kami pada Yuya. Secepat itu dia merasa nyaman dengan orang ini.. ck.
"Sou da yo ne. Mungkin dia memang belum saatnya berpacaran. Dia kadang masih sangat manja"
Aku nyaris membelalakan mataku menatap laki-laki di depanku ini. Dia membuat pernyataan-pernyataan yang seenaknya. Dia menyebutku manja? yang benar saja! Selama ini aku selalu mengerjakan apapun sendiri, nyaris tak ada yang memperhatikanku karena ibuku sangat sibuk. Tapi dia orang asing yang baru beberapa minggu tinggal bersamaku malah menilaiku seperti itu.
"Dia masih kecil" lanjutnya pula sambil tertawa, Tsubaki ikut tersenyum lucu. Mungkin dia setuju dengan perkataan Yuya, karena dulu dia memutuskanku pun karena alasan itu. Dia menganggapku masih kecil, kekanakan..
"Oi Takaki-kun, jangan bicara sembarangan!" sergahku. Dia masih tertawa-tawa.
"Chinen-kun sebenarnya cukup dewasa, hanya dia agak tidak peka dengan keinginan wanita" kata Tsubaki akhirnya. Sekarang dia mengatakan yang lain tentang aku.. cukup dewasakah? dulu jelas-jelas dia menyebutku kekanakan! Tidak peka..? Aku tak mau mengerti lagi. Dua orang ini tak bisa dipercaya, membicarakan aku tepat di depan hidungku.
"Ah sou? dia payah sekali" komentar Yuya lagi, mereka tertawa-tawa. Sial. "Jadi menurutku Tsubaki-chan seharusnya bisa berpacaran dengan laki-laki yang lebih baik"
Apa maksudnya itu?! Aku menatap tajam lagi pada Yuya.
"Tapi Chinen-kun sudah cukup baik untukku" sahut Tsubaki malu-malu. Hah??
"Tidak, seharusnya Tsubaki-chan mendapat laki-laki yang lebih baik. Anak ini payah, itu kan sebabnya kalian putus kemarin?"
Yuya berkata panjang lebar dan Tsubaki menyahutnya tak kalah panjang. Aku diacuhkan. Mereka berdebat tapi sambil tertawa-tawa dan yang paling parah, mereka mendebatkan aku. Tsubaki yang bersikeras seperti ingin kembali padaku lalu Yuya.. dia sangat bersikeras juga seperti ingin menentang kami, tak mau membiarkan kami kembali. Dia terus mengatakan Tsubaki seharusnya mendapatkan pacar yang lebih baik daripada aku.
Aku menghela nafas.
- - - - -
"Kenapa tadi kau cerewet sekali?" gerutuku setelah Tsubaki pulang, dan tinggal kami berdua lagi. Ibuku akan pulang besok pagi dari luar kota, setelah itu dia akan libur selama 1 minggu. Waktu kami berdua hanya sampai besok pagi, seterusnya mungkin tak akan ada lagi tingkah-tingkah sok manis yang biasa dilakukan Yuya padaku.
"Kau tak suka aku banyak mengobrol dengannya, huh?" dia malah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan, kebiasaan buruk.
"Aku bilang kau terlalu banyak bicara. Berkata tentang aku seenaknya" kataku agak tak sabar.
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya" katanya tenang.
"Kau banyak mengarang" sangkalku. Yuya tertawa.
"Kau tak perlu semarah itu. Aku hanya ingin menolongmu"
"Hah?" aku melihat padanya tak mengerti.
"Aku tahu kau tak mau kembali padanya. Gadis itu jelas-jelas ingin mendapatkanmu lagi" terangnya.
"S-siapa yang bilang aku tak mau kembali..?"
"Kau mau?" dia menatapku. Dia tampak tahu kalau aku tak jelas dengan perasaanku. Pertanyaannya tentu saja memojokanku. Aku menghela nafasku, mencoba mengalihkan pertanyaannya. "Setidaknya kau berterima kasih padaku" katanya lagi, nada suaranya mendadak dingin. Aku mengerutkan keningku, melihat dia berjalan ke arah dapur. Aku mengikutinya dan berdiri di dekat pintu.
"Kau tidak melakukan sesuatu yang--"
"Jadi kau benar mau kembali padanya, setelah dia mencampakanmu seperti itu!?" Yuya cepat memotong dan menatapku tak percaya. Kata-kata tajamnya agak membuatku terhenyak. "Kau tahu kalau aku menyukaimu. Kau pikir aku akan diam saja melihat kalian?"
"Jadi, itu.. apa kau.." aku tak bisa mengatakan kalimatku dengan jelas.
"Aku tidak apa-apa kalau kau bersama gadis yang benar-benar bisa menerimamu apa adanya, tidak Tsubaki yang mempermainkanmu seperti itu. Setelah dia mencampakanmu, dengan enaknya dia ingin kembali padamu!? ck!" Yuya berkata panjang lebar dan tampak marah. Dia membalikkan tubuhnya membelakangiku. Mungkin tak ingin aku melihat kekesalannya, dan aku mendadak ingin tersenyum. Ternyata Yuya sangat peduli padaku, kelakuan konyolnya tadi hanya karena dia memikirkanku. Dia manis juga. Perlahan, aku berjalan menghampirinya, berdiri tepat di belakangnya.
"Kau.. cemburu" gumamku pelan, tapi aku tahu dia mendengarnya. Dia seperti ingin menengokkan kepala, tapi di tahannya. Aku tertawa pelan. Pertamakalinya aku melihat dia semarah ini, ternyata lucu juga. Aku pun melingkarkan tanganku di tubuh Yuya, memeluknya dari belakang. Kepalaku bersandar nyaman di punggungnya..
Dia terhenyak dengan pelukanku yang tiba-tiba. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya, aku tak pernah mengambil inisiatif lebih dulu. Tapi sekarang, entah kenapa aku ingin melakukannya, memeluk dia selama mungkin.
"Yuuri.." panggil Yuya, lembut.
"Hmm?" aku bergumam di punggungnya. Ada bau khas darinya yang ku suka jika tubuh kami berdekatan seperti ini. "Kau cemburu, iya kan? Akui saja, Takaki-kun" kataku pula. Aku merasakan tangannya menyentuh tanganku. Dia suka sekali menggenggam jari-jari tanganku. Dan tentu saja aku, aku suka dengan tangannya yang hangat setiap menyentuh tanganku. Perlahan, dia melepas pelukanku dan membalikkan tubuhnya menghadapku. Dia memandangku, aku membalasnya dengan agak mendongakan kepalaku ke arahnya. Dia sedikit menunduk, hingga wajah kami cukup berdekatan.
"Ternyata kau peka padaku. Kenapa kau tak bisa peka pada Tsubaki?" katanya agak berbisik, menggodaiku. Aku mengerutkan keningku dan memukul lengannya pelan. Dia tertawa kecil, lalu tangannya menarikku hingga nyaris menabrak tubuhnya, membuat kami semakin merapat. Tangannya melingkar di pinggangku, sedangkan tanganku tersimpan di dadanya. Mata kami tak berhenti saling menatap, walau aku agak kaget dengan kelakuannya dan dadaku mulai berdebar tak karuan. Tapi ternyata bukan aku saja, dari tanganku yang menempel di dadanya, aku bisa merasakan jantungnya pun berdetak lebih cepat.
"Besok, mungkin aku tak bisa memelukmu lagi seperti ini" katanya. Pikiranku pun langsung menuju kesana, pada ibuku yang akan libur nanti. Yuya benar, kami tak akan punya kesempatan seperti ini lagi.
Yuya tersenyum sebelum menyentuhkan bibirnya denganku. Mungkin tadi dia menunggu aku mengatakan sesuatu, tapi aku terlalu tercekat untuk berkata-kata. Perbendaharaan kata di otak ku seperti menghilang dan akhirnya benar-benar blank ketika dia menciumku. Ciuman kami yang kesekian, tapi aku masih saja merasa gugup seperti baru kali ini kami melakukannya.
