Kamis, 11 Februari 2010

KOI DA YO - Season 3/HeySayJump Fanfic


Tak ada manusia yang bisa mengelak dari takdir. Semua yang sudah ditentukan tuhan kadang memang tak pernah sesuai dengan yang diharapkan manusia. Pertemuan malam ini pun tak pernah diharapkan oleh Yuuto dan tentu saja tak pernah di duga oleh Chinen juga Daiki.

Chinen menatap Yuuto tajam setelah mengerti seluruh ceritanya.
"Aku harusnya tahu kalau kau memang orang seperti ini" katanya tak kalah tajam. Ia, Yuuto dan Daiki sekarang berada halaman belakang rumah Chinen sementara yang lain sedang mengobrol di ruang tengah. Tak ada yang tahu tentang konflik yang sedang dihadapi mereka bertiga.
"Kau tak boleh menyalahkan semuanya pada Yuuto, dia pasti punya alasan.."
"Kau tak perlu membelanya Daiki-kun. Dia akan menyakiti sahabat dan kakak ku. Dia tentu saja bersalah" Chinen menghardik Daiki, kesal. "Kau sengaja kan tidak bercerita padaku? Seharusnya kau mengatakan padaku kalau orang ini mengkhianati Yama-chan" tambahnya pula.
"Aku tidak berhak mencerita-ceritakan masalah Yuuto pada orang lain.."
"Begitu? jadi kau anggap aku orang lain?"
"Kau pasti akan mengatakannya pada Yamada dan itu hanya akan memperburuk keadaan"
"Kau pikir aku tidak mengerti-"
"CUKUP!" Yuuto menghentikan perdebatan Chinen dan Daiki yang semakin memanas dan hanya membuatnya pusing. "Kenapa jadi kalian yang bertengkar!?" ia menatap Chinen dan Daiki. "Aku yang salah. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak jatuh cinta pada Kei-san. Aku kesepian karena Yamada selalu sibuk.."
"Jadi, kau sudah tak menyukai Yama-chan?" sela Chinen tak sabar.
"Tidak. Aku masih sangat menyukai Yamada. Aku tak mungkin melepaskannya" sangkal Yuuto cepat.
"Lalu kakakku?"
"Dia.." Yuuto nyaris tak bisa berkata-kata.
"Jangan bilang kau hanya jatuh cinta sesaat padanya" sela Chinen lagi tajam.
"Tentu saja tidak. Aku.. kagum padanya. Dia membuatku tertarik"
Chinen mendecakkan lidahnya.
"Jangan hanya karena kesepian kau jadi cepat tergoda oleh orang lain. Nanti kau akan menyakiti keduanya. Dua orang yang penting untukku" lagi, Chinen tak bisa membendung kekesalannya.
"Gomen" gumam Yuuto yang tak bisa menyahut lagi. Ia menundukkan kepalanya.
"Aku sudah pernah bilang seharusnya kau jujur pada Yamada sejak dulu" kata Daiki yang dari tadi terdiam.
"Sekarang pun kau harus jujur, aku tak terima Yama-chan ditipu seperti ini" kata Chinen. "Kei-chan juga.. kau harus jujur padanya" tambah Chinen. Dan membuat Yuuto semakin membenamkan wajahnya.
"Aku tak mau kehilangan Yamada.. aku tak mau" gumamnya, putus asa.

Yamada menatap buku di hadapannya. Ia mendapat buku itu dari Nakayama tadi siang. Ia ingat biasanya Yuuto yang selalu membelikannya buku yang ia inginkan. Tapi sekarang Yuuto tak seperti itu lagi, sejak mereka agak menjauh. Yamada sebenarnya tak mau menerima pemberian orang lain, tapi melihat kesungguhan Nakayama tadi, ia jadi tak tega. Setidaknya ini hanya untuk menghargai. Dan sekarang, seperti malam-malam dan hari-hari sebelumnya, ia merindukan Yuuto.
Perlahan Yamada beranjak dari meja belajarnya dan membuka tirai jendelanya. Agak terkejut karena ia melihat lampu kamar Yuuto masih menyala. Yamada melihatnya baru pulang sejam yang lalu, tapi rupanya ia belum tidur. Yamada pun mengambil ponselnya. Ia berpikir beberapa sebelum akhirnya men-dial nomor Yuuto.
"Moshi-moshi" terdengar suara Yuuto diseberang sana.
"Na, kau belum tidur?" tanya Yamada tanpa basa-basi.
"Tidak bisa tidur. Kau sendiri?"
"Um. Aku memikirkanmu" jawab Yamada jujur. Yuuto terdiam beberapa detik. Ia jadi sering tak menentu setiap mendengar kata-kata yang manis dari Yamada. Ada keinginan dari dirinya untuk mengaku, tapi ia masih saja takut.
"Kenapa kau memikirkanku?"
"Karena aku merindukanmu"
"Kenapa kau merindukanku?"
"Karena-" Yamada tak melanjutkan kalimatnya. Ia tak tahu apa perlu mengatakannya atau tidak.
"Karena aku menyukaimu" Yuuto membereskan kalimat itu.
"Eh?"
"Aku menyukaimu" ulang Yuuto lagi. Yamada tertawa kecil. Ia mengira Yuuto juga pasti sedang sangat rindu padanya.
"Yamete. Terlalu banyak mengatakannya jadi terasa tak berarti"
Yuuto diam. Rasa bersalah menyergapnya lagi. Ia sadar kalau orang yang ia selalu ingin bersama, hanya Yamada. Ia akan jadi mahluk paling bodoh sedunia kalau sampai melepaskan Yamada.
"Ano.." mereka bicara bersamaan setelah tadi hening beberapa saat.
"Ah kau dulu" kata Yuuto.
Yamada tersenyum sendiri, merasa lucu.
"Aku ingin mengatakan sesuatu" kata Yamada.
"Apa?"
"Sepertinya tidak disini. Besok malam kita bisa bicara, kan?"
"Emh, tentu saja. Aku juga ada yang ingin aku katakan padamu" Yuuto mendapat keberanian. Ia memang harus melakukan nya atau ia akan jadi pecundang dan penipu selamanya.. Ia yakin akan mendapat jalan keluar terbaik untuk mereka.
"Sokka. Kalau begitu kita bicara besok di kamarmu atau kamarku?"
"Aku suka keduanya" jawab Yuuto dengan nada yang cukup berbahaya, membuat Yamada harus tertawa lagi.
"Ok, di kamarmu. Oyasumi"
"Oyasumi"
Mereka mematikan ponsel. Yamada tidur dengan lega dan sebaliknya untuk Yuuto.

Angin atap sekolah menyapa Chinen seperti biasa begitu ia membuka pintu. Ia membawa kotak bento di tangannya menuju tempat favoritnya dan Daiki. Ia sudah tak malas lagi membawa kotak bento, sejak ada orang yang mau membantu menghabiskan makanannya. Bahkan hari ini Chinen mencoba membuat bentonya sendiri.. untuk Daiki.
"Eh?" Chinen heran melihat beberapa buah buku terlihat bergeletakan disana. Ia mendekat dan melihat Daiki berada di antara buku-buku itu seperti yang sudah ia duga. "Sugee" kata Chinen sambil duduk di hadapan Daiki yang tampak belum sadar dengan kehadirannya.
"Ah Yuuri.." Daiki mengangkat wajahnya dari buku yang sedang ia baca. Chinen baru sadar kalau senpai kesayangannya itu memakai kacamata, dan ia terlihat dewasa.. Chinen jadi tersipu melihatnya. "Gome, aku tak mendengarmu datang" tambah Daiki. Chinen tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, mengartikan 'tidak apa-apa'.
"Kau akan sibuk sekali sekarang-sekarang, ne?" kata Chinen sambil mulai membuka bento nya.
"Sou da"
"Universitas mana yang kau pilih?"
"Saa, mungkin Tokyo.." Daiki menjawab sambil mengamati menu bento hari ini.
"Ah sou, kalau begitu ganbatte ne!" Chinen menyemangatinya dan Daiki mengangguk sambil bergumam 'arigato'.
"Na, Yuuri.."
"Hmm?" Chinen yang sedang menyiapkan sumpit dan minuman untuk mereka, melirik Daiki sekilas.
"Orang bernama Takaki itu, apa dia masih suka datang ke rumahmu?"
Kali ini Chinen benar-benar memandang wajah Daiki.
"Tadi malam dia datang untuk berpamitan.." Daiki balas melihat padanya, menunggu Chinen melanjutkan perkataannya. "Dia mendapat pekerjaan di Osaka"
"Ah.." komentar Daiki yang terang-terangan menunjukkan nada lega di suaranya. "Itu bagus sekali"
Chinen tersenyum, lalu mulai mengambil makanan dengan sumpitnya dan menyuapi Daiki seperti biasa.
"Kau tampak senang"
"Memang" kata Daiki, jujur. Ia mengunyah lalu kembali mengamati isi buku yang dipegangnya. Chinen tersenyum lagi dan memilih tak berkomentar.
"Daiki-kun, bagaimana dengan Nakajima? apa dia cerita sesuatu padamu?" tanya Chinen, mengganti topik pembicaraan.
"Ah, aku belum bertemu dia lagi sejak kemarin-kemarin. Kau bertemu dengannya di kelas, bukan?"
"Tapi kami tak pernah bicara. Yama-chan juga. Mereka berdua sangat dingin kalau di kelas" jelas Chinen, dan menyodorkan makanan lagi ke mulut Daiki.
"Mereka aneh" komentar Daiki sambil mengunyah dan agak mengerutkan keningnya.
"Aku ingin tahu apa Nakajima sudah berkata jujur pada Yama-chan.."

Daiki mengangkat kedua bahunya.
"Saa.." katanya. "Bagaimana kau melihat kakakmu sekarang?"
"Kei-chan tampak tak ada masalah. Sepertinya Nakajima belum berkata apapun pada keduanya" keluh Chinen yang baru mengingat sikap kakaknya. Ia menghela nafas dan mengambil potongan ikan lagi untuk Daiki.
"Dia perlu waktu, Yuuri.." kata Daiki sebelum menerima makanan itu di mulutnya.
"Aku tahu" gumam Chinen. Sebenarnya sampai sekarang ia memang masih tak bisa mentolerir tindakan Yuuto pada sahabat dan kakaknya.
Daiki tak menyahut, takut menyulut perdebatan lagi. Ia berkonsentrasi pada tulisan di buku dan makanan di mulutnya, hingga ia merasa ada yang aneh dan mengerutkan keningnya untuk kesekian kali, setiap makanan itu menyentuh lidahnya.
"Kenapa?" tanya Chinen yang menyadari ekspresi Daiki.
"Rasa makanan hari ini agak berbeda dengan yang biasa" kata Daiki dan tampak berpikir. Chinen terkesiap, ternyata Daiki menyadarinya. Ia jadi berdebar, takut dengan komentar Daiki.
"Sou. Bagaimana?"
"Agak lebih asin"
Chinen menggigit bibirnya perlahan.
"K-Kau tidak suka?" tanyanya khawatir.
"Tidak juga. Hanya aku lebih suka yang biasa" Chinen sudah menduganya.
"Tentu saja. Aku kan tak bisa memasak seperti Kei-chan dan Hikaru" gumam Chinen pelan. Agak terdengar seperti gerutuan.
"Hah? Apa?" tanya Daiki yang tak jelas mendengar gumaman Chinen.
"Iie, betsuni" sahut Chinen, berusaha menutupinya. Untung Daiki tak terlihat penasaran. "Jadi kau tak mau memakannya?" tanya Chinen pula.
"Ii yo. Tapi lain kali sebaiknya kau tak perlu membeli makanan dari luar.." Daiki tersenyum, tak menyadari wajah Chinen yang nyaris pucat.
"A-aku tidak membelinya"
"Eh?"
"Ini aku yang membuatnya" Chinen mengaku juga akhirnya, dan kali ini giliran Daiki yang nyaris berwajah pucat. "Aku akan membelikan makanan untukmu di kantin" lanjut Chinen sambil membereskan kotak bentonya dan bermaksud pergi dari sana. Daiki cepat menahan. Ia memegang tangan Chinen dan mengambil kotak bentonya. Chinen agak terkejut tapi tak sempat mengelak.
"Gome" kata Daiki dan meneruskan memakan bento itu.
"Jangan dipaksakan, Daiki-kun" kata Chinen datar.
"Aku tidak memaksakan" sahut Daiki dengan mulut yang penuh.
Chinen memperhatikan, memang terlihat menikmati tapi mendengar komentar Daiki tadi, membuat Chinen merasa tak enak.
"Tadi kau bilang makanannya-"
"Umai. Memang agak asin, tapi aku menyukainya" potong Daiki. Ia tersenyum dan Chinen tak bisa tak membalas senyuman itu. Ia memang terlalu khawatir.

"Apa ini?" Nakayama memandang heran ketika Yamada memberikan buku yang kemarin ia belikan untuk Yamada.
"Aku mengembalikannya, gomen na" kata Yamada dengan senyuman khasnya.
"Eh?" Nakayama tampak tak suka. Ia mengerutkan keningnya dan jelas tak mau mengambil buku itu.
"Gome.."
"Aku tidak mau. Kalau kau tidak suka, kau buang saja" kata Nakayama dan beranjak dari sana dengan tak peduli. Yamada memandangnya tak percaya. Ia tak mungkin membuangnya.
"Tapi-"
"Aku sudah memberikan buku itu padamu. Aku sudah tak peduli" sela Nakayama. Ia menatap Yamada beberapa saat. "Aku tak mengerti kenapa kau tiba-tiba mengembalikannya?" tambahnya pula.
Yamada tak berani menatapnya balik dan hanya melihat ke meja di hadapannya.
"Aku hanya merasa tak pantas menerimanya"
"Hah? Kau berlebihan" Nakayama menggelengkan kepalanya.
"Aku tak bisa menerima pemberian dari orang lain" kata Yamada lagi agak memelankan suaranya. Ia memang sudah meyakinkan dirinya, tak boleh terpengaruh oleh apapun dan siapapun. Hanya Yuuto yang harus ia pertahankan.
"Ah.. jadi karena kau tahu aku menyukaimu, kau tak mau menerima apapun dariku? Apa Nakajima yang menyuruhmu? Kenapa dia tidak mengatakannya sendiri padaku?!" Nakayama tampak mengerti semuanya dan seperti biasa ia tak terima. Yamada mencoba memandangnya lagi. Ia sudah agak menduga kalau Nakayama akan menyambutnya begini.
"Gome, aku tak bermaksud-"
"Terserah" potong Nakayama dan menghembuskan nafasnya kesal. "Kalau kau pikir aku sedang berusaha merebutmu dari Nakajima, aku tidak menyangkalnya" kata Nakayama yakin, sebelum ia berbalik dan pergi dari sana tak membiarkan Yamada untuk mengatakan apapun dulu. Yamada menghela nafas sambil terduduk di kursinya. Ini memang jadi serius, ia benar-benar harus bicara dengan Yuuto.
---
"Kau datang lebih cepat sekarang" ujar Kei sambil melihat jam tangannya. Ia masih harus kerja satu jam lagi, tapi Yuuto tak biasanya sudah muncul disana.
"Uhm.. aku harus pulang cepat"
"Sokka. Terima kasih sudah mengunjungiku dulu" Kei tersenyum dan kembali sibuk merapikan buku-buku di hadapannya. Yuuto terdiam beberapa saat, memperhatikan laki-laki muda itu. Ia akan mengatakan semuanya pada Yamada malam ini, dan besok ia akan bicara juga pada Kei. Yuuto tak tahu mana yang akan meninggalkan nya atau mungkin keduanya.. Semua itu harga yang harus ia bayar walau ia berharap, ia tak akan kehilangan salah satu dari mereka. Terutama Yamada..
Ia menatap Kei, mendadak ada rasa bersalah yang muncul di hatinya.

Mereka tak seperti biasanya tapi Yamada tak mau beranggapan seperti itu. Ia tahu ini mungkin karena hampir satu minggu lebih mereka tak bersama, gara-gara kesibukannya di dewan murid yang menyita waktu.
Yamada bersandar pada pagar balkon di kamar Yuuto, dan Yuuto di hadapannya bersandar pada jendela. Ada jarak yang jelas diantara mereka, terasa canggung karena biasanya mereka tak seperti itu.
"Yuma.." Yamada memulai pembicaraan lagi setelah tadi mereka sempat terdiam. Yuuto melihat padanya, agak iritasi mendengar Yamada menyebut nama orang yang tidak ia suka. "Dia mengaku suka padaku" lanjut Yamada tanpa melihat langsung ke arah Yuuto.
"Huh?" gumam Yuuto dan hampir berpikir kalau Yamada juga melakukan hal sepertinya disaat mereka sedang tak bersama. Tapi dengan Nakayama? rasanya Yuuto ingin menghajar orang itu sekarang juga.
"Aku menolaknya, tapi dia tak mau menyerah.." Yamada terus bercerita dan memandang Yuuto sesaat. "Hanya kau yang bisa menyelamatkanku" tambahnya sambil tersenyum. Yuuto terdiam, mengutuki otaknya yang sempat berpikir sepicik itu terhadap Yamada. Ia jadi tak berani memandangnya dan malah memikirkan hal yang ia sendiripun tak mengerti.
Yamada menghela nafasnya, ia tak mendapat respon apapun dari Yuuto.
"Gome, aku tahu kau pasti tak suka dengan kabar ini. Tapi aku hanya ingin jujur, dan aku juga hanya bisa meminta bantuanmu.. kau masih Yuuto yang menyukaiku juga kan?" kata Yamada dan agak melambatkan kalimat terakhirnya. Yuuto cepat memandang Yamada.
"Kau tak perlu menanyakan itu. Aku masih sangat menyukaimu dan akan selalu begitu" katanya pula. Ia memang serius dengan kata-katanya, tapi di sisi lain ia merasa sedang membela diri. Untuk kesekian kali Yuuto merasa bersalah. Ia sangat menyukai Yamada tapi kenapa berani berkhianat di belakangnya? Pertanyaan itu terus menghantui benak Yuuto sendiri.
Yamada yang tak tahu tengah terjadi perang batin dalam diri Yuuto, hanya tersenyum dan merasa puas karena Yuuto-nya tak berubah seperti yang ia takutkan.
"Sou.. rasanya sudah lama sekali aku tak mendengarmu berkata semanis itu. Gome, akhir-akhir ini aku tak banyak waktu untukmu" kata Yamada, menatap Yuuto lembut. Ia seperti mengirimkan sinyal lewat tatapan itu agar Yuuto mendekat dan memeluknya. Keintiman diantara mereka memang belum terjadi. Keduanya sudah pasti saling merindukan, tapi Yuuto menahan dirinya. Ia masih berada dalam posisi tidak aman, ia belum berkata jujur.. dan ia juga belum tahu apakah ia mampu..??