Ini memang terasa lain. Ada sesuatu yang lebih membuatku berdebar daripada biasanya. Tangannya mengusap pinggangku, lembut. Aku seperti menahan helaan nafasku. Dia memiringkan lagi kepalanya agar ciuman kami lebih terasa nyaman dan dalam. Tanganku pun mulai bergerak dari dadanya menuju pundak, hingga ke belakang lehernya. Aku mengeluh pelan di bibirnya saat dia memutar posisi kami, hingga sekarang aku terjebak di antara tubuhnya dan meja dapur. Tanpa melepaskan ciuman, dia mengangkat tubuhku dan membuatku duduk di meja dapur..
Tubuh kami agak sejajar dengan posisi seperti ini. Dia bisa lebih mudah menciumku, aku merasakan detakan jantung yang bersahutan di dada kami yang menempel.
Tangan Yuya di pinggangku mulai menyusup ke kaosku, bersentuhan dengan kulit tubuhku yang mungkin sudah memanas. Aku pun makin erat memeluk lehernya, memainkan ujung rambut ikalnya dengan jariku. Aku merasa nafasku mulai limit, beruntung Yuya pun melepaskan ciumannya. Kami terengah, tapi aku belum bisa membuka mataku karena kurasa bibir Yuya mulai turun ke dagu ku.. ke leherku. Salah satu tanganku mencengkram rambutnya. Sementara dia terus mengusap kulit di balik kaosku. Nafasku jadi terasa berat, tubuhku makin memanas. Aku bisa merasakan hal yang sama di tubuh Yuya. Kita bertindak terlalu jauh.. iya kan? Otakku menyadarinya, tapi aku tak ada keinginan untuk menghentikannya. Tanpa sadar, aku mengeluh lagi dan menggigit bibirku saat kurasa Yuya melakukan sesuatu dengan kulit leherku. Aku malah menekan belakang kepalanya, membuat dia makin terbenam di lekukan leherku. Aku tak bisa mengendalikan diriku lagi, dan aku tahu Yuya juga..
"T-Takaki.. -kun" gumamku, hanya bisa menyebut namanya. Aku seperti tak punya pilihan lain, aku menyerah. Tubuhku nyaris berbaring disana, tapi tangan Yuya terus memegang tubuhku. Dia berhenti dengan leherku dan mulai dengan kecupan berantainya hingga ke telinga kananku.
"Yuya. Panggil aku Yuya" bisiknya, membuat tubuhku merinding. Aku membuka mataku sedikit dan dia balas melihatku dengan senyumannya. Aku meraih wajahnya agar lebih menghadapku, dan kami mulai berciuman lagi. Hidung kami yang berbenturan jadi terasa seperti marshmallow. Ciuman kami sudah sangat meningkat. Aku merasakan salah satu tangannya sudah berada di dadaku, menyentuhku dengan halus. Membuatku mengeluarkan suara-suara tak jelas lagi. Aku ingin menghentikannya tapi aku tak bisa. Semuanya seperti sudah ter-set dengan sendirinya.
"I love you" aku mendengar dia menggumamkan sesuatu diantara ciuman kami. Kata-kata yang belum pernah dia katakan sebelumnya.
Aku tak menyahut apapun, tak tahu harus berkata apa. Lebih baik pura-pura tak mendengarnya.
Yuya menghentikan ciuman, dan menyandarkan dahinya di dahiku. Nafas kami berbaur nyaris tak beraturan.
"Kita.. hh-harus pindah.." kata Yuya disela-selanya mengambil nafas.
"Eh??" hanya itu yang bisa keluar dari mulutku meski aku mengerti maksudnya. Kami sudah tak bisa mengendalikan diri lagi, harus menemukan tempat yang lebih nyaman.
Yuya. Aku merasa sudah memanggil namanya berkali-kali, bukan Takaki-kun seperti biasanya. Aku menuruti yang dia minta. Aku menyebut namanya setiap merasakan sesuatu yang membuatku bergejolak.
Hangat.
Nyaman.
Yuya.
Yuya lagi.
Perlahan, aku membuka mataku dan menggerakan tanganku yang seperti terjebak sesuatu.
Yuya?
Ada Yuya disana, memeluk tanganku erat.
Pikiranku langsung teringat pada kejadian semalam..
Aku menarik tanganku dari pelukannya, langsung bangun dari posisi tidurku dan shock melihat tubuhku tak memakai piyama seperti biasanya.
Ada beberapa titik aneh di dadaku, aku cepat menarik selimutku, menutupinya.
Aku melihat pada Yuya yang masih lelap tertidur. Dia juga.. tak memakai bajunya. Aku mengeluh pelan dan mengusap-usap wajahku, hingga mataku melihat ke arah jendela yang terang benderang. Cahaya matahari menyusup dari tirai. Sudah siang? aku melihat jam di meja belajarku.. pukul 7.00. Yabai.
"Takaki-kun!" aku mengguncangkan tubuh Yuya agar dia cepat bangun. Dia bergerak dan menggumam sambil menarik tanganku, hingga aku terjatuh di dadanya. Aku berusaha melepaskan diri, tapi dia sangat kuat.
"Aku sudah bilang, panggil saja aku Yuya" katanya dengan mata yang masih terpejam dan senyuman aneh di bibirnya.
"Takaki-kun!" aku memanggilnya lagi, kali ini agak berteriak. Dia membuka matanya dan memandangku bingung. Aku cepat melepaskan diri dari pelukannya.
"Yuuri?"
Aku menutup lagi tubuhku. Gugup juga rasanya. Aku nyaris tak berani melihat wajahnya.
"Cepat keluar dari kamarku"
"Hah?" dia melihat ke sekeliling dan mengerti juga kalau dia bukan berada di kamarnya. "Yuuri.. kita--?" dia tak melanjutkan perkataannya, karena aku lebih dulu menatapnya tajam. Dia terdiam. Kami terdiam. Berpikir. Kejadian kemarin sore.. Semalam..
"Ne, cepat keluar. Kaachan akan segera pulang!" tiba-tiba aku teringat lagi. Bukan saatnya untuk kami merenung sekarang. Tak ada waktu.
Yuya pun seperti tersadar. Dia segera bangun, menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan turun dari ranjangku. Dia tampak gugup mencari-cari sesuatu. Aku tahu, dia pasti mencari bajunya. Aku melihat ke samping bawah di dekatku. Ternyata ada. Aku tak mengerti kenapa bisa sampai kemari.
"Ini" kataku melemparkan baju itu padanya, dia langsung menangkap dan memakainya. Tapi dia tak cepat pergi dari sana dan malah melihat ke arahku.
"Apa lagi?" tanyaku. Dia tersenyum.
"Ohayo Yuuri" katanya, dan membuat ekspresi mencium di wajahnya.
Malu, aku melemparkan bantal ke arahnya.
"Takaki-kun!!"
- - - - -
"Aku ingin kita kembali seperti dulu" kata-kata Tsubaki membuatku terkesiap. Ragu-ragu aku menoleh padanya yang berjalan di sampingku. Kami baru pulang dari acara pergi berdua, setelah beberapa kali aku menolaknya dengan halus. Lama-lama aku tak enak terus menolaknya. Dia sudah sangat berusaha. Jadilah sekarang kami pergi berdua lagi seperti berkencan, setelah hampir beberapa bulan ini kami berteman.
Kami berhenti begitu tiba di depan rumahnya, dia berdiri di hadapanku dan tersenyum lembut.
"Aku selalu menyukaimu, Chinen-kun. Aku ingin kau kembali padaku" dia mempertegas semuanya. Mata beningnya yang indah menatapku penuh harap, meski aku tahu dia pasti mengira aku akan menerimanya. Aku tak tahu harus berkata apa. Sulit. Tak bisa berkata tidak dan tak mau berkata iya.
Aku menggigit bibirku perlahan, kemudian mengulas senyuman untuknya. Matanya berbinar. Dia pasti menganggap jawaban positif dari senyumanku.
"Aku akan lebih memahami mu. Aku tak akan banyak menuntut darimu" katanya pula, meyakinkanku. Kata-kata yang pantasnya diucapkan oleh laki-laki sepertiku.