Yamada menggigit bibirnya perlahan. Ia agak kecewa karena benar-benar tak ada respon dari Yuuto seperti biasanya. Ia memang puas mendengar perkataan manis dari Yuuto tapi rasanya itu tidak cukup. Tak mau lama menunggu, Yamada akhirnya bergerak lebih dulu. Ia mendekat dan berdiri tepat di hadapan Yuuto. Laki-laki berbadan tinggi itu tak siap dengan tindakan Yamada. Ia masih harus menyampaikan hal penting, dan tak mau terganggu sebelum mengatakannya. Tapi ia tak bisa mengelak ketika Yamada memeluknya, membuat ia nyaris tak bisa mengumpulkan keberaniannya lagi.
"Aku merindukanmu" gumam Yamada di pundak Yuuto, wajahnya terbenam disana. Tangannya erat memegang kaus yang dipakai Yuuto, membuat laki-laki itu tak bisa berkutik. Ia menahan kedua tangannya untuk memeluk balik Yamada. Ia juga tentu sangat merindukannya, sangat ingin memeluknya bahkan menciumnya tanpa henti.. tapi semakin ia terpikir, semakin ia merasa bersalah. Ia tak boleh membiarkan ini dulu, atau ia tak akan pernah bilang dan jadi pengecut selamanya..
"Ne, aku tak akan pernah meninggalkanmu untuk orang lain.." kata Yamada lagi, "Kau tahu itu, kan?"
Yuuto mematung sesaat sebelum akhirnya ia melepaskan diri dari pelukan Yamada, lalu terjatuh di lututnya. Ia membungkuk, membungkuk sedalam-dalamnya di hadapan Yamada, membuat laki-laki manis yang disukainya itu terkejut dan menatap Yuuto heran.
"Y-Yuuto..?" katanya. Yuuto masih menunduk, nyaris bersujud disana, tak berani melihat wajah Yamada. Ini waktunya, menguak semua kebodohan yang sudah ia lakukan.
"Gomenasai. Hontou ni gomenasai" kata Yuuto, ia menekan kedua telapak tangannya ke lantai, menahan tubuhnya yang bergetar cemas. Positif, ia harus berpikir positif. Dengan kejujuran semua pasti jadi lebih baik. Yang paling utama, ia tak akan dihantui rasa bersalah lagi.
"A-ada apa?" tanya Yamada, benar-benar bingung.
"Gomenasai.. aku sudah berbohong padamu selama kita tak bersama" Yuuto sudah mulai mengatakannya, dan ia tak bisa menarik apapun lagi.
"Hah? Apa maksudmu?" Yamada merasakan ada yang tak beres, tapi ia berusaha menepisnya.
Perlahan Yuuto mulai mengangkat wajahnya dan memandang Yamada. Tatapan cemas terlihat di matanya, semakin membuat Yamada yakin ada yang tidak beres.
"Aku.. berhubungan dengan orang lain.."
Kalimat tak diduga itu meluncur dari mulut Yuuto, memang sesuai dengan perasaan tak enak yang tiba-tiba muncul itu, tapi Yamada tak mengharapkan yang seperti ini. Ia shock.
"Uso" gumamnya tak bisa percaya.

Suara tawa-tawa kecil itu cukup mengusik Yuuto. Ia yang sedang mencoba tidur agar tak memikirkan apapun, ternyata memang tak bisa. Yuuto bangun dan terduduk disana, reflek ia menoleh ke arah darimana datangnya suara-suara itu.
Ia melihat mereka, Chinen dan Daiki yang tengah makan siang bersama, saling menyuapi.. benar-benar pemandangan yang mengusiknya.
"Ah, Yuuto!" Daiki menyadarinya. "Kau mau makan bersama?" ajaknya. Yuuto cepat menggelengkan kepala dan kembali berbaring di tembok itu, menatap ke arah langit. Ia sedang tak bernafsu makan 2 hari ini, sejak ia berkata jujur pada Yamada, dan Yamada mengakhiri semuanya. Yuuto tahu kalau saat itu Yamada pasti sangat kaget, marah, sakit hati.. tapi Yuuto tak menyangka keputusan ini yang akan dipilih Yamada. Keputusan yang paling ia takutkan. Wajar kalau sekarang ia menyesal karena sudah berkata jujur, meski diakuinya ia memang agak lega. Tapi kehilangan Yamada, satu-satunya hal yang tak mau ia alami selama ini.
"Kapan kau akan bicara pada kakakku?" terdengar suara Chinen membuyarkan pikirannya.
"Segera" kata Yuuto seperti bergumam dan terus menatap ke langit. Benar juga, ia hampir melupakan Kei sejak ia selesai dengan Yamada. 2 hari ini ia memang seperti zombie depresi. Ia tak bicara banyak, ia mengerjakan apapun dengan setengah hati. Ia hanya mau berbaring di tembok atap sekolah, menatap langit, berpikir.. Melihat Yamada di sekolah atau di rumah, membuatnya ingin berlari dan bersujud lagi di hadapan Yamada, memohon agar tak melakukan ini padanya.
Yuuto menghela nafas berat dan menutup matanya.
"Ini pasti sulit sekali untuknya" kata Daiki pelan.
"Um, tapi ini memang harga yang harus dia bayar untuk sebuah kejujuran, daripada ia berbohong selamanya" sahut Chinen. Daiki mengangguk. Chinen melihat ke arahnya.
"Kau tahu, Yama-chan pun tidak lebih baik dari dia. Hanya dia masih bisa menutupi karena kesibukannya" kata Chinen lagi.
Sudah sepantasnya seperti itu. Tak ada diantara mereka berdua yang menginginkan ini. Keduanya pasti merasa sakit.
"Aku harap mereka akan segera membaik" kata Daiki. Kali ini Chinen yang mengangguk. "Na, Yuuri.." lanjut Daiki.
"Hmm?"
"Hari ini temani aku belajar dirumah"
"Dirumahmu?"
Daiki mengangguk. Chinen tersenyum dan mengiyakan.
"Aku akan minta izin pada kakakmu nanti" kata Daiki lagi. Mereka saling melempar senyum. Sahabat mereka memang sedang dalam masalah dan mereka ikut bersedih, tapi bukan berarti mereka tak menikmati ketenangan dalam hubungan mereka.

Baru dua hari dan Yamada masih dalam kondisi terpuruk. Ia tak begitu semangat untuk mengerjakan tugas-tugasnya, ia nyaris tak semangat untuk melakukan apapun. Belum terpikir di benaknya apa ia akan sanggup kembali menjadi dirinya lagi di hari-hari selanjutnya.
"Makan siangmu" Nakayama masuk dan menyimpan makanan diatas meja. Tanpa menunggu reaksi dari Yamada, ia langsung berbalik dan pergi. Nakayama tahu sekali kalau Yamada tak pernah mau ia temani. Ia sudah terlalu sering memaksa, sekarang mungkin ia harus sedikit bersabar, siapa tahu ada keajaiban yang terjadi. Yamada memang tampak lain 2 hari ini, tiba-tiba ia memakai kacamatanya lagi dan bersikap sangat pendiam dari biasanya. Ia juga lebih banyak terlihat melamun daripada bekerja di ruangannya. Nakayama tak mau bertanya, sebelum Yamada sendiri yg menceritakan semua. Ia sadar Yamada masih sulit untuk mempercayai dirinya.
"Yuma.." panggilan Yamada membuat Nakayama berbalik lagi. "Makanlah bersamaku disini" tambah Yamada. Ajakan Yamada itu membuat Nakayama teringat keajaiban yang tadi ia pikirkan. Secepat ini rupanya. Nakayama langsung menghampiri Yamada lagi dan duduk di hadapannya.
"Tentu saja" katanya. Mereka pun mulai makan bersama masih dengan atmosfir yang dingin. Yamada agak melamun begitu makan.
"Ryosuke, kau baik-baik saja?"
"Hmm?"
"Kau tampak tidak fokus akhir-akhir ini. Apa yang terjadi?" Nakayama tak bisa menahan rasa penasaran nya. Lagipula ia tak punya bahasan lain.
"Iie. Tidak ada apa-apa"
Nakayama sudah menduga Yamada akan menjawab seperti itu. Yamada memang tak berminat untuk bercerita banyak pada Nakayama. Ia sama sekali bukan orang yang tepat. Kalaupun sekarang mereka makan bersama, Yamada hanya sekedar perlu teman yang bisa mengalihkan pikirannya dari Yuuto. Ia akui kalau ia menyesal sudah melepas Yuuto, tapi ia memang tak bisa terima dengan kelakuan Yuuto itu. Berbohong hingga mengkhianatinya.
"Ryosuke, aku tak pernah melihat Nakajima lagi disini.."
Yamada agak membetulkan posisi duduknya begitu Nakayama menyebut nama orang yang sedang ia pikirkan.
"Sou da" katanya, tak tahu harus menyahut seperti apa.
"Kau tahu, aku memang berharap kalian sedang ada masalah" kata Nakayama dan tertawa kecil. Ia jujur sekali. Mau tak mau membuat Yamada ikut tertawa. Ia tak menyangka kalau orang ini bisa juga membuatnya tertawa. Dirinya dan Yuuto memang tengah ada masalah, tapi bukan berarti ia akan memberi celah untuk Nakayama. Di dasar hatinya, ia masih menginginkan Yuuto.

"Gomen, aku tak bisa sering-sering mengajakmu ke rumah" kata Kei sambil beranjak dari dekat jendela dan mendekat ke arah Yuuto yang tengah duduk di ranjang, menatap kosong ke satu titik di hadapannya.
"Ah, ii no" sahut Yuuto yang terinterupsi pikiran kosongnya. Ia mencoba tersenyum walau nampak terpaksa. Mereka berada di penginapan lagi, Kei sengaja mengajak Yuuto kesana meski ia sedang tidak mabuk. Ia hanya berpikir untuk lebih lama menghabiskan waktu dengan orang yang ia suka itu. Tapi sudah 2 hari ini Yuuto memang tampak aneh.
"Kau melamun lagi" kata Kei yang sudah duduk disampingnya.
"Eh? tidak" Yuuto menggelengkan kepala, agak gugup. Ia tentu saja banyak yang dipikirkan sejak tak lagi bersama Yamada dan sekarang pun sudah saatnya ia mengatakan kebenaran pada Kei. Ia sudah kehilangan Yamada, mungkin ia akan baik-baik saja kalau kehilangan Kei. Setidaknya ia jadi sadar, selama ini perasaannya pada Kei tak sebanding dengan yang ia rasakan pada Yamada. Sudah seharusnya ia tak terus-menerus membohongi Kei seperti ini.
"Kei-san.."
"Hmm?" gumam Kei sambil menyandarkan kepalanya di bahu Yuuto. "Nani ka?" tanya Kei pula karena Yuuto malah jadi terdiam.
Yuuto menarik nafasnya sesaat, ia tak tahu harus memulai dari mana. Mereka tak ada masalah selama ini, akan terasa aneh kalau tiba-tiba mengungkapkan sebuah kabar buruk. Tapi Yuuto juga sudah tak bisa menyimpannya terus.
"Yuuto?" Kei menatap dan menyentuh pipi Yuuto. Anak itu balas menatap Kei, berpikir mungkin ini memang waktu yang tepat. Sebelum Yuuto sempat berkata, Kei sudah lebih dulu mensejajarkan wajah mereka dan mencium bibirnya. Yuuto telat untuk mengelak. Ia mengeluh dalam hati, selalu begini. Cepat atau lambat ia akan menyerah kalau tidak segera dihentikan.
Yuuto memegang tangan Kei ketika dirasanya tangan itu mulai memeluknya, menuju kebelakang kepala. Mereka pun melepaskan ciuman dan Kei menatapnya lagi, heran.
"Aku baru putus" kata Yuuto, tanpa memberi Kei waktu untuk bertanya lebih dulu.
"Hah?"
"Aku baru diputuskan pacarku" ulang Yuuto, lebih jelas.
"Pacar..mu?" Kei tak yakin dengan pendengaran nya.
"Uhm. Pacarku" Yuuto terus berusaha memandang Kei dengan berani.
"A-apa maksudmu?"
"Gomenasai.." kata Yuuto menundukkan wajahnya. "Aku sebenarnya selama ini-"
"Sokka" Kei memotong perkataan Yuuto, ia mencoba tenang walau sebenarnya ia shock. Selama ini Yuuto menipunya..
Yuuto terdiam, canggung dengan reaksi datar Kei.
"Berarti kita juga selesai" gumam Kei seperti yang diduga.

Daiki menutup pintu rumahnya setelah ia kembali dari mengantarkan Chinen pulang. Bibirnya tak berhenti tersenyum, mengingat yang sudah mereka lakukan tadi. Belajar memang terasa menyenangkan jika ada seseorang yang sangat kau suka ada di dekatmu, walau ia harus beberapa kali kehilangan konsentrasinya.
Daiki duduk di ranjangnya sebelum ia ke kamar mandi, ia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Chinen. Hanya beberapa menit saja mereka berpisah, dan ia sudah merindukannya lagi. Daiki malu sendiri dengan pikirannya. Sejak hubungan mereka mendapat respon yang cukup baik dari kakak-kakak Chinen, ia memang jadi lebih berani menunjukkan perasaannya pada kekasihnya itu. Daiki sangat bahagia dengan keberadaan Chinen disisinya, membuat ia tak lagi teringat kisah cintanya yang lalu. Yang hanya membuat hatinya hancur.
Drrtt.
Daiki tersentak merasakan getaran di ponselnya. Ia melihat tulisan 'okaachan' muncul disana.
Ini sudah malam, dan tak biasanya ibunya menelepon. Pasti ada sesuatu yang penting.
"Dai-chan?"
"Hai? Doushita no Kaachan?"
"Ah gomen aku mengganggumu malam-malam seperti ini. Aku hanya mau memberitahu, Asako berada di rumah sakit.."
"Eh??" Daiki berdiri dari duduknya, mendengar kabar yang dikatakan ibunya.
"Tapi kau tak perlu khawatir, dia sudah baik-baik saja. Sekarang sedang tidur"
"Apa yang terjadi Kaachan?" Daiki tak bisa menahan kecemasannya. Asako, seorang adik yang sangat ia sayangi. Selama ini mereka terpisah, dan Daiki berusaha untuk tak terlalu peduli padanya, untuk melupakan perasaan anehnya, tapi ia tak bisa.
"Dia agak kelelahan setelah ikut berolahraga tadi sore, jadi sesak nafasnya.."
"Kenapa dia dibiarkan berolahraga? Siapa yang tidak mencegahnya?" sela Daiki yang tiba-tiba merasa marah.
"Asako sendiri yang mau. Dia tak mendengarkan kata-kata guru" jelas ibunya, yang tahu Daiki akan semarah itu. Daiki mengeluh, kesal.
"Apa kalian akan membawanya ke Tokyo?" tanya Daiki pula, setelah lebih tenang.
"Aku rasa tidak. Dokter bilang, suasana disini lebih baik untuk kesehatan Asako"
"Sokka.."
"Uhm. Kau tidak perlu cemas. Belajar saja dengan tenang, ne?"
Daiki menghela nafasnya sebentar. Ia tak tahu apa ia memang bisa tenang dan fokus setelah mendengar kabar ini. Ia tahu persis tentang kesehatan Asako.
"Kaachan, apa aku lebih baik tidak mengambil ujian ke Universitas Tokyo?" tanya Daiki tiba-tiba.
"Apa? Dai-chan, bukankah kau bilang ingin berkuliah disana?"
"Aku tidak tahu lagi.." gumam Daiki. Ia kembali teringat Chinen.

Memang karena Chinen hingga Daiki mengambil keputusan untuk mencoba ikut ujian masuk Universitas Tokyo. Karena Chinen ia jadi lebih bersemangat. Ia tak lagi banyak bergaul dengan berandalan-berandalan, tidak lagi merokok dan berhenti memikirkan hal-hal tidak penting. Sejak ada Chinen, ia jadi lebih teratur. Itu sebabnya, ia pun ingin membuat Chinen bangga padanya.
Tapi kondisi yang ada sekarang, membuatnya jadi sedikit ragu.
"Kau tidak belajar hari ini?" tanya Chinen yang agak heran tak melihat Daiki dengan buku-buku nya.
"Ehm, aku sedang tidak mau belajar"
"Ada apa?" Chinen bisa dengan cepat menangkap keganjilan di sikap Daiki.
"Adikku.." jawab Daiki ragu-ragu. Ia memang biasa menceritakan apapun pada Chinen. Tapi untuk yang satu ini, mudah-mudahan ia tak salah bicara.
"Ada apa dengan adikmu?" pikiran Chinen langsung terbayang pada wajah manis di foto yang ada di rumah Daiki.
"Aku belum bercerita padamu.. adikku itu mempunyai penyakit sejak di sekolah dasar" cerita Daiki. Chinen tak menyangka, karena dilihat di foto, gadis itu tampak sehat-sehat saja. Gadis yang nampak ceria. "Dia tak boleh terlalu lelah. Biasanya aku yang selalu memperingatkan dia"
"Ah sou.. aku bisa melihat kalau kalian sangat dekat" komentar Chinen yang ingat dengan pose mesra mereka di foto. Dulu ia sempat berpikir kalau gadis itu adalah pacar Daiki.
"Uhm. Aku yang selalu menemaninya sejak kecil.."
Chinen terdiam menunggu Daiki melanjutkan ceritanya. Ia melihat ada kecemasan yang sangat dalam di mata Daiki.
"Tadi malam Kaachan meneleponku, memberi kabar kalau sekarang Asako berada di rumah sakit" kata Daiki melanjutkan.
"Ah.. apa dia baik-baik saja?"
"Kaachan bilang dia baik-baik saja.."
"Yokatta" Chinen menarik nafas lega, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh punggung Daiki, mengusapnya lembut. "Kau pasti ingin bertemu dengannya, na?"
Daiki melirik Chinen sekilas, tapi tak menjawab. Tak menggelengkan atau menganggukkan kepalanya. Ia seperti mendapat pertanyaan yang penuh dilema. Chinen tak mengerti, tapi ia tak mau memaksakan pertanyaannya. Sekali lagi ia mengusap punggung Daiki.
"Dia baik-baik saja. Tapi mungkin sekali-sekali kau memang harus pulang" kata Chinen, mengulas senyuman malaikatnya. Daiki membenarkan itu, tapi ia juga menepisnya. Daiki berpikir, kalau ia benar-benar pergi untuk Asako, ia mungkin tak akan melihat Chinen lagi. Itu membuatnya takut. Tapi kecemasan dalam dirinya pun, mulai mengganggunya perlahan-lahan. Daiki tak suka situasi ini.

Kenapa Yuuto merasa ringan setelah mengungkapkan semuanya pada Kei? Beban-beban di pikirannya terasa berjatuhan begitu saja dan membuatnya jadi lebih terfokus pada Yamada. Yuuto sempat terpikir, apa mungkin ia bisa mendapatkan lagi hati Yamada. Sangat membuatnya sakit dan lelah dengan hanya melihat Yamada di kejauhan. Terkadang ia juga harus kesal karena melihat Yamada bersama-sama Nakayama. Yuuto ketakutan sendiri, jangan-jangan Yamada telah takluk oleh manusia yang paling Yuuto tak suka itu. Ia akan sangat tidak rela.
Yuuto mengamati Yamada dari tempat duduknya. Biasanya Yamada balas akan melihat ke arahnya dan tersenyum. Tapi kali ini tidak, sudah beberapa hari ini tidak lagi. Yamada memang sudah tak ada alasan untuk tersenyum padanya. Mereka bukan pasangan lagi, dan mereka juga bukan teman baik. Yuuto jadi ingin tahu bagaimana sebenarnya perasaan Yamada sekarang.. Apa mungkin sudah tak mengharapkannya lagi?
Yuuto menghela nafas, masih menatap Yamada yang tengah serius memperhatikan sensei. Kacamata yang dipakainya menutupi lagi mata indahnya, walau sebenarnya ia tampak seksi dengan kacamata itu. Yuuto jadi teringat alasan yang dikatakan Yamada saat dulu ia mengganti kacamatanya dengan contact lense.. Yuuto menghela nafas. Mengingat itu membuatnya merasa bersalah. Tapi sudah tak ada gunanya ia menyesali. Mungkin ia harus mencoba lagi, memulai semuanya dari nol.
"Yuuto, saatnya pelajaran olahraga" tepukan di lengannya, membuat Yuuto terhenyak. Ia baru sadar kalau semua murid di kelas sudah berdiri dan bersiap-siap mengganti seragam menjadi pakaian olahraga. Ia terlalu asik memperhatikan Yamada dari tadi.
---
"Nakajima, jangan lupa bereskan gudang olahraga" Yasuda-sensei mengingatkan Yuuto setelah mereka selesai dengan pelajaran olahraga. Sebagai koordinator olahraga di kelas, Yuuto memang harus membereskan gudang tempat peralatan olahraga, setiap akhir pekan. Biasanya ia dibantu oleh Keito, rekan nya.
"Hai, wakarimashita" kata Yuuto dan beranjak ke gudang olahraga. Karena tadi pelajaran terakhir, jadi ia sudah biasa membereskan gudang olahraga lalu pulang. Yuuto suka membereskan peralatan olahraga. Ia kadang bermain-main dulu disana hingga ia merasa lelah dan bisa tidur dengan lelap malamnya, tanpa harus teringat Yamada. Ia sudah tak bisa menatap Yamada dari jendela balkon mereka, tak ada lagi obrolan disana dan tak pernah lagi mereka saling menyelinap ke kamar. Yuuto menepis pikirannya dan kembali fokus membereskan gudang.

"Kau lambat sekali Keito, lihat pekerjaan kita banyak" kata Yuuto begitu ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia terus sibuk membereskan bola-bola basket, sudah menduga kalau Keito yang datang.
"Aku bukan Okamoto" sebuah suara yang sangat familiar tapi sudah lama tak Yuuto dengar untuknya itu, membuat Yuuto terkesiap. Suara yang ia rindukan untuk bicara padanya.. perlahan, ia menoleh dan melihat sosok yang tak ia duga. Yamada sedang merapikan bola voli di dekatnya, acuh dan seperti tak memperdulikan Yuuto.
"Ya--" Yuuto tak melanjutkan menyebut namanya. Ia mendadak berdebar-debar, mimpi apa ia semalam hingga hari ini tiba-tiba mendapat kesempatan berduaan saja dengan Yamada.
"Kau sedang apa? cepat kerja, ini sudah sore" kata-kata datar Yamada menyentakkan Yuuto yang tak sadar malah terus memandangi Yamada.
Mereka bekerja tanpa ada pembicaraan apapun. Keduanya jelas merasa canggung. Walau dalam hati mereka menyukai ini, tapi mereka tak mau mengakuinya. Kenyataan bahwa mereka sudah tak bersama, membuat mereka harus menjaga jarak. Meski pikiran mereka beberapa kali memerintah untuk melanggarnya.
"Eh?" Yamada berseru pelan ketika ia mencoba membuka pintu gudang, tapi tak mau terbuka.
"Ada apa?" tanya Yuuto. Untuk pertama kali mereka berbicara setelah hampir dua jam keheningan.
"Pintunya terkunci" gumam Yamada.
"Hah?" Yuuto menghampirinya dan mencoba menggerakkan pintu itu. Sulit. Rupanya memang terkunci.
"Kuso" gumam Yamada lagi. Ia mulai menggedor-gedor pintu dan berteriak, siapa tahu masih ada orang diluar sana yang mendengar. "Oi! siapapun! bukakan pintunya!"
Yuuto tak ikut berteriak. Ia melihat jam tangannya, sudah pukul 7 malam. Ia tak yakin masih ada orang disana.
"Kita kemalaman. Penjaga sekolah pasti sudah pulang" kata Yuuto, membuat Yamada berhenti menggedor dan berteriak.
"Kuso" Yamada mengumpat lagi dan menyandarkan tubuhnya di pintu. Yuuto ikut bersandar, lalu terdiam. Mereka berpikir. Tak ada jalan lain untuk keluar dari sini, mereka harus menunggu sampai besok pagi. Itu artinya semalaman ini mereka akan berduaan saja disini. Debaran di dada Yuuto masih seperti di awal, tapi sudah terasa nyaman. Dan Yamada menutupi gugupnya dengan bersikap sedingin mungkin. Bagaimana ini? pertanyaan itu sama-sama muncul di benak mereka.
Keduanya tidak mau sadar kalau mereka menikmati kehadiran masing-masing, hingga mereka terus bekerja dan tak menyadari waktu. Tapi setelah seperti ini, tak dipungkiri mereka jadi khawatir juga.

"Ini menyebalkan" keluh Yuuto setelah beberapa menit mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ia menghela nafas sambil menurunkan tubuhnya, terduduk disana. Ia sadar, mereka harus menunggu hingga besok pagi, dan dengan berdiri seperti itu bukanlah ide bagus.
"Gara-gara kau" gumam Yamada pelan, sambil ikut duduk disana masih dengan menjaga jarak diantara mereka.
"Hah?" Yuuto meliriknya cepat, Yamada tak mengacuhkannya. "Kenapa kau menyalahkanku?"
"Tadi kau sangat lambat mengerjakannya"
Yuuto mengerutkan kening, sebal karena Yamada menyalahkannya tapi senang juga karena mereka jadi terlibat obrolan. Setidaknya suasana tidak jadi dingin dan membosankan.
"Kau juga tadi sangat lambat" balas Yuuto.
"Kau yang lambat" Yamada tak mau kalah. Ia melihat ke arah Yuuto juga, mereka pun saling menatap untuk pertama kalinya lagi. Yuuto jadi ingat dulu di awal-awal hubungan, mereka sering sekali berdebat. Keduanya memang sama-sama keras kepala.
"Kau.. memakai kacamata lagi" kata Yuuto mendadak mengganti pembahasan.
"Bukan urusanmu" sahut Yamada dan cepat mengalihkan lagi pandangannya.
"Dulu kau melepas kacamatamu.. untukku. Sekarang kau memakainya karena kita-"
"Sama sekali tak ada hubungannya denganmu" sangkal Yamada cepat, sebelum Yuuto menyelesaikan kalimatnya. Ia tahu kalau Yamada berbohong. Semakin ia giat menyangkal, semakin terlihat kalau ia menutupi perasaannya.
"Gomen na.." gumam Yuuto. Yamada hanya mengeluh, mendecakkan lidahnya, terganggu. Ia memang tak mau mendengar apapun dari Yuuto. Hanya akan membuatnya dilema, ingin memaafkan tapi ingin menjauhinya.
"Aku merasa kesepian waktu itu, hingga aku tak berpikir panjang.. aku sangat menyesalinya" Yuuto mengatakannya lagi, penjelasan yang dulu ia berikan pada Yamada, saat ia mengakui semuanya hingga tetap mendapat keputusan berpisah dari Yamada. "Aku benar-benar menyesal" kata Yuuto menundukkan kepalanya, tak mampu lagi menatap Yamada. Dulu ia sempat menangis dan sekarang pun matanya mulai terasa memanas. Ia memang selalu tak tahan jika dihadapkan dengan masalah ini. Penyesalannya sangat dalam.
Yamada sebenarnya ingin bisa mengerti soal itu. Ia mengaku kalau selama ini kesibukannya sangat membuat waktu mereka tak ada sama sekali. Tapi ia juga tak bisa terima karena bagaimanapun Yuuto sudah mengkhianatinya. Ia menyayangkan Yuuto yang tak bisa bersabar.
"Sudahlah.." Yamada mulai goyah. Ia memejamkan matanya, seolah tak mau mendengar dan melihat apapun lagi.

Tawa lembut Asako terdengar merdu di telinga Daiki. Ia merindukan suara itu, suara yang dulu selalu memenuhi hari-harinya. Membuat ia merasa jatuh cinta dan dicintai setiap waktu. Sejak orangtua nya membawa Asako ke rumah dan menjadikannya anggota keluarga, Daiki sudah merasakan yang lain. Ia menyukai Asako lebih dari seorang adik, dan ia sangat senang ketika tahu Asako pun merasakan hal yang sama. Daiki akan berkorban dan siap berjuang untuk perasaan mereka, tapi sayangnya Asako meminta ia untuk menyerah. Daiki tak bisa melakukan apapun ketika gadis itu meminta demi kebahagiaannya. Daiki pun menyerah, ia rela hatinya hancur berkeping-keping. Daiki mulai melupakan Asako dan beruntung karena setelah bertemu Chinen, ia memang jadi bisa melupakan gadis itu perlahan-lahan. Namun mendengar suaranya lagi masih selalu membuat dada Daiki berdebar. Perasaannya masih ada meski memang tak sekuat dulu. Saat ini ia lebih peduli dengan kesehatan Asako.
"Kita sudah lama tak bertemu, apa kau pernah berpikir untuk pulang sebentar saja dan melihatku?" kata Asako dengan nada manjanya. Daiki tak tahu harus menyahut apa, dan gadis itu tertawa kecil. "Gomen ne, aku tahu kau sangat sibuk. Aku tak bermaksud membuatmu risau" lanjutnya.
"A-aku mungkin akan pulang nanti.." kata Daiki akhirnya, sungguh tak ada ide dengan perkataan nya. Ia hanya ingin menenangkan Asako.
"Benarkah? yokatta.. aku menyukaimu Dai-chan, kau menyukaiku juga?" Asako suka sekali menggodainya seperti itu.
"Tentu saja"
"Aku senang sekali. Aku juga sangat menyukaimu melebihi apapun. Kau bukan hanya seorang kakak untukku, kau tahu itu kan? Aku selalu mencintaimu-"
"Asako.." Daiki menyela. Ia terlalu bingung untuk menyerap kata-kata itu. Asako mencintainya, tapi tak membiarkan ia berusaha memperjuangkan mereka. Daiki serba salah untuk menanggapinya.
"Gomen ne. Aku benci terus-terusan menahan perasaan ini. Aku lelah, Dai-chan" kata Asako sedikit berbisik.
"Kau yang meminta semuanya. Kau bilang demi kebahagiaanmu" sahut Daiki pelan. Terdengar tarikan nafas berat dari Asako. Dalam sekejap obrolan mereka yang tadi masih penuh tawa, sekarang berubah serius.
"Aku bahagia karena masih bisa mendengar suaramu, melihat wajahmu suatu hari, tahu kalau kau akan pulang dan mencariku" kata Asako akhirnya.
Daiki terdiam, bingung. Ia tentu ingin bertemu dengan Asako, tapi ia takut membuat kesalahan nantinya.
"Aku sangat ingin bertemu denganmu, sebelum apapun terjadi padaku.."
Daiki serasa terjebak.

Yuuto mengangkat wajahnya dan menatap Yamada yang tengah terpejam, menyandarkan kepalanya ke pintu. Ia ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita.
"Ah, ada apa ini?!" seru Yamada.
"Sepertinya mati lampu" jawab Yuuto yang tak bisa melihat apapun. Hanya ada setitik cahaya dari jendela di atas. Cahaya itu tak bisa sepenuhnya menyinari ke seluruh gudang. Yuuto jadi merasa sendiri, padahal ia tahu Yamada ada di sampingnya.
"Kuso. Kenapa aku sial sekali hari ini!?" umpat Yamada. Yuuto tersenyum tipis mendengarnya. Sejak mereka terkunci tadi, ia beberapa kali mendengar Yamada mengeluh dan mengumpat. Hal yang jarang sekali Yamada lakukan. Yuuto jadi berpikir, Yamada memang sangat tidak mau berduaan dengannya.. tapi bukan karena benci. Yuuto bisa melihat dari gerak-geriknya yang tampak berusaha menutupi kegugupannya.
"Nakajima?" Yuuto merasakan tangannya diraba-raba.
"Aku disini" sahutnya dan menggenggam tangan Yamada.
"Bagus. Jangan pergi kemanapun.."
"Kenapa? kau takut?" Yuuto menggodanya. Yamada tak menjawab. Yuuto bisa membayangkan tatapan kesal Yamada, membuat ia tersenyum lagi dan bergerak ke arah dimana Yamada berada, masih sambil memegang tangannya. Tubuh mereka beradu. Yuuto bisa merasakan kekagetan Yamada.
"Kau membuatku kaget" gumam Yamada dan menekan tangan Yuuto yang memegangnya.
"Gome" kata Yuuto. "Ini lebih baik, bukan?" ia bergerak sedikit hingga terasa bahu mereka bersentuhan. Yamada bisa merasakan kalau Yuuto memang sangat dekat. Ia mencium aroma khas dari tubuh Yuuto yang serasa mengelilinginya, membuat ia merasa aman.
Beberapa menit berlalu, hanya terdengar suara nafas mereka yang beraturan. Sepi. Mereka tak tahu harus membahas apa. Yamada menggerakkan kepalanya sedikit, dan mengenai sesuatu yang ia duga adalah pundak Yuuto. Perlahan Yamada menyandarkan kepalanya disana, terasa familiar. Ia sering melakukan itu sebelumnya.
"Kau mengantuk?" sebuah bisikan terdengar di dekatnya, membuat Yamada hampir beranjak dari sana, walau sebenarnya ia tak mau. Jadi ia terdiam saja, apalagi ketika dirasanya sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat tubuhnya semakin dekat dan menyandar pada Yuuto. Ia tak terpikir untuk mengelak, selain sekarang bukan saat yang tepat, ia pun sebenarnya menyukai ini. Ia rindu pelukan Yuuto.
"Yama-chan?" Yamada merasakan bisikan itu semakin dekat bahkan ia bisa merasakan hembusan nafas Yuuto di wajahnya.

Kecupan-kecupan lembut terasa di seluruh wajah Yamada. Ia merasa familiar lagi. Yuuto sedang menciuminya, dan Yamada hanya memejamkan mata. Mereka terbawa suasana. Sesaat mereka lupa kalau mereka sudah bukan siapa-siapa lagi.
Yamada merasakan darahnya berdesir, ada getaran nyaman yang menyergap tubuhnya ketika bibir Yuuto menyentuh bibirnya. Ia sangat merindukannya. Dengan segera, Yamada menyambut dan membalas ciuman Yuuto. Ia nyaris tak ingat apapun, tak ingat kalau mereka sudah tak boleh melakukan itu. Tapi perasaan nya jadi lebih menguasai otaknya hingga memerintah ia untuk mengkhianati setiap pikirannya yang menentang Yuuto.
Tangan Yamada memeluk Yuuto erat, menekan belakang kepalanya. memperdalam ciuman mereka. Ia merasa makin terdesak, hingga nyaris berbaring. Keluhan tertahan terdengar dari bibirnya setiap Yuuto menggerakkan lidah mereka. Tak ada yang mau melepaskan. Mereka berharap kalau saja waktu terhenti disini.
Yuuto baru akan mengusap pinggang Yamada di balik kausnya saat suasana mendadak terang benderang. Lampunya sudah menyala dan terasa mengekspos tindakan mereka. Reflek, keduanya melepas ciuman dan melihat ke sekeliling dengan mata disipitkan. Hingga mata mereka bertemu lalu tersadar dengan posisi mereka. Yamada cepat mendorong Yuuto dan bergerak menjauh. Ia melihat ke arah lain masih sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Ia menjilat bibirnya perlahan dan merasa wajahnya menghangat. Kuso.. Yamada mengumpat untuk kesekian kali di benaknya.
"Sudah nyala" kata Yuuto sambil membetulkan posisi duduknya, membuat jarak seperti beberapa waktu lalu sebelum mati lampu dan mereka terbawa suasana.
Yamada tak menjawab. Ia cukup shock dan malu dengan tindakannya sendiri. Walau tak bisa dipungkiri, ia masih terlena, masih menginginkan pelukan Yuuto.. ciumannya..
Yamada cepat menggelengkan kepalanya dan beranjak dari sana. Yuuto melihat ke arahnya, memperhatikan Yamada yang berpindah tempat ke sisi lain gudang dan berdiri disana menyandar pada tembok. Matanya terus menghindari pandangan Yuuto.
"Kenapa malu seperti itu?" tanya Yuuto, memecah keheningan. Yamada menoleh dan mengerutkan keningnya.
"Siapa yang malu?"
"Kau"
"Aku tidak malu!" sangkal Yamada sambil mengalihkan lagi matanya. Kenapa ia harus terjebak dalam situasi aneh ini? menyebalkan! pikirnya.
Yuuto berdiri masih sambil menatap Yamada.
"Kau membalas ciumanku" katanya.
Yamada menahan nafas. Ia bisa merasakan Yuuto yang tengah berjalan ke arahnya.