Aku masih terdiam saat Tsubaki menghilangkan jarak diantara kami. Wajah manisnya hanya beberapa centi saja dariku, dan sebelum aku sempat berkedip, dia mengecup bibirku. Sebuah kecupan yang sangat polos. Kami memang belum pernah melakukannya, dan ini membuatku berdebar. Dia tersenyum lagi.
"Oyasumi" katanya. Lalu berbalik masuk ke rumahnya, tanpa menunggu reaksi ku dulu. Aku sempat melihat rona merah di pipinya tadi. Mungkin dia malu. Dan aku lebih memalukan.. hanya bisa diam. Dari awal hingga sekarang, aku hanya diam, tersenyum tanpa mengungkapkan apa yang ada di pikiranku. Aku jadi setuju dengan perkataan Yuya kalau Tsubaki pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik daripada aku. Aku sangat payah. Aku seharusnya dulu tak heran kenapa Tsubaki mencampakanku, karena aku memang pantas dicampakkan. Aku tak lebih dari seorang pengecut.
Aku menghela nafasku. Sekarang aku harus menghadapinya. Aku tak boleh jadi pengecut untuk kedua kalinya. Aku pun beranjak dari sana, aku ingin cepat pulang dan tak mau memikirkannya.
"Yuuri" seseorang memanggilku setelah aku berjalan cukup jauh dari rumah Tsubaki.
Mataku membelalak ketika kulihat siapa, pantas aku familiar dengan suaranya.
"Takaki-kun? sedang apa kau disini?!"
"Aku sudah menduga kau mengantarnya pulang" dia tak menjawabku.
"Tentu saja aku mengantarnya pulang. Jangan bilang kau membuntuti kami?!" sahutku menuduhnya.
"Benar.."
"Aku memang membuntuti kalian. Kau tidak suka?" kata Yuya datar. Aku agak heran dengan sikap dan cara bicaranya.
"Aku hanya menebak. Tidak usah memasang muka mengerikan begitu" sahutku dan melanjutkan lagi jalanku, mengacuhkannya.
"Kau tak bisa menghindar dariku" dia mengikutiku. Suaranya masih datar seperti tadi, malah lebih tajam. Aku mengerutkan keningku dan menengok padanya sekilas.
"Kenapa aku harus menghindarimu?" kataku tak mengerti. Aku sebenarnya senang karena ternyata dia membuntuti ku dan Tsubaki, ternyata dia peduli juga padaku. Tapi dia terlihat aneh. Aku bisa merasakan dari tatapan dan nada bicaranya. "Hujan.. kau lihat? aku bukan menghindarimu, tapi ini sudah akan turun hujan" tambahku yang tersadar sebuah titik air mengenai keningku. Untung rumahku sudah dekat.
"Aku melihatnya.." Yuya berkata ketika aku bermaksud mempercepat langkahku. Melihat?
Aku menghentikan langkahku bersamaan dengan hujan yang turun langsung membasahi kami. Aku berbalik dan melihat padanya, dia tampak tak peduli dengan hujan yang cukup deras ini. Dia benar-benar aneh.
"Takaki-kun.."
"Aku melihat dia menciummu, dan kau diam saja" potong Yuya tajam. Aku agak terkejut. Itu.. itu rupanya. Aku sendiri nyaris tidak ingat tadi Tsubaki menciumku.
"Memangnya aku bisa--"
"Dimana harga dirimu sebagai laki-laki? Dia sudah mencampakanmu!" lagi, dia memotong perkataanku, membuat aku makin terkejut. Aku bisa melihat ekspresi kesalnya di balik air hujan yang menyirami kami. Dia tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Aku memang pengecut, kau tak perlu mengingatkanku lagi" kataku mulai terganggu dengan ucapannya. Aku berbalik dan meneruskan menuju rumahku yang hanya tinggal beberapa meter saja.
"Berhentilah jadi pengecut!" kata Yuya yang mengikutiku lagi.
"Aku tahu, kau jangan cerewet!" aku menyahut tanpa menengok lagi padanya.
"Kau masih bodoh!"
"Bukan urusanmu!"
"Aku tak suka melihatnya!"
"Aku tak minta kau melihatnya!"
"Harusnya kau menolak dia!"
"Kau sudah tahu kalau aku pengecut!" diulang lagi. Perdebatan ini membuatku muak.
Sebuah sentakan di tanganku membuat aku menghentikan langkah dan berbalik dengan terpaksa. Yuya. Dia menarik tanganku, kasar. Aku tak sempat protes, karena beberapa detik kemudian, tangannya yang lain merengkuh pinggangku, membuat tubuh basah kami merapat. Dia menatapku dalam-dalam, dan aku bisa membaca kegalauan di matanya.
Pelan, jemari dingin Yuya mengusap bibirku yang basah. Aku bisa menduga apa yang akan terjadi selanjutnya...
"Kau bergetar" bisik Yuya. Tentu saja dia bisa merasakan tubuhku yang bergetar, dia memelukku se erat ini.
"Kita berada di tengah hujan, baka. Jelas aku kedinginan" sahutku, berusaha tak terpengaruh dengan tindakannya. Bukankah tadi kami sedang berdebat?
"Kedinginan, hah?" Yuya makin mempererat pelukannya. Aku mencoba melepaskan diri, tapi memang tak mungkin.
"Takaki-kun, sebaiknya kita cepat ke rumah.. kita bisa sakit kalau terlalu lama seperti ini" protesku.
Dia tampak tak peduli. Salah satu tangannya terus mengusap wajahku dari tetesan-tetesan air hujan. Aku tak mengerti apa yang ada di benaknya. Di tatapannya hanya ada kegalauan.
"Takaki-kun.." aku tak menyelesaikan kalimatku karena Yuya menghentikanku dengan menaruh telunjuknya di bibirku. Dia tersenyum. Untuk pertama kalinya lagi sejak beberapa saat yang lalu. Aku diam. Dadaku berdebar kencang, dia selalu membuatku seperti ini.
Perlahan, dia menarik telunjuknya dari bibirku, sangat lambat sampai aku merasa bibirku agak terpisah. Aku sudah menduganya.. dan agak mengharapkannya.
Yuya menciumku. Bibirnya yang basah terasa dingin dan bergetar. Dia juga pasti kedinginan. Aku tak menolak, aku menyambut ciuman itu dengan sendirinya. Di saat menjelang malam dalam tengah hujan yang cukup deras.. suasana yang sempurna. Romantis.
Nyaman, meski kami basah kuyup. Tubuh kami yang sama-sama basah dan kedinginan jadi terasa hangat dengan merapatkannya seperti ini.
Yuya menyelipkan lidahnya diantara ciuman kami, sangat meminta dan nyaris tak sabar. Aku hanya mengikuti, semakin memiringkan kepalaku, mencengkram jaketnya. Ciuman kami pun semakin dalam dan tak bisa di elakkan.
Tetes-tetes air hujan ikut masuk ke mulut kami. Aku merasa mulai kehabisan udara dan air hujan ini membuatku tersedak. Reflek, aku melepaskan ciuman kami dan terbatuk-batuk. Sangat merusak suasana.
"..Daijobu..ka?" tanya Yuya mengusap wajahku lagi. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan tak berani melihat ke arahnya.
"..Go..men.." aku berusaha minta maaf. Dia tak berkata, hanya melonggarkan pelukannya dan menarik tanganku pergi dari sana, menuju rumah.
Sudah selesai kah? padahal aku suka dengan suasana tadi..
Dia membawaku ke samping rumah, dimana disana ada sebuah jendela besar. Yuya membuatku bersandar disana, menjebak tubuh basahku diantara tubuhnya dan kaca besar di belakangku. Beruntung tirainya sudah di tutup, jadi tak akan terlihat dari dalam. Aku ingat ibuku.
"Takaki-kun, kita--" dia menciumku lagi. Ini pasti lama..
Yuya mengangkat tangan kiriku dan menjebaknya di samping atas kepalaku dengan tangan kanannya. Tangan nya yang lain memegang pinggangku. Dia menciumku seperti tak pernah menciumku sebelumnya. Lembut, tapi agak memaksa dan ada keresahan di dalamnya. Putus asa? Aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.
Tangan kananku yang dari tadi mencengkram bahunya mulai naik ke belakang lehernya, aku terlalu lemah untuk menyingkirkannya.. selain itu ciumannya pun memang selalu membuatku menyerah. Membuatku tak ingat apapun.