Langkah kaki Yuuto makin terasa dekat. Yamada terus melihat ke arah lain dan berharap agar Yuuto tak jadi mendekat. Ia sebenarnya ingin bergerak dari sana, tapi lagi-lagi perasaannya mengkhianati pikirannya hingga ia serasa sulit menggerakkan kaki. Yamada khawatir jika ini dibiarkan. Ia menggigit bibirnya menepis pikiran-pikiran gila di benaknya.
"Kau menginginkanku" terdengar bisikan yang ditakutkan Yamada. Suara Yuuto tepat terdengar di dekatnya, sangat dekat hingga Yamada bisa merasakan hembusan nafas Yuuto yang mengusap rambutnya, dan ia benci karena di dalam dirinya bereaksi terhadap suara itu. Dame.. gerutu Yamada dalam hati. Ia memejamkan matanya kuat-kuat. "Kau menginginkanku, kau tahu itu.." kata Yuuto lagi. Yamada menggelengkan kepalanya. Entah menentang perkataan Yuuto atau terus coba membuang pikiran konyolnya.
"Jangan ganggu aku" gumam Yamada, ia tak tahu harus berkata apa.
"Kau masih menyukaiku.. Kenapa kau tak memberiku kesempatan sekali lagi?"
Lagi, Yamada hanya menggelengkan kepalanya.
"Kau menyiksaku selama beberapa hari ini.." tangan Yuuto mulai menyentuh lengan Yamada, membuat anak tampan itu cukup panik. Ia takut Yuuto bisa merasakan tubuhnya yang merespon.
"Hentikan-" Yamada mencoba menepis tangan Yuuto dengan menghadap ke arahnya. Tapi rupanya ia mengambil keputusan yang salah. Beberapa detik kemudian Yamada malah terjebak di antara tembok dan tubuh tinggi Yuuto.
"Apa yang kau lakukan-" Yamada menggerakkan tangannya untuk mendorong Yuuto, tapi lagi-lagi ia salah. Dengan cepat, Yuuto membuat tangan Yamada terkunci di dadanya. Wajah mereka sangat dekat. Sebenarnya Yuuto tak mau menunggu untuk menikmati lagi bibir mungil kemerahan itu, tapi ia menahannya dulu.
"Lepaskan aku" kata Yamada berusaha menguasai dirinya.
"Tidak mau. Aku mau waktu 5 menitku"
Yamada mengerutkan keningnya, terganggu.
"Kau sudah gila"
"Ok, 30 menit"
"Nakajima.."
"Aku tahu, semalaman" senyuman tipis terulas di bibir Yuuto. Ia tak mau menunggu lagi.
"Tid--" Yamada tak sempat menyangkal lagi. Yuuto sudah menciumnya tanpa peringatan. Bibir mereka bertaut dengan mudahnya, tampak memang sudah mereka nantikan dari tadi. Tangan Yamada mencengkram kaus Yuuto seperti yang ia takutkan, ia merespon ciuman Yuuto dengan cepat.
Beberapa saat kemudian, tak ada lagi obrolan diantara mereka. Keduanya sibuk saling menekankan bibir, melumat, menggigit. Tangan Yuuto pun bergerak apa adanya, ia mengusap lembut setiap jengkal kulit Yamada di balik kausnya..

Yuuto membuat semacam lingkaran di perut Yamada dengan jemarinya, menghasilkan suara-suara tertahan dari bibir Yamada yang masih terkunci dengan bibirnya.
Keduanya tahu pikiran mereka sudah tak bisa mengendalikan, sekarang hanya ada nafsu dan mungkin juga perasaan mereka yang sudah beberapa hari ini terpendam. Semuanya tercampur aduk dan meluap..
Yuuto semakin menekan Yamada ke tembok di belakangnya. Tangan Yamada mencengkram kausnya erat, tak mau melepaskan dan mensupport tubuhnya juga agar tidak terjatuh. Yuuto menyelipkan kaki kanannya diantara kaki Yamada, menahan agar tetap di tempatnya.
Keduanya mulai kekurangan udara, jadi melepaskan ciuman dengan terpaksa. Mata mereka bertemu dan nafas mereka berbaur. Yuuto mengusap tetesan air liurnya di dagu Yamada. Ia sadar ciuman mereka seberantakan itu. Tanpa menunggu lagi, Yuuto membenamkan wajahnya di leher Yamada. Melancarkan kecupan-kecupan liar, juga sedikit gigitan yang meninggalkan tanda-tanda berwarna keunguan di kulit leher Yamada.
"Nhh.. Yuu-Yuuto" Yamada mengeluh pelan. Suaranya hanya membuat Yuuto semakin berani. Ia mengangkat kaus Yamada lebih tinggi dan mulai melancarkan ciuman ke dadanya. Tangan Yamada berpindah mencengkram rambut Yuuto sambil terus menahan suara-suara yang tak terkendali dari mulutnya. Ini jelas akan jadi sesuatu. Tak mungkin berhenti disini. Tanpa membuang waktu, Yuuto melepas kaus itu ke atas melewati kepala Yamada. Wajah mereka berdekatan lagi, keduanya berbagi ciuman singkat sebelum Yuuto kembali menjelajahi tubuh Yamada.
"Ka-kaus mu.." gumam Yamada diantara nafasnya yang terengah. Ia menyentakkan kaus Yuuto yang sejak tadi dicengkramnya.
"Wakatta" sahut Yuuto dan cepat melepas kausnya juga.
Tubuh polos mereka pun bersentuhan, memang bukan untuk yang pertama kali. Tapi sekarang memberikan rasa yang lain untuk keduanya. Karena rasa rindu dan nafsu yang tak bisa ditahan lagi juga situasi yang sudah tak bisa dielakkan lagi.
"Aku menyukaimu Yamada.. sangat.." bisikan Yuuto tepat di telinga Yamada, terdengar sedikit parau dan hanya membuat Yamada semakin lupa diri. Ia mengeluh pelan meresponnya, memejamkan mata, merasakan kecupan Yuuto di telinganya turun ke leher, dada hingga ke perutnya.
Dalam keadaan segenting ini, tentu tak ada lagi yang bisa menolak. Mereka harus menyelesaikan semuanya, siap ataupun tidak. Keduanya sudah terlanjur panas dan menginginkannya. Yamada pun tak bisa protes saat Yuuto mulai mendekati area paling pribadi di tubuhnya..

Ciuman Yuuto semakin berbahaya menyentuh sekitar tulang pinggulnya. Yamada membuka mata perlahan dan melihat ke bawah, masih sambil memegang rambut Yuuto. Dirasanya kedua tangan Yuuto yang berada di pinggangnya, perlahan mulai menurunkan celana olahraga yang ia pakai. Akal sehat Yamada yang setengah sadar memerintah ia untuk menghentikannya, tapi hasratnya yang lain lebih besar dan menguasai. Terlalu bagus untuk ia hentikan.
Yuuto balas memandangnya sebelum ia benar-benar menurunkan semua celana Yamada lalu melakukan yang ia inginkan. Mata mereka bertemu dan menyiratkan hal yang sama.. rindu, nafsu.. cinta? Mereka sadar sama-sama masih menyimpan satu kata itu.
"A-aku.. aku.." Yuuto terus menatap, menunggu Yamada menyelesaikan kalimatnya. "Aku tidak sempurna" Yamada pun mengatakannya dengan warna kemerahan muncul di wajahnya. Yuuto tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Kau selalu sempurna untukku" katanya. Yamada mengeluh puas, tak bisa menyahut lagi. Ia menyandarkan kepalanya dan kembali memejamkan matanya. Mencengkram rambut Yuuto agak lebih kuat memberikan sinyal agar melanjutkan yang mereka inginkan.
Ini baru pertama kali untuk keduanya. Saat dulu masih bersama, mereka belum pernah melakukan yang sejauh ini. Sebelumnya Yamada belum pernah siap, dan Yuuto tak pernah memaksa. Tapi sekarang, tak ada yang tak mau dan tak ada yang memaksa. Semuanya berlangsung dengan sangat natural. Mereka yang sudah tak memiliki hubungan apapun, sekarang justru malah terjebak dalam situasi intim yang seharusnya mereka hindari.
Yamada baru merasakan sensasi luar biasa seperti ini seumur hidupnya. Ia tak menyangka Yuuto memang bisa melakukannya. Sebelum bersama Yuuto, ia juga terbiasa bermesraan dengan perempuan.. tapi belum yang seperti ini. Biasanya ia akan melakukan dengan tangannya sendiri, tapi sekarang di usia 17, ia mendapat sex pertama nya, begitu juga Yuuto.
"Ahh.. hnn.. Y-Yuuto.. a-aku akan-" Yamada berkata tak jelas, tak bisa menahan lagi sesuatu yang menghampiri dirinya dan bersiap untuk dikeluarkan. Yuuto berhenti, tepat sesaat sebelum Yamada mengeluarkannya, tapi tetap agak mengenai wajah Yuuto.
"Go-gomen.." kata Yamada dengan nafas tersengal. Yuuto tersenyum saja melihat ke arah Yamada sambil mengusap itu di pipinya. Ia pun berdiri dan kembali memeluk Yamada, mencium bibirnya lagi, membiarkan Yamada bisa merasakan rasanya sendiri. Sekarang Yuuto yang perlu diperhatikan. Ia menatap Yamada sebentar sebelum membuatnya berbalik..

Yamada mengeluh pelan begitu tubuhnya menghadap ke tembok. Ia menekan kedua telapak tangannya dan menempelkan keningnya disana. Yuuto terus menghujani pundak dan punggungnya dengan kecupan-kecupan basah. Yamada hanya bisa memejamkan mata, menikmatinya walau akal sehatnya yang masih sadar sedang meneriakinya untuk menghentikan ini, tapi tubuhnya terlalu menikmati perlakuan Yuuto, tak mau berhenti bahkan mungkin menginginkan yang lebih.
Yamada membuka matanya ketika ia rasa tangan Yuuto di pinggangnya mulai menyentuh daerah dalam pahanya. Ia cepat memegang tangan Yuuto agar tidak menuju kesana lagi.
"Da..me" gumamnya nyaris berbisik.
"..Ii na" Yuuto balas berbisik di telinga Yamada, dan balik memegang tangan Yamada menyimpannya lagi di tembok.
"Mou ii-"
Yamada mencoba mengelak dengan menengokkan wajahnya ke satu sisi untuk melihat pada Yuuto dan sangat bertepatan dengan Yuuto yang sedang menciumi salah satu sisi wajahnya.
Ciuman pun tak bisa dicegah, bibir mereka menyatu lagi dengan irama yang lebih lembut tapi tetap panas dan basah.
Yuuto tak bisa menahan lagi, ada yang mendesak dari dalam dirinya untuk bisa memiliki Yamada seutuhnya, sekarang. Ia bisa merasakan dari ciumannya kalau Yamada pun memiliki hasrat yang sama dengannya. Setelah cukup berpikir, Yuuto mulai menurunkan celananya tanpa melepaskan ciuman mereka. Semuanya memang terasa jadi mudah dan cepat.
Ia memegang lagi pinggang Yamada, memposisikan dirinya. Ia tak pernah melakukan ini sebelumnya dan seingatnya juga ia tak pernah melihat atau membaca dari mana pun. Tubuhnya bergerak dengan naluri, insting, nafsu dan rasa sukanya pada Yamada yang membuat ia sangat takut kehilangan.
"Mmhh.. ahh!" Yamada melepaskan ciuman dengan tiba-tiba karena merasakan sesuatu memasuki tubuhnya, dan itu sangat sakit untuk tubuhnya yang sama sekali tak berpengalaman. "Y-Yuuto.. s-sakit.." gumamnya dan menempelkan lagi keningnya ke tembok, memejamkan matanya kuat-kuat, rasa sakit begitu menyergap tubuhnya.
Yuuto mengerang pelan, mencoba melakukan selembut mungkin agar tak menyakiti Yamada, tapi erangan kesakitan dan rintihan masih terdengar dari mantan kekasihnya itu. Yuuto memeluk Yamada, lebih menempelkan dadanya ke punggung Yamada. Yuuto membuat Yamada menoleh ke arahnya, mencium bibirnya lagi untuk mengalihkan rasa sakit. Dan tampaknya berhasil karena beberapa saat kemudian, suara Yamada mulai terdengar menikmati tangannya pun menyentuh pinggang Yuuto mengindikasikan Yuuto untuk bergerak..

Apa ini bisa dikatakan cinta, saat keduanya benar-benar kehilangan akal sehat, melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Bukan hanya karena mereka masih terlalu muda dan sama-sama seorang laki-laki, tapi karena mereka sudah tak ada hubungan apapun. Mereka bukan lagi sepasang kekasih, dan mereka juga bukan teman baik. Tindakan ini jelas-jelas adalah sebuah skandal, untungnya karena masing-masing dari mereka belum memiliki orang baru lagi. Satu hal yang mereka tahu tapi tak mau mereka sadari, kalau mereka sebenarnya masih saling menyukai. Kejadian ini bukan hanya berdasarkan nafsu semata. Dalam hati mereka berharap sama.
"..Ahh..hnn..mmh.." suara-suara menggoda masih terdengar dari mulut Yamada, seperti musik erotis di telinga Yuuto. Ia menyukainya, membuat tubuhnya makin bersemangat apalagi beberapa kali Yamada menyentakkan pinggulnya memberi tanda pada Yuuto agar lebih menggiatkan gerakannya.
"A-Aishiteru.." Yuuto terus membisikkan itu di telinga Yamada, dan Yamada bisa merasakan debaran dada Yuuto di punggungnya. Andai waktu berhenti disini.
Mereka masih berada dalam dunia yang biasanya hanya nyaris mereka datangi. Keluhan lembut Yamada, erangan seksi Yuuto, nafas yang tersengal-sengal, keringat yang menetes, rasa dari keintiman mereka.. semuanya berbaur dan tak terkendali.
Keduanya saling memanggil nama masing-masing ketika akhirnya mereka mencapai titik tertinggi yang membuat pikiran mereka blank beberapa saat. Keduanya menenangkan diri, perlahan akal sehat mereka mulai berfungsi lagi dengan benar.
Yamada melihat ke bawah, mendapati tembok di hadapannya jadi kotor. Ia mengeluh pelan, dan menyandarkan lagi kepalanya di tembok. Ia ingin menyingkirkan tubuh Yuuto, tapi ia terlalu lelah dan sebenarnya masih merasa nyaman dengan pelukan Yuuto. Yuuto mengecup kepala Yamada perlahan, sebelum melepaskan pelukan. Kecupan singkat itu membuat dada Yamada berdebar kencang, ia bisa merasakan perasaan terdalam Yuuto. Bagaimanapun ia senang, karena kesalahan ini memang bukan karena nafsu semata. Tapi sisi egoisnya masih tak bisa terima kalau ia sudah melakukan hal segila ini dengan mantan kekasihnya. Sungguh pikiran yang rumit.
"Ah, tidak usah.." Yamada coba mencegah Yuuto yang sedang membersihkannya.
"Tidak apa" sahut Yuuto yang terus membersihkan Yamada dari sisa-sisa kegiatan intim mereka dengan menggunakan kaus olahraga nya. Ia juga membantu Yamada memakai celananya.
"Sebaiknya kita tidur" kata Yuuto.
Ia pasrah dengan hari esok.

Sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela tepat mengenai Yuuto yang masih terbaring di lantai. Anak laki-laki berusia 17 tahun itu terbangun dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia merasakan tubuhnya yang agak linu karena terbaring semalaman di lantai, lengan kanannya pun terasa kaku sesaat seperti ia sudah mendekap sesuatu dalam waktu yang lama. Otaknya berusaha mencerna keadaan sekitar. Gudang tempat alat olahraga, pakaian olahraga nya yang kotor dan berantakan.. Yamada? Seketika otaknya berfungsi dengan benar. Ia tak melihat Yamada di dekatnya, ia ingat tadi malam itu mereka.. dan begitu tertidur, ia mendekap Yamada di pelukannya, pantas kalau lengannya terasa kaku. Sekarang ia ditinggal sendiri disana, di lihatnya pintu sudah terbuka, tampaknya penjaga sekolah sudah datang dan Yamada yang terbangun lebih dulu pun meninggalkannya. Yuuto tak bisa menyalahkan, ia sendiri juga tak tahu harus bersikap bagaimana saat mereka berhadapan lagi nanti. Tadi malam itu sudah terjadi hal yang tak seharusnya terjadi. Yuuto akui ia senang bisa melakukannya dengan Yamada, tapi tentu saja tidak dalam kondisi seperti ini. Mereka bukan siapa-siapa lagi, bahkan teman baik pun tidak. Tapi nafsu yang mereka salurkan semalam itu kenapa terasa bagus? Mereka sama-sama menginginkan nya, mereka saling merindukan.. Yuuto percaya soal itu. Ia yakin Yamada pun masih menyimpan perasaan yang sama dengannya.
Yuuto menghela nafas sesaat sebelum ia bangun. Ia harus segera pulang dan bersiap-siap untuk kembali ke sekolah. Ia belum memikirkan apa yang harus ia lakukan kalau bertemu dengan Yamada nanti. Biarlah..
Mata Yuuto menangkap keadaan sekelilingnya sebelum ia benar-benar pergi dari sana. Rasanya terlihat lebih baik daripada tadi malam. Ia tak melihat lagi bercak-bercak yang berceceran di tembok dan di lantai. Perlahan, ia juga menyentuh sisi wajahnya yang ia ingat semalaman tadi terasa lengket karena ia terlalu lelah untuk membersihkannya dengan benar. Sekarang ia tak merasa apapun, ada yang sudah membersihkan itu untuknya. Yamada.. siapa lagi?! hanya mereka berdua yang tahu dengan apa yang sudah terjadi.
Yuuto pun segera keluar dari sana, ia berharap tak akan ada orang yang curiga dengan keadaan itu.
Sesampainya dirumah, ia tak menyahut sapaan dan pertanyaan ibunya. Ia cepat ke kamar mandi, ia membuka pakaiannya dan menatap cermin. Tanda kebiru-biruan terlihat di tubuhnya, pikirannya langsung teringat Yamada. Ia tak akan pernah menyesali apapun..

Jendela kamar Yamada tampak tertutup rapat saat Yuuto membuka jendela kamarnya dan melihat kesana. Ia sudah memakai seragam nya dan siap berangkat lagi ke sekolah. Masih ada waktu untuk mengejar setengah jam pelajaran pertama. Ia berpikir, mungkin Yamada memang sudah berangkat lagi lebih dulu.
Yuuto mengamati dirinya di cermin untuk terakhir kali sebelum keluar dari kamar. Keluhan kecil keluar dari mulutnya ketika matanya menangkap satu titik kebiruan yang cukup jelas di sisi kanan lehernya.
"Yabai" gumamnya dan mulai mencari cara untuk menutupi itu. Ia mencoba menaikkan kerah seragamnya, tapi jadi tampak aneh. Ia berpikir untuk memakai scarf, tapi takut temannya akan menarik-narik scarf itu. Yuuto terdiam beberapa detik hingga ia melihat sebuah plester di meja belajarnya. Plester untuk luka. Tanpa berpikir lagi ia memasangnya tepat menutupi tanda kebiruan itu. Aman. Ia akan bilang kulitnya terluka kalau ada yang bertanya.
Dan seperti yang ia duga, ibunya memang langsung bertanya setelah melihat itu. Yuuto segera menjelaskan kalau ia mendapat luka ketika sedang membereskan gudang olahraga di sekolah, lalu terkunci disana hingga tak bisa pulang semalaman tadi. Ibunya percaya. Yuuto menghela nafas lega, setidaknya ia tak benar-benar berbohong pada ibunya. Insiden terkunci di gudang olahraga adalah fakta, meski ia menceritakan versi lain tentang apa yang sudah terjadi disana. Ia pasti merasa konyol kalau harus bercerita sebenarnya tadi malam ia melakukan sex pertamanya dengan orang yang ia suka, di gudang olahraga yang tidak begitu bersih tanpa persiapan dan tanpa pengalaman apapun.. Yuuto tak bisa jamin kalau ibunya akan jatuh pingsan.
"Yuuto-kun" sebuah suara menghentikan langkah Yuuto ketika ia sudah berteriak 'ittekimasu' dan keluar dari gerbang rumahnya. Ia melihat ibu Yamada berada di sana.
"Hai?" sahut Yuuto, agak membungkukkan badannya.
"Untunglah kau belum berangkat.."
"Ada apa Yamada-san?"
"Tolong kau berikan ini pada sensei. Ryousuke tidak bisa datang ke sekolah hari ini" Yamada-san menyerahkan sebuah surat pada Yuuto.
"Ada apa dengan Yama-chan?" tanya Yuuto tak enak hati.
"Dia sakit. Tubuhnya panas"
Yuuto terkejut mendengar penjelasan ibu Yamada. Sakit..? mungkinkah karena..?? Yuuto semakin merasa tidak enak.
"Tapi.. tidak parah?"
"Uhm. Sepertinya dia kelelahan, semalam pun dia tidak pulang. Dia akan segera membaik setelah istirahat" Yamada-san meyakinkan dan tersenyum pada Yuuto yang seketika jadi merasa bersalah.

"Aku jadi khawatir.." kata Chinen sambil duduk di kursi belajar Daiki dan memainkan sebuah pajangan berbentuk mobil yang tersimpan disana.
"Hm? soal apa?" tanya Daiki mengangkat wajahnya sedikit dari buku-buku yang sedang ia baca. Ia pernah bilang tak yakin akan ikut ujian masuk universitas Tokyo, tapi ia masih saja menyebarkan buku-buku yang bisa ia pelajari di tempat tidurnya. Sebenarnya ia juga tak mau mengecewakan Chinen yang selama ini terus mendukungnya, meski di sisi lain ia mulai agak terpengaruh dengan telepon-telepon dari Asako tentang permintaan nya yang takut sekali tak bisa Daiki penuhi.
"Yama-chan. Sudah 2 hari ini dia tak masuk sekolah. Aku coba menghubungi, tapi ponselnya mati" suara Chinen membuyarkan Daiki dari pikirannya.
"Ada apa dengannya? dia sakit?"
"Uhm.. sensei bilang seperti itu. 2 hari yang lalu Nakajima yang menyampaikan surat padanya"
"Ah, kenapa kau tidak bertanya pada Yuuto saja?" saran Daiki. Chinen mengangguk.
"Aku pikir juga begitu, tapi aku belum merasa ingin bicara dengannya" ujar Chinen dan tersenyum khas pada Daiki. Kekasihnya itu hanya balas tersenyum sambil mengalihkan lagi perhatiannya pada buku. Konsentrasi dan semangat belajarnya bisa buyar kalau terus melihat pada Chinen, wajah manis itu selalu bisa membuatnya melupakan banyak hal.
"Daiki-kun, kau sudah belajar selama 1 jam.." kata Chinen lagi, mengganti topik pembicaraan dengan nada suara yang terdengar agak manja.
"Sou. Lalu?" Daiki berusaha acuh seolah tak terpengaruh. Ia suka menggoda Chinen.
"Aku mulai bosan hanya menemanimu saja disini" kata Chinen sambil menyandarkan dagunya ke meja, tangannya masih memainkan pajangan mobil tadi.
"Hmm, kau mau kita melakukan apa?" Daiki tersenyum tipis sambil melihat lagi pada kekasihnya. Mereka terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya Chinen bermaksud menjawab tapi terinterupsi oleh bunyi ponsel Daiki. Dari nada deringnya saja Daiki sudah tahu siapa yang meneleponnya. Ia memang sengaja membedakan nada panggilan untuk nomor Asako.
"Gomen na" kata Daiki dan mengambil ponselnya di meja lampu. Ia sebenarnya tak begitu enak harus menjawab telepon itu di hadapan Chinen tapi ia juga tak mau memberikan kesan mencurigakan.
"Moshi-moshi.. oh Asako? Yokatta.. kau makan banyak hari ini?"
Chinen kembali memperhatikan benda di hadapannya, meski pikirannya mulai tak fokus begitu tahu dengan siapa Daiki bicara. Nada cemas dan peduli di suara Daiki membuatnya sedikit.. cemburu. Ia jadi merasa konyol.

Beberapa menit berlalu, Daiki masih bicara di teleponnya. Chinen merasa semakin jenuh, jauh lebih jenuh dibanding saat tadi ia menemani Daiki belajar. Perlahan ia beranjak dari kursi di meja belajar Daiki dan berjalan mendekati jendela, melihat ke luar sana. Obrolan Daiki masih terdengar mengalir dan bagaimanapun cukup mengusiknya. Ia tahu tak seharusnya ia merasa begitu. Daiki sedang bicara dengan adiknya, bukan masalah kalau ia berkata dengan sangat lembut dan peduli, belum lagi adiknya itu sedang sakit. Chinen memejamkan matanya sesaat mengangguk pelan, meyakinkan dirinya sendiri. Ia tak boleh menuruti sisi egoisnya. Perasaan tak enak itu ia singkirkan, tak ada gunanya ia cemburu pada adik kekasihnya sendiri.
Chinen kembali menatap langit diluar sana, hingga ia tersadar kalau sekarang sudah hening. Daiki sudah selesai dengan teleponnya. Ia berbalik perlahan melihat pada Daiki yang sedang menatap ponsel di tangannya tampak sedang berpikir dan.. cemas. Chinen memang jadi sering melihat ekspresi Daiki yang begitu belakangan ini sejak adiknya di kabarkan jatuh sakit lagi. Chinen menelan ludahnya diam-diam, entah kenapa ia pun jadi merasa cemas, tapi mencemaskan hal lain yang ia pun tak mengerti.
"Doushita? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Chinen, hati-hati. Daiki tampak terhenyak, ia memandang Chinen dan mengulas senyuman yang terlihat dipaksakan.
"Kochi" katanya tiba-tiba, tidak menjawab pertanyaan Chinen.
"Eh?" Chinen mengerutkan keningnya bingung.
"Kochi, Yuuri.." ulang Daiki lagi, lebih jelas dengan menggerakkan tangannya, menyuruh Chinen untuk mendekat. Masih dengan kebingungan, Chinen pun mendekat, menghampiri Daiki yang duduk di tepi ranjangnya.
"Ada apa--" Chinen agak terkejut karena mendadak Daiki menariknya, membuat ia terduduk di pangkuan Daiki. "Da-Daiki kun?" Chinen nyaris tak bisa berkata-kata, tangan Daiki sudah melingkar di tubuhnya, memeluknya dengan sangat erat.
"Gomen.." gumam Daiki yang menyandarkan kepalanya di punggung Chinen. "Aku ingin memelukmu sebentar"
Perlahan, keterkejutan Chinen memudar. Ia mulai menyimpan tangannya di atas tangan Daiki yang sedang memeluknya. Ia bisa merasakan ada kegundahan dalam diri Daiki.
Tak lama mereka terdiam dengan posisi seperti itu, Chinen merasa kemeja yang dipakainya tiba-tiba basah dan menghangat di bagian punggung, dimana Daiki membenamkan wajahnya disana. Tepat seperti yang ia duga. Chinen mengusap tangan Daiki lembut.
"Ne, kau harus pulang untuk melihat keadaannya.."

"Nakajima.." Chinen menghampiri Yuuto yang sedang duduk di tempat duduknya. Akhir-akhir ini anak yang dikenal paling bengal di kelasnya itu, menjadi lebih pendiam dan Chinen tahu apa penyebabnya.
"Huh?" sahut Yuuto yang sepertinya melamun.
"Ada apa sebenarnya dengan Yama-chan? Ini sudah hari ketiga dia tak masuk, tapi sama sekali tak mengabariku. Aku juga tak bisa menghubungi ponselnya" kata Chinen langsung pada hal yang ingin ia bahas.
"Ah, dia.. sakit"
"Aku tahu, tapi sakit apa? Dan apa kau sudah menengoknya?"
Pelan Yuuto menggelengkan kepalanya, membuat Chinen mengeluh keras.
"Yappari.." katanya, lalu lebih mendekatkan duduknya dengan Yuuto. "Ne, Nakajima.. aku tahu kalian sudah putus, tapi jangan jadikan itu alasan untuk tidak menengoknya. Kau ini teman sekelasnya dan rumah kalian bersebelahan.." lanjut Chinen dengan suara yang agak dipelankan.
Yuuto melihat padanya, datar. Ia tak tahu harus menjelaskan seperti apa pada Chinen.
"Aku tak berani. Dia pasti tak mau melihatku.."
"Yama-chan selalu bisa bersikap profesional. Asal kau datang sebagai teman, dan bukan sebagai mantan pacar, dia pasti menghargai kedatanganmu"
Yuuto tak menyahut lagi, susah untuk menjelaskannya. Sudah terjadi hal yang besar dan gawat diantara mereka, yang mau tak mau memang akan membuat keduanya semakin canggung. Yuuto tak bisa memberitahukannya pada Chinen.
"Ne, aku akan menjenguknya hari ini. Kau ikut denganku"
"Eh?!" Yuuto memandang Chinen shock.
"Tidak usah protes. Rumahmu tepat disebelah rumahnya kan? Apa susahnya kau mengantarku sebentar? Aku juga tahu sebenarnya kau sangat cemas dan ingin melihat keadaannya"
"Tapi kau kan bisa datang dengan anak-anak dewan murid lain.." Yuuto mengelak dan pura-pura tak peduli dengan kalimat menggoda Chinen.
"Kau mau aku mengajak Nakayama?"
Mendengar nama orang yang paling tidak ia suka itu, membuat Yuuto merasa terancam. Tidak mungkin ia membiarkan orang itu untuk menjenguk Yamada, tidak boleh!
"Aku akan ikut denganmu" kata Yuuto cepat. Chinen tersenyum sendiri, ia tahu triknya dengan membawa-bawa nama Nakayama akan berhasil. Yuuto memang masih sangat menyukai Yamada.
---
Setelah beberapa lama menekan bel, akhirnya ada yang membukakan pintu. Kejutan, karena Yamada sendiri yang membuka pintu itu. Ia tampak lesu, masih memakai piyama dan rambutnya berantakan. Tapi tetap tak mengurangi ketampanannya.
"Yama-chan?"
"Eh? Chinen?!"
"Kami datang menjengukmu"
Perlahan, Yamada memudarkan senyumnya begitu melihat Yuuto.

"Aku mengajak Nakajima.. rumahnya disebelah, bukan?" kata Chinen, menyadari ketegangan diantara keduanya. Yamada tak merespon, hanya menyuruh mereka masuk. Tadi matanya sempat bertemu dengan mata Yuuto, tapi dengan cepat Yamada mengalihkan. Saat ini, ia tak mengharapkan kedatangan laki-laki yang selalu ada di pikiran nya itu, tapi ia juga tak bisa mengelak kalau tak ada perasaan keberatan begitu melihatnya.
"Kau sudah baikan? sepertinya sepi.." kata Chinen pula yang mengikuti Yamada ke dalam, ia melihat ke sekeliling, rumah itu memang tampak sepi. Yuuto yang dari awal sangat fokus pada Yamada, tak sengaja mengamatinya.. ada yang aneh dengan cara berjalan Yamada. Masaka..?
"Uhm, aku sudah baikan. oh iya, Okaasan sedang keluar" jawab Yamada begitu mereka duduk di sofa.
"Yokatta. Kau terlalu lelah ne? Tapi tenang saja, beberapa minggu lagi, kau tak perlu bekerja keras untuk dewan murid" Chinen tersenyum, mengingatkan akan kenaikan kelas mereka dan melepaskan jabatan di dewan murid, terdengar begitu menenangkan. Mereka sangat menunggu itu.
"Sou da na.." Yamada balas tersenyum, terlihat lebih bersinar daripada sebelumnya.
"Ah Chinen, bagaimana dengan senpaimu? Dai.. Dai.."
"Benar juga, Dai-chan. Aku sudah lama tak melihatnya. Dia pasti sibuk untuk persiapan ke universitas, huh?" Yuuto menyambar perkataan Yamada, bagaimanapun ia memang bukan tipe orang yang bisa diam terus-terusan.
"Daiki-kun.. dia.. aku belum tahu pasti" jawab Chinen, mendadak bingung ditanya soal Daiki. Ia memang teringat pembicaraan mereka kemarin tentang ia mengizinkan Daiki untuk pulang ke Saitama walau tidak dengan sepenuh hati, entah kenapa.
"Sokka.." gumam Yamada dan Yuuto hampir bersamaan.
"Ne, aku baru ingat tak bisa lama-lama. Hikaru menungguku untuk membeli bahan untuk makan malam" kata Chinen lagi.
"Eh? tidak biasanya. Kei-chan?" sahut Yamada yang tak menyadari terkejutnya Yuuto begitu ia menyebut nama Kei.
"Kei-chan sibuk dengan kuliahnya" ujar Chinen sambil agak tertawa kecil, menyadari kekagetan Yuuto. "Jaa, aku pulang. Cepat sehat Yama-chan" tambah Chinen, tak mau memperpanjang obrolan tentang kakak nya, atau ia akan melihat wajah pucat Yuuto.
"Baiklah, arigato sudah menjenguk ku" kata Yamada dan beranjak untuk mengantar Chinen keluar.
"Ii yo, ii yo.. kau duduk saja" cegah Chinen "Aku bisa sendiri. Ne, kau jaga Yama-chan sampai ibunya pulang" katanya pula sambil menepuk pundak Yuuto dan berlalu dari sana.
Mau tak mau mereka pun harus ditinggal berdua.

Suasana sempat hening beberapa saat sebelum akhirnya Yamada benar-benar beranjak dari sofa bermaksud meninggalkan Yuuto.
"Kau pulang saja tak perlu menunggu ibu ku pulang" katanya sambil menunjuk pintu keluar dengan dagu nya. Pembicaraan pertama mereka lagi dalam 3 hari ini. Dingin dan ketus seperti biasa. Tapi Yuuto tahu Yamada sedang menutupi salah tingkahnya.
"Sakitmu itu apa karena.." sahut Yuuto tak menggubris perkataan Yamada tadi. Ia juga tak peduli dengan tatapan tajam mantan pacarnya itu. "Gomen na, aku tidak mengerti-"
"Kau ini bicara apa? Cepat keluar dari rumahku!"
"Aku bisa melihat cara berjalanmu yang jadi aneh. Itu.. sakit sekali?"
Yamada melempar bantal yang ada di dekatnya. Entah kenapa, ia bukan hanya kesal.. tapi malu. Ia bisa merasakan wajahnya yang akan memerah.
Yuuto menangkap lemparan Yamada dan memandangnya shock. Tak menyangka Yamada akan sekesal itu.
"Lupakan! Aku tak mau membahas apapun! Kau jangan salah paham.. semua itu hanya kesalahan bodoh!" teriak Yamada pula.
"Gomen, tapi aku tak akan pernah melupakannya!" Yuuto balas berteriak. "Aku tak menyesalinya, tak sedikitpun!"
Yamada semakin merasa wajahnya menghangat. Dadanya berdebar dan kata-katanya tercekat. Tidak mungkin ia menyahut pada Yuuto lagi kalau ia pun tak menyesalinya.. walau ia sudah jatuh sakit, ia tak pernah menyesalinya. Ia sadar dan tahu persis apa yang mereka lakukan waktu itu. Kalau ia memang tak menginginkannya, ia pasti tak akan membiarkan dirinya menyerah seperti itu. Dan penyangkalan yang ia lakukan sekarang, apalagi kalau bukan untuk menuruti keegoisannya.
"Baka, jangan berteriak-teriak dirumahku! Cepat keluar!" Yamada tak tahu harus bersikap bagaimana lagi, ia malah jadi kekanakan. Dengan kesal ia menghampiri Yuuto, menarik tangannya menuju pintu keluar.
Ia membuka pintu dengan tangan yang lain dan bermaksud mendorong Yuuto keluar, tapi malah tangannya yang balik ditarik oleh Yuuto. Tubuh kecilnya tak bisa melawan kekuatan tubuh tinggi Yuuto.
"Lepaskan aku!"
"Tidak mau!"
"Yuuto.. iie, Nakajima! aku bilang lepaskan!"
Yamada tahu kalau mereka sama-sama kekanakan sekarang. Yuuto tak peduli dan malah menarik Yamada lebih dekat.
Beberapa detik kemudian, bahkan sebelum Yamada sempat mengumpat lagi, bibir mereka bersentuhan. Ciuman yang agak memaksa dari Yuuto, tapi justru membuat Yamada lebih tenang. Ia hampir terhanyut kalau saja otaknya tak cepat memperingatkan..
PLAK !
Sebuah tamparan telak pun mengenai pipi Yuuto.