Aku mengeluh pelan merasakan tangan dinginnya menyusup ke balik kemejaku, mengangkatnya, membiarkan tangannya bebas menelusuri setiap jengkal kulit di pinggang hingga ke perutku. Ciuman kami terus berlanjut, tanganku mulai terbenam di antara rambut ikalnya yang basah.
Kami mulai kekurangan udara yang masuk ke paru-paru, hingga melepaskan ciuman. Aku tersadar dan mengambil kesempatan untuk menghentikannya. Tempat ini tidak aman, ibuku mungkin saja memergoki kami.
"Takaki-kun, disini--ahh.." Aku bersuara tanpa sadar ketika bibir Yuya menciumi leherku.
Ciuman ini.. perasaan ini.. aku ingat, sama dengan saat aku dan Yuya.. malam itu.. di ranjangku..
"..Takaki-kun.. jangan--" aku makin mencoba menghentikannya, karena dia semakin tak terkendali. Tangannya menjelajahi pinggangku, perutku, dadaku.. aku bisa merasa kemeja ku sudah berantakan. Aku memegang wajahnya agar menghadapku lagi, dia harus mendengarkanku atau kami akan berakhir disini.
"..di dalam ada Okaachan, sebaiknya kita tidak macam-macam" bisikku.
"Dia tak akan melihat kita" sahutnya, yakin. Dia mencium bibirku kilat, aku tak sempat mengelak. Tapi aku cepat menatapnya lagi, serius.
"Jangan menganggap remeh"
"Kau terlalu khawatir" dia tersenyum dan mengecup hidungku, aku berkedip dan begitu sadar, dia sudah mencium bibirku lagi. Ya, tuhan.. dia sangat keras kepala. Aku jadi melingkarkan tanganku di lehernya, mengejar irama ciumannya yang sangat tidak teratur. Apa dia jadi bernafsu gara-gara suasana dingin dan basah di sekitar kami? Apa karena tubuh basah kami yang merapat satu sama lain?
Aku merasa tak ada lagi benda basah yang menempel di tubuhku. Yuya sudah menanggalkan kemejaku. Aku memejamkan mataku kuat-kuat saat sekali lagi Yuya menurunkan ciumannya ke leherku, ke dadaku.. rasanya semakin ke bawah, tapi aku membawa dia kembali ke atas. Aku membantu dia melepas jaket dan kausnya.
Kami memang sudah terlalu jauh, tapi tak ada yang mau berhenti..
"Takaki-kun.." entah sudah berapa kali aku memanggil namanya. Aku merasa bibirku tak berhenti bergerak mengeluarkan suara-suara yang membuatku malu sendiri mendengarnya.
"Kau ribut sekali" bisik Yuya di telingaku. Aku merasa wajahku semakin menghangat. Mungkin wajahku sudah sangat merah sekarang.
Aku mencoba menyahut, tapi lagi-lagi aku hanya bisa mengeluh. Yuya melakukan sesuatu lagi di kulit leherku. Aku terus memejamkan mataku dan menggigit bibirku untuk menahan menyebut namanya.
"Jangan menahannya, sebut saja namaku.. Yuya.." dia berbisik lagi, tubuh dinginku bergetar merasakan hembusan nafasnya di telingaku.
"Yu..ya.." aku langsung menurutinya begitu saja. Tanganku erat melingkar di tubuhnya, aku memeluknya seperti takut dia akan meninggalkanku. Secepat ini aku sudah menyerah. Beruntung, hujan masih turun, bisa menutupi suara-suara yang aku keluarkan.
Aku merasakan Yuya tersenyum di leherku, ciumannya menjauh ke arah pundakku yang sudah tak tertutup apapun. Aku menekan belakang kepalanya tanpa sadar, dan saat itu tangan Yuya menemukan ujung celanaku. Tangannya menggapai-gapai tak jelas berusaha menyentuh tulang pinggangku. Dia tampak ingin membukanya. Aku cepat menggerakkan tanganku memegang pergelangan tangannya yang sudah akan membuka celanaku. Aku tersadar begitu saja, jadi aku cepat menghentikannya. Mataku terbuka, menatapnya. Dia balas melihat padaku.
Aku tak mengatakan apapun, tapi mataku menunjukkan keberatan.
"Kau takut?" gumamnya. Nafasnya yang agak memburu mengenai wajahku, hangat. Aku nyaris menutup mataku lagi, tapi aku bertahan.
"Aku takut" jawabku tanpa banyak berpikir. Aku melihat senyuman di ujung bibir Yuya, sebelum tiba-tiba dia memegang pinggangku lebih kuat dan membalikkan tubuhku hingga aku menghadap ke kaca. Aku sangat terkejut, tapi tak sempat mencegahnya. Tanganku menekan kaca untuk menahan tubuhku. Yuya menyimpan tangannya tepat di atas tanganku, menggenggamnya. Aku suka merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku hanya karena genggaman tangan itu.
Kecupan-kecupan terasa di pipi hingga ke pundakku. Dada Yuya menempel di punggungku, aku bisa merasakan detak jantungnya yang cukup liar sepertiku.
Lagi, aku hanya memejamkan mataku.
"Yuuri.." bisikannya membuatku membuka mata perlahan. Pemandangan pertama yang kulihat, bayangan wajahku sendiri yang memantul di kaca. Kuso, aku mengumpat dalam hati melihat
Aku memang menyukainya. Aku memang jatuh cinta padanya. Dia sudah menjadi orang yang spesial untukku. Aku tak pernah keberatan dia menciumku, memelukku, menyentuhku, membuat banyak tanda merah di leher dan sekujur tubuhku, aku juga tak keberatan tertidur dengannya di ranjangku dan sekarang aku pun tak keberatan dia menciumiku tanpa henti dari sejak kami berhujan-hujanan tadi.
Tapi ketika sejauh ini, aku tidak bisa.. aku tak mungkin membiarkannya lagi.
"Cukup Takaki-kun.." aku sedang berada dalam kesadaran penuh. Aku tak boleh terkalahkan lagi.
"Hmm?" Yuya bergumam di pundakku. Aku menghentikan tangannya yang mulai berkutat lagi dengan celanaku. Yuya tak boleh melakukan ini padaku.
Aku melihatnya dari balik bahuku, dia menatapku. Di matanya, keresahan dan nafsu bercampur aduk. Dia mencoba menciumku, tapi aku mengelak dengan cepat. Pikiranku benar-benar sedang sadar sepenuhnya. Yuya tak menyerah, dia membuatku menghadap lagi padanya dan terus mencoba menciumku. Tangannya semakin bebas menjelajahi tubuhku yang terbuka. Aku mengelak sekuat tenaga, hingga aku berhasil mendorongnya. Melepaskan dia dari tubuh kami yang sudah saling menghangatkan dari tadi. Aku mengakui terasa ada yang kosong.
"Yuuri?" dia menatapku terkejut dengan yang kulakukan.
"Sudah cukup" kataku. Aku tak perlu menunggu dia bereaksi lagi, dengan cepat aku mengambil pakaianku yang berserakan di bawah. Sudah sangat basah dan kotor. Yuya tak sempat mencegahku. Aku segera pergi dari sana, masuk ke dalam rumah. Yuya tak mengejarku, dia sadar itu tak mungkin.
Aku masuk ke rumahku dengan hati-hati. Ibuku pasti kaget melihatku datang dengan keadaan basah dan tak berpakaian seperti ini. Aku berhasil melewati ruang tengah dan menuju kamarku, karena ibuku tak ada disana. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan air hujan yang rasanya jadi lengket, belum lagi bekas-bekas ciuman Yuya...
Aku terpana melihat bayanganku sendiri di cermin, dimana-mana ada tanda itu. Aku harus memakai syal lagi untuk menutupi di bagian leherku. Lemas, aku menahan tubuhku di wastafel tak berani lagi menatap bayanganku sendiri. Yang sudah ku lakukan tadi semakin tak bisa aku terima. Kenapa aku masih saja tak bisa menolak setiap tindakannya? Apa karena aku sudah jatuh cinta padanya? Tapi ini tidak benar, dia bukan orang yang seharusnya aku cintai, bukan orang yang seharusnya mencintaiku. Dia calon ayah tiriku. Aku tak bisa memungkiri kalau aku tak mau dia meninggalkanku. Reaksi nya saat melihatku dengan Tsubaki cukup membuatku senang. Dia sangat peduli padaku. Tapi aku tetap merasa ini tidak benar.