Tanpa memberitahu terlebih dulu, Chinen mendatangi rumah Daiki sore itu. Ia sedikit menduga mungkin saja rumah Daiki sudah kosong, tapi rupanya tidak. Bahkan tak ada tanda-tanda kalau Daiki akan pergi. Terus terang Chinen sangat senang tapi di sisi lain masih ada perasaan nya yang ingin membiarkan Daiki pergi. Demi adiknya, demi mengurangi kecemasan itu di wajah Daiki. Chinen selalu bisa merasakan kegundahan dalam diri Daiki akhir-akhir ini dan itu cukup mengusiknya.
"Ah, Yuuri? kau datang di waktu yang tepat, aku baru akan makan malam" sambut Daiki begitu melihat Chinen di depan pintu nya.
"Makan malam? ini masih sore" komentar Chinen yang mengikuti Daiki ke ruang makan.
"Ok, makan sore" kata Daiki pula sambil tertawa khas. Ia menyimpan dua piring di meja, untuknya dan Chinen.
"Aku masih kenyang" gumam Chinen tapi ikut duduk di kursi meja makan di hadapan Daiki.
"Sokka. Baiklah, kau suapi aku" pacarnya itu tersenyum lebar menggodai Chinen.
"Huh? kau manja sekali" protes Chinen, Daiki tertawa lagi. Ia banyak tertawa hari ini, padahal dua hari yang lalu Chinen masih ingat bagaimana wajah tampan yang sering ceria ini tiba-tiba basah oleh air mata. Yang Chinen mengerti dalam situasi itu adalah bahwa Daiki sangat menyayangi adiknya. Asako pasti segalanya untuk Daiki. Chinen dengan cepat menepis rasa cemburunya.
"Jadi bagaimana?"
"Hmm?" Daiki bertanya balik sambil mengunyah makanannya.
"Kau.. akan pulang?" Chinen bertanya dengan hati-hati. Ia bisa merasa kalau Daiki menghindari pembicaraan soal ini.
"Kau ingin sekali aku pergi, ne?" sahut Daiki setelah sempat hening selama beberapa detik.
"Iie! aku hanya ingin tahu keputusanmu. Ada libur 2 minggu sebelum upacara kelulusan, kau bisa menengoknya dulu kan?"
Daiki menghela nafas dan mulai lagi dengan ekspresi tak biasa di wajahnya. Chinen merasa tak enak karena sudah mengganggu suasana hatinya, tapi ia juga tak mau melihat Daiki yang berulang-ulang seperti ini.
Chinen beranjak dari meja makan lalu menuju sofa di ruang tengah. Ia menyalakan tv untuk meringankan lagi suasana.
"Kau juga setuju dengan ideku, bukan?" katanya sambil menekan-nekan remote tanpa ada tujuan salah satu channel.
"Sebenarnya tidak. Aku tak mau kau menyesal nanti" sahut Daiki, pelan tapi Chinen bisa menangkapnya karena tepat dengan saat ia mematikan kembali tv itu, menyerah.
"Kenapa aku harus menyesal?" tanya Chinen, bingung.
"Saa.." Daiki menjawab acuh, dan membawa piringnya ke dapur.
Chinen merasa ada yang salah.

"Bagaimana kalau kita makan eskrim diluar? aku akan mandi sebentar" kata Daiki tiba-tiba sangat mengalihkan pembicaraan begitu ia kembali dari dapur. Chinen tahu tadi Daiki tak menghabiskan makanan nya. Apa bahasan yang ia angkat sampai sebegitunya membuat Daiki kehilangan selera makan?
"Eh? ..baiklah" Chinen tak bisa menolak. Ia melihat Daiki yang mulai membuka pakaiannya sambil bersiul memasuki kamar mandi.
Chinen terdiam sendiri. Ia cukup penasaran dengan perkataan Daiki tadi tentang menyesal.. kenapa ia harus menyesal?
Bunyi nada dering ponsel, menginterupsi Chinen dari pikirannya. Ia beranjak dan menemukan ponsel Daiki di atas meja lampu. Ia mengintip siapa yang memanggil.. Asako-chan.
Mendadak Chinen ada perang batin dalam dirinya, ia ingin menjawabnya tapi takut menjadi lancang.. tapi bagaimana kalau penting? Dengan pikiran yang terakhir, membuat Chinen memutuskan untuk menjawabnya.
"Moshi-mosh.."
"Dai-chan!!" terdengar suara seorang gadis yang tampak lemah tapi ceria. "Gomen ne, aku baru bisa meneleponmu sekarang. Tadi ada Okaasan yang terus memantauku disini. Aku sampai harus menyembunyikan ponselku di dalam laci agar mereka tak mengambilnya.." Asako tertawa kecil, terdengar manis. "Ne, apa kau rindu padaku? uhm.. kau harus rindu padaku. Aku sangat merindukanmu. Tidak mendengar suaramu sehari saja, membuatku tak bersemangat melakukan apapun" gadis itu terus bicara, tak memberi kesempatan Chinen untuk meralat. Ia terpaku mendengar celotehan Asako, merasa ada yang tak wajar dengan perkataan nya, dengan nada bicaranya. Ini tidak seperti seorang adik yang bicara pada kakaknya! Perasaan tak enak semakin menjalar dalam diri Chinen. Rasa cemburunya yang ia anggap tak perlu, kini tampak sesuai.
"Dai-chan, daisuki da. Aku akan terus menunggumu semampuku. Aku harap, aku sempat bertemu lagi denganmu sebelum aku benar-benar pergi. Gomen ne, karena selama ini aku selalu egois. Tapi aku tak pernah berhenti menyukaimu"
Kata-kata itu cukup memberi banyak keterangan untuk Chinen. Walau ia masih sangat muda dan sering berpikiran polos, tapi kali ini ia tak mungkin tertipu. Ia mengerti. Sangat mengerti.
"Dai-chan?" suara Asako membuyarkan pikiran Chinen. Ia sadar masih menyimpan ponsel Daiki di telinganya. Tanpa menunggu Asako bicara lagi, ia mematikan ponsel itu dan menyimpan kembali di tempatnya.
Chinen masih termenung saat Daiki keluar dari kamar mandi.
"Doushita?" tanya Daiki.
"Ceritakan padaku tentang Asako-chan.."

Daiki tertegun sesaat mendengar permintaan Chinen. Kenapa tiba-tiba sekali? Perasaan nya jadi agak tidak enak, tapi ia mencoba menutupinya.
"Apa maksudmu dengan--" kata-kata Daiki terinterupsi oleh bunyi ponselnya. Ia terdiam melihat ke arah ponselnya yang tergeletak di meja. Nada dering itu.. ia sudah tahu siapa yang menelepon, tanpa harus melihat caller id-nya. Perlahan, ia mengambil ponselnya dan mematikan nya setelah sempat berpikir beberapa detik. Ia menoleh pada Chinen yang masih terduduk di tepi ranjangnya, memandangnya datar. Daiki pun akhirnya mengerti dengan pertanyaan Chinen tadi.
Ia menghela nafas pelan lalu duduk di sebelah Chinen. Ada jarak diantara mereka, tapi Chinen tak peduli dan terus memperhatikan gerak-gerik Daiki.
"Asako-chan bukan adik kandungku" kata Daiki memecah lagi keheningan. Chinen tak terkejut, ia sudah menduganya. "Dia anak yang di angkat orang tua ku.. sejak pertama kali melihatnya 12 tahun yang lalu, aku sudah menyukainya"
Chinen terus mendengarkan dan mencoba tak peduli dengan kekesalan di hatinya. Ini bukan waktu untuk itu, ia harus mendengar semua hingga selesai.
"Setelah agak besar, aku tahu kalau aku menyukainya lebih dari seorang adik.. aku melihatnya sebagai seorang gadis. Dan aku tak menyangka kalau Asako-chan pun merasakan hal yang sama denganku.."
"Jadi kalian berpacaran?" pertanyaan frontal yang dari tadi sangat ingin Chinen tanyakan, akhirnya meluncur juga dari mulutnya. Daiki menoleh dan masih mendapati ekspresi datar Chinen. Ia menduga pacarnya itu sebenarnya sangat kesal, hingga ia tak bisa berekspresi banyak.
"Uhm. Sampai beberapa bulan yang lalu" jawab Daiki, mencoba menatap mata indah Chinen untuk meyakinkan kalau ia tak takut mengakuinya.
"Sokka"
"Dia memutuskan hubungan kami karena dia merasa tak percaya diri dengan kondisi tubuhnya yang sering sakit-sakitan. Lagipula kami juga mungkin tak bisa bersama dalam keadaan seperti itu. Kami kakak beradik, kami tak mau mengecewakan orangtua"
Chinen mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menghindari tatapan Daiki dengan menatap lurus ke dinding di hadapannya.
"Sokka. Sekarang aku mengerti dengan arti tangisanmu waktu itu.. aku juga mengerti apa maksudmu dengan menyesal.." kata Chinen nyaris seperti bergumam. Daiki terdiam, mungkin saja ceritanya barusan sudah melukai Chinen.
"Jangan sampai kau yang menyesal.." gumam Chinen lagi. Ia menoleh pada Daiki."Pikirkan baik-baik. Dia membutuhkanmu"
Daiki sangat tak menyukai situasi ini.


Yamada dan Nakayama, pemandangan paling memuakkan untuk Yuuto akhir-akhir ini. Ia senang Yamada sudah kembali ke sekolah, tapi ia benci melihat Yamada jadi semakin dekat dengan Nakayama. Apalagi setelah semua yang pernah terjadi diantara mereka, membuat Yuuto lebih merasa posesif meski mereka bukan lagi pasangan. Yuuto hanya merasa kalau ia sudah memiliki Yamada, karena baginya yang mereka lakukan itu bukan main-main walau Yamada bersikeras meminta Yuuto untuk melupakan. Ia tahu sebenarnya Yamada juga tak bisa melupakan, ia yakin Yamada masih memiliki perasaan yang sama.
"Apa yang kau lihat, Nakajima?" suara Nakayama membuat Yuuto tersadar. Ia dari tadi memandangi mereka rupanya. Dan manusia menyebalkan itu sekarang sedang melihat padanya dengan tatapan mengejek.
Yuuto menghela nafas, ia menahan diri agar tak menghajar orang itu sekarang. Dengan tenang, ia beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Yamada dan tanpa basa-basi menarik lengannya, membuat anak tampan itu terkejut.
"Apa yang kau lakukan?!" desis Yamada, bagaimanapun mereka berada di tempat umum, ia tak mungkin berteriak.
"Jangan dekat-dekat dengannya" kata Yuuto sambil menunjuk Nakayama dengan wajahnya.
"Oi. Jaga bicaramu" sahut Nakayama yang mencoba melepas tangan Yuuto di lengan Yamada.
"Kau sebaiknya diam!" Yuuto menepis tangan Nakayama.
Keributan mereka untungnya terjadi di salah satu bangku di taman sekolah yang agak menyepi, setidaknya murid lain tak akan sadar dengan apa yang tengah terjadi.
"Hentikan kalian berdua!" Yamada tak bisa lagi menahan kekesalannya. Ia menepis tangan kedua orang itu dan memilih pergi dari sana. Tapi sebelum ia sempat benar-benar menjauh, Yuuto telah lebih cepat mengejarnya, menarik lengannya lagi, membawa ia ke tempat yang lebih sepi.
Kali ini Yamada tak bisa melawan. Ia merasakan punggungnya menyentuh dinding di belakangnya, ketika Yuuto menjebaknya disana. Lagi-lagi mereka dalam situasi seperti ini.
"Apa maumu? Apa tamparanku belum cukup, huh?!" kata Yamada mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan Yuuto.
"Kau bisa menamparku sepuasmu asal kau mau kembali padaku" sahut Yuuto, terdengar putus asa. Ia memang sudah tak tahan lagi. Pikirannya terus memerintah ia untuk mendapatkan lagi Yamada, apapun yang terjadi.
"Kau sudah gila" desis Yamada diantara kesal dan tersentuh.
"Aku memang sudah gila olehmu.." dan Yuuto pun mencium Yamada. Tanpa diduga kali ini Yamada membalas ciumannya. Kekesalan itu membaur dalam irama ciuman mereka.

Bibir Yuuto yang menyentuh bibirnya, bagi Yamada terasa sangat familiar hingga tanpa ragu ia menyambutnya dan mengikuti setiap irama yang di tunjukkan Yuuto. Membuat ia menelan lagi mentah-mentah semua perlawanan yang ia berikan pada Yuuto. Tubuhnya sudah membangkang pada pikirannya sendiri dan parahnya lagi ia tak mencoba untuk menyudahi.
Yuuto menghentikan ciuman mereka ketika udara yang ia hirup mulai menipis. Terdengar keluhan pelan dari mulut Yamada, begitu bibir mereka terpisah. Yuuto menyentuh pipi Yamada dengan tangan kanannya, menempelkan dahinya pada dahi Yamada. Nafas mereka berbaur, terasa hangat menyentuh wajah masing-masing.
"Lihat.. kau membalas ciumanku" bisik Yuuto.
"Lalu kenapa?" sahut Yamada yang masih saja berusaha tampak dingin.
"Kau masih mencintaiku"
Yamada menggelengkan kepalanya pelan, memaksakan diri untuk menyangkal. Yuuto tentu saja tak percaya. Ia mengusap pipi Yamada dengan jemarinya, membuat seperti lingkaran di kulit halus itu. Yamada memejamkan matanya, jelas tergugah dengan sentuhan Yuuto. Lagi-lagi setiap reaksinya tidak sesuai dengan perkataannya.
Yamada menyentuh tangan Yuuto di pipinya dan perlahan membuka lagi matanya. Sepasang mata yang selalu ia rindukan, sedang menatapnya lembut. Yamada kadang benci, kenapa mereka harus bertengkar dalam situasi sebagus ini? Ia benci pikiran egoisnya.
Sebelum otaknya memerintah dua kali, Yamada sudah lebih dulu membunuh jarak diantara mereka. Ia mengikuti instingnya, mengikuti apapun yang sudah membuatnya sangat terpengaruh dan berani.
Mereka berciuman lagi, lebih natural dengan Yamada yang menekan belakang kepala Yuuto, meremas rambutnya.. Seperti yang biasa ia lakukan saat mereka masih pasangan.
Yuuto dengan senang hati menyambut dan lebih menekan Yamada ke dinding. Mungkin mereka memang tak perlu bicara sekarang, tindakan mereka lebih terlihat jujur, tak ada alasan dan lain-lain.
"Aku.. tak mau lagi terlibat apapun denganmu.." ujar Yamada disela-sela usahanya menahan desahan saat Yuuto menjelajah lehernya.
"Mmmhh?" sahut Yuuto dengan gumaman diantara leher dan pundak Yamada. Entah sejak kapan, tapi seragam mereka sudah agak terbuka.
"A..ku serius.." Yamada agak menarik rambut Yuuto, memprotes gumamannya tadi yang seperti meledek.
Yuuto tertawa kecil, dan menaikkan ciumannya ke telinga Yamada.
"Aku tak percaya padamu" bisiknya. Membuat Yamada mengeluh tertahan. Reflek, ia lebih merapatkan tubuh Yuuto dengannya.
"Ini yang terakhir" bisiknya.
Mungkin.

Chinen mengerutkan kening dan mengedarkan pandangannya ke sekitar halaman belakang sekolah ini, hingga matanya menangkap sosok yang ia cari. Yamada sedang terduduk bersandar pada dinding. Tatapan nya tampak kosong.
"Yama-chan.." panggil Chinen setelah berada di dekatnya. Yamada menoleh perlahan, dan tersenyum. "Sedang apa kau disini?" tanya Chinen pula, bingung dengan sikap tak biasa sahabatnya itu. Tadi Chinen mendapat mail dari Yamada untuk bertemu dengannya disana. Ia pikir pasti ada sesuatu yang penting.
"Betsuni. Sudah lama kita tidak mengobrol berdua saja ditempat yang tenang seperti ini" jawab Yamada akhirnya, sambil menghela nafas dan lebih bersandar pada dinding.
"Sou da ne. Kita terlalu sibuk mengurus dewan murid" Chinen sependapat. Ia ikut duduk disebelah Yamada dan bersandar juga pada dinding. Ia mengamati sahabatnya itu sesaat. Tatapan Yamada lagi-lagi tampak kosong melihat lurus ke depan, rambutnya sedikit berantakan, seragamnya kusut, dua buah kancing atasnya terbuka. Terlalu aneh untuk seorang presiden murid yang biasanya berpenampilan rapi. Apa dia baru berkelahi? pikir Chinen, tapi dengan siapa? dan kenapa?
"Ne, sebentar lagi upacara kelulusan" perkataan Yamada menyentakkan Chinen. Ia cepat mengalihkan pandangannya.
"Uhm. Sou"
"Senpai mu itu.. Dai- Dai-"
"Daiki-kun" sahut Chinen.
"Ah.." gumam Yamada pula, yang entah kenapa suka lupa dengan nama Daiki. "Dia akan tetap denganmu, kan?" lanjut Yamada.
Chinen mengangkat bahunya pelan. Ia belum tahu keputusan apa yang akhirnya diambil Daiki.
"Aku harap begitu"
"Kalian tampak baik-baik saja. Dia pasti tak mau jauh darimu"
"Saa.." Chinen memiringkan kepalanya, benar-benar tidak tahu. Ia tentu saja berharap yang terbaik untuk mereka. "Kau dan Nakajima..?" Chinen mengalihkan pembicaraan. Yamada terdiam, entah berpikir, entah memang tak mau membahasnya.
"Kau tahu sendiri bagaimana kondisiku dengan si bodoh itu" kata Yamada tiba-tiba, setelah sepi beberapa detik. "Aku tak mau kembali padanya" keluh Yamada pula. "Tidak boleh"
"Kenapa? Kalian belum terikat siapapun lagi, kalian masih saling menyukai.."
Yamada hanya menggelengkan kepalanya.
"Kau belum bisa memaafkannya?"
"Aku sudah melupakan kesalahan tololnya itu"
"Lalu?" Chinen memandang sahabatnya, bingung.
"Tidak bisa. Nanti kami tetap tak bisa bersama. Aku tak akan berada di Jepang lagi setelah sekolah selesai"
"Eh?" Chinen hampir berseru kaget. "Yama-chan.."
Yamada tersenyum lesu.
"Aku takut semuanya makin berat.."