"Yuuri?? Kau sudah tidur??" terdengar suara ibuku dna ketukannya di pintu kamarku. Aku segera memakai piyama ku dan menyahut dengan malas.
"Hai, aku masih bangun"
"Kalau begitu keluarlah, kita menonton film bersama" katanya lagi.
"Hai" aku menyahut dan beranjak dari depan cermin. Aku sebenarnya ingin tidur saja, tapi aku tak enak menolak ajakan ibuku.
Di bawah, kulihat ibu dan Yuya sudah duduk di sofa melihat ke arah televisi yang akan memutarkan film. Aku duduk di sisi ibuku, dia diantara aku dan Yuya. Aku mencoba tak melihat ke arahnya, walau aku bisa merasakan tatapannya cukup lekat padaku.
Suasana menonton yang aneh. Setidaknya untukku, karena ada ibuku diantara aku dan Yuya. Kami tak pernah seperti ini sebelumnya. Yang membuatku semakin merasa aneh karena apa yang sudah terjadi diantara aku dan Yuya tadi. Di balik jendela kaca itu kami hampir melakukannya. Parah. Aku tak sedikitpun melihat pada laki-laki yang duduk tak jauh dariku ini. Aku menyukainya. Tapi aku takut.
"Popcorn~" kata ibuku begitu dia kembali dari dapur dan duduk lagi di tempatnya. Di tengah-tengah aku dan Yuya. Ibuku menyimpan mangkuk popcorn yang dia bawa di pangkuannya agar memudahkan kami bertiga mengambilnya.
"Ah akhirnya kita bisa seperti ini" kata ibuku lagi. Dia bersandar di sandaran sofa dan menghela nafas lega. Aku senang juga melihat dia bisa bersantai seperti ini. Hanya saja soal aku dan Yuya..
Aku merasakan sebuah tangan menggenggam tanganku hangat di dalam mangkuk popcorn saat aku mau mengambilnya. Itu tangan Yuya. Aku meliriknya tajam, dia malah tersenyum tanpa dosa. Aku tak mengerti apa yang ada di otaknya. Berani sekali dia bertindak begini sedangkan ibuku- calon isterinya ada di antara kami sekarang. Walau aku tahu ibuku tak memperhatikan karena terlalu serius dengan film nya, tetap saja ini bodoh!
Aku menarik tanganku saat ku rasa Yuya mulai memainkan jemariku. Dia benar-benar tak bisa dipercaya! Sekali lagi aku meliriknya tajam, memberi dia peringatan kalau aku tak setuju dengan yang dia lakukan. Tanpa menunggu reaksinya lagi, aku bergeser ke ujung sofa dan menyandarkan kepalaku disana. Aku mencoba menyimak film nya, tak mau lagi berurusan dengan laki-laki yang duduk di samping ibuku. Aku tak mau memikirkannya dulu, sudah cukup kejadian di tengah hujan tadi membuatku tak karuan. Aku merasa bersalah, takut tapi aku juga bahagia.. Perasaan konyol ini membuatku benci pada diriku sendiri. Kenapa..?
- - - - -
Kecupan hangat dan sedikit basah mendarat di pipiku. Aku menggumam pelan dan tak jelas tanpa membuka mataku. Kecupan itu mulai mendarat di tempat lain, di keningku, hidungku.. tapi tidak di bibirku, dia melewatnya. Aku tetap tak mau membuka mataku, percuma.. ini pasti hanya mimpi. Tak mungkin Yuya menciumiku saat aku tertidur, terlalu beresiko.
Yuya? Aku memang familiar sekali dengan sentuhan bibirnya di kulitku walau tanpa melihat wajahnya, aku tahu itu dia. Tanganku menggapai dan menyentuh wajahnya, terasa nyata. Tapi aku masih yakin ini hanya mimpi. Aku hanya membiarkannya sampai dia menghilang sendiri atau aku yang terbangun..
Seperti yang aku duga, kecupan-kecupan itu menghilang dengan sendirinya. Aku membuka mataku perlahan, dan sadar aku masih berada di salah satu ujung sofa dengan kepala bersandar di lengannya. Leherku agak sakit saat aku menggerakannya. Aku melihat ke sekeliling, tak ada siapapun. Televisinya sudah mati. Ibuku dan Yuya tak terlihat lagi. Mangkuk popcorn kosong tergeletak di tempat ibuku duduk tadi.
Sepertinya pesta kecil ibuku sudah selesai, aku malah tertidur disini dan mereka tak membangunkanku. Mereka mungkin sudah masuk ke kamar masing-masing. Aku juga payah. Aku sudah berusaha tak memikirkan Yuya, tapi mimpiku tadi sangat memalukan. Aku masih saja berharap melakukan sesuatu dengannya setelah nyaris terjadi di luar tadi sore.
Gila.
Aku mengacak-acak rambutku sambil beranjak dari sana menuju ke kamarku. Aku masih mengantuk dan akan melanjutkan tidurku. Siapa tahu dia akan datang lagi di mimpiku.. huh? benarkan? aku sudah gila.
Langkah kaki ku melambat saat kudengar suara-suara yang terdengar aneh di telingaku. Suara-suara yang membuat aku mendadak merinding. Aku menoleh ke arah dari mana suara itu berasal.
Kamar ibuku.
Tidak.
Aku tertegun disana beberapa saat memastikan kalau pendengaranku tidak salah.
Suara-suara itu semakin jelas terdengar dan tak terasa aku sudah menahan nafasku sendiri.
Tidak.
Aku merasakan sesak di dadaku.
Tidak.
Aku tak sanggup lagi mendengarnya. Tanganku langsung menutupi kedua telingaku, dan kaki ku cepat berlalu dari sana menuju kamarku.
Tubuhku bergetar hebat, bukan karena rasa nyaman yang biasa menghampiri saat aku sedang bersama Yuya. Ini getaran yang menyakitkan, tak sadar aku merasakan mataku sudah menghangat..
Sial!
Aku mengusap air mata dari pipiku dengan ujung lengan piyamaku.
Suara-suara itu yang membuatku risau. Sakit hati aku menerka-nerka apa yang terjadi disana. Yuya.. Tubuhku lemas dan terduduk sambil bersandar di pintu kamarku.
Aku memang bukan siapa-siapa, dari awal aku tak seharusnya menyela kebahagiaan ibuku.
Beberapa jam yang lalu aku masih berdebar karena tindakan manisnya padaku, dan sekarang aku harus terpuruk disini menyesali diriku sendiri.
- - - - -
"Yuuri, kenapa buru-buru sekali? Ini masih pagi, kau masih sempat sarapan" ibuku memandangku heran, melihat aku yang setelah turun dari kamar langsung memakai sepatuku.
"Aku janji berangkat dengan temanku" kataku singkat. Aku meliriknya sekilas, rambut ibuku basah.. Yuya juga.
Rasanya aku mau menghilang saja.
. . . . .
Sekotak bento yang tampak lezat terpampang di hadapanku. Insting laparku tak berpikir dua kali saat aku mulai membukanya dan agak berseru takjub melihat isi bento itu.
"Kau suka?" Tsubaki mengambil tempat dan duduk di kursi di depanku. Aku nyaris lupa kalau gadis ini yang membawakan bento untukku. Aku memang terlalu peduli dengan perutku yang kelaparan, gara-gara tidak sarapan tadi pagi.
"Hai. Arigato.." kataku, mengulas senyuman untuk Tsubaki.
"Hontou? yokatta~ kalau begitu makanlah" dia memberiku sumpit yang biasa aku pakai. Aku mengangguk sebelum mengucap 'itadakimasu' dan mulai makan. "Rasanya sudah lama tidak seperti ini.." kata Tsubaki lagi setelah beberapa detik kami serius dengan makanan masing-masing, terutama aku yang hanya ingin membuat perutku kenyang dengan makanan enak buatan nya ini. Dia benar, sudah beberapa bulan berlalu sejak kami putus. Dulu kami biasa makan siang bersama seperti ini.
"Sou" sahutku seperti bergumam karena mulutku agak penuh. Tsubaki tersenyum dan mengulurkan tangannya, mengusap ujung bibirku, tampaknya ada nasi yang menempel.
"Aku senang kita bisa bersama lagi" katanya.
Aku menelan makananku dan coba tersenyum walau aku tahu rasanya kaku. Dia menganggap kami sudah bersama lagi.. sedangkan aku tak berpikir begitu. Tapi tentu saja aku tak mungkin menyalahkan perkataannya. Sama saja itu berarti aku menolaknya, aku tak sampai hati melakukan itu, walau Yuya sudah sering mengingatkanku tentang Tsubaki yg sudah mencampakanku. Menurut Yuya, aku jelas-jelas tak boleh memberinya kesempatan lagi.
Yuya.
Kenapa aku jadi ingat padanya? Mendadak membuatku mual mengingat lagi kejadian semalam dan tadi pagi. Kuso.
Aku mengambil air minum yang sudah disiapkan Tsubaki dan meminumnya. Rasanya perutku jadi kenyang.
"Eh? kau sudah selesai?" tanya Tsubaki karena aku tak melanjutkan makanku.
"Sepertinya aku sudah kenyang" kataku.
Tsubaki tersenyum, dia menyimpan juga sumpitnya dan mengambil sesuatu dari tas nya, sebuah jeruk.
"Pencuci mulut" katanya. Dia masih ingat saja kalau aku suka buah jeruk. Dia mengupasnya dan menyuapiku. Aku menerimanya saja walau ada keraguan di hatiku. Dulu kami memang biasa seperti ini, tapi sekarang aku tak menikmatinya lagi. Perasaanku sudah berubah. Aku tak merasakan apapun lagi padanya. Tak ada lagi dari dirinya yang membuatku berdebar.
"Tsubaki-chan kau mau ke rumahku?"
Tsubaki tampak tercengang dengan ajakanku.
Aku sadar, tapi ada yang aku perlukan juga darinya.
Untuk melupakan Yuya.
. . . . .
Rumahku kosong ketika aku pulang. Biasanya ada Yuya, tapi aku tak melihat dia dimanapun. Ibuku juga..
"Tidak ada orang?" tanya Tsubaki yang mengikutiku masuk ke dalam rumah.
"Yea, sepertinya mereka sedang pergi" aku tidak tahu apa nada suaraku terdengar seperti membuat alasan atau tidak. Hanya saat melihat Tsubaki sekilas, dia tengah tersenyum sendiri. Huh, dia pasti mengira sebenarnya aku sengaja mengajak dia datang karena rumahku sedang kosong. Padahal aku benar-benar tidak tahu kalau dirumah tidak ada orang. Aku tadinya malah berpikir ingin menunjukkan kedatanganku bersama Tsubaki. Aku tahu kalau itu akan membuat Yuya terganggu.
"Duduklah" aku membiarkan Tsubaki duduk di sofa di depan televisi. Aku menuju dapur untuk mengambil minuman, dan seperti yang aku duga ada note tertempel di pintu lemari es. Aku membacanya :
yuuri,
kami pergi berjalan-jalan dan mungkin sampai makan malam, kau tak perlu menunggu kami. aku sudah siapkan yang kau suka di lemari es. kau bisa kan membuat makan malammu sendiri? gomen ne ^^
-okaasan
Aku mengeluh. Mencabut note itu lalu meremas dan melemparkannya ke tempat sampah. Rupanya mereka benar-benar menghabiskan waktu berdua, untuk memanfaatkan masa libur ibuku.
"Apa yang mau kau minum, Tsubaki-chan?" tanyaku setengah berteriak dari tempatku.
"Eh? ehm.. apapun aku tidak apa-apa" jawabnya dari ruang tengah.
"Ok" gumamku dan mengambilkan dua buah kaleng jus. Aku kembali lalu memberikan satu kaleng pada Tsubaki.
"Arigato"
Aku hanya tersenyum dan duduk di sampingnya. Sepi. Tak ada yang bicara diantara kami. Aku mengambil remote dan menyalakan televisi, setidaknya membuat suasana jadi tidak terlalu sepi dan aneh. Tapi kami masih terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku teringat Yuya dan ibuku, membuatku semakin sadar kalau tak akan ada celah lagi untukku. Aku harus segera menarik diriku dari kegilaan ini.
Aku melihat Tsubaki bergerak di tempatnya dari ujung mataku. Dia lebih rileks menyandarkan tubuhnya di sofa. Aku meliriknya perlahan, mataku langsung jatuh ke lehernya yang agak terbuka karena dia membuka kancing atas seragamnya. Kuso. Aku mengutuki diri dalam hati tapi mataku tak berhenti menjelajahi wajahnya. Tsubaki memang cantik, tak salah kalau dulu aku sangat menginginkannya. Hanya saja aku tidak memperlakukan dia seperti seorang gadis yang aku sukai. Aku belum pernah menyentuhnya.
Pelan, aku mulai mendekat. Kuhirup wangi di sekelilingnya, seketika otak ku pun berhenti berpikir..
Tsubaki meremas rambutku bersamaan dengan ciuman kami yang semakin dalam. Dia bergumam tak jelas di bibirku, membuat tubuhku merinding dan akal sehatku semakin tak bisa dikendalikan.
Tsubaki telah berbaring di sofa dengan aku di atasnya. Entah sudah berapa lama kami berciuman seperti ini, rasanya sudah berjam-jam. Kami berhenti setelah nyaris tak ada udara yang masuk ke paru-paru. Nafas kami memburu dan berbaur. Tsubaki menatapku lembut.
"Yuuri.." dia memanggil namaku. Tangannya masih memainkan rambutku. Aku tak menunjukkan ekspresi apapun, datar. Sedatar perasaan yang menyergap saat kami berciuman tadi. Tak ada debaran-debaran tertentu, aku hanya merasakan naluri laki-laki ku tergerak dengan keadaan Tsubaki yang tanpa pertahanan seperti ini. Tapi semuanya kosong, tak ada perasaan bahagia yang aku rasa ketika melakukannya dengan Yuya. Dia lagi. Disaat seperti ini pun aku masih memikirkannya. Aku benci.
Tanpa perlu berkata-kata, aku meneruskan ciumanku ke leher Tsubaki. Tempat yang dari tadi sudah aku amati. Dia tampak terkejut sesaat, tapi kemudian kembali rileks. Tangannya meremas rambutku dan mencengkram seragamku. Dia menyukainya, aku tahu dari tarikan nafasnya yang agak berat. Aku juga bernafas seperti itu saat aku dan Yuya..
Aku mengangkat diriku dari tubuhnya. Dia menatapku heran, karena aku berhenti dengan tiba-tiba. Aku sudah cukup, dari tadi pikiranku tak bisa lepas dari Yuya. Aku harus menyudahinya.
"..Tsu-Tsubaki-chan.. kamarku.." aku berkata-kata nyaris tak jelas dengan kalimatku sendiri. Tapi Tsubaki tampak langsung mengerti. Dia mengangguk begitu saja. Aku mungkin sudah gila, tapi tak urung aku menarik tangannya dan membawa dia ke kamarku di lantai atas. Aku tak ingat untuk mematikan televisi lebih dulu.
Disinilah aku mulai lagi dengan keraguanku. Kami malah terduduk di ranjangku, tak berkata dan melakukan apapun. Tsubaki menatapku bingung, aku tak berani melihat ke arahnya. Kemana perginya keintiman yang tadi terjadi? aku tidak tahu bagaimana cara memulainya lagi.
"Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan" suara Tsubaki memecah keheningan. Aku mencoba melihat ke arahnya dan tak menunjukkan wajah ragu-ragu ku.
"Gomen" aku memaksakan senyuman. "Aku hanya berpikir, apa ini tidak apa-apa?" kataku lagi, mengelak.