"Aku selalu tak bisa menahan diri jika dia ada di dekatku.." Yamada masih melanjutkan ceritanya. Ia jadi ingat bagaimana tadi dirinya menyerah begitu saja pada ciuman dan sentuhan Yuuto. Persis seperti saat dulu pertama kali mereka baru menyadari perasaan masing-masing dan malah menutupinya dengan bermain-main. Padahal tubuh dan pikiran mereka bereaksi apa adanya, bahwa mereka memang saling menginginkan. Yamada sampai harus melawan hasrat dalam dirinya sekuat tenaga untuk bisa melepaskan diri dari jerat Yuuto. Ia tak merasa buruk setiap Yuuto mencium, memeluk dan menyentuhnya. Semua malah terasa benar. Walau kenyataannya tidak, apalagi sejak mereka tak ada hubungan apapun lagi. Saat memikirkannya sendiri, Yamada tersadar kalau ia sedang bermain api. Melakukan skandal.
"Dia selalu bisa membuatku tak berdaya. Semua yang ada pada diriku selalu merespon dengan senang hati padanya" tambah Yamada. Ia mengeluh risau dan membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya.
"Koi ne? itu cinta" kata Chinen, sambil menepuk pundak Yamada lembut.
Yamada membenarkan dalam pikirannya. Memang cinta. Ia tak akan membiarkan Yuuto memilikinya secara utuh kalau bukan karena cinta. Dan sekarang, akibat mereka sudah melakukannya, rasa cinta itu semakin dalam. Mereka sudah saling memiliki.
---
"Ini yang terakhir.." bisik Yamada, dan menggigit bibirnya pelan saat Yuuto mencium dan sedikit menjilat telinganya. Itu tempat yang cukup sensitif untuk laki-laki, membuat seluruh bagian tubuhnya bergetar.
"Kemarin pun kau berkata begitu" Yuuto balas berbisik.
"S-sekarang.. aku sangat serius.." Yamada menarik rambut Yuuto tapi tidak terlalu keras. Ia terus menahan suara dari mulutnya karena tangan Yuuto mulai menelusuri kulit di balik seragamnya.
"Ok" gumam Yuuto yang tak ambil pusing dan kembali menyatukan bibir mereka. Yamada terlena lagi beberapa saat, sebelum ia dengan sekuat tenaga melepaskan diri dari Yuuto. Nafas mereka tak beraturan.
"C-cukup!" katanya sambil terengah-engah. Mereka hampir hilang kendali lagi. Seragam dan rambut mereka sudah kusut, bibir mereka terasa bengkak. Yamada mengancingkan seragamnya asal-asalan. "Kau pergilah" pintanya pula. Yuuto tak bisa berkata-kata. Ia akhirnya memilih menuruti Yamada, pergi dari sana.
Tinggallah Yamada sendiri, ia menjatuhkan tubuhnya terduduk disana. Bersandar pada dinding, menghela nafas sepanjang mungkin. Rasanya ia butuh teman. Ia pun mengeluarkan ponselnya, mengirim mail pada Chinen agar datang kesana.

"Yuuri.." sebuah panggilan menghentikan langkah Chinen yang baru tiba di dekat gerbang, seperti biasa ia menunggu Hikaru menjemputnya.
"Daiki-kun?" sahut Chinen, terkejut melihat pacarnya ada disana. Daiki memang sudah jarang datang ke sekolah, sebentar lagi upacara kelulusan, ia hanya tinggal menunggu hari itu. "Sedang apa kau disini?"
"Ehm, menjemputmu"
"Oh.." Chinen tersenyum, ia mengerti dan langsung mengirim mail pada Hikaru agar tak usah menjemputnya.
"Ikou?" ajak Daiki. Chinen mengangguk dan mereka pun berjalan berdampingan menyusuri trotoar. Rasanya seperti saat pertama kali mereka baru bersama, jalan berdua sepulang sekolah.
"Hisashiburi da ne?" kata Daiki, tepat dengan yang apa yang sedang Chinen pikirkan.
"Uhm.." gumam Chinen membenarkan. Mungkin ini untuk yang terakhir kali, sebuah pikiran aneh melintas di benaknya. Chinen cepat menepis itu dan melihat ke arah Daiki yang ternyata melihat ke arahnya juga.
"Ne.." kata mereka nyaris bersamaan. Keduanya agak terkejut lalu tertawa.
"Kau duluan" kata Daiki, masih sambil tertawa kecil.
"Iie. Daiki-kun saja" kata Chinen. Lucu sekali tadi mereka ingin bicara di waktu yang sama.
"Jaa.. aku mau mengajakmu ke rumah, ii ka?"
"Ah, ii yo" jawab Chinen. Ia memang sedang punya waktu luang.
"Sou. Yokatta" Mereka saling melempar senyum, "Sekarang giliranmu"
"Ehm.. apa kau sudah memutuskan?" tanya Chinen setelah ia menarik nafas terlebih dulu. Ia tahu Daiki tak suka bahasan ini, tapi mereka tak bisa terus menghindarinya. Sejak Chinen tahu kebenaran tentang hubungan Daiki dan Asako, ia memang takut tapi ia juga tak bisa egois. Melihat kondisi Asako sekarang, gadis itu bukanlah orang yang pantas ia cemburui. Chinen pun mengerti posisi berat Daiki, jadi ia memilih membuat semuanya jadi lebih mudah untuk Daiki. Bagaimanapun Asako adalah adiknya, seorang yang penting. Hubungan yang pernah terjalin diantara mereka, Chinen menganggapnya sudah berlalu.
"Kita bicarakan itu nanti. Ah, kau mau eskrim?" sahut Daiki yang cepat mengalihkan pembicaraan juga. Chinen hanya menghela nafas dan mengangguk, ia sudah menduga Daiki akan seperti ini.
Kalau begitu Chinen akan menunggu sampai nanti untuk tahu keputusan yang diambil Daiki. Dalam hatinya Chinen cukup khawatir, tapi ia sendiri yang sudah mengajukan semua itu pada Daiki. Mau tak mau, ia memang harus siap.
---
"Ah.. rasanya aku mau mandi" ujar Daiki ketika mereka sampai dirumahnya.
"Kita bicara dulu ne?" sela Chinen. Ia tak mau Daiki mengelak lagi.

Daiki tak jadi beranjak malah melihat ke arah Chinen. Ekspresinya berubah. Semua tawa yang ia perlihatkan dari tadi sudah Chinen duga hanyalah untuk menutupi kerisauannya. Daiki suka seperti itu belakangan ini.
"Kenapa kau ingin sekali aku pergi? Kau sudah tahu yang sebenarnya kan, kenapa masih saja menyuruhku pergi?" tanya Daiki, nada suaranya berbeda dengan yang tadi. Kali ini terdengar agak kesal, mungkin ia sudah memendamnya sejak kemarin.
"Daiki-kun, aku tak mau mempersulitmu. Aku hanya minta kau mengambil keputusan yang tak akan membuat menyesal nantinya" jelas Chinen, nyaris tak sabar juga.
"Lalu bagaimana denganmu? Apa kau pikir kau tak akan menyesal?"
"Tidak akan"
Daiki tersenyum kecut. "Kau yakin sekali. Kau memintaku pergi untuk menemui lagi perempuan yang pernah aku sukai, dengan yakinnya kau bilang tak akan menyesal!? Kau tak takut kehilangan aku, iya kan? Kau sudah bosan padaku?!"
PLAK!
Tamparan Chinen menghentikan perkataan Daiki yang mulai tak berarah. Chinen tak habis pikir, sekesal itukah Daiki selama ini? Ia benar-benar tak mau pulang untuk melihat Asako?
"Dia adikmu, Daiki-kun. Kau tak bisa menyangkal itu!" Chinen meninggikan suaranya. Suasana tiba-tiba menjadi sangat berat. Tak ada lagi tawa mereka seperti beberapa saat lalu.
Daiki terdiam, merasakan panas di pipinya, ia tak menyangka Chinen akan menamparnya.
"Jangan berpikir sembarangan. Aku hanya ingin kau bertemu dengan adikmu karena dia sedang sakit dan sangat ingin bertemu denganmu. Ada waktu seminggu sebelum upacara kelulusan, tak ada salahnya kau memakai waktu itu untuk melihatnya" lanjut Chinen dengan suara yang lebih lunak. Daiki menghela nafas dan memandang Chinen.
"Aku memang ingin melihatnya tapi aku.. tak bisa.." katanya tak jelas. Chinen tersenyum penuh pengertian. Ia menyentuh pipi Daiki yang tadi ditamparnya, mengusapnya lembut. Rasa panas itu berubah jadi sejuk dan membuat kerisauan Daiki memudar. Ia memang hanya membutuhkan sentuhan tangan Chinen, senyuman malaikatnya.
"Gomen na.." gumam Chinen. Daiki menggelengkan kepalanya, matanya tak mau lepas dari wajah manis Chinen. "Kau bisa Daiki-kun.."
"Yuuri.."
"Aku percaya padamu" Chinen tersenyum meyakinkan. Meski dalam hatinya ia sedikit kecewa karena Daiki tak bisa meyakinkan dirinya sendiri agar tidak terjatuh lagi pada masa lalu. Mungkin Daiki memang masih sangat menyukai Asako dan selama ini perlahan-lahan coba membunuh perasaan itu.
"Yuuri.." Daiki cepat meraih Chinen dalam pelukannya.

Aroma sitrus menyeruak dari tubuh Chinen begitu Daiki memeluknya, membuat ia semakin membenamkan wajahnya di antara leher dan bahu Chinen. Aroma khas ini bagaimanapun menenangkannya, kalau ia bisa ia tak mau melepasnya lagi.
Chinen tersenyum dan mengusap punggung Daiki lembut. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Daiki, ia tak mau senpai kesayangannya itu terus menerus merasa gundah.
"Kenapa Yuuri?"
"Hmm?" Chinen tak mengerti dengan maksud pertanyaan Daiki.
"Kenapa.. kau melakukan semua ini?" gumam Daiki lagi. Chinen terdiam beberapa detik, senyumannya makin mengembang.
"Koi da yo" katanya sambil mengusap rambut Daiki.
Tak ada sahutan lagi, tapi Chinen merasa pelukan Daiki semakin erat dan beberapa kecupan menghujani bahunya. Chinen tak mengelak, ia malah memejamkan mata dan sedikit memiringkan kepalanya saat kecupan Daiki mulai beranjak ke lehernya. Tangan kirinya menggenggam rambut Daiki perlahan, sedangkan tangannya yang lain mencengkram kemeja yang dipakai Daiki. Sudah bukan kecupan lagi, Chinen merasakan bibir Daiki mencium dan menghisap kulit lehernya yang ia tahu akan meninggalkan tanda kebiruan untuk beberapa hari ke depan.
"Uhn.." tak sadar, Chinen mengeluarkan suara tertahan dari tenggorokannya yang membuat Daiki makin tergoda. Ia menaikkan ciumannya ke dagu Chinen, ke pipinya, hidungnya, keningnya, dan matanya hingga membuat Chinen membuka kedua mata indahnya itu. Mereka saling menatap, tak ada kata-kata yang muncul di benak mereka. Disaat seperti ini otak mereka menolak untuk berpikir.
Daiki mengusap bibir Chinen dengan jarinya, lalu beberapa saat kemudian jari itu sudah terganti oleh bibirnya sendiri. Mereka berciuman lagi setelah hampir beberapa pekan ini waktu mereka agak kurang untuk melakukannya. Ciuman lembut mereka di awal semakin meningkat. Ada semacam kerinduan yang akhirnya tersalurkan.
Daiki menyusupkan tangannya ke balik seragam Chinen, menyentuh kulit halus disana. Chinen mengeluh pelan diantara ciuman mereka. Jemarinya pun menyusup ke dalam rambut Daiki, dan jemarinya yang lain mencoba menemukan kulit Daiki di balik kerah kemejanya.
Seingat mereka, sepertinya ini ciuman terpanas dan terlama yang pernah mereka lakukan. Mereka berhenti hanya mengambil nafas beberapa detik, lalu mulai berciuman lagi dengan posisi yang berbeda. Suara-suara yang tertahan memenuhi ruang tengah itu.
Setelah beberapa lama akhirnya mereka benar-benar berhenti. Chinen sudah berada di atas tubuh Daiki, nafas mereka tak terkendali..

"Ai..shiteiru.." bisik Daiki diantara nafas terengahnya yang berbaur dengan nafas Chinen. Ia jadi berbaring di sofanya, dengan Chinen berada di atas tubuhnya. Bibir mereka yang terasa bengkak masih sangat berdekatan, seperti tak mau sepenuhnya terpisah.
"Boku mo.. aishiteiru" balas Chinen. Mereka saling melempar senyum. Daiki membelai wajah manis Chinen, menyentuh lehernya dan kembali mendekatkan bibir mereka.
Tubuh mereka menjadi hangat, nafsu pun tak bisa dielakkan lagi. Tubuh muda mereka bereaksi dengan natural, ada hasrat yang tak bisa mereka hindari.
"Kita perlu tempat yang lebih luas" bisik Daiki saat ia menciumi rambut hingga ke telinga Chinen.
"Mmmhh.." gumam Chinen yang terlalu blank untuk menyahut perkataan Daiki. Tangan Daiki sudah menyentuh dada nya, dan itu membuat akal sehatnya agak buram.
Tanpa menunggu lagi, Daiki pun beranjak bangun, mengagetkan Chinen yang baru tersadar. Daiki menarik tangan Chinen, membawanya ke kamar.
"Ah.. ch-chotto.." Chinen sudah mendapatkan akal sehatnya dan ia mendadak panik. Daiki hanya menghela nafas, menarik Chinen lebih kuat lalu menjatuhkannya ke ranjang.
Anak itu terkejut dan menatap Daiki, takut bercampur malu.
"Daiki-kun, k-kau tidak sedang mabuk kan?" tanyanya khawatir. Daiki tertawa kecil melihat kecemasan di wajah kekasihnya itu.
"Kau ini kenapa? tadi bukankah kau baik-baik saja?"
"Ah.. itu-" Chinen tak bisa menjelaskan. Ia juga tak tahu kenapa jadi segugup ini, setelah mereka berada di dalam kamar dan di atas ranjang..
Daiki tersenyum, ia melepas kemejanya dan mendekati Chinen lagi yang sudah beranjak ke pojok ranjang.
"Kau takut padaku?"
"Bukan. hanya-" lagi-lagi Chinen tak tahu harus menjelaskan apa. Ia menunduk tak berani menatap tubuh terbuka Daiki. Sekali lagi Daiki tersenyum, ia mengambil tangan Chinen dan menyimpan di dadanya. Mata Chinen sedikit melebar karena gugup, jantungnya berdetak cepat dan ternyata tak jauh beda dengan degupan di dada Daiki yang terasa oleh telapak tangannya.
"Ii ne?" bisik Daiki. Chinen memandangnya dan tak lama mereka berciuman lagi. Kali ini Chinen terbaring disana, otaknya kembali blank, ia hanya merasakan ciuman dan sentuhan Daiki.
Ciuman Daiki semakin berbahaya menuju daerah sensitifnya. Setelah puas dengan kedua dada Chinen, ia menuju perut, pinggul dan tampak akan semakin ke bawah. Daiki terlalu hanyut dengan kulit lembut Chinen juga suaranya yang menggoda.
Chinen sudah panik saat Daiki mencium tulang pinggulnya, tapi rupanya ia berhenti..

Daiki berhenti dan kembali ke atas, mencium bibirnya untuk kesekian kali. Chinen terlalu larut dengan ciuman itu. Jemarinya masih asik bermain dengan rambut Daiki. Chinen tak sadar, tangan Daiki bergerak menuju celana sekolahnya, membukanya perlahan setelah ia membuka celananya sendiri. Yang Chinen tahu, ia nyaris berteriak nyaman saat Daiki menggerakkan pinggul mereka bersamaan. Ada sesuatu yang saling menyentuh dan itu hampir membuat mereka gila.
"A-apa yang-" Chinen mencoba melihat ke bawah, merasakan ada yang tidak beres dengan bagian bawah tubuhnya.
"Daijobu, aku akan membereskannya" kata Daiki dan cepat bergerak ke bawah lagi, ia membuka celana Chinen lebih banyak bersiap mengatasi semuanya.
"Ch-chotto.. dame da.." Chinen berusaha mencegahnya walau terkesan setengah hati. Ia mencengkram rambut Daiki, tapi anak yang lebih tua itu tak menggubrisnya. Ia melakukan yang ingin ia lakukan.
"Ahhh..hnn..mmph" Chinen menjatuhkan lagi kepalanya ke bantal, nyaris berteriak kencang kalau saja ia tak cepat menutupi wajahnya dengan bantal yang lain. Ia malu mendengar suaranya sendiri, tapi ia juga tak bisa mengelak dari rasa nikmat yang menjalari tubuhnya.
"C-cukup D-dai.. ahhn..mmph" Chinen ingin menghentikan tapi lagi-lagi ia tak bisa mengontrol suaranya. Akhirnya ia memilih terus menutupi wajahnya, menahan keluhan-keluhan erotis dari mulutnya hingga Daiki selesai.
Daiki berhenti tepat sebelum Chinen mengeluarkan cairannya. Ia melihat Chinen yang masih menutupi wajahnya dengan bantal. Bantal itu bergerak naik turun, karena Chinen sedang mengatur nafasnya setelah tadi seperti mencapai sesuatu.
Daiki menyingkirkan bantal itu, Chinen membuka matanya perlahan. Ia tersadar dan malu melihat wajah Daiki, ia mencoba menutupi lagi wajahnya, tapi Daiki menjauhkan bantal itu. Akhirnya Chinen hanya memejamkan mata, Daiki mengecup hidungnya, mau tak mau ia kembali membuka mata melihat Daiki yang seperti akan beranjak. Huh? sudah selesai? pikir Chinen.
"Ne.."
"Hmm?" Daiki melihat ke arahnya.
"Kau tidak.. tidak akan.." Chinen bingung untuk mengatakannya, untung Daiki mengerti, ia tersenyum.
"Aku tak mau menyakitimu. Aku bisa mengatasinya sendiri. Sekarang kau istirahat dulu, nanti akan kubangunkan saat giliranmu mandi" jelas Daiki lalu menuju kamar mandi. Chinen terdiam.Hubungan mereka semakin meningkat malah disaat mereka sedang ada masalah. Chinen merapikan celananya, dan turun dari ranjang. Ia masuk ke kamar mandi saat tahu pintunya tak dikunci..