"Aku.. tidak apa-apa" sahut Tsubaki, pelan. Aku menarik nafasku, lalu mulai membuka kancing seragamku. Dia menatapku, aku tak mau terlihat bodoh. Pelan, aku meraihnya, menyelipkan tanganku ke dadanya
. . . . .
"Gomen.. gomen" aku berkali-kali membungkukkan badanku. Tsubaki hanya menggeleng sambil mengancingkan kembali seragamnya. Aku mengamati wajahnya yang memerah, entah marah, malu atau menahan tangis. Aku sudah melakukan hal bodoh.
"Seharusnya kau jangan memulai jika kau memang tak siap" ujarnya pelan. Aku menggigit bibirku. Ini ketololan yang biasa terjadi padaku. Menghentikan hal yang membuatku ragu, tepat disaat-saat terakhir.
"Gomen" kata maafku seperti tak berguna lagi.
"Sampai jumpa besok di sekolah" Tsubaki berkata dan beranjak dari ranjangku. Dia langsung keluar tanpa menungguku mengatakan apapun. Aku cepat menyusul, dia sudah mengambil tasnya dan baru akan membuka pintu ketika pintunya terbuka lebih dulu. Yuya, dia sudah pulang.
"Eh? Tsubaki-chan?"
"Aku pulang. Jaa Takaki-san" Mereka saling menyapa disana. Aku hanya terdiam di dekat tangga, hingga sadar Yuya sudah berada di hadapanku.
"Apa yang dia lakukan disini?" tanya Yuya mengerutkan keningnya.
"Bukan urusanmu" jawabku dingin, dan cepat berbalik menuju kamarku lagi. Tapi Yuya mencengkram lenganku.
"Tunggu! Jangan bilang kalian--" dia tak melanjutkan kalimatnya. Matanya tajam menatap seluruh tubuhku. Sial, aku baru sadar kalau aku belum menutup kancing seragamku lagi. Ini bahkan sudah sangat terlihat berantakan. Siapapun yang melihat, akan langsung menduga apa yang sudah aku lakukan.. dengan gadis yang baru keluar dari rumah ini.
"Yuuri..??" dia mulai menatapku tak percaya.
"Aku berhak melakukan apapun dengan pacarku. Seperti kau dengan ibuku" sahutku lebih dingin lagi. Yuya memandangku shock. Dia melepas cengkramannya tapi bukan berarti dia akan melepasku begitu saja.
"Yuuri, kau tidak mungkin--"
"Kenapa kau sudah kembali? mana Kaasan? katanya kalian akan kembali setelah makan malam?" aku menyela dan mengalihkan pembicaraan sambil melanjutkan menuju kamarku.
"Tunggu, Yuuri!" dia menarik tanganku lagi, tapi aku cepat menepisnya.
"Kita sudahi saja semuanya, Takaki-kun!" kataku tak bisa menahan lagi kekesalanku.
"Apa!? kau jangan bicara sembarangan!"
"Aku sudah cukup! aku tak mau seperti ini lagi!"
"Kau tidak serius, Yuuri"
"Aku sangat serius. Kita benar-benar harus berakhir"
"Tapi, aku--"
"Kau ayah tiriku!" lagi, aku menyela dan membuatnya terdiam. Kepanikan terlihat di matanya. Apa dia sungguh tak mau kehilangan aku? Aku tak mau menyerah lagi.. Tidak.
"Sudah cukup" aku coba menepisnya lagi. Dia masih diam.
"Ada apa ini?kalian bertengkar?" Okaasan pun menghentikan kami.
- - - - -
"Itu.. Takaki-san, bukan?" perkataan Tsubaki membuatku melihat ke depan dan reflek agak melambatkan langkahku. Yuya ada di dekat gerbang melihat ke arahku. "Dia menjemputmu" tambah Tsubaki lagi.
"Aku tidak minta dia menjemputku" sahut aku cepat. Aku memang benar tidak tahu kalau dia akan datang, dan aku sedang tak mau bertemu dengannya. Di rumah pun aku berkali-kali menghindari dia, aku tak mau lagi berdua saja dengannya dalam satu situasi. Kemarin dulu ibuku memergoki kami yang sedang bertengkar, untung saja Yuya bisa membuat alasan yang bisa diterima ibuku. Tapi aku semakin merasa cukup dengan semua itu, aku semakin bertekad dengan keputusanku untuk melupakan Yuya dan kembali pada hari-hariku sebelumnya, walau aku merasa lain.
"Aku tidak langsung pulang" kataku saat sudah berada di dekatnya, tanpa menunggu dia berkata apapun dulu, aku cepat berjalan melewatinya. Tsubaki tampak bingung tapi tetap mengikutiku juga.
"Yuuri!" seperti yang aku duga, Yuya memanggilku. Suaranya tidak kasar tapi terdengar tegas. Dia mungkin kesal atau marah. Ada Tsubaki disini, aku tak mau dia bisa membaca sesuatu yang mencurigakan diantara kami. Aku menghentikan langkahku, dan melihat ke arahnya. Tsubaki memandang bingung lagi ke arah kami.
"Aku dan Tsubaki-chan akan main dulu, kau sampaikan saja pada Kaasan" kata ku, lagi tak membiarkan dia mengatakan apapun dulu. Aku tak berharap dia akan membahas hal bodoh tentang kami disini, di depan Tsubaki. Terang saja itu akan menyeret aku dan dirinya sendiri dalam masalah besar.
"Kau tak akan pergi kemanapun. Ayo pulang denganku!" Yuya akhirnya berkata, dan menarik tanganku.
"Ne, aku sudah bilang.. aku dan Tsubaki-chan akan--"
"ii yo Yuuri, kita bisa main besok" Tsubaki memotong perkataanku. Aku tahu dia canggung pada Yuya yang terlihat sedang marah.
"Bagus. Besok-besok kalian masih punya banyak waktu" Yuya lalu menarikku pergi dari sana menuju mobil. Aku mencoba berontak, tapi tak bisa, pegangan tangannya sangat kuat. Tsubaki semakin terlihat bingung, aku benar-benar takut dia akan mencurigai sesuatu.
"A-aku akan meneleponmu nanti. Gomen ne!" kataku agak berteriak pada Tsubaki, karena Yuya sudah jauh menyeretku.
"Baka. Aku yakin Tsubaki pasti akan mencurigai sesuatu" aku tak bisa menahan lagi kekesalanku setelah sampai dirumah. Untung ibuku sedang pergi, Yuya meninggalkannya di salon tadi. Masih ada beberapa jam sebelum dia menjemputnya lagi.
"Kita perlu bicara, Yuuri"
"Tidak lagi" aku menggeleng.
"..ini bukan ide buruk, bukan? kita bisa terus berdekatan kalau aku dan Mayumi-san benar-benar menikah. Aku melakukannya demi kita. Dari awal aku hanya menyukaimu.." Yuya terus berkata-kata mencoba meyakinkanku. Aku antara menerima dan tidak. Aku antara senang dan merasa berdosa.
"Kau tidak berhak berkata seperti itu. Kau menyakiti ibuku!" akhirnya aku bereaksi.
"Tidak. Aku tak bermaksud begitu.. Aku hanya mau membiarkanmu tahu, kalau perasaanku ada untukmu.. bukan untuk Mayumi-san.."
"Urusai! Berani sekali kau berkata begitu setelah semua yang kau lakukan dengan ibuku!" nada suaraku agak meninggi tanpa aku sadari. Dan Yuya memang terpaku disana, shock. Dia mungkin tak mengira aku tahu semuanya.
"Yuuri, itu hanya.. aku tak mau mengecewakan Mayumi-san.." Yuya memelankan suaranya di kalimat terakhir. Seperti ada sesuatu yang menghantam hatiku saat mendengarnya. Entah kekesalan macam apa yang aku rasa sekarang.. semuanya tak karuan.
"Sudah cukup. Aku tak mau mendengar apapun lagi" kataku memintanya berhenti bicara. Aku menyandarkan punggungku di tembok terdekat dengan helaan nafas yg terhembus lewat mulutku. Aku nyaris tak sadar kami masih berada di dekat pintu masuk.
"Aku mohon.. Kita pasti bisa melewatinya" ujar Yuya, mulai memohon padaku. Dia mendekat dan memojokanku di tembok. Tatapannya lekat sekali, membuatku berdebar seperti biasa. Dengan cepat aku berusaha menyangkalnya. Tidak. Aku tak boleh berdebar lagi padanya. Aku tahu ini bisa jadi buruk.
Aku segera menstabilkan diriku, tak mau membiarkan dia mengendalikanku terus.
"Aku tidak tahu. Jangan memaksaku.."
"Kau tahu apa yang kau rasakan padaku. Kau tahu kau tak mau menjauhiku" Yuya memberiku masukan-masukan yang terang aku tentang.
Aku memejamkan mataku, mencoba menepis suara-suara Yuya.
Tapi, tanpa aku sempat menyadari situasi, sesuatu yang lembut dan aku kenal mengenai bibirku.
Sial! Aku membuka mataku, dan memang terlambat. Yuya mendekapku, menciumku. Dia sama sekali tak memaksa, sebenarnya aku bisa mendorong dia dengan keras kalau aku mau berusaha. Tapi aku sangat tak bisa dipercaya. Aku membiarkannya hingga aku menyerah. Tanganku memegang ujung jaketnya, sedikit ragu aku membalas ciumannya
Ya tuhan.. Aku harus cepat menentang semuanya setelah ini selesai. Dengan pikiran itu, aku jadi bergerak sesuai yang aku inginkan. Kami pun berciuman dengan hasrat dan putus asa.
Tapi mendadak, aku menjauhkan tubuh Yuya. Kulihat Tsubaki ada disana.. menatap kami horor.
Sial!
Sial!
Tsubaki seperti membeku disana, menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Pasti pemandangan yang dia lihat tadi sangat tak bisa diterima akal sehatnya. Akupun terpaku, menahan nafasku. Yuya tak beda jauh, dia terlihat panik juga meski mencoba tenang.
"Kalian.." Tsubaki tak mampu melanjutkan kalimatnya. Suaranya bergetar, sebentar lagi dia pasti menangis. Aku harus mengatakan sesuatu untuk menenangkannya, tapi sebelum aku sempat membuka mulutku, dia sudah berbalik keluar lagi. Dia menjatuhkan buku yang dipegangnya. Itu buku catatan miliknya, yang tadi disekolah aku bilang mau aku pinjam.
Kaki ku terasa kaku. Aku memungut buku itu, dan berpikir untuk mengejar Tsubaki, tapi badanku seperti tak mau digerakkan.
Aku menoleh pada Yuya yang masih terdiam di tempatnya.
"Sekarang bagaimana?" aku bertanya tanpa aku mau tahu jawabannya. Yuya memandangku, dia tampak berpikir.
"Kita pergi saja dari sini. Ikutlah denganku, Yuuri"
"Huh? Lari? Kau mengajakku lari dari semua ini?!" aku agak menghardiknya, tak mengerti dengan jalan pikirannya.
"Tak ada cara lain-"
"Jangan berani-beraninya kau mempengaruhi anakku!" sebuah suara yang mengejutkan kami, tiba-tiba menyela. Sial lagi. Aku mengutuki diriku dalam hati.
Okaasan mendadak sudah muncul disana, menatap kami tajam, terutama pada Yuya. "Aku sudah mempercayaimu, dan apa yang kau lakukan pada anakku?! Bajingan!!" ibuku mulai berteriak. Yuya tampak pucat, dan aku sudah merasakan lemas di sekujur tubuhku. Kulihat Tsubaki ada di belakang ibuku, dia menangis. Ini semua pasti kebetulan, Tsubaki memergoki kami, lalu pergi dan bertemu ibuku yang baru pulang. Dia menceritakan semua yang sudah dia lihat, terang saja ibuku kalap.
"Ma-Mayumi-san.. aku b-baru akan menjemputmu.." Yuya coba berkata dengan terbata-bata. Dia masih berani mengalihkan pembicaraan, padahal ibuku sedang semarah ini.
"KELUAR KAU!" teriak ibuku lagi, "Aku menyesal pernah mengenalmu! Jangan berani-berani kau mengganggu kami lagi, terutama anakku!" Okaasan menarik tanganku, membawaku masuk. Yuya sudah benar-benar pucat, aku tak tega juga melihatnya.
"Tunggu Kaachan, kau salah paham" aku mencoba menenangkannya, walau aku sendiri pun bingung untuk apa. Apa aku benar-benar menyukai Yuya dan ingin menyelamatkannya? seharusnya tidak perlu.
"Apa maksudmu dengan salah paham? Kau jangan coba-coba membelanya. Aku tak percaya kau tega melakukan ini padaku!"
"Tapi Kaasan-"
"Aku menyukai Yuuri" Yuya menyela kami.
Aku membelalakan mataku.
TIDAK!
- - - - -
EPILOG
Dia terlihat disana, di balik jendela kaca yang dia bilang adalah tempatnya untuk mengamatiku setiap pulang sekolah. Sekarang aku yang berdiri di dekat jembatan dan mengamatinya dari sini. Dia mungkin sudah tak mau melihat ke arah sini lagi.
2 tahun sudah berlalu, tanpa terasa. Yuya sudah selama itu pergi dari kehidupanku dan kehidupan ibuku. Aku jadi ingat bagaimana dulu ibuku sangat kalap begitu tahu semuanya. Dia mengusir Yuya, bahkan setelah Yuya membuat pengakuan tentang perasaannya padaku, ibuku semakin tak terima. Aku juga menyalahkan Yuya saat itu, dia sudah gila dengan mengatakannya. Dia menyakiti ibuku. Tapi setelah lama aku pikirkan lagi, aku jadi sadar dengan kesungguhan yang dia miliki untukku. Dia berani mengambil semua resiko. Aku tersentuh dengan sikapnya.
Sayangnya memang tak ada yang bisa mencegah. Dia harus keluar dari hidup kami, setidaknya itu yang diharapkan ibuku. Yuya pun tak pernah menjadi ayah tiriku.
Aku menghela nafasku dan mengalihkan pandanganku ke tempat lain. Aku baru sadar dia sudah tak ada disana.
"Yuuri?" suara seseorang yang sudah cukup lama tak kudengar menghampiri telingaku. Aku menolehkan kepalaku dan melihat dia disana. Dia masih sama saja seperti dua tahun yang lalu, yah mungkin terlihat agak dewasa juga.
"Ohisashiburi" dia berkata lagi dan tampak senang melihatku. Dia tak mengingat masalah yang lalu sepertinya.
"Ohisa, Takaki-kun" aku pun memilih bersikap biasa.
"Kau tampak lain" Yuya mengamatiku. Tentu saja aku terlihat lain. Aku sudah lulus sekolah dan sebentar lagi akan menjadi seorang mahasiswa.
"Aku sudah berkuliah mulai bulan depan" jelasku.
"Eh?? Sugeee.. kau sudah besar rupanya"
"Tentu saja. Sudah 2 tahun berlalu"
Dia terdiam sesaat dan memudarkan tawanya perlahan.
"Sou da, sudah 2 tahun.." dia membenarkan. Sekali lagi matanya mengamatiku dan tersenyum lembut. Senyuman yang biasa aku dapat dan aku merindukannya.
"Aku sudah cukup hanya dengan melihatmu dan tahu kau baik-baik saja. Aku tak perlu tahu tentang yang lain" cetusnya. Aku terpana. Aku merasa yang dia maksud adalah ibuku, tapi aku tak merasa keberatan lagi. Ibuku sudah bahagia dengan suami barunya. Tak ada alasan lagi untukku merasa tidak enak pada ibuku.
"Aku juga senang melihatmu baik-baik saja"
"Benarkah?"
"Sou"
Yuya tersenyum puas.
"Aku tahu kalau kau masih menyukaiku" katanya pula. Aku tersenyum dan menepuk bahunya sambil berlalu.
"Aku harus menjemput Tsubaki. Jaa"
"Eh?"
Aku tak menoleh. Lebih baik terus seperti ini.
FIN !
Label:
Chinen Yuri,
Fanfiction,
ShounenAi,
TakaChii,
Takaki Yuya,
Yaoi
Langganan:
Postingan (Atom)