BRAK !
Yamada meringis pelan saat punggungnya menabrak pintu locker di belakangnya dengan sengaja. Yuuto yang memojokannya disana, setelah tadi selama beberapa saat mereka berciuman di tengah ruang ganti itu. Hari ini tak ada pelajaran olahraga. Tapi tanpa rencana apapun, mereka tiba-tiba sudah mengunci diri disana, saling mendekap, menarik, dan mencium dengan berantakan, seolah mereka adalah sepasang kekasih yang sudah bertahun-tahun dipisahkan.
"Baka.." gumam Yamada, sambil menepuk kepala Yuuto pelan. Kata-kata pertama yang ia ucapkan setelah dari tadi perbendaharaan kata seperti menghilang dari benak mereka.
Yuuto tersenyum nakal, nafas mereka berbaur dan masih belum teratur.
"Bagaimana kalau tadi ada yang melihat kita?" kata Yamada lagi.
"Aku tidak peduli.." bisik Yuuto dan menempelkan hidungnya di hidung Yamada, membuat semacam gerakan melingkar, membuat keduanya mulai terhanyut lagi. Mereka memejamkan mata. Jemari Yamada menyusup ke rambut Yuuto, membuat Yuuto merasa tak perlu menunggu lagi untuk kembali menikmati bibir manis Yamada, dan semakin menekannya ke locker. Terdengar lagi suara berderak, disusul oleh suara-suara tertahan dari mulut mereka yang menyatu dengan nafas mereka yang berlomba. Menimbulkan situasi yang panas dan cukup erotis disana.
"..Tidak.." gumam Yamada disela-sela nafasnya sambil menarik tangan Yuuto dari ujung pinggulnya menuju ke bawah.
Yuuto menurut, dan memilih menyentuh dada Yamada di balik seragamnya. Ia juga membenamkan wajahnya di salah satu sisi leher Yamada.
"..Ini yang terakhir.." bisik Yamada, seperti sebelumnya, ia lagi-lagi mengatakan itu. Perkataan yang di langgarnya sendiri. Yuuto malah menyukainya, seperti tantangan yang memabukkan, karena semakin Yamada mencoba menolak, reaksinya malah semakin agresif terhadap sentuhan Yuuto.
Seluruh tubuhnya benar-benar mengkhianati pikiran dan ucapannya sendiri.
Yuuto mencium Yamada lagi di bibir, menghentikan setiap gumaman yang tak perlu itu.
Beberapa lama keduanya masih merasa di dunia mereka sendiri, mereka berciuman seperti tak akan pernah ada hari esok. Yamada mulai kembali ke akal sehatnya ketika ia sadar ia ingin sekali melepas seragam Yuuto. Ia sadar ini tak akan bagus, apalagi tangan Yuuto pun lagi-lagi bergerak ke arah celananya.. Yamada mendorong tubuh Yuuto sekuat tenaga. Mereka terpisah, saling menatap sambil mengatur nafas.
"..sudah.. cukup.." kata Yamada, ia mengambil tasnya dan pergi dari sana. Yuuto cepat menyusulnya..

Mereka berjalan sambil agak merapikan seragam dan rambut mereka. Pelajaran memang sudah usai, tapi masih cukup banyak siswa dan guru yang berkeliaran.
Yamada menuju locker untuk mengganti sepatunya. Ia akan pulang cepat, malas ke ruang dewan murid untuk bertemu anggota-anggota nya. Satu minggu lagi, ia sudah bukan presiden mereka. Kebebasan yang paling ia nantikan. Ia akan menemui mereka besok, setelah pikirannya cukup bersih dari Yuuto. Yamada tak bisa mengontrol dirinya akhir-akhir ini dan itu cukup menyiksanya. Mereka sungguh terjebak skandal.
"Kau sedang apa?" keluh Yamada saat ia melihat Yuuto sedang berdiri tak jauh dari tempatnya, memperhatikan sambil menyandarkan tubuhnya di salah satu pintu locker.
"Berdiri" jawab Yuuto singkat. Yamada mengeluh lagi sambil memutar bola matanya. Ia cepat pergi dari sana tak mau memperdulikan Yuuto. Urusan mereka hari ini sudah selesai, ia tak mau terlibat urusan yang lainnya.
Tapi setelah beberapa langkah ia keluar dari gerbang, ia menghentikan langkahnya. Menghela nafas berat. Ia tahu Yuuto mengikutinya.
"Jangan ikuti aku, Nakajima!" katanya tanpa berbalik.
"Aku tak mengikutimu, aku juga mau pulang" sahut Yuuto tenang.
Yamada menggerutu dalam hati, lalu melanjutkan berjalan tak mau peduli. Ia menunggu bus di halte, berharap bus yang datang sangat penuh, hingga hanya ia yang bisa masuk. Bus nya memang penuh, tapi ternyata cukup tersisa untuk dua orang. Ada dua kursi bersebelahan yang kosong. Mau tak mau, mereka harus duduk berdua. Yamada mengeluh untuk kesekian kali, berbeda dengan Yuuto yang tak bisa menyembunyikan senyuman gembiranya.
Yamada membuang pandangannya ke arah luar jendela, seolah tak ada Yuuto di sampingnya. Ia sebenarnya tak membenci ini, hanya keegoisannya masih tak mau mengalah.
"Hisashiburi ne.." kata Yuuto pelan dan hanya cukup terdengar oleh mereka berdua. Yamada agak terhenyak. Memang rasanya sudah lama mereka tak pulang bersama lagi seperti ini. Biasanya mereka akan mengobrol dan tertawa sepanjang perjalanan dan kadang juga sedikit kecupan-kecupan singkat begitu yakin tak ada yang memperhatikan mereka. Sangat berbeda dengan keadaan sekarang.
Yamada tak menyahut dan semakin melihat ke luar pura-pura tak mendengar, meski sebenarnya ia mendengar dan memikirkan.
"Aku tak akan menyerah" kata Yuuto lagi. Membuat Yamada merasakan dua hal yang berlawanan, ingin menghambur ke pelukan Yuuto atau melompat keluar dari jendela. Dilema.
Yamada menghela nafas berat. Ia menyerah.

Yamada merasakan tangan Yuuto mulai menyentuh tangannya, saat ponselnya mendadak bergetar di dalam saku celananya. Ia mengambil ponsel itu dan membaca mail yang masuk.. dari Chinen. Yamada agak mengerutkan keningnya, lalu berpikir sebentar sambil melihat lagi keluar. Hingga akhirnya ia berdiri, bermaksud untuk turun, membuat Yuuto terkejut dan memandangnya heran. Ia baru akan ikut berdiri, tapi Yamada memberinya tatapan tajam yang mengancam.
"Jangan ikuti aku!" gumamnya pelan tapi tegas. Yuuto menyerah, ia hanya melihat Yamada yang turun di tempat lain entah apa yang harus ia kerjakan.
---
Yamada bertemu dengan Chinen di sebuah tempat yang tadi sudah ditentukan, dan sekarang Chinen mengajaknya ke sebuah rumah yang baru Yamada tahu adalah rumah Daiki. Tapi mereka hanya berdiri di depan pagar.
"Ne, kenapa tidak masuk?" tanya Yamada heran.
"Aku rasa dia sudah pergi" jawab Chinen tenang, tapi Yamada bisa melihat kalau temannya itu sebenarnya sedang risau.
"Kita tak akan tahu sebelum mengeceknya" kata Yamada berusaha memunculkan pikiran positif. Ia tak mau benar-benar berpikir kalau pacar temannya itu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun, rasanya kejam.
"Tidak, tidak.. dia memang sudah pergi" Chinen yakin sekali, ia tersenyum lemah pada Yamada.
"Aku tak percaya" kata Yamada yang tak bisa terima. Ia menekan bel berkali-kali dan Chinen berusaha menghentikannxa.
"Chinen.. ah, sudah aku duga kau disini" suara seseorang menghentikan tingkah mereka.
"Nakajima?" kata Chinen begitu melihat Yuuto disana. Yamada terhenyak dan mengeluh pelan saat mereka saling memandang. Terbalik dengan Yuuto yang tersenyum senang karena mereka bertemu lagi.
"Aku baru tiba dirumah waktu Okaachan memberikan ini, katanya dari Daiki. Surat untukmu" Yuuto menjelaskan maksudnya berada disana.
Wajah Chinen mulai berseri, ia lega karena Daiki rupanya memang tidak pergi begitu saja.
"Ah sankyu Nakajima. Ne, Yama-chan.. arigato sudah menemaniku, sekarang aku pulang duluan ne. Kau pulanglah dengan Nakajima. Jaa" kata Chinen setelah mengambil surat itu. Ia bersemangat lagi sekarang dan tak sabar untuk membaca surat dari Daiki. Meski ini sedikit melukainya, tapi ia tak begitu sedih, bagaimanapun ini keputusannya. Ia hanya perlu menunggu Daiki jika Daiki ingin ia menunggunya.
"Dia akan baik-baik saja. Ayo kita pulang!" ajak Yuuto pada Yamada yang masih terpaku.
"Aku bisa pulang sendiri" gerutunya sambil berjalan mengacuhkan Yuuto.
Yuuto hanya tersenyum dan mengikutinya.

Suara pintu yang ditutup membuat Daiki yang sedang mencuci wajahnya menoleh dan terkejut begitu melihat Chinen disana. Pacarnya itu tersenyum malu-malu, pipi nya bersemu kemerahan. Hal yang wajar karena sekarang mereka berdua berada di dalam kamar mandi dengan keadaan Daiki yang sudah setengah telanjang pula.
"Yu-Yuuri?"
"Gomen.." gumam Chinen pelan, sambil menghampiri Daiki. Di kedua mata indahnya tersirat sesuatu yang rasanya terlalu bagus untuk Daiki artikan. Senyuman malaikatnya tampak sedikit nakal menimbulkan getaran-getaran liar dalam diri Daiki lebih dari sebelumnya. Ini agak berbahaya karena ia sadar salah satu bagian tubuhnya yang lain belum benar-benar pulih.
Daiki sedang menebak-nebak apa yang akan dilakukan Chinen tapi tak lama karena Chinen sudah melakukan lebih dari yang ia duga. Pacarnya yang manis itu tiba-tiba memeluk dan menciumnya lembut tapi cukup bernafsu. Tangannya pun dengan liar sudah menjelajahi tubuh polos Daiki yang merasa tak perlu menunggu atau terkejut lagi. Mereka memang sudah terlalu jauh dari awal tadi, mungkin ini waktunya untuk menaikkan level hubungan mereka. Melupakan semua masalah yang mengganggu.
Daiki membawa Chinen ke tembok terdekat, tanpa melepaskan ciuman mereka. Suara nafas yang berat dan ciuman yang berantakan memenuhi seisi kamar mandi.
Mereka berhenti setelah kekurangan nafas yang masuk ke paru-paru mereka. Daiki langsung melancarkan ciuman ke leher Chinen, sambil melepas semua seragamnya yang sudah setengah terbuka dan melemparnya begitu saja. Chinen memejamkan matanya, menikmati ciuman dan sentuhan Daiki. Tangannya erat memeluk Daiki membuat tubuh mereka makin merapat. Bibirnya agak terbuka terus mengeluarkan suara tak jelas disertai desahan setiap kali bagian bawah tubuh mereka bersentuhan karena pinggul mereka yang terus beradu tanpa sadar. Mereka sama-sama memerlukan yang lebih. Ciuman Daiki semakin turun dan ia menyadari dengan keadaan Chinen. Ia kembali ke atas mencium telinga Chinen dan berbisik disana.
"Sepertinya aku harus menanganimu lagi" katanya sambil tersenyum tipis walau Chinen tak bisa melihatnya karena masih memejamkan matanya. Daiki tak menyangka pacarnya yang manis dan polos ini ternyata bisa jadi begitu bernafsu. Yah, bagaimanapun Chinen hanya anak laki-laki biasa.
"C-chotto.." Chinen mendadak membuka matanya dan menghentikan Daiki yang sudah berlutut di bawah bersiap membuka celananya. Mereka saling memandang. "S-sekarang giliranmu.." kata Chinen akhirnya.

Giliranku? pikir Daiki. Ia belum mau berpikir yang menyenangkan, ia tak yakin Yuuri-nya akan melakukan itu..
Chinen memeluknya lagi dan entah ide dari mana, pacarnya yang ia kira polos itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya sendiri menghadap tembok masih sambil memeluk Daiki yang jadi memeluknya dari belakang.
"Yu-Yuuri.."
"Daijobu da. Lakukan saja" sahut Chinen cepat. Daiki nyaris membelalakan matanya tak percaya. Chinen ingin ia.. Daiki menelan ludahnya diam-diam, ia hampir tak fokus apalagi saat Chinen membawa tangannya semakin ke bawah dan membuat tubuhnya makin merapat dengan punggung Chinen.
"Chotto!" Daiki melepaskan tangannya dari tangan Chinen, membuat pacarnya itu berbalik karena terkejut. Chinen jadi takut kalau Daiki menolaknya.. tingkahnya barusan mungkin berlebihan.
"Tunggu" Daiki bergerak ke dekat lemari kaca yang ada disana, mencari-cari sesuatu. "Kuso.. aku tak punya lotion yang bisa kupakai" gerutu Daiki pula.
"Lotion?" tanya Chinen bingung.
"Aku tak mau membuatmu kesakitan"
"Aku tidak apa-apa" kata Chinen lagi, ia menarik tangan Daiki lalu tanpa diduga memasukkan jari Daiki ke mulutnya satu persatu, membuatnya basah dan yang paling pemandangan yang disuguhkan Chinen membuat Daiki kehilangan akal sehat lagi. Ia mengumpat dalam hati, tak habis pikir dari mana Chinen meniru hal gila itu.
"Yuuri.." gumamnya dengan suara yang mendadak serak. Tanpa perlu berpikir, Daiki pun memojokkan Chinen lagi ke dinding terdekat. Ia kembali menyerang leher Chinen, tapi kali ini lebih memaksa. Chinen hanya memejamkan matanya, menerima semuanya dengan senang hati, tangannya memeluk Daiki erat. Ia membiarkan Daiki yang sudah membuka celananya dan mengangkat tubuhnya hingga ia harus semakin bertahan dengan pelukan eratnya di tubuh Daiki. Tak lama setelah Daiki membuatnya siap, untuk pertama kalinya Chinen merasakan rasa sakit yang membuatnya bahagia. Ia merasa penuh dan seperti hidup kembali. Ia berteriak kesakitan di awal, tapi setelah Daiki mulai bergerak teriakan sakitnya berubah menjadi suara-suara menikmati yang kalau ia dengar disaat akal sehatnya sedang baik pasti membuatnya malu. Sekarang ia tak begitu peduli, ia hanya ingin memeluk Daiki sekuat mungkin membuat tubuh mereka semakin bersatu dan kalau perlu tak usah berpisah lagi. Pikiran yang ekstrim. Chinen menikmati erangan dan hembusan nafas Daiki yang hangat di lehernya, mereka sedang sama-sama berusaha mencapai titik tertinggi.
"D-Daiki..kun.. lebih cepat.." pinta Chinen.

Mendengar permintaan Chinen, membuat Daiki semakin giat. Ia tak menyangka kalau Chinen akan secepat itu merasa nyaman dan mengikuti irama yang ia buat. Daiki menggerakkan wajahnya sedikit dari leher Chinen hingga bibir mereka bertemu dan mereka berciuman. Ciuman yang dalam tapi cukup lembut, dan itu sangat membantu mereka untuk cepat mencapai yang mereka mau.
"Mmpph.. ahh! Daiki-kun.. aku.. aku.." Chinen melepaskan ciuman dengan tiba-tiba dan merasakan seperti ada gelombang besar yang sedang menuju ke arahnya, ia akan keluar lagi, kali ini tanpa disentuh terlebih dulu.
"Ahh!!" teriak Chinen bersamaan dengan cairan yang mengenai perut Daiki. Otomatis, Daiki pun semakin terpacu. Selang beberapa detik saja, ia mendapat gilirannya. Cairan miliknya memenuhi tubuh Chinen. Mereka kelelahan, mencoba mengatur nafas sambil menguasai diri, turun perlahan dari ketinggian.
Daiki menyerah dengan kakinya yang dari tadi menopang tubuh mereka berdua. Perlahan ia membawa Chinen untuk duduk di lantai. Chinen bersandar pada dinding di belakangnya sedangkan Daiki masih memeluk dan bersandar di bahunya. Chinen membelai rambut Daiki, lembut. Pacarnya itu mengangkat wajahnya. Mereka pun saling memandang dan melempar senyum.
"Aku lelah. Kita tidur?" ajak Chinen.
"Kita mandi dulu. Aku akan memandikanmu" sahut Daiki. Chinen mengeluh malas, tapi Daiki menariknya bangun dan tak lama mereka sudah mandi bersama disela dengan beberapa kali sesi berciuman.
Keindahan mereka yang pertama ini semoga bukan yang terakhir.
---
Dan keesokan harinya, Chinen tahu Daiki sudah pergi. Tak sempat mengatakan apapun, hanya sebuah surat yang di tinggalkan pada Yuuto.

Yuuri, gomen na. aku sudah pergi. aku tak sempat memberitahumu karena ponselku tertinggal di rumah. gomen na. aku akan kembali sehari sebelum upacara kelulusan. jaga dirimu baik-baik. arigato.
Daiki

Chinen terpaku setelah membacanya. Ia merasa ada yang kurang, merasa ada yang asing dengan kata-kata Daiki disana. Tak ada kata-kata manis yang diharapkan Chinen. Ia menepis pikiran konyolnya. Daiki pasti sangat terburu-buru jadi menulis seadanya. Semua baik-baik saja, Chinen meyakinkan dirinya sendiri. Daiki tak mungkin melupakannya apalagi setelah mereka melewati hal pertama mereka. Chinen jadi ingat yang dikatakan Daiki sebelum mereka tertidur malam itu.
"Aku beruntung memilikimu. Aku sadar kalau aku tak hanya menyukaimu.. ini cinta"
Tanpa sadar, Chinen menangis dengan senyum di bibirnya. Ia percaya.

(TBC)